Kampus Ganesha
Tinggalkan sebuah Komentar

Lulus versus Hampir Lulus

Sebagai pemuda dengan idealisme, tentu kita setuju bahwa kemampuan (skill) lebih utama dari sekedar ijazah. Alasan utamanya adalah menilai seseorang hanya dari ijazah saja menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, tidak semua kemampuan ada ijazahnya. Kemudian, mana kelihatan perbedaan level masing-masing orang dari ijazah saja, apalagi ijazahnya beberapa tahun lalu.

Alasan terburuknya adalah mentalitas keinstanan rakyat kita. Karena kita masih mendewakan ijazah, banyak jasa-jasa pembuatan ijasah secara mudah. Asal punya modal, dapat ijazah PT ternama gampang. Kerja pun tidak jadi masalah. Caranya? Situsnya? Gampang dicari kok. Tinggal googling “ijazah” atau “buat ijazah” atau “ijazah palsu” pasti banyak tuh di halaman pertama.

Jika hal di atas dilakukan oleh masyarakat kebanyakan yang memang masih lugu, saya sih masih memaklumi. Akan tetapi, jika hal senada (meskipun jauh berbeda) terpercik dari kolega sendiri atau teman dekat sendiri kok rasanya sedih saya.

Saya terkadang kesal ketika teman saya sendiri membanding-bandingkan antara orang yang belum lulus (misalnya saya) dan yang sudah lulus. Saat bercerita, mulailah dia “mengeluh” seakan keadaan saya jauh lebih baik darinya.

Enak kamu masih kuliah. Belum ada beban…

Saya tidak mengerti. Pada saat mendengarnya, saya menimbulkan kesan seakan semua keberuntungan ada pada saya yang belum lulus juga ini. Sebaliknya, dia yang sudah lulus punya tanggung jawab yang tidak main-main. Dengan kata lain, saya masih bisa main-main.

Beberapa kali ‘diskusi’ itu muncul, lama-lama saya jadi kesal juga dan terpikir untuk menulis artikel ini (rencana itu muncul lebih dari satu cawu yang lalu). Saya seolah ingin berteriak:

We didn’t choose this path, for god sake! On the contrary, YOU chose that path.

Pikirnya, kelulusan tertunda itu hal yang membahagiakan. Melepas beban. Menunda beban. Tidak membuat stress. Hanya sudah lulus kemudian bekerja lah yang membuat stress. Mahasiswa, pasti bahagia bukan?

Coba bayangkan. Di luar sana pasti ada juga mahasiwa yang entah kenapa masih tertunda lulusnya tetapi dia punya beban yang sama dengan orang yang tidak kuliah. Pasti ada. Memang, orang tersebut bukan saya. Memang, saya masih sedikit beruntung masih patungan dengan orang tua dalam menghidupi diri. Memang, saya hanya memposisikan diri menjadi pendengar pasif dan kotak curhat. Tapi ya mbok, jangan memandang sebelah mata orang yang masih belum bisa lulus lah.

Nggak terbayang kah bagaimana orang tua dari anak-anak yang belum beruntung itu. Bagaimana ekspresi anak itu ketika ditagih orang tuanya “kapan lulus nak?“, “udah sampai mana skripsinya?“, “ayah sudah pingin momongan (loh)”. Ehm, back to topic. Saya rasa keduanya (baik yang sudah atau yang hampir lulus) punya beban yang masing-masing yang setimbang. Beban psikologis yang setimbang. Beban finansial yang juga bisa dibilang tidak terlalu timpang.

Buka eyepatch-mu. Jangan pandang sebelah mata!

Yang lebih menyedihkan lagi adalah memandang harga seseorang atas status sudah lulus belumnya orang tersebut. Mirip seperti prolog nggak jelas yang saya ceritakan di awal artikel ini. Misalnya, seseorang berkata:

Elo kan belum lulus… Wajarlah rate gua lebih besar, haha…

Dengan bangganya. Hmm…

Memang, sebagai seseorang yang sudah “berhasil” mencapai sebuah milestone yang tidak kecil tersebut [lulus S1], kita berhak meminta lebih, bukan? Rasanya sedikit tidak adil jika untuk pekerjaan yang sama, gaji seorang yang masih main-main di kampusnya disamakan dengan seorang yang sudah berhasil mengumpulkan buku TA. Rasanya harus ada kompensasi lebih kan atas perjuangan tersebut.

Di sisi lain, malah aneh jika masyarakat menyamakan antara seseorang yang sudah pernah memakai toga dengan seseorang yang setiap hari masih pakai kaos dan celana pendek di kosannya. Iya kan? Iya nggak sih?

Akan tetapi, kalau cuma itu parameternya, apa bedanya antara masyarakat pemuja ijazah dengan kita lulusan S-Class University kalau gitu ceritanya. Pertanyaan yang paling mendasar sebenarnya, apakah perbedaan skill antara orang yang sudah lulus dan yang hampir lulus sebegitu jauhnya? Tidak bisa dipukul rata sih, memang. Akan tetapi, ya faktor ini ya mbok sedikit diperhatikan.

Kalau si subjek itu masuk tingkat dua atau tingkat tiga sih saya pikir wajar saja mereka dianggap masih hijau sehingga dibedakan harganya. Kalau tingkat yang lebih tinggi, atau sudah hampir lulus (tanpa ada masalah akademis) ya masa disamakan dengan tingkat dua. Masa dibedakan dengan yang baru lulus. Saya pikir, level kemampuan saya tidak akan jauh berbeda saat dua bulan sebelum lulus versus sebulan sesudah lulus. Kalau tadinya saya punya harga X, ya kayaknya sesaat setelah lulus nggak berubah jadi X+y. Toh, skill-nya sama aja,

Memang sih, tidak menafikan bahwa jika saya lulus kelak hampir dipastikan bahwa saya akan murtad menjadi pemuja ijazah. Selayaknya sebagian besar masyarakat kita yang memang mengejar sekolah untuk ijazah. Mana mau saya dianggap sama dengan mahasiswa yang mengurus TA sendiri saja tidak bisa. Masak iya tidak ada penghargaan atas kesuksesan lulus itu. Lulus dari ITB loh. S-Class loh.

Kalau saya jadi pemekerja (employer), saya juga pasti melihat dia sudah lulus atau belum kan? Elo belum lulus (entah hampir atau masih lama), ya lebih murah dong. Entar bulan depan kalau udah lulus tak naikin.

Tapi kalau dia lebih jago ya wajar saja lah keahliannya dihargai. Toh, dia lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dibanding yang lain.

Tapi kan dia belum lulus (entah hampir entah masih lama). Belum pantas. Masak iya…

Arghhh…

I know. I am just being contradictory, aren’t I?

Entahlah, saya tidak tahu lagi yang mana yang benar (dan salah) dan mana yang baik (dan buruk).

Yah, lupakan.

Poin saya adalah jangan pandang seseorang dari statusnya saja: lulus, belum lulus, hampir lulus. Lihat juga dirinya, kepribadian, kemampuan. Dan, jangan pernah menganggap orang yang belum lulus itu enak dan kamu yang sudah lulus itu sengsara.

Artikel ini juga sebagai pengingat bagi saya yang akhirnya bebas dari lingkaran setan tugas akhir supaya tidak melakukan kesalahan yang sama nantinya. Semoga saya bisa menghadapinya. Semoga.

Dan, untuk teman-teman yang masih belum beruntung, doaku selalu bersamamu.

Ingatlah untuk terus dan tetap semangat.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.