Hari ini saya shalat idul fitri untuk pertama kali di Nagoya. Shalat ied disini tidak di masjid. Masjid Nagoya soalnya super sempit sekali. Untuk shalat jumat saja sudah penuh sesak tiga lantai. Maklum, ukuran satu ruangnya mungkin hanya sebesar ruangan apartemen sedang.
Shalat dialihkan ke Port Messe Nagoya. Sebuah hall internasional di dekat stasiun Kinjo Futo. Pelabuhan Nagoya sana. Dengan kata lain: jauuuhh…
Harus naik Aonami-line yang mahal, dari ujung ke ujung. Dari stasiun Nagoya memakan waktu sekitar 30 menit, seharga 350 yen.
Shalat dimulai pukul 10 pagi. Agak beda dari yang lain nih. Mungkin karena jauhnya itu kali ya. Dan spot ini ternyata aggregat untuk wilayah yang cukup luas. Seluruh Kota Nagoya saja sudah sangat luas untuk ditampung di hanya satu hall internasional.
Dan ternyata, memang sangat sesak sekali. Hall yang seluas ini aja tidak cukup. Shafnya harus berhemat. Kalau bisa sujud di sela-sela kaki shaf depannya.
Malah dengar-dengar, di masjid Shin-Anjo malah shalatnya dua kloter. Saking gak muatnya… Ndak tahu juga sih, harus klarifikasi dulu sama penghuni disana.
Namun, suasanya tadi keren juga. Banyak sekali orang islam. Bukan cuma orang asing, tidak sedikit juga muka-muka perisai penduduk lokal berseliweran memakai baju koko. Seolah bukan di negeri non muslim.
Ketika naik kereta dari stasiun Nagoya, Aonami line, kereta dipenuhi muslim. Duduk kiri kanan depan bisa dijumpai muka-muka jawa. Di stasiun akhir, saat keluar kereta dan turun ekskalator, orang Jepang jadi minoritas. Agak lucu juga ngeliat sign-sign stasiun kanji tapi orang-orang yg lewat pake gamis, batik, jenggotan, jilbaban. Sayang saya tidak sempat memfoto.
Penasaran, orang Jepang yg minoritas tadi kepikiran apa ya pas dia keluar stasiun.
Di lokasi, mungkin ada sekitar 2000-an orang lebih kali.
Sayangnya, mungkin karena saya masih baru di kota ini, jarang ada yang kenal. T.T. Lebaran tapi nggak bisa silaturahim. Orang yg disapa di lokasi hari ini bisa dihitung dengan jari dua tangan.
Pulang shalat saya kembali ke Nagoya station, makan disana nyobain restoran India baru, terus langsung ke kantor. Giri-giri jam 1. Back to work… Haha… Hiks.
Btw, saya penasaran dengan manajemen masjidnya. Sewa hall sebesar itu berapa ya? Darimana dananya? Gimana cara mesennya, publikasi event ke seluruh Nagoya?
Terus pengelola masjid sebelum soal ied cerita/curhat ttg. banyak banget mualaf tiap hari di sini, sayangnya mereka nggak bisa masuk masjid. Kenapa? Karena kalau masuk, ngobrol sama muslim “senior” mereka diwanti-wanti nggak boleh ini nggak boleh itu. Nggak ramah lah. Sedih, para senior itu terlalu strict untuk keluarga barunya sendiri. Tanpa memikirkan perasaannya, situasi keluarga, kondisi iman, dll. Don’t be too hard man! Dan juga, kata Pak Pengeola, masalah lain-lain. Cerita untuk lain kali.
Semoga bisa dimudahkan urusan mereka, kami, dan kita komunitas muslim di Jepang ini untuk masa depan.
Tunggangan saya mengalami cidera. Kaki belakangnya entah kenapa mengalami pengurangan tekanan secara berangsur-angsur. Sehingga airnya kosong angin. Kebetulan saat itu lagi dalam perjalanan menuju Masjid Nagoya untuk Shalat Jumat. Terpaksa dorong deh… Untuk belum masuk puasa. Hampir…
Pulangnya minjam pompa ke Ghandara, toko briyani yang di belakang masjid. Mempan! Or so I thought… Setelah 5-10 menit, baru separuh jalan kumat lagi… Dorong lagi deh…
Istirahat hari Jumat yang biasanya cuma 2 jam mepet, waktu itu jadi 2 setengah jam. Hiks…
Malamnya pulang jalan. Perjalanan yang harusnya 15 menit sampe rumah, jadi 45 menit. Namun, hari ini hari Jumat, seperti biasa mampir ke Sama-sama dulu. Saya disarankan ke Jitensha Byouin, alias Rumah Sakit Sepeda di Osu Kannon.
