Pos-pos Terbaru

Waktu Saya yang Hilang di Bank MUFG

Suatu hari saya iseng ingin membuat akun bank baru di MUFG. Saya datang ke MUFG di Stasiun Meguro dan mendatangi mbak-mbak yang menunggu di meja isian formulir di depan deretan kasir teller. Mau bikin akun baru mbak! Kata saya. Tak terduga, hal pertama yang ditanyakan oleh si mbak adalah.

Rumahnya dimana?

Saya bilang di dekat stasiun Ookayama. Mbaknya langsung bermuka masam. Wah, kaga bisa dek! Kalau rumahnya di Okayama harus dateng ke cabang yang di Jiyugaoka, soalnya yang terdekat disana.

What the!

Lalu saya lobi bahwa cabang yang disana di luar jangkauan commuting rumah-kantor saya dan sangat tidak convenient kalau mau kesana, soalnya nggak searah ke kalau ke kantor. Patut dicatat bahwa saat itu saya sedang istirahat makan siang, kalau mau ke cabang Jiyugaoka sono ya mana cukup waktunya. Lagipula zaman gini kan!

Mbaknya tetap leng-geleng. Peraturan ya peratuan mas.

Mbaknya kemudian mengarahkan saya supaya mendaftar pakai mesin. Kayak di bawah ini nih mesinnya. Di dalam ruang sempit bilik untuk satu orang. Bilik ini juga buka malam dan hari sabtu kabarnya…

587bd7d5-0d20-44bb-acb9-6c9b78f0bdb8

Saya nggak ngerti harus takjub atau kesal dengan dialihkan permintaan saya dari manusia ke mesin ini.

Jadi ternyata, kita bakal nelpon operator pakai mesin ini. Terus operator itu yang akan melayani pembuatan akun bank kita. Itu di mesin ada monitor dan kameranya. Jadi kayak video call sama CS di pusat.

Di lubang bawah mesin juga ada kameranya. Jadi nanti formulir tetap diisi disana. Formulirnya kalau nggak salah inget keluar dari mesinnya. Isi formulir, lalu arahkan ke lobang di bawah layar. Nanti terpindai deh si formulir.

Hal yang saya dengan persyaratan lainnya seperti KTP, cap stempel, dll. Nanti difoto sama kamera menghadap lobang.

Setelah agak lama ngisi ini itu dan menjawab interogasi si mbak, akhirnya selesai juga proses pendaftaran akun baru.

Nah, terus kan kartu bank sama ATM nya nggak bisa diambil disitu tuh. Nggak bisa keluar dari si mesin. Nanti bakal di kirim via pos katanya. Satu minggu sampai sepuluh hari kemudian. Dan, kebetulan satu minggu setelah hari itu saya tidak lagi di Jepang! Dousiyo!

Harusnya gampang kan? Tinggal ditunda aja ngirim posnya sampai saya balik lagi ke Jepang. Kan saya tahu saya baliknya kapan.

Nyet nyet nyet… Nggak bisa begitu мой брат!

Di luar prosedur. Nggak bisa melanggar peraturan. Bla-bla-bla… Standar ngeles birokrasi Jepang. Nanti daftar lagi aja kalau udah balik ke Jepang lagi ya? Yang ini dikansel aja,,,

Yeah, sure. Bakal daftar lagi kok… Dalam mimpi!

Dan begitulah kisah saya membuang-buang waktu 30 menit ~ satu jam saya. Mungkin harus menunggu satu dua tahun agar respect saya ke bank yang satu ini tumbuh lagi.

Herannya, buka akun bank itu kan saya bakal ngasih uang ke si bank kan ya… Kok nggak ngekeh meyakinkan saya supaya nggak kecewa, nggak fleksibel gitu, atau mencari solusi gimana biar uang saya tetap masuk ke kantong mereka.


Bonus fact.

Kadang ini bank disebut MUFJ, pake J; Kadang MUFG, pakai G. Kenapa tuh? Saya juga bertanya-tanya.

Cek di wiki sih MUFG itu Mitsubishi UFJ Financial Group, dan UFJ itu merek. Singkatan dari United Financial of Japan pas entitas awalnya merger jadi satu.

Jadi, ama bank-nya sekarang yang bener yang mana?

Saa…. ¯\_(ツ)_/¯

Quartz itu bukan merk jam

Di Indonesia, saya sering lihat jam dinding bertuliskan QUARTZ. Dari kecil saya kira itu merk… Setahun belakangan saat saya riset buat beli jam tangan, baru tahu kalau Quartz itu jenis teknologi jam.

Jadi ada dua teknologi jam. Quartz atau automatic. Teknologi quartz mengandalkan jumlah getaran pada mineral quartz untuk menggerakkan jarum jam. Supaya bisa bergetar, mineral ini mesti dikasih listrik. Sebaliknya, teknologi “automatic” hanya memerlukan energi potensial dari pegas; namanya automatic tapi sebenarnya mechanical. Jadi kalau punya jam tangan non-Quartz kita harus memutar knop-nya beberapa hari sekali.

Nah, jam dinding dengan tulisan QUARTZ itu sebenarnya tak bermerk. Generik. Sama kayak obat. Karena kata “quartz” keren aja, ditaruh disitu.

Saraba… Nomor telponku…

Saya sudah di Jepang hampir lima tahun. Tentu saja saya punya nomor telepon selular Jepang sendiri, karena sangat tidak praktikal untuk tetap memakai nomor telpon Indonesia. Namun, selama ini nomor telpon Indonesia itu tetap saya biarkan hidup. Well, karena semua orang yang saya kenal di Indonesia tahunya nomor itu. Sejak SMA saya pakainya itu. Jadi alangkah elegan kalau nomor tersebut terus saya pakai sampai saya pulang lagi ke Indonesia dan terus selama saya hidup. What a romantist thought.

Cara Bertahan Hidup

Sebelum berangkat ke Jepang, saya bertanya ke Grapari Telkomsel. Gimana caranya supaya ini nomor hidup terus tapa dipakai di Jepang… Konversi ke Halo aja, katanya… Tapi kalau dari As nggak bisa pakai nomor yang sama, harus ganti yang awalnya 0812 (etc)… -.- Well, that defeat’s the purpose. Ada cara lain nggak? Nggak ada, katanya…

Pff…

Untungnya, Kartu As itu kalau dipakai sejumlah tertentu, masa aktifnya akan bertambah sebulan. Ya udah manfaatkan gitu aja. Saya isi pulsa terkecil, Rp25.000 dan setiap bulan saya kirim SMS nge-junk satu ke random person. Karena roaming, satu SMS itu aja memakan biaya Rp7.000. Satu kali SMS sudah cukup pemakaian untuk memperpanjang masa aktif.

Hal ini berhasil dilaksanakan selama 3 tahun di Jepang. Aman.

Pulsa Tersedot Tiba-tiba

Awal Januari 2017, saya upgrade kartu SIM saya dari kartu jebot ke kartu yang support 4G. Saya juga kebetulan upgrade ponsel dari HTC Wildfire S ke Motorola Z Play. Karena, si api liar sudah melewati masa bergunanya. Kecil. Tombol rusak. Android nggak bisa diapdet. Susah dipakai lah.

Saya tidak tahu ini penyebabnya atau bukan. Sejak pergantian divais itu, entah kenapa pulsa yang saya isi selalu tersedot tiba-tiba. Tanpa SMS. Tanpa telpon. Ponsel selalu terhubung wifi, dan data selular di non aktifkan. Saya isi 50.000 via My Telkomsel app (yup, minimal pengisian entah kenapa naik) eh seminggu kemudian nol. NOL!

Saya cek *887# yang buat liat pemakaian pulsa terakhir, isinya GPRS 10kb sekian ribu. What??? Data selular non-aktif loh bro…

Unreliable CS Telkomsel

Karena kejadian ini berulang terjadi, sekitar bulan Mei 2017 saya bertanya ke cs@telkomsel.com. Udah dibalasnya lama, jawabannya standar jawaban customer service. Sama sekali tidak membantu.

