All posts tagged: Jalan-jalan

Jalan-jalan ke Bekasi Timur ~ Perjalanan Pulang

Seperti layaknya makanan, bukanlah hidangan pembuka yang paling mengesankan. Akan tetapi, hidangan penutup lah yang paling ditunggu-tunggu. Siapa yang tidak menunggu-nunggu waktu pulang coba di dunia ini? Waktu pulang sekolah, pulang kerja, pulang kampung. Kami pun begitu, setelah hampir satu jam di lokasi resepsi kami pun pulang. Ya mau bagaimana lagi, resepsinya juga sudah selesai pukul 14.00 tersebut. Dari gedung OSO Sport kami pun berjalan kaki ke jalan utama tadi (jalan yang bersisian dengan sungai tadi). Cukup jauh. Ya, kayak berjalan mengelilingi kampus UI Depok lah, suasana dan jaraknya. Maklum tidak ada angkutan umum di daerah perumahan Grand Wisata ini. Ojek juga libur. Hal ini membuat kami berfikir: Apakah orang-orang yang merancang perumahan all in one itu tidak memikirkan sarana transportasi di kompleks perumahannya? Apakah mereka memiliki ekspektasi bahwa semua penghuni kompleks punya kendaraan masing-masing? Jangan-jangan bukan anak ITB nih arsiteknya… Kemudian, keadan perumahan yang sepi ini membuat kami bertanya-tanya. Penduduknya saling bersosialisasi nggak ya? Kan rumahnya jarang-jarang… Kayaknya lebih baik buat rumah di desa yang bisa berbaur dengan tetangga dibanding di perumahan mewah begini. …

Jalan-jalan ke Bekasi Timur ~ Perjalanan Berangkat

Hari Sabtu 9 Juni kemarin, saya dan teman-teman berangkat dari Bandung ke Bekasi Timur untuk menghadiri resepsi pernikahan murabbi kami Aditya Satrya. Tidak seperti undangan jauh lain, kami memilih untuk berangkat memakai kendaraan umum. Kenapa? Ya karena tidak bisa nyetir. Akan tetapi, untungnya walaupun capek, saya akhirnya sadar betapa asyiknya terjaga dalam perjalanan jauh seperti ini. Banyak hal dan kejadian yang bisa diamati dan dialami. Maklum, biasanya saya hanya tidur atau terkapar hampir seluruh waktu perjalanan. Kami menunggu bus pengantar kami di persimpangan depan pintu gerbang tol Pasir Koja. Seperti yang kita ketahui bersama, sekarang bus tidak boleh mengetem (menunggu penumpang) di ruas depan muara gerbang tol. Tentu saja supa tidak memacetkan muara tol dan tidak membuat penumpang menunggu lama. Akan tetapi, menaikkan penumpang dari persimpangan terutama saat berhenti lampu merah masih diperbolehkan. Kami memilih naik bus dari persimpangan Pasir Koja ini supaya tidak menunggu bus mengetem lama dibandingkan naik bus dari terminal Leuwi Panjang Bandung. Karena masih ada satu teman dari Cimahi yang belum datang, kami pun menunggu di trotoar persimpangan. Walaupun semua memakai …

Lebaran At Metro, With Love

Bukan bermaksud durhaka kepada orang tua, atau diusir oleh orang tua. Lebaran kali ini, sama seperti kemarin, saya tidak pulang ke rumah – Tanjung Balai, Sumatra Utara. Sebaliknya saya memilih untuk mengunjungi mantan kampung, Kota Metro tercinta. Apa boleh buat. Saya tak menginginkan lebaran makan kurma, madu, dan arum manis lagi seperti tahun kemarin. Mengunjungi sobat-sobat lama, dan guru-guru yang telah berjasa sepertinya jauh lebih agung dan menantang dibanding mengunjungi mall-mall yang tutup dikala lebaran.

Dua Hari Di Jakarta – Prologue

Rangkaian tulisan ini bercerita tentang cinta dan keadilan. Kisah kehidupan dengan segala intrik kemunafikannya. Ini adalah cerita tentang mimpi, perjuangan, dan pengorbanan. Sebuah petualangan mencari  persaudaraan yang hilang, mengejar kedamaian, kesucian, dan lagi-lagi cinta. Petualangan yang mengungkap kebobrokan sosial dan sisi gelap kemanusiaan serta membuka tabir hitam yang ada di benak setiap manusia.