Akhirnya, saya tinggal sepeda di parkir sepeda subway terdekat Osu Kannon malam itu. Besoknya ambil lagi dan bawa ke si Rumah Sakit.
Sesampainya disana, saya bilang mau nambal ban. Sesaat Pak Dokter memeriksa kaki si Dolphie, terus dia bilang “harus amputasi nih”…
Mengingat kondisi ban yang sudah begitu, ya sudah lah… Apa boleh buat.
Ganti ban dalam dan ban luar menghabiskan uang 6000 yen plus ongkos pemasangan 480 yen. Lahamnya… Di amazon ada ban bagus, putih, cuma 3000-an kalau nggak salah.Cuma karena ini ban belakang, kalau buka pasang sendiri susah dong. Alatnya pun harus beli di 100en shop dulu. Ribet dan yg amazon tadi pun ban luarnya doang, akhirnya OK deh.
Amputasi, dan ganti kaki prostetik lain…
Tunggu 30 menit, sambil ngobrol dengan Pak Dokter, akhirnya Dolphie kembali pulih. Walaupun kaki depan dan belakangnya jadi beda warna…
Tunggangan saya sekarang, successor Suprabit, Dolphie setelah ganti ban belakang
Waktu itu demonya hari kerja sih memang. Sore. Saya juga kebetulan pulang kerja saat lihat mereka lagi pawai.
Saat saya tanyakan ttg ini demonya ttg apa sih, kok tolak-tolak perang. Kan Jepang nggak lagi perang. Beliau bilang, “emang orang-orang yang demo ini aja yang bodoh” katanya. Menurut beliau, PM Abe ini niatnya baik, pengen membuat Jepang lebih kuat. Apalagi sekarang Korut sama China makin hari makin serem. Kok malah ditentang. Dasar orang aneh, kata beliau.
Yang unik, orang Jepang yang saya ceritakan ini berpendapat ttg demonya orang Jepang. Kalau menurut kita, orang asing, Jepang itu nggak suka demo kan? Jarang dengar demo. Terus kalau demo juga, tenang, atau malah kayak pawai dubsteb biasa, tertib lah. Kok Indonesia nggak bisa gitu ya… Menurut kita-kita.
Nah menurut teman saya tadi, Orang Jepang kalau demo ya gitu… Nggak beneran atau Cuma demo-demoan. Beliau pun mengagumi demo di negeri lain, yang kadang berujung rusuh itu…
“Kalau di Eropa atau Asia Tenggara, orang demo itu bertaruh nyawa. Mereka demo dengan keyakinan.”, katanya.
“Kalau di Jepang, yaaa begitu… Ala kadarnya. Nggak bisa dibilang demo sih itu. Pura-pura demo…” Beliau melanjutkan.
Jadi ternyata begitu… Kontras dengan kita yang despise dengan petarung demo.
Menariknya bertemu bangsa lain adalah ketika bertukar pikiran seperti ini. Apa yang kita kagumi ttg mereka, belum tentu mereka kagum, dan malah mungkin mereka kagum dengan apa yang kita tidak suka.
Catatan:pendapat ini belum tentu dimiliki oleh umumnya orang Jepang. Karena sampel yg mengemukakan cuma satu orang. Boleh jadi tidak bisa digeneralisir.
Terkadang saya bingung dengan sistem lampu merah di Jepang. Ya ya, kadang dibutuhkan sinyal yang berbeda untuk menunjukkan nggak boleh jalan terus dan boleh belok kanan misalnya. Jadi ada set lampu hijau dengan panah ke kanan nyala di bawah lampu merah utama. Di Indonesia juga ada lampu lalu linta model begini.
Nah kalau nyalanya kayak gambar di atas bijimana tuh? Ini perempatan loh ya, jadi semua kemungkinan (lurus, belok kanan, belok kiri) udah tercakup di lampunya. Nggak ada belok serong jadi.
Saat saya S1, saya memiki agan yang sangat unik. Sudah Profesor dan isinya wisdom semua mungkin. Jadi unik. Soalnya jarang profesor di Indonesia kan. Saya bangga dibimbing beliau. Ada plusnya banyak minusnya. Sangat terkenang dalam ingatan. Namun, itu bukan bahasan artikel kali ini.