(15/05/17) Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami, agar dapat saya bantu pengecekan lebih lanjut, silakan informasikan data berikut:
1. Tanggal dan jam kejadian,
2. Jumlah pulsa terpotong,
3. Jumlah sisa pulsa,
4. Lokasi detail.

Walaupun pertanyaannya absurd (Mana saya tahu tanggal dan jam kejadian! Justru saya yang pengen tahu!) ya saya balas. Sayangnya tidak digubris. Juli, karena kejadian sedot pulsa ini terjadi lagi, saya kirim email komplain lagi.

Terus dia minta Nomor KTP, nama ibu kandung, dan tanggal lahir. Via email. What!!! Bukannya nomor KTP sakral ya?

Sebulan kemudian, Agustus, balasannya hanya begini.

(23/08/17) Terima kasih atas data yang diberikan. Saya cek nomor 085280854471 tidak memilik paket data sehingga terpotong GPRS normal. Apabila menggunakan WiFi, pastikan menonaktifkan mobile data dan data roaming pada HP yang digunakan. Hal ini bertujuan untuk menghidari pemotongan pulsa.

Argghh… Do you think I am that stupid?!!

Okay, sabar. Saya kasih tahu kalau saya udah nonaktifkan segala macam setting ttg data. Dan ini tidak terjadi 3 tahun sebelumnya, hanya terjadi awal tahun ini setelah saya ganti upgrade kartu SIM dan hape. Itukah penyebabnya? Apa solusinya?

Terima kasih atas konfirmasinya. Tidak hanya setting-an mobile data yang di-OFF-kan saat penggunan layanan WiFi di luar negeri, namun juga data roaming/while roaming sebab ke dua setting-an tersebut harus dalam keadaan tidak aktif secara bersamaan. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari akses GPRS roaming meskipun menggunakan WiFi. Apabila tetap bermasalah, silakan konfirmasi data berikut:
1. Waktu kejadian,
2. Jenis HP yang digunakan,
3. Nomor yang bisa dihubungi.

Sampah! Oke sabar… Masih saya layani, walaupun into di atas udah saya kasih di email-email sebelumnya. Entah mbaknya ganti atau Telkomsel nggak punya sistem ticketing yang bagus. Saya juga bilang lagi kalau ini kejadian sudah berkali-kali, komplain balasan emailnya lama, dan info di atas sudah pernah saya berikan. Dan saya sudah cek semua setting, sampai saya kasih skinsyut settingnya.

(30/08/17) Terima kasih telah menunggu, Bapak Albadr. Saya cek data di nomor 085280854471 tidak terdapat pemakaian pulsa pada tanggal 10 sampai 11 Juli 2017. Namun pada tanggal 12 Juli 2017 penggunaan telah sesuai karena terdapat pemakaian pulsa untuk akses data internet dengan tarif normal Rp17.500 saat berada di negara Jepang. Saya sarankan agar Bapak aktivasi paket Roaming jika berada di luar negri dengan dial ke *266# sehingga saat penggunaan akses data tidak dikenakan tarif normal GPRS Roaming. Info lengkap paket Roaming Telkomsel bisa cek di www.telkomsel.com/paketroaming.

Zuma! Mugabe! Trump!

Hilanglah semua harapan. Saya tidak lagi mengandalkan si CS. Saya sepertinya sudah terbiasa dengan customer service di Jepang. Masalah gini disini saya bayangkan bisa terselesaikan kurang dari satu jam. Paling lama satu minggu mungkin, dan mereka yang aktif mencari penyebab dan solusi masalah kita lalu menghubungi. Bukan sebaliknya.

Setelah itu, saya menerima nasib bahwa setiap bulan saya harus isi pulsa. Dan pulsa minimal itu akan langsung hilang lenyap. Demi nomor yang jarang saya gunakan ini tetap hidup.

Toh, cuma 500 yen per bulan. Small chip, right? Ya kalau minimal pengisiannya nggak naik lagi.

Solusi Penyebab Kelalaian

Awal tahun 2018, saya pulang lagi ke Indonesia. Sistem pembelian paket data ternyata sudah berubah drastis dari yang saya ingat waktu kuliah di Bandung. Dari tahun lalu pun juga beda.

Saya beli paket internet seminggu berapa giga, eh ternyata dapat kartu khusus paket data. Bukan paket ke kartu yang sekarang saya udah punya.

Untungnya Motorola Z Play support Dual SIM. Jadi, saya pasang kartu lama saya dan kartu paket data ini. Setting selular data-nya di set ke kartu paket data.

Wait…

Jadi punya ide! Asumsikan hape ini (atau applikasi My Telkomsel, atau apapun) dengan sampahnya mengirim paket GPRS tanpa izin, bahkan dengan setting data selular non-aktif. Berarti kalau koneknya ke kartu paket data yang baru, kartu lama nggak bakal masalah kan? Nggak ada sedot pulsa tiba-tiba lagi…

Balik ke Jepang, cek sebulan. Woop… Bener gan! Pulsa yang diisi ke kartu lama masih tetap ada sampai luama… Jenius! Satu masalah bisa dilupakan.

Saya pun terjebak rutinitas kantor. Beberapa lama kemudian, awal April…

Saya ngecek hape Motorola. Cek pulsa… Oh iya, dual SIM ya… Cek pulsa ke kartu lama. Hmm, kok aneh… Oh masa tenggang kali belum isi pulsa. Coba isi deh, kok aneh… Nggak bisa. Hmm…

Kartu Anda sudah tidak aktif lagi. Wait what!!

Saya hubungi orang tua di rumah buat konfirmasi ke Grapari. Yup, sudah lewat masa tenggang katanya.

 

Joseph-oh-my-god.jpg

Oh! My! Goddo!

 

Bisa direkoveri? Kagak! Udah diblok sama sistem. What the f***!!

Jadi gimana, ada cara lain nggak? Udah kagak bisa, di sistem udah nggak diterima lagi… What a stupid system.

Okey. Just like that. Nomor yang sudah saya bina selama sepuluh tahun, mati. Lenyap. Hilang selamanya… Sampai mungkin nanti direuse oleh Telkomsel dan dipakai oleh bapak-bapak gendut di suatu pulau antah berantah.

Moral of the Story

Apa ya…  Nggak ada kali… Customer service di Indonesia itu masih banyak ruang untuk lebih baik (baca: tidak bisa diandalkan)? Jangan terjebak rutinitas kantor segitu parahnya? Pasang alarm dan jangan lalai?

Sebenarnya tidak ada kerugian yang saya alami dari kejadian ini. Hanya sedih saja, idealisme dan romantisme satu nomor seumur hidup, lenyap!

Satu hal yang saya syukuri adalah, tengah tahun lalu saat kejadian sedot pulsa tiba-tiba itu terjadi, saya melalukan audit ttg akun online saya. Hampir semua service terutama sistem otentikasi dua faktor-nya saya redirect atau duplikat ke nomor Jepang. Jadi tidak ada akun saya yang terblok. Hanya akun mobile banking saja yang tidak bisa diakses lagi.

Dari lama sih saya ingin membuat Contingency Plan secara formal buat merekap semua koneksi antara akun email, webservice, hape, dan komputer. Serta risk assessment ttg apa saja threat factor dan akibatnya kalau salah satu komponen rusak, hilang, dan tidak bisa diakses. Apa tindakan pencegahan dan apa yang harus dilakukan kalau terjadi beneran.

Namun tidak ada waktu untuk membuatnya.

Penting ini. Harus dibuat… Jadi nggak bingung dan nggak harus cek akun satu-saku kalau beneran terjadi. Dan beneran terjadi kan!

Moral of the story? Buat sistem yang robust dan kalau perlu contingency plan untuk kehidupan akun online Anda.

Sssssttt…

Setiap pagi saya mendengar orang Jepang yang baru datang di kantor berdesis ria. Datang satu orang.

Ssssttt….

Satu orang lagi…

Sssttttts….

