Pertanyaan dari salah satu hadirin presentasi yang sudah cukup tua itu kembali dipaparkan. Pertanyaan sebelumnya sekilas telah dijawab langsung oleh presenter yang lain. Memang di depan tidak tampak ada presenter yang berdiri. Lima orang pelaku presentasi itu duduk bersama hadirin yang lain di bagian pojok kanan depan sana.
Pertanyaan itu selesai diutarakan. Sejenak suasana di ruang kelas berundak ke belakang itu sepi. Peserta presentasi semuanya hening, baik hadirin maupun presenter. Mungkin mereka masih menghayati isi pertanyaan tadi. Menunggu salah satu presenter mencerna dan merakit jawaban yang memuaskan.
Tidak sampai air dari keran jatuh hingga ke dasar kolam, keheningan pun terhenti. Seluruh fokus peserta jatuh baik hadirin maupun presenter kepada satu orang. Orang itu berasal dari undakan nomor lima atau enam, agak di tengah dari depan kelas. Dia memang termasuk salah satu mahasiswa anggota kelompok yang proyeknya sedang dihakimi itu. Akan tetapi, sikapnya waktu itu merebut perhatian bahkan dari sesama anggota presenter lain.
Tiba-tiba, orang itu berdiri dari tempat duduknya. Dengan gerakan yang gesit namun tenang, ia turun menyusuri tangga undakan tempat peserta duduk. Setelah melewati dua-tiga undakan, belum sampai ke depan panggung, ia memulai. Tanpa menghentikan langkahnya yg menuju hadapan peserta, masih di antara beberapa peserta yang duduk, ia bersuara. Pertama, masih menghadap ke depan ia memberikan penjelasan pembuka. Kemudian, ia mengangkat tangan ke arah sang penanya tadi sambil memastikan interpretasinya atas pertanyaan tidak berbeda.
Jadi yang ditanyakan oleh mas ini sebenarnya …
Sambil menuruni satu per satu tangga, orang itu pun memberikan pendapat atas isu yang diutarakan penanya. Penanya yang relatif sedikit lebih senior dibanding rata-rata peserta presentasi. Ia berbicara sampai di undakan paling rendah di depan. Kemudian dia naik panggung lagi yang agak tinggi di hadapan hadirin, ia berceramah.
Detik ke nol, peserta presentasi sedikit tercengang. Perhatian mereka tercuri di satu orang yang sedang turun tersebut. Detik ke empat lima, mereka takzim mendengarkan. Lima sepuluh detik kemudian entah apa yang lewat dipikiran mereka, tepuk tangan riuh mereka berikan kepada presenter yang baru turun menjawab pertanyaan tadi. Entah karena konten jawaban yang ia berikan begitu bobot. Atau aksinya yang “tidak biasa” karena bersuara sambil turun menyusuri tangga di antara tempat duduk mereka.
Itulah kira-kira gambaran artis (baca: saya sendiri) dari sisi pengamat alias dari mata peserta kuliah Rekayasa Lingkungan angkatan 2008 pada presentasi mengenai pencemaran lingkungan. Setidaknya gambaran yang saya reka ulang berdasarkan penuturan dari seorang teman atas apa yang terjadi (dan dirasakan oleh peserta presentasi) pada saat itu. Anda adalah angkatan Informatika 2008 yang mengambil Rekling Ibu Eme itu? Apakah gambaran di atas berbeda dengan memori Anda? Silakan koreksi pada kolom komentar di atas.
Mungkin Anda yang pembaca saja tanpa berada langsung di lokasi kejadian, bingung atas eksposisi di atas. Apa istimewanya? Kenapa mereka tiba-tiba tepuk tangan? Yah, wajar, karena saya juga bingung.
Dari yang saya tangkap pascainsiden, sepertinya ketidakwajaran terletak pada “kesalahan” saya, yaitu ngomong sambil jalan. Karena bentuk kelas di salah satu ruang GKU Timur itu bertingkat per baris kelas, kengomong-sambil-jalanan saya pun tidak terhindarkan akan menuruni tangga undakan tersebut. Saya pun jadi menjawab pertanyaan, menghadap ke depan, mengangkat tangan ke penanya, sambil jalan ke panggung di hadapan peserta. Melakukan ini di tengah peserta, sensasi peserta kuliah seperti melihat presenter “beneran” yang ada di kuis-kuis atau televisi itu. Katanya.
Yah, begitulah pengalaman terbaik teraneh saya saat presentasi. Tidak sengaja bakat presenter profesional yang saya tutup-tutupi keluar. Ehm.. Maksud saya, tidak sengaja saya beraura seperti presenter beneran. Well, saya sendiri tidak yakin atas kebenaran kalimat tersebut. Entahlah, mungkin jika Anda saksi mata waktu itu bisa memberikan penjelasan yang lebih baik. Apa yang Anda rasakan?
Sayang, yang namanya kebetulan ya cuma terjadi sekali. Coba pengalaman waktu itu bisa di-save terus di-load kapan saja dibutuhkan. Kan lumayan tuh, buat ngemeng-ngemeng di depan umum. Kayak perlu ikut kursus olah bakat nih.
Yang terjadi sebenarnya (Dari Sisi Sang Presenter)
Mas Elmo sudah selesai pertanyaannya yang ke sekian kali. Duh, ini orang kok nanya aneh-aneh mulu. Itu kan simple.
Hoy kalian, udah selesai tuh. Ayo jawab dong sana. Masak gue lagi nih. Gantian dong… Kan gue udah ngerjain yang lain, udah pernah jawab pertanyaan juga tadi. Ayo lah jangan gabut kalian. Gerak-gerak.
Beberapa detik kemudian. Belum ada tanda-tanda pergerakan dari anggota lain.
Wedew… Nggak ada yang gerak. Grafik kekesalan naik.
Beberapa paruh detik kemudian.
Ini lama-lama nggak ada yang jawab ini bisa-bisa. Cih, sial. Ya udah, sini gue aja lagi lah.
Berdiri. Karena grafik kekesalan sedikit di atas normal, jantung menjadi terburu-buru. Belum sampai depan sudah mulai menjawab. Karena sudah membuka mulut saat masih di antara peserta yang duduk, gerakan tangan dan
Sampai di depan, jawaban yang diberikan masih separuh. Semua sudah tepuk tangan.
Logh… Apa ini, kok pada riuh. Salah apa saya? Jawabannya ngaco? Duh iya, belum sebut nama kali ya…
Terdistraksi. Jawaban berhenti. Akhirnya menyebutkan nama dan NIM.
Peserta yang lain masih tepuk tangan, beberapa tertawa.
Kenapa sih nih orang-orang? Ada yang salah kah? Baju saya bolong atau gimana nih?
FIN
sebenernya simple aja bed, yang kamu lakukan waktu itu “unusual” dan “seems cool” aja, dan jawabannya tepat (seinget saya ya, soalnya emang waktu itu keknya saya mulai bosen juga dengan jawaban2 yang yah…gitu lah)