Sebelum wisuda, saya ditawari untuk submit makalah di konferensi di Malaysia. Agak ribet urusan administrasi waktu itu, soalnya udah hampir lulus kan. Konferensi setelah saya lulus. Jadi agak sulit kalau mau dibilang membiayai mahasiswa konferensi. Yap, Indonesia dan birokrasinya yg ga fleksibel juga meliputi ITB.
Agan nelpon. Tumben bangen. Nah, agan ingin paper tersebut disubmit ulang ke jurnal. Oh okee.. Bisa gitu ya… Nggak semudah itu ternyata. Kontennya tentu harus beda, harus lebih komprehensif dan meyakinkan. Tulis ulang seperempat, coba ganti bagian klasifier cari yang lebih bagus.
… Kerjaan baru. Udah lulus padahal. Duh, masa .
Satu dua bulan kemudian saya mendapat info lulus beasiswa ke Jepang. Dan beban itu perlahan menghilang karena sempat galau dan juga saking excited nya-mau ke Jepang.
Kemudian, saya S2. Punya profesor baru. Komunitas Indonesia di lab menyebut dengan kode “agan” dari juragan, biar kalau ngobrol sesama nggak perlu nyebut kata sensei. Kesibukan pun dimulai dan jurnal dari agan sebelumnya itu kayaknya nggak mungkin bisa diselesaikan. Udah lupa juga kali.
Setahun kuliah, saya presentasi paper di konferens Bandung. Dan ketemu deh dengan si agan lagi. Dan masih ingat rupanya janji jurnal itu. Ampun gan…
Singkat cerita, saya selesai S2. Agan saya di Jepang ini baik banget, padahal menurut isu-isu dari sempai agan termasuk yang kibishi. Mungkin karena saya masih master, bukan doktor. Atau mungkin karena topik riset saya gitu-gitu doang. Aplikasi, bukan fundamental.
Karena paper yang dipresentasi di Bandung tadi baru preliminary report, mestinya ada paper full report kan ya. Niatnya sih gitu. Sebelum lulus, submit paper lagi jalan-jalan ke konferens mana gitu. Eh ga sempat karena sistem kebut sebulan, hehe…
Dan… Agan bilang, oke. Kamu tulis jurnal aja. Jeng jeng… Okelah dicoba. Waktu itu akhir Februari atau awal Maret. Tepat setelah sidang akhir. Masih ada sekitar satu bulan kan, buat mengekstrak tesis jadi enam halaman.
Genap satu setengah bulan saya pindah apartment ke Nagoya (setengah bulan kok genap). Setelah lulus dari Toyohashi, saya pindah ke Nagoya sini, untuk mencari nafkah. Walau belum ada yg mau dinafkahi sih. Eh. Ehm…
Oh ya, apato yang di judul itu artinya apartement. Namun jangan salah, namanya aja yang keren, tapi sebenarnya levelnya sama dengan kosan di Indonesia. Cuma ada dapur dan kamar mandi dalam aja. Nggak sekeren apartement yang di Dago itu lah.
Ngomong-ngomong keren, ada dua jenis kamar sewa disini. Apartment dan Mansion. Kocaknya, keduanya nggak sekeren makna kata dalam bahasa Inggris. Dua-duanya sama-sama kosan. Bedanya cuma di jumlah lantai (dan konstruksi) bangunan.
Apato atau apartment itu cuma dua lantai maksimal. Dindingnya biasanya kayu. Kalau diketuk sebelah denger. Kalau atas jalan dikit aja, yang di bawah denger.
Mansion itu gedung tinggi. Jadi ada beton nya dikit lah. Nggak mesti lebih gahul dari apato. Buktinya, kamar saya sekarang ini masuk kategori mansion tapi dari sisi ukuran dan fasilitas nggak lebih keren dari apato yang di Toyohashi.