Nggak semua sih. Sebagian… Ngapa lah ini orang Jepang pikir saya… Rupanya itu singkatan dari “Selamat Pagi”. Jadi kalau ditulis full begini nih.

[Ohayogozaima]sssssttsu.

Mungkin karena malu atau gimana jadi awal kalimatnya diucap sirr sama mereka. Atau mungkin biar efisien atau gimana kali.

Kalau di Indonesia dibuat seefisien begitu, mungkin kira-kira jadi begini…

giii…..

Atau begini..

likummm…..

Kali yak.

Di kantor saya dulu di Nagoya, orang yang berdesis gitu kalau ketahuan Shacho (CEO) bakal dimarahi dan disuruh ulang masuk kantornya. Di depan pintu harus salam pakai teriak, cem tentara.

OHAYOUGOZAIMASU!

Gitu… Jangan sampe deh.

Justifikasi

Awal-awal penulisku mengisi diriku ini, perataan paragraf yang dia gunakan adalah justifikasi. Entah apa itu bahasa Indonesianya? Perataan kiri kanan? Atau perataan aja? Dulu kayaknya dia berpikir kalau justifikasi itu membuat artikel jadi bagus. Kayak koran gitu. Rapih. Cantik. Mungkin lebih mudah dibaca kali ya.

Namun ada banyak kelemahan dalam perataan justifikasi paragraf di web. Beberapa malah jadi antitesis dari alasan penggunaan justifikasi di koran. Pertama tengok paragraf yang diset dengan perataan kanan kiri di bawah ini. Paragraf ini diambil dari artikel Logo Provinsi yang merombak seluruh logo provinsi di Indonesia. Cek tengah paragraf, rentang spasinya jadi nggak rata.

Contoh efek buruk justifikasi

Aku tadinya mau memdemonstrasikan live dengan paragraf di atas, tapi kan justifikasi di web ini bergantung pada lebar jendela, jadi susah deh ngasih liat sisi jeleknya.

Blob di tengah teks ini tentu saja tidak membuat teks lebih mudah dibaca. Pinggir-pinggir rapih sih kesannya cakep, tapi tengah itu lebih penting karena mata manusia mengalir di dalamnya saat membaca. Bukan terpaku di pinggir.

Di contoh di atas sih cuma sebaris. Kalau yang muncul berbaris baris? Misal kata yang muncul panjang-panjang. Misal nih ya.

Pertanggungjawaban mantan Presiden Republik Indonesia yang dipertanggungjawabkan di rapat pleno nasional pertanggungjawaban menyebarluasnya  Pneumonoultramicroscopicsilicovolcanoconiosis afterthefact alias hanya pascainsiden mempermasalahkan permasalahan yang diada-adakan. Pertanggungjawabannya Presiden yang memempertanggungjawabkannya pascakepresidenan tersebut ditolak mentah-mentah oleh komisi Dewan Perwakilan Rakyat.

Geser-geser jendela browser dan lihat perubahan paragraf di atas deh. Aneh!

Jadi kenapa spasi itu bisa muncul? Karena teknologi perataan justifikasi milik HTML dan CSS masih cupu. Cuma if kata-kata nggak muat gedein spasi di baris ini dan lanjut ke baris berikutnya.

Kalau Latex, dengan setting rata kiri kanan paragraf secara otomatis akan memenggal kata sehingga saat ada kata super panjang seperti kata “mempertontonkan” di contoh di atas, kata tersebut tidak seluruhnya jatuh ke baris berikutnya dan menciptakan ruang-ruang kosong di tempat tinggal sebelumnya.

Cek contoh hasil dari Latex berikut. Garis strip di kata mempertontokan automagically appear berkat si Latex.

latex justifikasi.PNG

Memang sih masih ada kasus yang mau diapain aja tetap serba salah. Kayak baris kedua contoh di atas, mau dipisah “lam-bang” juga nggak muat di baris atasnya. Jadi tetap ada spasi agak besar disana. Ini shouganai…  atau bahasa indonesia: ya piyee….

Setidaknya, spasi liar ini terminimasi oleh Latex.

Di koran juga begitu. Cuma aku nggak tahu mereka memotong-motong kata pakai typeset dari Latex juga atau manual itu. Penulisku juga kayaknya nggak tahu.

Di web? Justify masih cupu dan sepertinya tidak usah dipakai banyak-banyak dulu. Untunglah akhir-akhir ini si dia nggak pernah menjustifikasi diriku ini lagi.

Haimu, Haitsu, Apato, dan Mansion

Saya bingung dengan nama apato saya sekarang. Namanya, サウスハイム, yang kalau diromajikan, yup! Gimana coba? Disitu bingungnya….

Kalau per silabel Jepang sih jadinya SA-U-SU-HA-I-MU. Tiga bulan disini, misterius gimana romajinya. Masih belum kepikiran untuk nyari tahu.

Sering kalau nulis alamat saya memakai romaji. Soalnya malas kan nulis kanji, corat coretnya banyak. Tokyo. Meguro. Begitu sampai ke nama apato ini, jeng-jeng… Masa Sauce Hyme, Sausu Haimu, atau Saus Haim. Coba tebak gimana?

Karena bingung balik lagi deh saya ke katakana サウスハイム, selalu begitu.

Sampai tiga bulan kemudian, saya googling-googling. Pertama googling pakai frasa Inggris yg saya curigai, Sauce Hyme. No good. Keluarnya Sauce Rhyme, itupun nyampah isinya.

Sausheim

Terus saya coba pakai yang paling normal, Saus Haim. Muncul kandidat yang sangat bagus. Ada nama kota di utara Perancis, dekat Jerman. Namanya Sausheim.

Wah, kandidat yang bagus!

Tapi kok ragu kalau yg punya apato ngasih nama dengan kota ini, pernah kesana apa si nenek.

Googling lagi deh pakai katakana, biar lebih ketahuan. Banyak ternyata yang pakai nama tersebut. Ratusan. Dari puluhan laman google, cuma satu link yang memberi hint ttg tulisan romaji dari サウスハイム. Di link tertulis, south-haim.

Hm,,, “South”. That makes sense… Saya juga sudah menduga kalau ハイム itu rumah.

Cek dan ricek, itu ternyata bahasa Jerman. Heim, yang memang artinya rumah. Dan sangat sering dipakai untuk nama apartment di Jepang. Entah kenapa…

Jadi サウスハイム itu kalau ditulis di tulisan latin jadi “South Heim”, rumah selatan.

Ada satu kata lagi yang umum dipakai di nama rumah, ハイツ Haitsu. Kalau yang ini dari bahasa Inggris, Heights. -.-!

Jadi ceritanya, kalau Heights si rumah bakal lebih tinggi, katanya. Lantainya agak banyak. Namun, pada prakteknya kagak juga. Apato teman saya bernama OOハイツ tapi dua lantai juga. Jadi keknya gak bisa ambil patokan tipe kamar dari nama bangunan deh.

Yang juga umum adalah メゾン, kali ini diambil dari bahasa Perancis “maison“.

Apato

Ngomong-ngomong, bangunan tempat tinggal di Jepang itu umumnya ada dua tipe: Apato dan Mansion. Apa bedanya?

Kalau apato itu dari bahasa Inggris apartment. Kalau di bahasa aslinya sih artinya ya rumah susun lah ya… Bangunan yang kamar per kamarnya dijadikan tempat tinggal. Tinggi bangunan, bahan, dan kemewahan tidak termasuk dalam nuance kata apartment.

Kalau di Jepang apato itu hanya diperuntukkan untuk bangunan yang rendah. Low rise building… Maksimal dua lantai mungkin dan kemungkinan berbahan dasar kayu.

Mansion

Mansion juga berasal dari bahasa Inggris, yang artinya rumah besar atau mewah. Di Jepang, well, kamar sempit juga bisa disebut mansion. Pokoknya bangunannya asal tinggi aja… Biasanya si bangunan punya cor-coran, bukan berbatang kayu.

Apato biasanya lebih murah dan berkesan low profile dibanding mansion di Jepang.

