All posts tagged: Cerpen

In The Zenith

“Ah, berakhir sudah.” Leila hanya bisa pasrah. Membubung tinggi di angkasa, gravitasi tak lagi memberi mereka ampun. Mereka jatuh bebas tanpa ada pijakan lagi. Terhempas ke lapisan udara di bawahnya, terhantam angin keras ke wajah. Waktu seakan melambat bagi mereka. Lemas, tiada lagi tenaga tersisa. Tubuh Leila kian labil berguncang tak terkendali. Terjungkal, kadang kaki di atas, kepala di bawah. Dari jauh, mereka tampak seperti dua titik yang bergerak cepat. Menembus awan. Menuju permukaan samudra. Ditambah satu lagi garis hampir horizontal turut mencakar biru sang langit. Kondensasi udara membuat lintasannya terlihat di angkasa. Benda aneh menggantung di ujung jejak itu, berbentuk seperti bolpoin raksasa, panjang dua tiga meter, berbahan besi, dengan logo nuklir terukir di badannya. Rudal antar benua yang ikut jatuh bersama mereka itu mulai berkelip. Lalu berkelip lebih kencang. Pada akhirnya, cahaya menyilaukan dan kemudian api keluar secara beringas. Seperti semburan naga ke segala arah, bercabang selayaknya dahan pohon, perlahan tapi pasti, akan melahap mereka. Lei sudah kehilangan semua harapan. Masa hidupnya terlintas di depan matanya. Juga tentang sahabat terdekatnya. Lei hanya bisa bergumam. “Sepertinya …

N.U.R.I

“…. Ilham… Bangun Profesor Ilham.  Profesor Ilham…” Suara itu lirih menggema. Suara lembut yang sangat ia rindukan. Memanggil-manggil Ilham yang pikirannya masih mengambang, belum terkumpul menjadi satu. “Nuri…?” Ia  mengigau. Terbaring di kasur, Ilham merasa masih lemas. Masih ingin melanjutkan tidur. Ilham perlahan membuka matanya. Penglihatannya masih tampak kabur. Samar-samar ia melihat di hadapannya kamar yang begitu penuh dengan kenangan, sudah sepuluh tahun dia tinggal disana. Ruangan penuh cinta penuh kenangan. Ilham meluruskan badan dan berbaring telentang. Samar menatap langit-langit bercorakkan kerlip cahaya bintang, hadiah spesial untuk ulang tahun istrinya tahun lalu. Tiba-tiba wajah Ilham basah. Entah langit-langit itu bocor atau hujan merembes lewat jendela, sehingga sekelompok tetes air hinggap di wajahnya. “Nura-nuri… Sudah jam berapa ini… Ayo bangun! Tumben-tumbennya…” Seorang wanita cantik berdiri di samping Ilham. Rambutnya tertutup kerudung putih. Mawar emas terukir di ujung segi empatnya. Wanita itu tidak tinggi dan tidak gemuk. Tidak, kurus pendek mungkin lebih tepat. Seperti masih remaja atau malah anak-anak. Namun, namanya anak-anak pastilah tampak menggemaskan. Sayangnya, sekarang ia tidak lagi mode gemas. Berkacak pinggang, si cantik tampak …

Kilas

Ne-na-naa ne-naa. Sambil mengayuh sepeda kudengar alunan seruling menggema di langit. Seolah-olah dunia nyata ini kini punya soundtrack pengiring. Alunan itu memanggil anak-anak kembali ke rumah, selalu diputar pada jam yang sama. Tanda akhir hari. Ia mendayu-dayu. Membuatku terkilas dengan kisah kita sejak mendarat di negeri ini. Ting-tung ting-tung, tung-teng ting-tung. Diikuti panggilan bersahutan memberitahu pesawat datang dan pergi. Aku sudah terbiasa dengan bahasa itu tetapi belum mengerti penuh apa yang mbak itu bilang. Letih, aku cuek. Hanya mengikuti kemana antrian berjalan. Hingga sampai giliranku, aku difoto, diberi kartu, dan keluar tanpa ada kejadian berarti. Resmi sampai. Syukurlah. Wruhh… Suara gemuruh hujan menyambutku. Kabarnya topan sedang hobi berlibur kesini. Di bulan pertamaku saja, dua tiga kali dia blusukan. Tiupannya dahsyat. Mengombang-ambingkan pepohonan. Berdansa dengan tiang listrik. Menggoda kereta yang membawaku. Wusshh… Kereta melaju cepat meninggalkan pulau buatan. Tampak jalanan dan perumahan yang dilintasi jalur rel, elok dan bersih, rapi tertata. Indah dipandang. Antrian keluar masuk kereta pun tampak seperti barisan anak SD sebelum kelas dimulai. Oh, inikah masyarakat yang terkenal dengan disiplinnya itu. Hanya saja, …

Kahfi

Ah, lemas sekali rasanya badan ini. Sepertinya sudah lama sekali saya tertidur. Tertidur… Hmm, tunggu dulu. Kok, rasanya kata itu kurang pas menggambarkan keadaan aku. Sebentar. Ada yang aneh. Rasa empuk tempat tidur yang tidak familiar. Seingatku, kasurku tidak seempuk ini. Harum bunga yang tidak ku kenal. Mana ada bunga di kamarku. Cahaya silau lampu kamar yang mampu menerobos kelopak mata diriku yang sedang tertidur pulas ini. Bagaimana bisa, lampu kan selalu kumatikan sesaat sebelum tidur. Rasa dingin malam yang tidak pernah kurasakan. Dan Hening. Terlalu hening. Sebenarnya di mana aku sekarang? Aneh, aku tidak ingat. Ah, bagaimana sih. Tinggal bangun saja bukan? Apa susahnya… Aku coba membuka mata yang tertutup erat ini. Susah sekali rasanya. Ayo, kenapa… Selelah itukah aku sampai sulit sekali kelopak mata ini bergerak. Tapi aku harus tahu, apa yang terakhir kulakukan, sehingga aku berada di tempat asing ini. Dan apa tempat asing ini? Setelah berjuang sepenuh jiwa selayaknya memperjuangkan bangun setelah tidur dari bergadang mengerjakan tugas besar berhari-hari, bukannya hilang butir-butir keanehan tadi, malah bertambah satu demi satu. Aku tidak …