Apato lama di Toyohashi
Kamar lama yg super keren, kosongan
Mansion baru
Kamar baru, kosongan
Apato lama dan mansion baru
Dapur sempit. Kamar mandi sempit. Dapur dan kamar nggak ada sekat. Jadi kalau kelewat hari Jumat dan lupa buang sampah harus nunggu Selasa dan menahan bau. Apalagi kalau ada ikannya. Untungnya bagian utama kamar ini keren, berkarpet, dan agak luas. Bisa untuk berdua lah setidaknya. Eh. Ehm. Kok lari ke situ lagi…
Waktu cari kamar, saya bilang “apato wo sagashiteiru no desuga…” yang artinya “nyari apato nih…”. Mamas agent menjawab: “heya wo sagashiteiru no desune.” Dibetulin, cari kamar ‘heya’ bukan apato. Hehe… Oh ya, kebanyakan kamar sewaan di Jepang harus cari via agen lho ya, jadi enak. Nggak kayak di Bandung yg agak ribet kalau nyari kosan, harus dateng ke kandidat satu per satu. Lebih lanjutnya, silakan googling ttg cara menyewa kamar di Jepang.
By the way, setelah enam minggu disini saya belum bertemu manusia lain di mansion ini loh. Sekali pun. Makanya saya jadi bertanya-tanya, ada orang lain yang tinggal di sini nggak ya. Hm Hm…
Tanda-tandanya sih ada. Ada suara-suara orang lewat di tangga gitu. Atau mesin cuci koin di bawah hidup. Di kotak sampah depan, plastik sampahnya bertambah di hari Selasa Jumat. Nah. Wujud manusianya aja yang belum pernah liat langsung.
Hm Hm…
Suatu malam seminggu sebelum pindah dari apato di Toyohashi, ada yang krusak-krusuk di atas kamar saya. Ternyata orang pindahan. Esoknya saya ketemu orang itu, bapak dan anak, mengetok pintu apato. Kayak video di Minna no Nihonggo, mereka berkenalan dan ngasih kado :
つまらないものですが。。。
“Ini barang membosankan, tapi…” kata si Bapak persis seperti di Minna no Nihonggo. Ini barang ga seberapa tapi mohon diterima sebagai token persahabatan. Begitulah…
Dua tahun setengah di Jepang, pas lulus baru deh dapat kejadian yg dipelajari saat les bahasa Jepang. Hmm… Kayaknya itu kalau nggak ada si bapak, si anak nggak bakal ngetukin pintu tetangganya deh.
Btw, barang yang diberi adalah handuk. Kayaknya handuk dari 100en shop atau 300en shop. Memang barang tsumaranai sih. Sekarang masih saya simpan. Niatnya mau saya kasih lagi ke tetangga di apato baru di Nagoya. Ikut-ikutan “tsumaranai mono desuga…” Lumayan kan nggak usah beli kadonya haha.
Namun nggak tercapai, dan sekarang teronggok di meja. Ragu juga mau ngasih siapa, kamar tepat di bawah kamar saya kah. Atau kamar sebelah kah. Atau semua satu lantai ini harus dikasih ya… Karena malas, akhirnya nggak tercapai dah. Dan belum bertemu sosok penghuni lain di gedung lima lantai ini.
Jadi saya cidera tangan saat lomba lari pada perhelatan hebat, War of 5 Kingdoms di Chubu Match kemaren. Detail cerita dari sisi “cidera”-nya sudah saya sampaikan di artikel sebelumnya. Pakai pembuka agak nyeleneh sedikit pula. Di artikel ini saya ingin menceritakan kekaguman saya dengan klinik tempat saya berobat.
Saya ke dokter tulang empat kali. Sehari setelah hari H. Tiga hari kemudian. Kemudian dua minggu kemudian. Terakhir satu bulan setelah kejadian.
Berkat hoken alias asuransi kesehatan, saya hanya membayar 30% dari harga aslinya. Tidak begitu mahal. Disini semua orang harus daftar asuransi kesehatan (kayaknya sih nggak harus, cuma kok pada daftar semua). Kayak BPJS gitu. Nanti, kalau ke dokter kita dapat potongan. Kalau setahun nggak kepake, nanti dapat cashback kupon belanja.
Yang paling mahal yang pertama, saya membayar 4230 yen. Namun, waktu itu saya mendapat periksa rontgen, gips dan perban, plus obat tiga jenis. Jadi wajar agak mahal.
Kalau di lihat di bawah, kita bisa menebak pembagiannya. Di tabel ada angka kemudian kani point 点. Tebakan saya sih tiap point itu harganya 10 yen. Coba aja kalau di jumlah kemudian dikali 30%, hasilnya persis dengan uang yang saya bayar.
Yang paling murah yang kedua, saya cuma periksa doang. Terus dokternya komentar dikit.