Tahun lalu di Nagoya sih saya tinggal di mansion, tapi sekarang di Tokyo saya memilih low profile…  ^^v

*Bilang aja kamar di Tokyo mahal-mahal!

Telepon Umum

Saya kadang menemukan telepon umum di jalan, terawat dan masih berfungsi. Di depan kampus saya TUT ada. Di halaman gedung kantor sekarang juga ada dua.

Di dalam kayak gini bentuknya. Retro banget, tapi bersih dari debu. Dan yang penting fungsional, layarnya masih nyala-nyala. Mesin teleponnya menerima kartu telepon dan koin. Saya nggak pernah liat sih seumur-umur kartu telepon itu yang kayak mana. Udah punah kayaknya. Tapi ada lobang koin 10 dan 100 yen, boleh juga.

IMG_20170622_124614660

Saya coba iseng nyobain tadi. Masukin koin 10 yen, udah bisa manggil. Nomor yang tertampil di layar No Caller ID. Hmmm…. Sarana bagus buat ngerjain orang?

Berarti telepon umum itu nggak di-assign nomor telepon kah ya? Kirain ada lho nomor teleponnya. Di film-film kan sering tuh orang di telpon via telepon umum, disuruh pergi ke telepon umum mana gitu buat kontakan. Film mata-mata sih. Atau itu di barat doang yak?

Mencoba memanggil

Kalau menurut biro turisme nasional jepang, pakai telepon umum ini 10 yen bisa 57 detik. Lama juga ya… Murah kan berarti yak?

 

Kartu Poin

Awal-awal di Jepang, saya pergi ke mall ingin membeli terminal listrik. Karena saya masih cupu, saya ditemani oleh tutor saya. Kemana-mana sang tutor ini mengantarkan saya pakai mobilnya, sekaligus menjadi alih bahasa pribadi saya. Saat membayar, petugas kasir ngomong pakai bahasa Jepang cepat. Goco-goco-goco-goco…. Saya nggak ngerti….

Wichi-wizu-wataw-kaado arimasuka?

Si tutor kemudian mengambil alih. Ia pun memberikan semacam kartu miliknya dan menyerahkan ke kasir. Kasir memindai kartu tersebut dan memberikan kembali ke dia. Saya yang bingung, pulangnya berterima kasih ke dia. Entah kenapa saya merasa dia memberikan sesuatu dengan kartunya itu… Si tutor kemudian tertawa…

Haha… Kagak,,, Bukan-bukan, aing yang harusnya terima kasih…

Kira-kira begitu jawaban dia.

Fast-forward dua tahun kemudian, saya mengayomi gerombolan anak SMP yang studi tour ke Jepang. Mereka menginap di masjid, dan apato saya di depan masjid waktu itu. Jadi saya jadi terus ketemu dengan mereka. Saya juga dimintai tolong jadi pemberi fatwa halal saat mereka belanja di mini market. Karena mereka rame, 30-an orang kali, saya juga kewalahan. Untung mereka cukup pintar. Salah satu dari mereka bilang.

Udah bilang hai-hai aja… Kalau ditanyain credit card bilang aja nggak ada. Terus bayar cash

Saya jadi ingat kejadian waktu awal saya beli terminal dahulu. Masih nggak ngerti kaado (card/kartu) yang ditanyain mbak-mbak kasir itu apa sih.

Itulah kartu poin, bukan kartu kredit atau semacamnya. Kartu ini bisa dikatakan kartu memberi dari merchant atau toko tersebut. Kalau punya kartu, setiap pembelian kita bisa mendapat poin. Biasanya 100 yen dapat 1 poin, atau 1000 yen dapat 1 poin, bergantung pada kartunya. Mangkanya si tutor tadi ketawa lalu berterima kasih ke saya.

Jadi ini semacam insentif pelanggan untuk selalu belanja di toko tersebut. Poin menumpuk di kartu dan bisa dicek setiap saat di kasir. Biasanya 1 poin bernilai 1 yen (kalau ditukar balik). Cara menggunakannya adalah saat kita belanja, untuk mengurangi nilai belanjaan yang harus kita bayar.

Kartu poin yang paling sering saya pakai (dulu) adalah R Point Card dari Circle-K (dan Rakuten), soalnya si mini market ini ada di depan rumah (dan depan masjid).

Gaya pakai saya adalah sebagai berikut. Kalau belanjaan 1237, saya pakai poin 37 jadi biar nggak dapat kembalian receh koin satu atau sepuluh yen.

Hidup agak lama disini, kartu poin yang kita punya semakin menumpuk. Lihat saja kartu poin saya di gambar di atas.

Intinya: Ayo… Lampiaskan nafsu konsumerisasi Anda di kami! Nanti dapat hadiah lho, yang bisa dipake untuk belanja lagi… Di kami lagi!!!

Oh ya, nggak semua kartu poin gratis lho. Ada yang bayar pas pertama kali buat. Kartu poin buar JA harganya 300 yen… Saya nggak ngerti sih kenapa harus capek-capek bayar buat bikin kartu poin, kan intinya kartu ini buat menarik pelanggan buat belanja ke mereka kan? Kok ya disuruh bayar juga di awal (walaupun bayaran tadi juga ditransfer jadi poin sebagian)…

Sebenarnya, kalau nggak punya kartu poin di atas kita juga dapat poin lho. Namun karena tidak ada divais yang mengakumulasikannya, jadi poin nya ya terbuang percuma. Biasanya poin yang kita dapat ini tertulis di nota belanjaan seperti di bawah.

Saya sih tidak begitu memperhatikan, apakah ini semua berlaku untuk semua toko atau tidak. Mungkin cuma toko yang memiliki sistem poin saja. Dan toko yang bikin kartu poinnya nggak bayar.

Dugaan saya juga, nota belanjaan ini bisa dikumpulin dan dipakai seperti kartu poin di atas. Namun saya belum pernah mencobanya. Ada yang pernah?

Bukan cuma kartu point, kartu kredit juga ada point-nya. Kartu top-up untuk di kereta seperti Suica, Passmo, Manaca juga ada poinnya. Setiap penggunaan nanti dapat poin, dan nanti bisa ditukar lagi ke yen.

Saya pernah sampai dapat poin bernilai 2000 poin alias 2000 yen dari Manaca, dan saat poinnya di-“klaim” via mesin pengisi ulang di stasiun, si kartu langsung pindah ke mode poin. Selanjutnya biaya naik kereta otomatis diambil dari poin sampai si poin habis. Seru,,,…


Selain kartu yang menyimpan poin, terdapat juga kartu yang namanya stamp card. Bukan poin yang disimpan, tapi cap. Biasanya yang menyediakan kartu ini adalah restoran atau toko yang menjual makanan. Toko roti, es krim, mie ayam, gitu-gitu.

Namun, saya pernah juga dapat kartu semacam gitu dari toko baju.

Kalau kita makan disana pertama kali, kita dapat kartunya. Kesana kedua kali, kartunya dicap. Yang saya nggak ngerti jumlah cap per kunjungan, apakah itu per orang, per menu yang kita pesan, atau gimana. Setiap restoran, nggak, setiap mamang kasir, salah juga, setiap kejadian kayaknya punya perlakuan yang berbeda deh.

Sampai kalau kartunya penuh kita bisa dapat bonus tertentu. Misal satu roti Choco Ring gratis. Beberapa restoran juga memberi bonus kalaupun kartunya cuma penuh setengah. Dikasih bertahap, semacam milestone gitu.

Oh ya, sekarang zaman canggih. Kartu semacam di atas udah nggak mesti berbentuk fisik. Yamada Denki menyediakan point apps, aplikasi di hape yang memiliki barcode. Mamangnya tinggal memindai barcode di hape itu aja. Kita bisa juga main di apps dan dapat poin tambahan di luar belanja, misalnya baca iklan apa atau gimana gitu.

