Hanya ada tiga kesempatan untuk bersalaman dengan Rektor ITB. Satu, saat wisuda. Dua, saat dapat penghargaan Ganesha Prize. Tiga, saat open house rektor. Satu itu yang terakhir. Dua sangat mustahil. Kenapa tidak yang mengejar yang tiga. (Sidik Soleman, 2012)
Ketika Idul Fitri, saya belum sampai di rumah. Saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Open House Rektor ITB. Sudah tiga tahun memang Pak Akhmaloka membuka pintu rumah dinasnya untuk dikunjungi segenap keluarga ITB. Semua diundang mulai dari staf kerektoran, dosen, hingga mahasiswa (yang tidak pulang). Open house dibuka dari pukul 08.00 hingga 17.00 dan dilaksanakan di Kediaman Dinas Rektor ITB Jalan H. Juanda 153.
Saya datang pukul 10.30. Tadinya saya ingin datang langsung setelah shalat id sekitar setengah sembilan. Akan tetapi, karena saya kebanyakan foto-foto, baterai ponsel saya habis. Saya pun pulang dulu. Belum sarapan juga, cuma minum teh saja tadi pagi. Lumayan, tadi ditawarin ibu kos lontong plus rendang.
Pertimbangan saya datang pukul sepuluhanan adalah supaya agak rame. Kalau banyak mahasiswa yang datang, saya kan tidak mati kutu. Kalau sepi, canggung juga jadinya. Saya datang sendiri soalnya. Nggak ada temen.
Ekspektasi saya tidak salah. Ketika saya datang, lokasi open house ramai oleh orang. Hanya saja. Hmm.. Orangnya itu lho. Bule semua. Arab. India. Korea. Semua berpostur selayaknya orang penting. Ada juga beberapa bapak-bapak pribumi yang sepertinya pejabat atau orang besar setidaknya lah. Pak Rektor sedang sibuk menyambut dan bercengkarama dengan mereka. Saya yang bukan siapa-siapa minder saja. Mana sendiri lagi. Tidak ada yang menyambut. Hanya datang, diam, bengong, foto-foto, bengong, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil makan. Mau salaman dengan Pak Akhmaloka tetapi beliau lagi seru ngobrol.
Makanan yang tersedia mantap-mantap. Worthy for banquet of the rector. Setelah bengong dan bingung sebentar, saya mencoba salah satu cemilan disana. Kentang goreng dan irisan ikan. Karena kursi penuh terisi orang-orang penting, saya pun makan ke luar dekat tempat parkir sana. Sendirian. Sedih banget sih. Sesaat terlintas di pikiran “Foto udah. Makan udah. Sudah bisa cerita di blog lah. Apa pulang aja ya.” Akan tetapi, sudah sampai sini rasanya sayang tidak setor muka ke pak rektor. Jadi saya memutuskan untuk mencari kesempatan untuk mendatangi rektor dan menyalaminya. Namun, mau dikata apa, nasib saya tidak jauh dari tadi. Diam, bengong, foto-foto, bengong, makan.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Fotografer Dadakan
Setelah hampir setengah jam “lopa-lopo” tidak jelas disana, akhirnya kondisi saya berubah. Rombongan dari Vietnam sepertinya sudah mau pulang. Mereka pun ingin foto-foto dengan Pak Rektor. Salah seorang mendekati saya yang sedang emm … tidak jelas.
Ia berkata. “Err, perrmissi, bisa tolong foto?” dengan logat keorientalan yang jarang didengar di Indonesia sambil menyodorkan sebuah kamera.
“Sure. How to use this?” jawab saya.
Itulah awal saya jadi fotografer dadakan. Satu persatu rombongan yang belakangan saya ketahui merupakan mahasiswa asing tadi mengundurkan diri. Melihat saya adalah satu-satunya sole person yang terlihat tidak sibuk disana, mereka pun meminta tolong saya. Apalagi tadi saya juga sudah memfoto beberapa grup. Mungkin ada sekitar 5-7 kelompok, baik mahasiswa asing maupun rekan sejawat Pak Rektor yang saya foto. Wah wah. Saya juga bingung sendiri sebenarnya tapi apa boleh buat. Lumayan kan, daripada tidak ngapa-ngapain. Dengan begini, Pak Rektor juga bakalan notice terhadap saya jadinya.