“Oke, kamu pake lagi gips nya dua minggu… Ntar tanggal sekian check up lagi.”
…
“Sir! Yes, Sir!”
Untungnya murah, cuma 380 yen. Itu lah makanya, daftar BPJS yuk rame-rame.
Yang saya heran, pas datang keempat, hoken saya di Toyohashi sudah saya tutup. Hoken di Nagoya belum dateng si kartunya… Jadi saya berada dalam posisi limbo.
Kebetulan jadwal main ke Toyohashi, saya mampir ke klinik lagi, walaupun nggak ada hoken. Ada sih memo dari City Hall Nagoya, cuma ternyata nggak bisa dipake juga. Hhahh… Bayar full deh. Namun mereka baik… Karena gak pake Hoken, akhirnya cuma periksa dokter aja. Nggak jadi rontgen dll, padahal mau check-up terakhir cek udah baikan belum si tulang.
Nah herannya, harganya langsung melonjak tajam. Periksa dokter doang yang tadinya cuma 380 yen, jadi 2630 yen. Mau naik haji! Point 点-nya sih 175 tapi dikalinya 150%. Apa-apaan yak…. Yuk lah, mari kita daftar BPJS.
Oh ya, perawatan disini super deh. Begitu kita datang, staf sudah tahu kita ini sakit apa dan dalam tahap apa periksa disininya. History kesehatan dan kedatangan sebelumnya lengkap. Jadi bisa tahu kalau datang ke tiga harus langsung ke ruang rontgen atau lepas gips atau apa gitu.
Rontgen juga kayak foto kamera aja. Tangan cuma ditaruh di kotak, terus dari atas ceklik. Begitu keluar ruang rontgen dan pindah ke ruang dokter, si foto tulang saya tadi sudah terpampang di layar komputer si dokter. Canggih…
Jadi inget nge-Xray di Bumi Medica Ganesha. Foto sekarang harus ambil besoknya (atau sorenya ya?). Harus ganti kamera tuh.
Sayang saya nggak minta softcopy nya.
Kemudian, sistem informasi disini juga rapi. Seingat saya di Indonesia kalau periksa dokter juga ikut ngurusi administrasi. Maksud aing, dokter juga nulis resep, ngotak-atik berkas, nyatet rekam medis. Kalau ada komputer, ya dokter juga.
Disini, dokter punya asisten. Si dokter cuma megang mouse dan melototin layar aja. Sisanya tugas asisten. Dokter tinggal bilang sesuatu “buatin obat ini itu, jadwalin check up lagi tanggal sekian kita check ini itu, bla bla”. Yang ngetik si asisten, dokter cuma cek akhir aja dan ngobrol ke pasien.
Simpel. Jadi dokter, apalagi yang tuek-tuek itu, nggak perlu lagi ngapalin UI/UX software macem-macem buat isi dan liat rekam medis. Cukup mbak-mbak yang masih muda aja yang ngetiknya lebih jago.
Oh ya, obat yang dikasih tadi ada tiga jenis. Dan dikasih keterangannya lengkap coba, seperti gambar di bawah. Yg apa obat apa, manfaatnya apa. Rata-rata cuma obat penahan rasa sakit, sama obat penurun panas. Dibiarin alami sembuh sendiri, jadi lama deh sembuhnya. Emang denger-denger disini dokter ngasih obat langka dan dosisnya rendah. Nggak kayak kita dikit-dikit antibiotik. Nuklir langsung dikeluarin.
Begitu rupanya dokter di Jepang. Jadi bisa merasakan. Walaupun datasetnya cuma satu, saya terkesan dengan penanganan disini. Penangannya gesit. Sistemnya tertata rapi. Mbaknya cakep. Alatnya canggih. Dan biayanya murah. Kalau pake BPJS, tapi.
Namun kalau di Indonesia mungkin cuma butuh pemulihan seminggu dengan sangkal putung kali. Lebih canggih lagi.
Halo, teman-teman panitia. Ini saya nggak tahu ya ide siapa. Nggak tahu nih ya. Lombanya lari estafet. Tari larinya harus bolak-balik. Terus batas baliknya adalah dinding seberang. Dindingnya harus dipegang. Nah… Siapa ini yang punya ide.