Sayangnya, apps ini lama-lama jadi nyepam email dan notifikasi di hape. Bikin jengkel…

Dan sayangnya lagi, belum ada apps yang menyatukan seluruh point-point semua toko di satu atap. Kalau ada seru kan tuh… Nggak harus bawa-bawa kartu poin banyak-banyak. Nggak harus instal apps poin banyak-banyak.

Lahan bisnis tuh kawan-kawan.

Btw, di Indonesia apa kabar ya? Ada kayak ginian nggak disana sekarang?

Susahnya Manajemen Awan

Melanjutkan seri susahnya manajemen berkas dan foto, sekarang saya berlanjut ke awan. Ada banyak layanan penyimpanan web di luar sana. Yang paling terkenal adalah Dropbox, Google Drive, dan One Drive. Tentu saja saya punya akun di ketiganya. Lebih tepatnya, punya beberapa akun di setiap layanan tersebut.

Sayangnya, akun yang saya punya akun gratisan, sehingga akunnya memiliki batas. Kalau tidak terbatas, mungkin tidak akan ada masalah manajemen awan untuk dibuat artikelnya. Karena terbatas itu jugalah saya punya beberapa akun di satu layanan… Mungkin.

Yang jadi poin utama dari manajemen awan ini adalah akun yang mana enaknya dipakai buat apa. Saya sih umumnya memakai layanan web storage ini untuk back-up file. Namun, karena akun terpisah-pisah, saya jadi bingung file apa ada dimana.

Saya harus mereview kembali akun-akun saya tersebut untuk menulis artikel ini. Mungkin di masa depan saya bakal membaca artikel ini supaya tahu file apa ada dimana.

onedrive

Pertama saya punya dua akun OneDrive. Satu pakai email gmail dan yang satu email live. Yang pertama besarnya 15GB dan yang kedua 5GB. Akun yang gmail lebih besar karena dapat loyalty bonus 10GB akibat daftar di awal-awal mereka keluar (masih SkyDrive waktu itu namanya).

Yang OneDrive Gmail (15GB, 50% penuh) isinya lebih ke File TA dan Tesis. Segala data lab dari GAIB dan AISL ada di akun ini. Yang OneDrive Live (5GB, 90% penuh) lebih ke foto-foto lama.

Kedua, saya punya dua akun Google Drive. Lebih tepatnya dua email gmail sih, email utama dan email alay. Google memberikan 15GB gratis ke setiap akun, seinget saya mereka nggak pernah kasih bonus apa-apa.

Akun gmail utama saya (17GB) dipenuhi email separuhnya. Saya nggak ngerti kenapa ada ekstra 2 GB disitu.  Isi Drive non-emailnya kacau, segala macam berkas ada. Dan manajemennya tentu saja memiliki kesulitan yang sama dengan folder biasa.

gmail_main

Gmail Utama

Akun gmail kedua saya (15GB), sangat kosong karena well jarang dipakai. Lumayan keknya buat diisi, tapi diisi apa ya.

Terakhir, saya punya dua akun Dropbox. Masing-masing memakai email gmail utama dan sekunder tadi. Yang utama punya besar 27.21 GB, banyak bertambah dari default 2GB yang diberikan dropbox berkat ikut Campus Cup. Intinya banyak-banyakan mahasiswa yang daftar ke dropbox pakai email kampus. Dahulu banget pernah ikut Campus Cup juga, 2011 kali tapi sudah hilang storage yang didapat. Expired! Super pening tuh saat migrasi datanya waktu itu. Yang Campus Cup 2015 ini nggak tahu kapan basinya.

Dropbox utama ini terpakai 5.5GB. Nggak mau dipakai banyak-banyak, takut penih buat migrasi data lagi kalau si ruangnya kadaluarsa. Isinya keknya file-file super lama, segala macam file tugas dan kuliah saat di ITB dan file proyekan.

Yang sekunder punya besar 2.5GB, yakni dari 2GB yang standar + referal ke diri sendiri ^^. Isinya kosong. Terlalu kecil buat diisi apa-apa.

dropbox.PNG

Dahulu saya juga punya akun Copy dari Barracuda. Mereka menjanjikan memori 20GB dulu. Menggiurkan banget kan? Saya pakai semua untuk backup sebagian repertoire foto saya. Sampai akhirnya tahun lalu (2016) pesan berikut muncul.

Copy is discontinued

Btw, logo si Copy ini keren banget yak

Dan pening kepala pun muncul lagi. Terpaksa harus diunduhi tuh foto dan disimpan ke lokal kembali. Dan sebagian ditrasfer ke OneDrive Gmail tadi. Hmf…

Ngomong-ngomong, itu pada layanan web storage secara dasar menyediakan space gratis kan yah tuh. Masa nggak ada ya layanan agregat yang bakal membuatkan akun ke belasan layanan web storage, otomatis. Jadi bisa dapat Giga yang buanyak kan tuh?? Terus kalau saya nyimpen file di agregat ini, mereka langsung otomatis mendistribusikan ke para web storage tadi. Super asyik kan tuh.

Ide bisnis tuh. Cuma nggak tahu etis/legal nggak ya…


Jadi apa yang saya butuhkan dari web storage?

Pertama, saya ingin mem-backup foto dan video, cadangan kalau-kalau disk bermasalah. Ada beratus giga foto di komputer dan mungkin bakal bertambah beratus giga lagi dalam waktu dekat kalau saya lagi iseng main GoPro.

Setiap proyek foto isinya bisa 1-2 GB. Dengan demikian, web storage gratisan yang cuma ada 5GB-an itu bukan solusi yang bagus. Masa cuma nyimpen satu folder di satu akun dropbox sekunder saya yang masih kosong itu.

Ada layanan backup foto gratis seperti Google Photos dan Flickr sih. Mantab lagi albumisasinya. Tapi mereka juga punya masalah yang mungkin akan saya bahas di artikel selanjutnya.

Kedua, saya ingin mem-backup berkas dokumen. Paket seperti source code dan database proyekan, filenya save game, tesis dan TA tadi, proyek blog, dll. Lebih mantab kalau semua di satu tempat supaya nggak bingung kalau mau nyari.

Oh ya, ada yang saya kesal dari web storage tadi yakni sotoi dengan file gambar. Gambar screenshot atau scan dokumen gitu dianggap foto, dikasih thumbnail, dan dikumpulkan jadi satu di kelompok foto sama mereka. Jadi tercampur dengan foto beneran. That’s very annoying. Seandainya ada yang manajemennya pintar tapi nggak sotoi, dan bisa agak liberal sedikit settingnya.

Ketiga, saya ingin menggunakannya sebagai jembatan dari antar satu devais ke devais lain. Yang ini saya justru jengkel kalau berkas cadangan by default ikut dibagika ke semua berkas. Masa bergiga-giga file yang ga dipake itu harus diunduh di hape/laptop lain juga. Buat kebutuhan ini mungkin sebaiknya sediakan satu akun web storage gratisan kali ya, kan ga perlu spasi besar-besar.

Keempat, kalau bisa folder di komputernya nggak perlu khusus i.e. folder “Dropbox” di bawah Documents. Jadi tinggal satu drive gitu, sehingga kalau mau nyimpen apa-apa yg pengen di back-up nggak perlu navigasi jauh-jauh ke Documents. Hehe…

Kelima, history dan conflict tetap terjaga. Jadi kalau file tertimpa (atau diupdate), yang lama bisa direstore lagi. Kalau konflik, bisa dipilih dua-duanya. Tapi kayaknya yang ini harus akun berbayar deh.


Jadi begitulah. Ada banyak akun web storage juga bukan bikin gampang, malah bikin susah manajemennya. Dan belum ada solusi yang bagus di lini ini, selain, well, beli ruang yang tera-tera.

Ada ide?

Susahnya Manajemen Foto

Foto di kamera digital atau foto dikumpulkan jadi satu di dalam folder Digital Camera Images (alias DCIM) dan diurutkan simply dengan nomor monoton ke atas. Tidak berapa lama setelah mengambil foto, kita harus memindahkan foto-foto tersebut ke komputer kemudian mengatur ulang kategorisasinya. Hal ini karena dua alasan. Pertama, karena keterbasan media simpan di kamera, kalau tidak terbatas mungkin nggak bakal ada yang mindahin foto ke disk. Kedua, untuk memudahkan akses ke foto tertentu di masa depan.

