Celoteh, Haduh-haduh, Islam
Tinggalkan sebuah Komentar

Mencibir Korban Bencana Alam

Akhir-akhir ini saya melihat tren aneh. Ketika ada bencana alam, ada yang bertanya… Kenapa ya akhir-akhir ini banyak bencana terjadi? Pertanyaan yang menurut saya, absurd.

Bencana alam: gempa, angin topan, gunung berapa, lagu baru Taylor Swit. Bencana ya bencana. Kejadiannya tidak bisa (atau setidaknya susah) diprediksi. Bisa dan telah terjadi kapan saja.

Wallahu ‘alam, kenapa akhir-akhir ini lebih sering. Mungkin karena global warming (dalam konteks bencana terkait iklim).

Atau mungkin karena internet dan cepatnya pertukaran informasi, jadi terkesan lebih sering walaupun tidak mesti beneran lebih sering.

Atau memang begitulah selera seni anak muda sekarang, sudah tidak bisa ditolong lagi.

Namun, topik tulisan kali ini bukan itu meskipun masih terkait. Lebih tepatnya, tentang mentalitas yang berkitar di pertanyaan itu. Nak levelnya satu atau dua.

Tentang hal yang saya sangat tidak suka dan artikel ini akan menentang sikap tersebut sekeras-kerasnya.

This article contains condemnation in the highest term. Proceed with caution!

Yakni, mengkait-kaitkan bencana alam dengan . Secara esensi, mencibir, atau lebih kerasnya menggibah (jika benar) dan memfitnah (jika salah) orang-orang yang dari korban bencana alam.

Jadi ceritanya, ada link ke video dibagikan ke grup. Plek link tok. Tanpa komentar apapun. Saya tidak akan mentautkan link ke video tersebut. Kalau bisa mah, saya akan hapus si itu video. Karena saya tidak ingin membuat video itu tersebar lebih luas lagi, juga tidak mau memberi view ke video itu.

Saya juga tidak menonton itu video sampai akhir. Cuma lihat 1 menit pertama, plus beberapa komentar teratas, lalu video saya tutup. Video nggak berguna pikir saya. Ngapain nonton belasan menit,, memaparkan diri ke resiko dianggap si algoritma rekomendasi situs bahwa saya ingin melihat video-video serupa. Gawat kan.

Well, inti dari video itu adalah seseorang “mewawancarai” warga lokal. Menanyakan pendapatnya… Kenapa sih ya si kota Y itu dapat musibah begitu?

(Yup saya juga tidak akan memberi nama si kota dan juga situs dimana video itu terjadi, karena beresiko Anda mencari si video dan memberikan view ke si video. Juga demi nama baik si kota dan korbannya.)

Bapaknya dengan yakin dan semangat menjawab. “Oh iya, saya sudah lama disini. Saya tahu banget penduduk di sana. Banyak maksiat A. B juga… Apalagi kelompok ini tuh, mereka itu C, D, E!! Pantas saja Allah melenyapkan mereka dari muka bumi… “

Komentarnya, senada dengan video. Seakan menjunjung pendapat si terwawancara, dan merayakan Azab Tuhan yang turun dengan nyata. Yakin mereka, tanpa ragu sedikitpun tentang asal muasal dari bencana alam tersebut.

To which I respond with…

iwkad22

A big effin’ facepalm :facepalm:

Saya tidak tahu kenapa video itu dibagi di grup. Tanpa komentar. Yang membagi termasuk orang yang saya hormati. Tetua bisa dibilang malah. Apa yang beliau pikirkan dengan membagi video itu. Saya heran! Heran…

Apa beliau sama kalau saya flabbergasted juga dengan si video. Ataukah berusaha mencerdaskan anggota grup tentang kenapa si bencana itu terjadi.