Emang nggak mikir ya… Yang namanya lari itu ya kecepatannya tinggi Pan. Cepet-cepetan. Masak iya disuruh pegang dinding. Ya sama aja nyuruh orang nabrak itu Pan. Nggak ada ide lain apa… Perpanjang jarak dong pan. Pakai sisi panjang dari gym nya. Jadi nggak perlu bolak-balik. Kan estafet pan? Atau bolak-baliknya di mana kek, asal jangan dinding.
Salah saya sih ya kali pan, lari kok nggak ngerem. Nggak pernah denger juga tuh ada pelari dunia yang “wow rekor ngerem terhebat, dalam setengah detik dari 100m/s jadi 3 m/s”. Kurang gahul kali ya. Tapi coba ada kejadian gini di US ya pan, ada kejadian gini. Walah, udah kena sue sana-sini. Sue ora jamu lah.
Saya lho Pan, dari kecil SD ini lomba lari sering Pan. Nih ya, kalau temen-temen saya dulu lomba lari di Lampung di sawah lho. Ya gimana, nggak ada gimnasium di SD saya. Maklum ndeso e. Di sawah sana saya itu jagungnya enak Pan! Bisa nyeser remis juga, kan deket kali. Berenang. Lompat dari atas jembatan. Naik lagi pake tambang. Seru pan!
Oh tambang. Tarik tambang pula nih pan… Bagaimana pula peraturannya. Mancla mencle. Tadinya harus menang dua kali, max 3 set. Toyohashi udah main, eh peraturan diganti menang satu kali, satu set. Macam mana pula itu, Pan. Terus mikir ya pan ya, tarik tambang itu capek. Capek Pan. Toyohashi udah maen 4 kali. Lawannya kuli dari Hokkaido, juara Pormas, nyamar jadi ketua PPIJ pula, ya mana menang pake separo tenaga pan.
Kalau mau fer ya Pan ya, kalau saya nih ya, diatur ulang peta pertandingannya dari awal. Kan pertandingan awal udah kadung pake sistem tiga set dua kali menang tuh pan, ya diatur ulang lah supaya nggak perlu main 4 kali.
Jadi sama-sama main tiga kali Pan!
Oh iya, itu tadi saya bilang kalau saya lho ya. Tapi ya nggak tahu ya pan ya. Namanya juga panitia. Keputusan panitia pasti bulat lah ya. Pastinya nggak bisa retak kayak tulang saya nih.
Ah jadi ngelantur. Ini kenapa pula gaya bahasa saya jadi ndeso begini. Dari lari ke tangan ke sawah jadi tarik tambang pula. Sudah ah, sudah. Daripada ada yang kebelenger. Ini pasti gara-gara ada surat yang viral dan kontroversial itu tuh. Jadi penasaran deh Pan pengen ngikutin…
Stop. Stop. Eh. Ehm… Stop. Sudah cukup parodi Surat Terbuka untuk Pak Dubesnya. Stop. Nggak pake pan-pan lagi. Stop. Hehe… Gomen teman-teman Gifu. ^^v Nggak segitunya kok. Santai… Bercanda. Cuma parodi kok hehe. Sama-sama belajar… Semoga nggak terulang di Chubu Match Shizuoka tahun depan. Semoga surat terbuka nggak intelek itu juga nggak terulang di kepengurusan mendatang. ^^v
Nah, melanjutkan update kondisi tangan yang cidera di lomba lari tadi. Mode biasa ON.
Bahkan dari foto jauh begini, bengkak tangannya terlihat
So, tangan saya mencium dinding. Dan sekitar satu jam kemudian ketika bengkak sudah sangat terlihat dan jari tak bisa bergerak, baru saya terasa ada yang salah dengan si tangan dan kemudian mencari penanganan ke panitia. Dikasih lah koyo. Namun menurut dokter satu-satunya di lapangan waktu itu, bengkak semacam itu harus dikompres dingin, bukan salonpas. Akhirnya ke panitia lagi dan dirawatlah saya oleh mbak-mbak baik disana. Dikompres dengan es dan dipegangin selama satu jam penuh. Hiks terharu…
Sayang bukan si bu dokter yang turun tangan. Eh. Coret-coret… Fyuh,,…
Nah es itu bersifat seperti bius. Sampai di Toyohashi pukul 11an, kompresan masih ada. Bengkak agak reda. Karena bius jadi ngga kerasa sakit. Kayaknya aman deh, menurut saya. Bisa tahan untuk besok pergi lab-graduation-trip ke Taiwan. Sebelum tidur saatnya masak dan mempersiapkan bento untuk ke Taiwan besok. Namun, saya belum menyadari hal itu. Tak pelak bius kan habis jua.