Saya -seperti biasa- bisa berkomplen ria, kenapa sih nggak bisa diatur otomatis sama si kamera! Namun, mari kita kesampingkan komplen tersebut di artikel ini. Lagipula, kalau ada pengaturan otomatis nanti muncul komplen yang lain lagi: sotoy kameranya!

Foto yang dikopi -kalau saya- dimasukkan ke folder yang dipisah menurut lokasi dan event. Di bawah folder Foto utama saya berisi folder-folder event general selevel linimasa bukan event spesifik. Beberapa contoh folder tersebut adalah “Jalan-jalan”, “Bandung”, “Itebe”, “Jepang”, dan “Tanjung Balai”.

Beberapa folder dipisah lagi sesuai tahun, seperti “Tanjung Balai 2011”, “Tanjung Balai 2012”, dan seterusnya. Folder tahunan ini terletak langsung di bawah folder Foto, karena saya lebih suka Flat Hierarchy dalam manajemen berkas.

Di bawah setiap folder event general tersebut barulah event spesifik. Misalnya foto saat saya jalan-jalan ke Tangkuban Perahu ada di dalam folder Jalan-jalan. Di akhir nama folder, biasanya saya bubuhi tanggal kejadian event.

Namun, sistem ini ada kelemahannya. Misalnya tadi, ada folder Jepang. Karena ini bagian dari salah satu life event saya, sekarang.  Dan juga event ini terbentang dalam masa yang cukup lama, bertahun-tahun, dan sepertinya sampai waktu yang belum di tentukan…

Ya gampang. Lakukan kayak si folder Tanjung Balai tadi aja, kasih label per tahun. Jepang 2014, Jepang 2015, gitu kenapa? Well, kembali ke tujuan kategorisasi foto tadi: supaya foto mudah diakses kembali. Sayangnya (atau syukurnya?), ada banyak sekali kejadian di dalam life event ini. Masa kita harus mengingat tahun kejadian event dulu baru bisa akses fotonya. Mengingat waktu kan lebih sulit dari mengingat kejadian.

Akhirnya, folder Jepang tadi saya pilah lagi dengan event general yang lebih spesifik. Sub-general. Misalnya PPI Toyohashi. Karena event PPI Toyohashi berulang setiap tahun, cukup logis untuk memberikan label tahun ke setiap foldernya.

Namun tetap aja ada yang tidak bisa dibuat event sub-general. Akibatnya, masih tetap ada file-file yang bercogok di folder “Japan” juga. Tetap tidak hilang folder Japan-nya. Hmf.

Folder lain, misalnya jalan-jalan di jepang. Terpisah dari folder Jalan-jalan sebelumnya (yang sebelumnya dibuat non-Jepang), soalnya lebih sering trip di Jepang akhir-akhir ini.

Saya paling bangga dengan folder di dalam Japan Trip ini, soalnya di dalamnya tertata rapi dengan logis. Penamaan ketat, Tahun – Musim – Tempat. Isi foldernya banyak dan strukturnya flat.

Kelemahannya, event jalan-jalan yang trivial nggak bisa masuk disini. Misal jalan-jalan ke restoran es krim atau ke taman naik sepeda atau keliling lari. Nggak keren kalau masuk folder elit di atas… Haduh-haduh…

Saya juga punya rencana buat memisahkan foto Jepang ini dari foto yang lain. Membuat hirarki folder yang lebih tinggi lagi, setara dengan folder “Foto” di atas. Soalnya sebagian besar foto ada di dia, agak lucu juga kalau semua folder ada prefix Japan-nya.

Namun, rencana tersebut terlalu radikal. Masa ada dua folder “Foto”. Lalu gimana kalau fotonya diambil di Jepang tetapi tidak bisa masuk ke super folder “Foto Jepang” tadi? Masalah pelik…

Repotnya juga, tidak semua foto punya event! Bisa jadi ada sedikit foto yang diambil random pas lagi pergi yang bukan jalan-jalan. Fotonya nggak banyak lho, kadang satu dua malah, jadi kalau mau dibuat folder event sendiri ya lucu. Nggak ada event-nya juga!!

Untuk foto seperti ini saya punya folder yang bagus. Unsorted. Semua misc foto masuk disini… Di dalamnya di kategori bebas, misalnya folder “Kereta” atau “Kucing” atau “Masak”.

Lucunya, di dalam folder Unsorted ini masih ada folder bernama Misc lagi. Foto yang sama sekali nggak bisa dikumpulin ke folder yang lain manapun lagi. Jadi semacam pencilan dari pencilan gitu… ^^

Dan jangan kaget kalau folder Misc ini ada dimana-mana. Di folder Bandung misalnya, ada Misc juga. Di folder Jepang juga ada. Saya juga bingung sendiri, enaknya gimana… Ada ide?

Kalau kalian gimana paradigma manajemen fotonya?

Susahnya Manajemen Berkas

Kemaren saya cerita ttg komputer saya yang sedang dalam kondisi tak terawat. Berkas berantakan dimana-mana, setidaknya dalam standar kategorisasi berkas yg saya punya. Sekarang saya akan mendetilkan dimana sih titik susahnya, mungkin dari satu (saya sendiri) bisa memahami, apa yang saya mau dari manajemen berkas komputer ini.

Gambar di atas adalah tangkapan layar dari folder “Blog” di komputer saya. Folder ini, idealnya, menyimpan segala berkas yang berkaitan dengan artikel di blog saya. Saat ini folder “Blog” berantakan dan membuat saya pusing file apa yang mana buat apa.

Yang menjadi bingung pertimbangannya adalah bagaimana cara mengelompokkan berkas-berkas tersebut. Seperti tampak di atas, paradigma sekarang adalah pengelompokan dengan judul artikel. Namun, dapat dilihat bahwa paradigma ini tidak terlalu bagus karena artikel itu bisa menjadi sangat banyak. Contohnya saya blog ini sekarang punya 470 artikel terpublikasi dan 25 artikel draft.

Saya tidak suka satu folder berisi terlalu banyak file/subfolder. Kenapa? Susah nanti nyari folder apa tentang apa.

Di tangkapan layar juga tampak ada folder _published untuk menyimpan berkas-berkas blog yang artikelnya sudah dipublikasi. Dimasukkan ke folder sendiri tujuannya supaya tidak mengganggu folder artikel yg masih draft. Biar yang draft bisa dikembangkan menjadi artikel beneran.

Beberapa file/folder harusnya masuk ke folder _published karena well, mereka udah dipublikasi. Adanya berkas berkaitan dg artikel terpublikasi yang tidak di folder _published, menunjukkan mood saya yg sedang malas beres-beres berkas.

Namun, ini menimbulkan masalah yakni ketidakseimbangan pohon folder. Maksudnya, si folder _published ini kan selevel sama folder artikel, terus di dalam folder _published ada lagi folder artikel lain. Nah kan nggak seimbang tuh! That irritates me…

Masalahnya kalau bikin folder _draft untuk menyeimbangkan pohon, jadinya folder blog ini cuma punya dua upafolder. Dan kedalaman level pohon juga bertambah untuk mengakses folder artikel draft. Saya lebih cenderung ke flat organisation, nggak suka dalam-dalam foldernya. That’s another problem…

By the way, nama foldernya dikasih underscore (_published) supaya dia terlihat berbeda dari folder-folder lain. Kan jelas beda tuh type foldernya, jadi kalau namanya “Published”, folder ini bakal ada di tengah-tengah dan bakal diluted di antara folder-folder draft.

Oh ya, nama si folder draft juga bukan judul artikel, lebih ke general idea artikel itu nanti ttg apa. Jadi disini agak rancu juga (soalnya judul artikel belum tahu, kan masih draft). Lagipula, kalau judul artikel nanti panjang dong.

