Awal-awal di Jepang, saya pergi ke mall ingin membeli terminal listrik. Karena saya masih cupu, saya ditemani oleh tutor saya. Kemana-mana sang tutor ini mengantarkan saya pakai mobilnya, sekaligus menjadi alih bahasa pribadi saya. Saat membayar, petugas kasir ngomong pakai bahasa Jepang cepat. Goco-goco-goco-goco…. Saya nggak ngerti….
Wichi-wizu-wataw-kaado arimasuka?
Si tutor kemudian mengambil alih. Ia pun memberikan semacam kartu miliknya dan menyerahkan ke kasir. Kasir memindai kartu tersebut dan memberikan kembali ke dia. Saya yang bingung, pulangnya berterima kasih ke dia. Entah kenapa saya merasa dia memberikan sesuatu dengan kartunya itu… Si tutor kemudian tertawa…
Haha… Kagak,,, Bukan-bukan, aing yang harusnya terima kasih…
Kira-kira begitu jawaban dia.
Fast-forward dua tahun kemudian, saya mengayomi gerombolan anak SMP yang studi tour ke Jepang. Mereka menginap di masjid, dan apato saya di depan masjid waktu itu. Jadi saya jadi terus ketemu dengan mereka. Saya juga dimintai tolong jadi pemberi fatwa halal saat mereka belanja di mini market. Karena mereka rame, 30-an orang kali, saya juga kewalahan. Untung mereka cukup pintar. Salah satu dari mereka bilang.
Udah bilang hai-hai aja… Kalau ditanyain credit card bilang aja nggak ada. Terus bayar cash…
Saya jadi ingat kejadian waktu awal saya beli terminal dahulu. Masih nggak ngerti kaado (card/kartu) yang ditanyain mbak-mbak kasir itu apa sih.
Itulah kartu poin, bukan kartu kredit atau semacamnya. Kartu ini bisa dikatakan kartu memberi dari merchant atau toko tersebut. Kalau punya kartu, setiap pembelian kita bisa mendapat poin. Biasanya 100 yen dapat 1 poin, atau 1000 yen dapat 1 poin, bergantung pada kartunya. Mangkanya si tutor tadi ketawa lalu berterima kasih ke saya.
Jadi ini semacam insentif pelanggan untuk selalu belanja di toko tersebut. Poin menumpuk di kartu dan bisa dicek setiap saat di kasir. Biasanya 1 poin bernilai 1 yen (kalau ditukar balik). Cara menggunakannya adalah saat kita belanja, untuk mengurangi nilai belanjaan yang harus kita bayar.
Kartu poin yang paling sering saya pakai (dulu) adalah R Point Card dari Circle-K (dan Rakuten), soalnya si mini market ini ada di depan rumah (dan depan masjid).
Gaya pakai saya adalah sebagai berikut. Kalau belanjaan 1237, saya pakai poin 37 jadi biar nggak dapat kembalian receh koin satu atau sepuluh yen.
Hidup agak lama disini, kartu poin yang kita punya semakin menumpuk. Lihat saja kartu poin saya di gambar di atas.
Intinya: Ayo… Lampiaskan nafsu konsumerisasi Anda di kami! Nanti dapat hadiah lho, yang bisa dipake untuk belanja lagi… Di kami lagi!!!
Oh ya, nggak semua kartu poin gratis lho. Ada yang bayar pas pertama kali buat. Kartu poin buar JA harganya 300 yen… Saya nggak ngerti sih kenapa harus capek-capek bayar buat bikin kartu poin, kan intinya kartu ini buat menarik pelanggan buat belanja ke mereka kan? Kok ya disuruh bayar juga di awal (walaupun bayaran tadi juga ditransfer jadi poin sebagian)…
Sebenarnya, kalau nggak punya kartu poin di atas kita juga dapat poin lho. Namun karena tidak ada divais yang mengakumulasikannya, jadi poin nya ya terbuang percuma. Biasanya poin yang kita dapat ini tertulis di nota belanjaan seperti di bawah.
Saya sih tidak begitu memperhatikan, apakah ini semua berlaku untuk semua toko atau tidak. Mungkin cuma toko yang memiliki sistem poin saja. Dan toko yang bikin kartu poinnya nggak bayar.
Dugaan saya juga, nota belanjaan ini bisa dikumpulin dan dipakai seperti kartu poin di atas. Namun saya belum pernah mencobanya. Ada yang pernah?
Bukan cuma kartu point, kartu kredit juga ada point-nya. Kartu top-up untuk di kereta seperti Suica, Passmo, Manaca juga ada poinnya. Setiap penggunaan nanti dapat poin, dan nanti bisa ditukar lagi ke yen.
Saya pernah sampai dapat poin bernilai 2000 poin alias 2000 yen dari Manaca, dan saat poinnya di-“klaim” via mesin pengisi ulang di stasiun, si kartu langsung pindah ke mode poin. Selanjutnya biaya naik kereta otomatis diambil dari poin sampai si poin habis. Seru,,,…
Selain kartu yang menyimpan poin, terdapat juga kartu yang namanya stamp card. Bukan poin yang disimpan, tapi cap. Biasanya yang menyediakan kartu ini adalah restoran atau toko yang menjual makanan. Toko roti, es krim, mie ayam, gitu-gitu.
Namun, saya pernah juga dapat kartu semacam gitu dari toko baju.
Kalau kita makan disana pertama kali, kita dapat kartunya. Kesana kedua kali, kartunya dicap. Yang saya nggak ngerti jumlah cap per kunjungan, apakah itu per orang, per menu yang kita pesan, atau gimana. Setiap restoran, nggak, setiap mamang kasir, salah juga, setiap kejadian kayaknya punya perlakuan yang berbeda deh.
Sampai kalau kartunya penuh kita bisa dapat bonus tertentu. Misal satu roti Choco Ring gratis. Beberapa restoran juga memberi bonus kalaupun kartunya cuma penuh setengah. Dikasih bertahap, semacam milestone gitu.
Oh ya, sekarang zaman canggih. Kartu semacam di atas udah nggak mesti berbentuk fisik. Yamada Denki menyediakan point apps, aplikasi di hape yang memiliki barcode. Mamangnya tinggal memindai barcode di hape itu aja. Kita bisa juga main di apps dan dapat poin tambahan di luar belanja, misalnya baca iklan apa atau gimana gitu.
Sayangnya, apps ini lama-lama jadi nyepam email dan notifikasi di hape. Bikin jengkel…
Dan sayangnya lagi, belum ada apps yang menyatukan seluruh point-point semua toko di satu atap. Kalau ada seru kan tuh… Nggak harus bawa-bawa kartu poin banyak-banyak. Nggak harus instal apps poin banyak-banyak.
Lahan bisnis tuh kawan-kawan.
Btw, di Indonesia apa kabar ya? Ada kayak ginian nggak disana sekarang?
Ping-balik: Jadi, Poin Itu Mata Uang Juga. Mata Poin! | Blog Kemaren Siang
Sekalian numpang promosi, kalo di indo saya mengembangkan https://www.ovo.id/ yang misi awalnya manggabungkan semua merchant dibawah Lippo Group untuk Cross-coalition loyalty programmenya