Sekitar jam 1 malam, saya merasakan sakit yang teramat sangat. Bukan cuma sakitnya pegal gt… Nggak bisa dibawa tidur, nonton, atau ngapain pun. Kayaknya lebih sakit dari sunat deh. Yang satu kulit, yang satu tulang soalnya. Begitu rupanya sakitnya tulang. Maknyos!
Saya tahan sakit sampai jam 9 pagi. Sebenarnya jam 6-9 saya sempat tidur. Cara mengakalinya adalah memasukkan si tangan kanan tadi ke ember isi air. Maklum Maret suhu air disini masih kayak kulkas. Bisa tidur deh, akhirnya, sampai dibanguni oleh Mas Iwan yang menolong saya ke dokter tulang. Dan jeng-jeng, memang si tulang retak katanya.
Sebenarnya saya nggak ngerti tulang retak itu kayak apa. Diliatin rontgen, perasaan sama aja. Bentuk tulang gitu. Nggak berserpih. Tapi kata dokternya gitu. Akhirnya tangan aing di-gips dan dikasih obat pereda rasa sakit.
Posisi Retak
Taiwan? Bye-bye… Cuma bisa bilang “shikatanai” ke teman lab.
Hidup dengan tangan kiri doang ternyata cukup menantang. Makan, ngetik, pegang mouse, nyuci piring, cebok, semua pakai tangan kiri. Eh cebok memang pake tangan kiri ya… Lucunya si Abi, temanku. Yang sakit tangan kanan, pas jenguk yg ditanyakan pertama kali:
“Bisa cebok nggak mas?”
Hm… Yang paling repot nyuci piring kayaknya. Harus dua tangan soalnya.
Awal-awal susah berkidal. Setelah dua minggu, udah biasa. Akhirnya kayaknya saya jadi ambidekstral deh. Keren juga. Skill yang harus dilatih terus tuh, biar nggak lupa…
Oh ya, saya pikir bakal cuma dua minggu nasib tangan tersebut. Gips-perban sudah pernah saya copot sih, sehari. Tapi ternyata sehari nggak pake perban sama sekali ternyata membuat nyeri di malam senin waktu itu kembali lagi. Akhirnya menurut dokter harus dipakai perban sampai akhir Maret. Sebulanan deh diperban.
Pada akhirnya, ketika pindahan, farewell party, dan wisudaan saya pakai perban. Kenangan yang tak terlupakan. Kapan lagi coba…
Tepat dua bulan setelah hari H, kondisi tangan sudah membaik. Sudah sebulan saya paksakan nggak pake perban, hari pertama ngantor saya copot perban. Sampai sekarang ke kantor pakai sepeda juga sudah biasa.
Namun tanda-tanda cidera tadi masih ada lho… Coba pergelangan tangan Anda bengkokkan sampai 90 derajat. Biasa aja kan? Tangan kiri saya juga gitu. Namun, tangan kanan saya cuma bisa 120 derajat saja, kecuali kalau di-assist oleh tangan satunya. Harus banyak push-up kali biar tulang pergelangannya punya fitur berbunyi lagi kalau diadu ketika terasa pegal.
Begitulah cerita saya cidera tangan saat lomba lari. Hati-hati, dinding menghadang Anda.
I covered that Japanese space is quite dangerous for programming in the previous post. But more than that, I hate the layout of the Japanese keyboard itself. The placement of symbols in Japanese keyboard are illogical! Especially the quotation mark. It’s all over the place. Who the heck design it.
The ◌’ and ◌” is logically placed on the top of another in the international layout. I used these two characters anytime I get involved with String type variable, which mean a lot of time.
In the Japanese layout, single quotation mark ◌’ is above the 7 key, and double quotation mark ◌” is above 2? Incidentally, there is an accent mark ◌` key–which is almost never used–and double accent or tenten ◌〃key–which is un-pressable–misleadingly near the good old location. Why Japanese peopleee??
Colon and semicolon now have their own room.
Slash and backslash is quite separated in international layout. But, good luck finding them in the Japanese layout. Especially for Mac.
By the way, I hate the Mac keyboard layout too. There are two too many switch keys in Mac layout. You know, there are shift, alt, ctrl, and the unused fn in Windows. In Mac, additionally command and option keys are present. Great, new functions!