Terakhir, dapat dilihat dengan jelas bahwa banyak stray file disana. File yang nggak masuk ke folder manapun. Saya sangat jengkel dengan hal tersebut. Contoh lain adalah skrinsyut Drive E di bawah berikut (yg saya pos di artikel sebelumnya).

Masa di Root Drive ada file!!!

Namun, kadang susah lho menentukan file ini masuk kemana. Kadang dibutuhkan dibeberapa folder. Kadang nggak ada folder yang butuh. Mau buat folder baru? Kok sayang, nanti tambah banyak foldernya dan kalau isi folder barunya cuma seumprit kok makin males.

Jadi dari analisis di atas bisa diketahui minimal tujuh kriteria manejemen berkas:

  1. Logical structure: berkas dikelompokkan berdasarkan paradigma tertentu, misal judul artikel, tema, event kejadian dll
  2. Minimum and aximum number: jangan kedikitan dan kebanyakan file/subfolder di dalam folder
  3. Balanced tree: setiap subfolder di folder peran atau cakupannya sama
  4. Flat structure: jangan dalam-dalam pohonnya
  5. Special naming: kalau ada folder spesial, harus mudah diketahui bahwa itu spesial
  6. Logical and brief naming: nama berkas harus sesuai paradigma tetapi singkat padat dan jelas
  7. No stray file: semua masuk ke dalam subfolder

Hm. Saya juga baru tahu kalau kriterianya sebanyak itu. Susah juga nih, makin malas mau bersih-besih. Haha…

Kriteria majemen berkasmu gimana?

Komputerku Kotor

Komputer bagai urat nadi bagi manusia modern, terutama yang jurusannya dan pekerjaannya di bidang ilmu komputer bagi saya. Laptop saya ini adalah benda paling penting dari semua benda yang saya punya, setara dengan ponsel mungkin. Dia adalah jendela kerja. Desktop, drive, dan direktori di dalamnya saya perlakukan seperti rumah. Harus dirawat, dirapikan, dan ditata ulang secara rutin.

Hal ini dapat dilihat dari drive komputer saya yang masing-masing foldernya punya icon sendiri-sendiri. Di bawah ini adalah skrinsyut Drive D laptop saya. Setiap file di dalamnya pun harus dikategorisasikan dengan baik, demi kemudahan saya sendiri.

DriveD

Saya juga sangat suka bersih-bersih, termasuk bersih-bersih berkas. Namun, manajemen berkas atau file ini memakan waktu. Mungkin seharian atau bisa sampai dua hari lah.

Setelah memasuki dunia kerja, saya sudah mulai jarang memakai komputer sendiri untuk “bekerja”. Untuk melakukan sesuatu… Ya mungkin cuma internet, nonton anime/youtube, dan ngeblog. Akibatnya, laptop saat ini jadi agak terlantarkan deh. File-file juga berantakan.

Misalnya aja drive E berikut ini, sudah agak tidak rapi. Kenapa? Itu ada teks yang nggak masuk folder. Ada duplikat folder photo. Ada dua folder work yang nggak jelas isinya apa… Ini aja udah agak rapi karena file-file nggak jelas di masukin ke folder work semua.

DriveE

Dan belum lagi berkas yang ada di drive-drive lain. Yang ada di level bawah gitu. Folder Downloads dan Documents. Dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini saya meng-upgrade disk saya dari HDD ke SSD. Dan guess what? Ada dua drive bekas backup yang belum saya atur-atur. Ada satu folder foto 63GB hasil recovery disk yang error pas migrasi disk, dan ada satu lagi satu folder foto 40GB hasil jalan-jalan ke Indonesia kemarin. Total 100GB foto yang harus di-manage gan dan dipilah satu-satu gan!

RecoveryF

63 Gigas of Madness

Belum lagi harus mikir supaya drive nya nggak merah-merah kalau diliat di My Computer. Kenapa? Ya biar biru lah! Biru kan cakep!!

Kapan ya ada waktu buat bersih-bersih. Bukannya sibuk sih… Setelah masuk dunia kerja ini justru kalau di rumah rasanya lega… Nggak ada PR. Nggak ada zemi. Nggak ada TA/Tesis. Hore…!

Cuma entah kenapa setelah 8+ jam kok pengennya nyantai-nyantai doang, nonton tivi streaming sambil makan.

Hmf… I am stuck. Nggak ada software buat ngerapiin berkas otomatis gitu ya…

Scam Menang Undian

Pas jaman SMP, saya dan keluarga menerima sebuah scam yang cukup besar dan pintar. Kami tidak menyadarinya waktu itu. Namun, setelah dipikir-pikir besar kemungkinan kalau itu penipuan atau setidaknya trik marketing amoral.

Saya tidak begitu ingat detail kejadian. Kira-kira seperti berikut lah ceritanya.


Suatu pagi, seorang ada yang mengetuk pintu rumah. Saya pun mem-pause game Empire Earth dan keluar menyambut sang pengetuk pintu.

“Ibunya ada dek?”

“Mama lagi tidur kayaknya om. Kenapa?”

“Oh… Ini mau nitip surat. Kasihin ke Ibunya ya…”

“Surat apa ini om?”‘

“Undangan buat ambil undian. Ajak ibunya ke toko ya dik… Siapa tahu dapat hadiah lho.”

“… Nanti ya om. Bilang papa dulu. …”

Surat pun saya berikan ke ibu saya dan kemudian dibaca oleh ayah malam harinya. Keesokan hari, karena tidak ada kerjaan, sambil jalan-jalan kami pun mengecek si toko. Pengen tahu, undian kayak apa sih…

“Ting teng ting teng,,,, Selamat Adik dapat hadiah peringkat tiga. Microwave terbaru merek XYZ! Hanya seperempat harga! Wow!! Gimana nih bapak ibu? Ajaib banget tangan anaknya nih…”

“Microwave ini canggih bapak-ibu. Coba lihat, disini ada 11 mode masak. Tinggal mencet aja. Tunggu lima menit. Jadi makanan deh. Gampang bu?”

Kami yang belum pernah punya dan belum pernah melihat microwave terpesona dengan benda tersebut. Bayangan pun sudah mulai kemana-mana.

“Sebentar lagi kan puasa tuh bu, buat buka dan sahur lebih gampang kalau ada Microwave. Bisa ngangetin makanan cepet. Terus untuk lebaran juga pasti buat kue banyak kan? Lebih seru dan efisien pake ini!”

“Bisa untuk buat kue juga?”

“Ya bisa lah ibu. Ini kan Microwave canggih… Kalau beli baru mahal ibu, belasan juta. Ini karena menang undian cuma seperempatnya aja.”

“Kalau mikir-mikir dulu bisa nggak?”

“Waduh… Undiannya cuma bisa dipakai sekarang. Kalau nggak diambil hangus…”

Kami pun mikir-mikir. Ini kesempatan yang langka. Kalau diambil, puasa nanti bakal ada yang beda nih…

“Eh Ibu. Kami barusan dapat telepon dari pusat… Juara yang ini bisa dapat Vacuum Cleaner yang itu juga. Itu Vacuum yang besar itu. Karena ruang hampanya besar, sedotannya kuat. Kapasitasnya BLA BLA BLA BLA… Pokoknya canggih, Cukup tambah sejuta aja Bu…”

“Wah, bagus juga ya… Kalau bersih-bersih nggak capek lagi.”

“Betul Dik. Nyapu kan capek tuh… Apalagi kalau bersihin karpet, langit-langit. Pakai Vacuum asoy deh…”

Kami yang tak pernah punya dan melihat Vacuum Cleaner pun terpana dengan benda tersebut, besarnya seperti gentong, setingi lutut. Belalainya panjang melilit-lilit si badan besar. Dia tampak gagah dan sangar, siap menerjang segala debu-debu kotor di rumah.

Bapak Ibu saya menanyakan ke saya. Enaknya gimana? Waktu itu saya masih SMP sih, tapi mungkin saya-lah yang paling mengerti ttg teknologi di keluarga saya. Mungkin juga hal tersebut sebagai sarana untuk menyenangkan anak atau gimana.