Kalau yang terakhir saya jujur, kecewa. Why oh why… Benar-benar kecewa. Meskipun niatnya mengingatkan anggota grup jangan bermaksiat ABCDE nanti bisa kayak si kota Y itu, saya kira itu bukan alasan yang tepat untuk setuju atau membagikan video sampah seperti itu. Ada banyak metode dakwah lain dibanding itu.

respectmeter.png

Kalau ternyata tujuannya yang pertama, ya mbok kasih satu dua kalimat kek. Lagipula lebih mudaratnya menyebar daripada nggak. Ngapain coba…

Jika Anda ketemu video yang sama, saya sarankan jangan sebar. Jangan, dengan alasan apapun. Segera tutup tab browser. Kalau terlanjur disebar ya hapus, atau report original video deh…

Oh. Belum ngerti juga kenapa saya tampar muka sendiri dan menulis artikel dengan nada hopelessness in humanity? Belum sadar juga masalahnya dimana…

Oke, telusuri dari awal.

Bayangkan, Anda hidup dan nyaman… Sebut saya di kota Shiganshina, sampai suatu saat terjadilah bencana di kota Shiganshina ini. Kongkretnya tidak penting. Apalah… Bilang aja, kota ini diserang raksasa. Dinding kota hancur. Gedung-gedung luluh lantak. Ribuan orang meninggal. Ada yang kena debris, ada yang dimakan Titan. Ribuan. Temasuk tetangga Anda, keluarga Anda, anak istri Anda. Namun, setidaknya Anda selamat!

Mungkin harga anda hilang. Rumah hancur. Semua orang yang Anda kenal, tiada. Kota pun sudah tidak bisa ditinggali lagi. Anda harus mengungsi. Tidak tahu harus tinggal dimana. Apalagi makan apa. Atau harus ngapain. Namun, Anda selamat!

Sedang berjuang dalam kondisi pasca-bencana tersebut, tiba-tiba sampailah sebuah komentar ke telinga Anda. Katanya,

“… Shiganshina! They’re bringing drugs. They’re bringing crime. They’re rapists. And some, I assume, are good people … Build a wall around Shiganshina! …

Salah quote, tapi nggak terlalu melenceng juga sih.

“… Woh iya! Durhaka itu mereka. Saya tahu itu. Saya sudah belasan tahun tinggal disini. Ada sebagian orang Shigan yang dia itu suka main judi. Pekerja seks. Maling, mabuk-mabuk. Drugs. Rapist. Pokoknya parah itu orang sana. Pantas aja mereka kena ….” 

Bagaimana perasaan Anda kemudian?

Kalau saya mungkin teriak: “Pantas?! Semua kejadian tersebut pantas loe bilang??!!”



Sedikit disclaimer tambahan. Kali aja ada orang, yang kalau bahasa Jepangnya sih, “manuke”, nggak tahu bahasa Indonesianya apa.

Saya disini bukan mau membela quote pemain judi, pekerja seks, dan maling mabuk unquote. Juga bukan menafikan adanya teguran Tuhan yang diturunkan di muka bumi. Saya juga tidak mau mengklaim saya suci atau yakin kalau kota saya tidak akan kena hal serupa. Juga tidak mengatakan bahwa saya tidak takut dengan bencana seperti. Takut saya, itulah kenapa satu menit setelah J-Alert berbunyi adalah kondisi tercemas yang pernah saya ingat dalam recent memory.

Saya juga tidak ingin membawa-bawa hadits tentang “dosa penyebab datang azab” atau tentang “pembinasaan kaum” apalagi tentang “mengkaitkan kejadian alam dengan kekuatan supranatural” dalam diskusi ini.

Juga tidak membatasi orang yang bermuhasabah dan menempatkan kejadian tersebut sebagai ujian atau titik untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Kalau mau introspeksi diri, apakah kejadian yang terjadi pada Anda itu ujian atau teguran, silakan. Lakukan dalam hati! Atau bersama-sama dengan doa, oke juga…

Tapi introspeksi diri bukan introspeksi orang!

Yang saya tekankan disini cuma satu:

Jangan-lah tambahi beban para korban bencana alam tersebut.

I don’t know man.

Kalau tidak bisa menjadi bagian dari solusi, jangan menjadi bagian dari masalah?!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.