In The Zenith
“Ah, berakhir sudah.” Leila hanya bisa pasrah. Membubung tinggi di angkasa, gravitasi tak lagi memberi mereka ampun. Mereka jatuh bebas tanpa ada pijakan lagi. Terhempas ke lapisan udara di bawahnya, terhantam angin keras ke wajah. Waktu seakan melambat bagi mereka. Lemas, tiada lagi tenaga tersisa. Tubuh Leila kian labil berguncang tak terkendali. Terjungkal, kadang kaki di atas, kepala di bawah. Dari jauh, mereka tampak seperti dua titik yang bergerak cepat. Menembus awan. Menuju permukaan samudra. Ditambah satu lagi garis hampir horizontal turut mencakar biru sang langit. Kondensasi udara membuat lintasannya terlihat di angkasa. Benda aneh menggantung di ujung jejak itu, berbentuk seperti bolpoin raksasa, panjang dua tiga meter, berbahan besi, dengan logo nuklir terukir di badannya. Rudal antar benua yang ikut jatuh bersama mereka itu mulai berkelip. Lalu berkelip lebih kencang. Pada akhirnya, cahaya menyilaukan dan kemudian api keluar secara beringas. Seperti semburan naga ke segala arah, bercabang selayaknya dahan pohon, perlahan tapi pasti, akan melahap mereka. Lei sudah kehilangan semua harapan. Masa hidupnya terlintas di depan matanya. Juga tentang sahabat terdekatnya. Lei hanya bisa bergumam. “Sepertinya …