Akhirnya, Ada Teman Duduk Juga
Oke perlu dicatat bahwa daritadi saya berdiri. Duduk juga saat makan doang dan itu pun jauh dari keramaian. Sambil foto-foto makanan, saya memegang (dan sesekali meminum) jus jambu supaya tidak kelihatan terlalu aneh. Setelah profesi saya berubah jadi fotografer dan rombongan mahasiswa asing yang datang sebelum saya tadi pulang, saya akhirnya dapat menyalami rektor. Pak Akhmaloka sedang menyambut tamu rekan sejawat. Saya mengikut saja dari belakang rombongan yang baru datang itu. Kemudian jadi deh saya bersalaman.
“Pak maaf saya tadi makan dulu sebelum salaman dengan bapak. Bapak kelihatan sibuk tadi.” ujar saya setengah bercanda.
“Oh iya. Nggak apa-apa. Nanti makan lagi ya.” jawab Bapaknya dengan logat inggrisnya.
“Mahasiswa Indonesia jarang ya pak? Daritadi saya disini yang ada asing semua.”
“Iya. Kalau rombongan salman sudah langsung setelah shalat tadi kesini.”
Saya pun duduk. dan karena tidak tahu ingin ngapain saya mengambil sop daging. Pada waktu itulah keadaan mulai membaik untuk saya. Dua orang mahasiswa pribumi datang. Setelah menyalami rektor, Pak Rektor menujukan mereka ke tempat saya duduk. “Ini tadi katanya kok jarang mahasiswa negeri sendiri.” Akhirnya saya dapat teman duduk orang pribumi juga.
Andre dan Nera (kalau tidak salah, CMIIW) namanya. Andre adalah mahasiswa SAPPK 2012 dan Nera adalah surprisingly mahasiswa Sejarah 2009 UNPAD. Iya, anak UNPAD mengunjungi rektor ITB. Menyusup katanya. Dia sering main ke sekre Tiang Bendera di sunken dan bahkan menginap disana. Bahkan jadi anggota beberapa unit di ITB misalnya KMB.
Setelah mengobrol, ia tadinya mau mengaku kalau dia anak STEI. Akan tetapi, setelah mengetahui saya anak Informatika, takut ketahuan, urung deh. Sambil tertawa besar ia bercerita. Pak Rektor lewat dan Andre pun melaporkan dengan bercanda ke Pak Akhmaloka.
“Itu yang di meja disana UNPAD semua tuh,” senyum Pak Rektor.
Kami pun tertawa. Meja sebelah diisi oleh salah satu putri Pak Loka dan sahabatnya dari UNPAD. Mereka sedang menjamu mahasiswa dari Korea.
Sesaat kemudian, Baya, mahasiswa Teknik Kimia 2011 datang sendirian seperti saya. Saya pun membagi pengalaman lopa-lopo tidak jelas yang dia kira akan dia alami tetapi saya yang mengalami tadi.
Kami berempat pun duduk di satu meja, ditambah Pak Dr.Ir.Wedyanto, Kepala Sarana Prasarana ITB. Mengobrol tidak jelas. Mulai dari asal kota masing-masing. Unit yang diikuti. Quote dari Sidik Soleman yang saya tulis di paling atas artikel ini. Si Dona, orang gila di belakang ITB. Suara serak-serak basah pak rektor. Anak pak rektor. Sampai perilaku mahasiswa Geodesi yang tidak pernah memakai sepatu kemudian dikerjai oleh Pak Wed tadi.
Saat saya mahasiswa sih belum ada si Dona. Mungkin saat saya dosen awal-awal. Dulu lebih parah. Pakaiannya macam-macam, riweh. Kayak orang gila lah. Akhirnya dibawa satpam pakai mobil. “Dibuang” ke jatinangor sana. Eh, pas satpam sampai di kampus. Donanya sudah sampai duluan. Geleng-geleng aja deh satpamnya.
Kayanya dia itu intel pak. Setahun ini menghilang dia. Eh, sekarang muncul lagi.
Wah, sampai juga beritanya ke kamu ya?
Kami pun tergelak bebas. Sensasi mengobrol lepas antara dosen dan mahasiswa seperti ini sangatlah menyenangkan. Sangat saya rindukan. Pemandangan ini sepertinya sangat jarang terjadi di kampus.