“Gini aja deh bu. Kalau diambil nih, kami kasih tambahan satu lagi. Hadiah dari toko nih. Satu set blender. Gratis, nggak pake tambahan? Gimana? Jarang banget kan, aji mumpung kayak gini…

“Tuh adiknya juga kayaknya udah pengen nyicipi kue yang dimasak pakai Microwave canggihnya…”

Singkat cerita, kami pun jatuh ke bujuk rayuan mamas tersebut. Karena kami tidak bisa membawa, barang-barang di antar oleh toko dengan pick up sore harinya. Petugas toko pun memberi satu jam tutorial cara memakai benda-benda tersebut. Begitulah, kami pun memiliki tiga perabotan baru: Microwave, Vacuum Cleaner, dan blender.

Satu minggu. Dua minggu. Puasa pun tiba. Ibu saya mencoba-coba Microwave, tapi entah kenapa selalu gagal.

“Beeeddd…. Coba baca buku manualnya gih.”

Saya pun membaca bukunya pun nggak ngerti. Tombolnya terlalu banyak. Mode apa aja buat apa nggak ngerti. Ngatur panas buat masak kue gimana kagak paham. Akhirnya Microwave cuma teronggok di atas kulkas. Kadang untuk masak air. Kadang buat nyimpan makanan, kayak lemari.

Vacuum cleaner? Kegedan, males ngeluarin dari kardus. Nyedot listrik banyak. Suaranya keras. Kadang kaga mempan. Lebih cepat pakai sapu.

Dua bulan kemudian. Tetanggaku Ade (bukan nama sebenarnya) bercerita.

“Bed-bed, tahu nggak? Kami dapat hadiah undian kemaren.”

“Wuih? Dapat juga… Apaan?”

“Tivi boy! Gede tivinya, 27 inci!!”

Saya pun menyesal. Coba dapat “hadiah”-nya tivi.


Beberapa tahun kemudian, saya memikir ulang kejadian tersebut. Sepertinya -well, dengan probabilitas yang tinggi- toko tersebut melakukan penipuan. Mencoba menjual barang dengan mentrik pelanggan kalau mereka dapat “harga spesial” atau “hadiah yang sulit didapat”. Padahal mungkin barangnya tidak terlalu spesial, tidak canggih, dan tidak ada undian apapun.

Ada yang bisa mengkonfirmasi?

Ada yang pernah mengalami kejadian serupa?

Unboxing Kompor Paloma IC-N36HS-R

Awal bulan April, saya membeli kompor untuk apato baru saya di Tokyo. Iseng kami rekam saat meng-unboxing. Jarang kayaknya ada yg buat video unboxing kompor.

Review singkat, kompor ini bisa keluar api… (ya iya lah ya) Punya dua mata dan satu ruang untuk bakar-bakar. Kompor menggunakan gas LP. Di video, kami mengetes si kompor dengan masak mie instant dan rasanya enak!

Cerita Pak Ujihira: Agama Orang Jepang

Saya dulu punya dosen bahasa Jepang yang nyentrik. Pak Ujihira namanya. Beliau bisa bahasa Indonesia dan tabiatnya juga mirip orang Indonesia. Pernah di Indonesia juga. Beliau banyak cerita ttg Jepang (dan kadang ttg Indonesia), salah satunya adalah tentang agama orang Jepang.

Orang Jepang, ngakunya, beragama Shinto. Shinto ini bisa digolongkan ke kelompok animisme, walaupun ada studi modern yang bilang bukan. Btw, di buku SD animisme ini dikatakan agamanya orang primitif. Nyatanya Jepang super modern gitu masyarakatnya yak…

Intinya, mereka memuja leluhur. Jadi nih, ada orang hebat di masa lalu, entah mereka raja atau panglima atau ilmuwan. Misalnya ada cerdik cendikia penemu peti penyimpan es, jadi deh dia dianggap dewa es.

Mungkin kata dewa disini setara dengan kata imba kali. Wah… Dewa… Quiznya dapat 100 mulu. Lokak IP 4 nih…

Makanya di Jepang ini dikit-dikit dewa. Di satu komplek kuil, altarnya bisa belasan. Masing-masing punya nama dan kekuatan spesifik. Cem pokemon gitu. Semuanya ada delapan juta kata si Bapak. Sebutan semua dewanya itu  yaoyorozu no kami (八百万の神), delapan juta dewa. Istilah ini adalah romantisasi dari istilah teknis “banyak lah pokoknya…” . Juga berarti ada dimana-mana.

Menurut Pak Ujihira, orang Jepang itu menjunjung harmoni. Mereka plural, pluralisme at its best. Lihat saja jalur kehidupan orang Jepang. Mereka dilahirkan sebagai Shinto, melaksanakan ritual Shichi-Go-San. Setiap tahun baru pun melakukan Hatsumode, kunjungan ke kuil. Namun, saat menikah mereka memakai tradisi Kristen, pria memakai jas dan wanita memakai gaun di gereja. Eh, saat meninggal, mereka mati sebagai budha dan biksu membacakan kyō (sutra) kepadanya.

Jepang_nikah_kristen

Submber: dw.com

Pak Ujihira melanjutkan, ketika dia di Indonesia dia jadi muslim. Namanya Ahmad.

Si Bapak bilang orang Jepang itu munafik. Bukan suma si Bapak, banyak orang Jepang yang saya temu menertawai diri sendiri, sebenarnya agama mereka itu apa sih… Nggak jelas. Atheis bukan, theis juga bukan.

Jepang bilangnya mereka sekuler. Karena itu, Parlemen Jepang melarang mengajarkan atau penerapan praktik agama tertentu di sekolah. Itulah yang menyebabkan dilemanya ada ruang shalat di kampus. Namun, banyak bagian dari tradisi dan kepercayaan yang tetap diajarkan di SD-SD. Seperti ttg obon, ritual melempar setan, dll. Mereka beralasan bahwa hal tersebut tidak apa diajarkan adalah budaya, bukan agama.

Jadi entah, Shinto itu apa…

Dengan prinsip harmoni / plural mencampuradukkan semua agama seperti ini, si Bapak menjelaskan bahwa orang Jepang tidak mengerti kenapa ada konflik agama. Kok bisa ada orang di luar sana itu bisa berantem gara-gara itu.

Namun yang saya penasaran, state orang Jepang yang apatis dg agama ini terjadi di zaman modern atau sejak kapan ya. Si Bapak nggak cerita tuh…

Zaman dulu, duluuu bangeet, kan masyarakat Jepang sangat menentang dengan kedatangan Budha dan kemudian Kristen. Awal-awal, biksu Budha dan monk-nya Shinto itu saingan kekuatan. Sekitar abad 15-16, Shogunate Tokugawa melarang agama Kristen di seluruh Jepang. Sampai ada yang pembantaian ratusan orang Kristen. Baru sampai Restorasi Meiji agama selain Shinto bisa berkembang di Jepang.

Yasukuni Shrine.JPG

Yasukuni Shrine, April 2015

Habis perang dunia dunia, para jenderal Jepang disemayamkan di kuil Yasukuni. Dengan kata lain, dianggap sebagai dewa… Atau minimal dihormati sebagai pahlawan. Hal ini menyebabkan China dan Korea sangat sensitif ketika ada pejabat Jepang melawat ke kuil satu ini.

Berarti mereka masih ada ghirah beragama kan tuh ya? Setidaknya sampai PD II. Setidaknya sebagian dari mereka, dan pemerintahnya, masih menganggap penting si agama. Hm…

Peluang dakwah kah? Mengisi kekosongan relung hati mereka? Sambil ngobrol gitu… Gimana caranya ya? Jehova Witness  aja disini guguh berjuang. Sampai hampir di depan setiap eki mereka ada.

Tapi kayaknya susah deh… Konsep “tuhan” mereka udah beda jauh… Kalau kita kan ya Pencipta… Kalau mereka, entahlah,,,,, orang jago?