All posts filed under: In Indonesia

Sistem Antrian Wudhu dan WC di Masjid Salman

Saya ini agak bingung ketika antri di jejeran kamar mandi salman dan ternyata ramai. Itu antriannya gimana ya. Kalau ramai, WC yang empat itu akan tidak jelas sistemnya jadinya seperti gambar di bawah ini nih. Biasanya tuh walaupun nggak serame gambar di atas, bisa lama banget. Saya pernah tuh. Misalnya saya nunggu di di WC1, ternyata penghuni sekarang jauh lebih lama dari WC sebelahnya. Yah, keduluan deh penunggu yang antri bareng saya sudah pada masuk. Bahkan, pengguna yang datangnya  jauh lebih lama dari saya, bisa selesih tiga orang, bisa dapet WC duluan. Mau pindah antrian rasanya nggak enak gimana… Udah kadung lama nunggu. Ada ketakutan kalau pas pindah, eh malah tambah lama. Mau tetep diem, kok kayak udah nggak ada harapan. Akhirnya, waktu itu saya menyerah juga dan pindah antrian dan ternyata itu adalah pilihan yang tepat. Jadi inget monty hall problem. Belum lagi, kalau di Salman yang nunggu di antara dua WC itu, kira-kira jatahnya dapet WC yang mana ya. Bisa konflik tuh… Mana ada yang datang terakhir biasanya nggak mau kalau sama yang …

Lulus versus Hampir Lulus

Sebagai pemuda dengan idealisme, tentu kita setuju bahwa kemampuan (skill) lebih utama dari sekedar ijazah. Alasan utamanya adalah menilai seseorang hanya dari ijazah saja menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, tidak semua kemampuan ada ijazahnya. Kemudian, mana kelihatan perbedaan level masing-masing orang dari ijazah saja, apalagi ijazahnya beberapa tahun lalu. Alasan terburuknya adalah mentalitas keinstanan rakyat kita. Karena kita masih mendewakan ijazah, banyak jasa-jasa pembuatan ijasah secara mudah. Asal punya modal, dapat ijazah PT ternama gampang. Kerja pun tidak jadi masalah. Caranya? Situsnya? Gampang dicari kok. Tinggal googling “ijazah” atau “buat ijazah” atau “ijazah palsu” pasti banyak tuh di halaman pertama. Jika hal di atas dilakukan oleh masyarakat kebanyakan yang memang masih lugu, saya sih masih memaklumi. Akan tetapi, jika hal senada (meskipun jauh berbeda) terpercik dari kolega sendiri atau teman dekat sendiri kok rasanya sedih saya. Saya terkadang kesal ketika teman saya sendiri membanding-bandingkan antara orang yang belum lulus (misalnya saya) dan yang sudah lulus. Saat bercerita, mulailah dia “mengeluh” seakan keadaan saya jauh lebih baik darinya. Enak kamu masih kuliah. Belum ada beban… Saya tidak …

Kemacetan Lorong Selasar Fisika di Tengah Rintik Hujan

Sore kemarin, 10 Desember 2012, seperti biasanya hujan turun rintik-rintik. Terlihat dari lantai dua Labtek V pemandangan hijau asri basah-basah sekitar Campus Center ITB. Akan tetapi, ada yang lain dari pemandangan tersebut. Jumlah pengguna payung yang tidak biasa berjalan hilir mudik di lorong dan jalur kendaraan CC Barat itu. Keren! Entah, seperti melihat pemandangan di universitas di luar negeri saja, pikirku waktu itu. Aku pun menuju lorong selasar fisika tersebut. Bukan karena pemandangan tadi sih, emang mau pulang dan jalur bebas hujannya lewat situ. Dari dekat kejanggalan pemandangan makin jelas. Terdapat keramaian yang sangat tidak biasa disana. Bagaimana ramainya? Pernah mudik naik kereta atau kapal laut? Di lorongnya penuh sesak oleh manusia sampai berputar pun susah bukan? Nah seperti itu… Gilak! Jarak 1 meter aja susah geraknya. Masih ada 5 meter ke depan untuk dilalui dan lautan manusia menghadang. Mau lewat jalan raya sebelah, masih gerimis. Ada apa gerangan? Aku juga tidak tahu. Antri sembako? Atau mungkin pada panik mau pulang, hujan soalnya. (loh?) Tentu saja bukan sepertinya. Alasan paling masuk akal adalah pengumuman nilai …

Renjana Menjadi Dosen

Kalau saya jadi dosen, kok kepikirannya cuma dosen ITB ya. Kalau di tempat lain tidak ada renjana (passion) sama sekali. Tidak tertarik. Kalau di ITB masih ada sedikit semangat lah. Kenapa ya? Arogansi universitas? Hmm… ITB juga menargetkan memiliki 6000 dosen di 2020 [citation needed]. Wow, masih banyak kesempatan (walaupun target yg aneh kalau saya bilang bila kita melihat jumlah dosen yg diterima setiap tahunnya di institut ini). Ya, menjadi dosen sepertinya selalu menjadi alternatif solusi bagi “pilihan hidup”. Ketika orang menanyakan, “habis lulus mau ngapain?”. Terus diikuti dosen “gimana kalau jadi dosen?”. Hmm… Yah itu, kalaupun jadi dosen mungkin cuma niat yg di ITB aja deh. Arogansi? Sepertinya bukan lah (sepertinya). Sudah empat tahun disini tentu saja sudah merasakan kampus sendiri sebagai rumah. Seperti kata lagu itu, “Kampusku rumahku”. Sudah nyaman lah dengan segala kondisi dan lingkungannya. Ngomong-ngomong tentang jadi dosen, kalau jadi dosen, saya ingin jadi seperti Pak Budi Raharjo. Pak Budi ini memang masih jadi dosen idola nomor satu saya. Mohon maaf dulu untuk Bu Ayu dan Pak Rin yang juga favorit saya tetapi belum …