Teman Baru dari Seberang
Setelah hampir satu jam kami mengobrol, datanglah beberapa orang asing berwajah oriental. Kami pikir mahasiswa dari Cina. Tidak tahunya Malaysia. Mulailah obrolan bergeser ke arah mahasiswa asing. Mulai dari yang saya lihat pagi tadi. Sampai tidak masuknya mereka ke himpunan atau KM ITB. Baya pun mengutarakan kalimat yang menyiratkan ingin mengetahui mereka lebih dekat. Ingin ngobrol. Pak Wed yang mendengar pun melaporkan ke Pak Loka.
“Hey… These Indonesian students would like to join you. Is it okay?” ujar Pak Loka dengan suaranya yang keras serak-serak basar ke rombongan mahasiswa Malaysia yang sedang duduk makan di meja melingkar seberang.
Sesaat kami panik. Sambil tertawa. Senyam-senyum. Itu reaksi kami atas perkataan Pak Loka yang tiba-tiba tadi.
“Harusnya pribumi lah yang inisiatif. Sana gabung. Bawa aja kursinya.” kata Pak Loka lagi. “Ambil makan dulu, biar ada kerjaan.”
Setelah beberapa detik panik, kami pun bergerak. Mengambil makanan. Kemudian duduk sambil canggung (awkward.pen) di lingkaran mereka. Terlihat mereka pun agak canggung. Kami yang datang ke meja mereka memulai sapaan dengan bahasa Indonesia. Kami pun membuat standar: “ngobrolnya pakai bahasa Indonesia ya”. Yah, si Nera mengaku tidak bisa bahasa Inggris (tetapi lebih fasih bahasa Belanda). Lagipula ini kan di Indonesia, pakai bahasa Indonesia lah. Agak di campur mungkin boleh lah.
“I am Ooi”
“Loh, kayak nama ikan ya,” sahut Nera. Memang dia mulutnya menyerocos terus tanpa rem. Daritadi begitu. Kami juga sekilas mendengarnya seperti Koi.
“Nama saya Ping.”
“Oh, just like your skin color,” kali ini saya menimpali.
“My name is Shi”
“Susi Susanti. Wow, pebulutangkis terkenal tuh. Benar-benar berjiwa Indonesia nih. Pada kenal kan, Susi Susanti..” si Nera tidak berhenti menyerocos dan mengomentari mereka satu persatu.
Setelah dipaksakan kenalan satu persatu, kecanggungan tadi akhirnya cair. Mengobrol pun menjadi lebih mengalir. Logat Indonesia teman-teman Malaysia tadi memang masih kurang lancar. Akan tetapi, lama-kelamaan kami mulai saling mengerti. Kami pun bertukar cerita macam-macam. Kebanyakan sih, kami yang pribumi ini yang memulai pertanyaan. Enak tidak di Bandung. Kenapa tahu ITB. Malaysia bagaimana, beda dengan Bandungkah. Himpunan Farmasi. Tahu film perahu kertas tidak. Dan lain-lain.
Dari obrolan ini, hal yang dipenasari oleh Baya tadi terjawab. Dia daritadi penasaran dan ingin bertanya. Mahasiswa asing bisa masuk Himpunan Mahasiswa Farmasi tidak. Menurut cerita temannya, tidak. Saat ia bercerita, pak Sarpras dan pak Rektor juga kaget, Jadi kami digabung saja deh jadinya. Ternyata mahasiswa asing juga bisa masuk himpunan, walaupun mungkin jarang yang lewat jalur kaderisasi biasa. Entah bagaimana statusnya disana.
Setelah mengobrol macam-macam, tiba jugalah waktu kami orang pribumi yang sudah dua jam disini untuk pulang. Pasangan Andre dan Nera ingin bertemu siapa gitu. Saya sendiri ingin mengejar pesawat ke Medan. Setelah bertukar nama lengkap supaya bisa dicari di Facebook dan tetap berhubungan, kami pun mengajak teman-teman dari Malaysia tadi untuk berfoto bareng bersama rektor.
Itulah pengalaman saya di open house rektor ITB lebaran ini. Anda yang tidak pulang, baik mahasiswa ITB atau sekedar sering mampir di ITB, datang saja kesini saat lebaran. Lumayan, makan enak sambil dapat kenalan baru. Mahasiswa internasional pula. Asyik kan.
Ping-balik: Bulai Makin Banyak Bertebaran di Bandung | Blog Kemaren Siang
Waaah… seru ceritanya, Badr. Tulisan yang ciamik!
Terima kasih Pak Rin.