Killing the Holy Day

Seperti yang saya janjikan, walaupun agak lama juga terlambatnya akan saya ceritakan rangkuman perjalanan tidak jelas keliling bandung ku di waktu di hari nan fitri (baca: holy day) yang lalu. Seperti yang telah kuceritakan, perjalanan ini dilakukan sekedar ngabuburit alias menghabiskan waktu liburan menghilangkan kebosanan dan beratnya liburan lebaran. Btw itu, Emang Idul Fitri ada Bahasa Chinanya ya? (Gambar ditemukan di dekat Jalan AA)

Kurma, Madu, dan Arum Manis

Sepuluh September pagi, sayup-sayup takbir bersahutan di langit sana menandakan bahwa hari ini adalah hari raya, hari raya kembali. Menandakan pula kalau aku telat bangun dan shalat subuh di masjid. Setelah kemarin ku kira takkan ada kumandang takbir, ternyata ada pula sesahutan takbir di malam lebaran Bandung ini. Sebenarnya takbirnya mulai setelah shalat isya di malam sebelumnya, diiringi dentuman-dentuman dan percikan di langit tentunya. Aku tidak yakin apakah itu petasan atau bom beneran.

Flowers in the Holy Night

Sore ini hari terakhir ramadhan. Aku masih di Bandung, di kosan ku sendiri. Seminggu terakhir selalu hujan cukup deras di luar sana, membuatku buka seadanya di kosan atau nekat menunggangi superbit menembus cucuran air untuk sekedar mencari es pisang hijau yang telah lama ku dambakan. Tetapi sore ini, aku terkurung di kosan malas beranjak dari novel Negeri 5 Menara yang sedang ku baca. Meskipun esok lebaran, aku belum – atau tidak bisa – bertemu keluargaku. Meskipun esok lebaran, suasana sore ini sama seperti sore-sore sebelumnya. Magrib ku berbuka dengan kurma, madu, dan arum manis, terlambat ke masjid dan ketinggalan jamaah di masjid super cepat An-Nur. Meskipun esok lebaran, tiada yang berbeda di masjid. Tidak ada takbir bada magrib, tidak ada kumpul-kumpul atau sensasi meriah lainnya. Sepi, semua* telah kembali ke rumah masing-masing.

Gerombolan SMP Metal

Foto di atas, saya ambil pas petualangan bareng Bambang yang ke Ciwidey itu. Berhubung di Episode Lima dari rangkaian artikel tentang petualangan itu susah diaplot secara terpisah, dan mengakibatkan gambar gagal tertampil, saya tampilkan saja disini. Disana anak SMP nya wow deh…

Strange Adv. “Cililin//Ciwidey”, Part.2 – Tragedy

Selang kemudian, kami melaju di Jalan Baros (ukuran sedang, padat anjir) setelah melewati rel kereta api untuk ketiga kalinya. Mulai berangkat sekitar 50 menit telah berlalu. Setelah Baros, jalan mulai menanjak dan tampak gunung di depan. Di bundaran bada Baros, kami belok ke kanan menuju Nanjung. Ternyata disinilah akhir dari Jalan Lebar di perjalanan kami. Jalan di Nanjung kecil selayaknya jalan di dalam kompleks kelurahan. Jalan kecil dan padat ini pun menurun. Saat menuruninya, hal yang tak terduga terjadi.

Strange Adv. “Cililin//Ciwidey”, Part.3 – Turning Point

Perjalanan yang cukup panjang ini terasa cukup melelahkan. Satu seperempat jam lebih sudah kami berjalan tanpa henti. Motto kami saat itu, hanya dua hal yang bisa menghentikan kami: sampai atau nabrak orang. Setidaknya banyak hal unik yang terjadi di perjalanan ini, apalagi segarnya udara plus asrinya pemandangan kanan dan kiri jalan. Memang, hal terbaik dari petualangan adalah pemandangan yang unik dan kondisi yang tak terperikan.

Strange Adv. “Cililin//Ciwidey”, Part.4 – Readvance

Perjalanan pun kami lanjutkan. Ciwidey tujuan kami. Kabar dari satpam situs sebelumnya, tidak jauh dari situ sekitar satu kili ada tempat wisata. Kami pun melaju. Bambang dibelakang memegang kamera dan memfoto sekeliling sambil jalan. Sesampai disana, ternyata tempat wisata dimaksud adalah Stadion Sepakbola. Di depan stadion banyak penjual baju bola. Uniknya hampir (jika tidak) semua baju yang dijual adalah kaos kesebelasan persib. Perjalanan kami lanjutkan. Tujuh kilo rasanya tidak sebanding dengan perjalanan kami sampai disini. Jalan yang kami lalui cukup berkelok-kelok dan naik turun, meskipun tidak mengalahi kelokan jalan di Bukit Kemuning.

Strange Adv. “Cililin//Ciwidey”, Part.5 – Return to Base

Tanpa pernah mencapai tujuan final, kami melakukan immediate respon terhadap kondisi. Prosedur Return To Base kami lakukan dengan terpaksa. Setelah tiga jam setengah perjalanan panjang tanpa hasil, kami dipaksa pulang oleh alam. Perjalanan tanpa arti ini setidaknya memberi beberapa pesan dan ilmu yang cukup menggugah. Juga memberi kami suatu perjalanan yang sangat panjang yang belum pernah kami capai dengan mengendarai motor.