Informasi Singkat tentang Tanjungbalai, Asahan

Jika akan pulang kampung, entah kenapa orang selalu menyebut “kapan pulang ke Medan?”. Yah, mereka yang menyebut seperti itu sebenarnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebenarnya mental seperti ini muncul akibat sentralisasi peradaban Republik Indonesia di salah satu pulau di negeri ini, sebut saja Pulau Jawa. Orang yang bertempat tinggal di pulau jawa bisa dengan percaya dirinya menyebut “Besok saya pulang ke Klaten”, “Yo, pamit ke Sukabumi dulu”, “Saya kerja di Gresik”, atau “Saya masih di Cianjur euy”. Sangat jarang yang menyebut “saya mau ke Jawa dulu” atau “saya mau ke Surabaya dulu” padahal tujuan akhirnya Probolinggo.
Dengan demikian, demi propaganda, saya ingin memberikan beberapa informasi singkat untuk memberikan bibit nama kota di luar jawa selain nama ibukota provinsi sekaligus mengedukasi pembaca mengenai kota tempat saya tinggal sekarang.

Tanjungbalai : Saya (Akhirnya) Pulang (2) ~ Terbang dan Mendarat

Bandung – Medan Perjalanan Bandung – Medan memakan waktu kurang lebih 2 jam 20 menit. Jika pesawat berangkat 16.50, ETA 17.10. Saya sampai di bandara sekitar pukul 16.40. Bandara Husein ternyata lumayan kecil. Teras kedatangan dan ruangan check in begitu dekat. Tempat turun dari taksi ke pengecekan barang pertama pun cuma beberapa langkah. Resepsionis ke tempat pembayaran pajak bandara dan tangga ke pintu masuk ruang tunggu juga cuma sekali salto. Entah ini memang dermaga ini saja atau di sebelah ada dermaga lain, saya lupa mengecek. Setelah datang saya langsung masuk ke bandara. Di pintu kedatangan bandara, langsung ada pengecekan barang dengan pintu radiasi itu. Kemudian beberapa meter ke kiri tampaklah deretan resepsionis setiap maskapai. Saya pun mendatangi antrian maskapai Lion Air yang menuju Medan. Mungkin saya kepagian jadi antriannya hanya 2 atau 3 orang saja. Saat antre, saya mendengar petugas berkata ke tentara yang antre di depan “Di koper sudah tidak ada barang elektronik kan pak?” Hoo, nggak boleh saya. Pikir saya yang memasukkan harddisk ke koper. Saat saya maju, anehnya saya tidak ditanyakan hal …

Tanjungbalai : Saya (Akhirnya) Pulang (1) ~ Tiket dan Bandara

Sampai dua hari sebelum lebaran, kepulangan atau ketidakpulangan saya masih belum dapat dipastikan. Beberapa kali saya mengecek tikep pesawat sebelum lebaran saya tidak menemukan harga yang memuaskan. Harga minimal yang dikeluarkan adalah 1,4 juta rupiah. Tentu saja itu tidak bisa dijangkau oleh saya. Hampir putus asa, saya sudah berekspektasi untuk lumutan di kamar kos selama liburan dua minggu ini. Bahkan saya sudah bersiap-siap stok makanan untuk berjaga-jaga suatu saat tidak ada warung yang buka. Usai shalat jumat terakhir di Bulan Ramadhan, pikiran itu terlintas di saya. Kenapa tidak mengecek jadwal usai lebaran ya, dimana arus mudik sudah mulai turun. Setelah mengecek, wah mengagetkan juga. Ada yang dibawah satu juta pada hari H lebaran. Sekitar 800 ribu berangkat dari Jakarta ke Medan berangkat subuh jam 5.25, nggak shalat id dong. Setelah dicek ternyata Airasia ada juga yang murah dari Bandung ke Medan, tetapi berangkat subuh. Setelah dicek lagi ternyata Lion Air lebih murah hanya Rp660.000 dan berangkat sore jam 5. Kebanyakan penerbangan dari Jakarta lebih murah sedikit daripada dari Bandung. Wajar darisana lebih ramai. Akan tetapi, …

Blue Rose dan Bunga di Tepi Jalan

Mawar biru alias blue rose adalah mawar yang tidak ada secara alami di alam. Mawar tidak memiliki gen untuk menghasilkan warna biru. Akan tetapi, manusia tidak kehabisan akal. Biasanya mawar yang berwarna biru, seperti gambar di atas, diwarnai dengan zat pewarna. Mawar yang tadinya berwarna putih dicelupkan sehingga berubah wujud menjadi lebih indah. Manusia juga tidak puas sampai disana. Rekayasa genetika pun dilakukan untuk membuat mawar berwarna biru dari lahir bukan pada saat dia mati. Meskipun hasilnya sebenarnya belum bisa disebut biru, hanya sekedar ungu saja. Selain kebangsawanan, mawar biru menyimbolkan usaha manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin. Penggapaian cinta yang tak dapat dijangkau. Misteri hidup. Dan terwujudnya impian. Dua hari sebelum lebaran, pinggir Jalan H. Juanda atau yang lebih dikenal dengan Jalan Dago sudah dipenuhi para penjual bunga. Tidak seperti dua tahun lalu, bunga-bunga yang meramaikan simpang dago kali ini berlangsung dua hari. Mungkin karena waktu lebaran dan liburan sangat dekat dengan waktu masuknya perkuliahan dan liburan tengah tahun. Kali ini pula, langit dapat bekerja sama dengan tidak mengeluarkan cairan kesuburannya. Akan tetapi, …