Except, you know have to remember many many short-cut combination. Whether it used ⌘ button or ⌥ button or whatever. I don’t even know what those symbols mean. I hate you.
Programming with Japanese keyboard is quite dangerous. To understand what I am talking about, please see the following two characters: “ ” versus “ ”. See the difference?
Now, imagine it was typed in Notepad++, in programming context.
To illustrate this, I make this easy example. Please guess which one is which.
Give up?
Well, let me give you clearer picture with a clue.
So is this any problem?
Yeah. It will give compile error.
Now that I know the problem, it is easy to track. We can look for strange looking characters in the error log. However, the first time I encountered it, it took me hours.
Imagine if this ominous space character is accidentally typed among sea of Japanese text (between String or Japanese comment for example). May god always protect us.
Di Jepang saya merasa banyak orang-orang mengetuk pintu saya. Tidak seperti di Indonesia. Yang saya ingat cuma pengemis dan pengamen saja. Ya mungkin tambahannya mbok jamu atau sales Tianshi.
Berikut saya daftar para pengetuk pintu tersebut. Supaya teman-teman bisa bersiap-siap jika ada ketukan pintu atau dering bel. Catatan, tadinya mau ngasih judul Para Pengetuk Tobira, biar jadi PPT. Tapi kok alay ya…
NHK
Pengetuk pintu yang satu ini adalah yang paling ingin dihindari oleh semua orang. Terutama bagi pemilik televisi. Setara dengan rentenir, mereka ini akan memaksa Anda untuk bayar ‘upeti’ atas tivi yang Anda miliki.
Ada dengar cerita dari teman Jepang, ada kasus bahwa memiliki komputer juga dikenai pajak pertelevisian. Jadi teman saya itu menyarankan, saat bertemu om-om NHK ini jangan juga mengaku punya PC.
Memang dalam undang-undangnya cakupan si pajak ini sangat-sangat luas. Jadi hanya dengan punya alat yang bisa menerima saluran televisi, apapun alatnya, juga dilingkupi oleh undang-undang tersebut. Technically, kalau bisa akses tivi lewat internet hape pun bisa kena si pajak. What a stupid law.
Setahu saya, Inggris dan Jepang yang masih menerapkan pajak penerangan ini. Bedanya, Inggris memiki klausa denda jika tidak membayar, dan Jepang tidak. Jadi ya, om-om NHK pengetuk pintu ini at best, annoying. Annoyingly persistent.
Atau yang paling aman adalah bilang Nihonjin tabemasen aja ke mereka. Yang penting jangan pernah ngaku punya tivi.
Tukang Sekolah Nyetir
Di Jepang sistem pos masih sangat diandalkan. Setiap kamar apato memiliki kotak pos sendiri-sendiri. Namun, 70% isinya adalah brosur-brosur dari sales. Makanan, alat kecantikan, dan sekolah mengemudi.
Tidak hanya memberi brosur, mas-mas salesnya pun rutin mengetuk pintu. Mungkin setiap tahun ajaran baru kali ya. Ingin “membantu” maba-maba yang belum bisa nyetir seperti saya ini.
Satu yang saya pelajari adalah kalau ada sales begini, jika kita bisa bahasa Jepang dan menunjukkan sedikit ketertarikan atau keramahan, mereka bakal nyerocos sampai habis. Namanya juga sales. Kebetulan waktu itu saya juga agak penasaran jadi nanya-nanya juga. Pengen bisa nyetir juga disini, belum punya SIM A di Indonesia jadi harus tes dari awal disini yang itu artinya tes dengan difficulty level “Asian” deh. Mustahil lulus. Jadi, orang Jepang banyak yg ikut sekolah nyetir, diajarin, dan level tes nya jadi turun katanya. Sayangnya mahal sekolah nyetir disini, 30 juta!
Jehova Witness
Nah ini. Satu lagi dari Mayoraannoyingly persistentgroup of people. Saya juga baru tahu sekte Kristen yang satu ini di Jepang. Mereka mengetuk pintu dan literally menjual agama.
Yang saya nggak habis pikir adalah cara mereka itu. Ngasih brosur, jelasin satu dua menit lalu nanya:
Gimana? Omoshiroi?
Wait what? Oi… Kristen itu agama dengan populasi terbesar di dunia. Jadi besar kemungkinan kalau saya udah tahu sedikit tentang agama ini. Nggak tahu tapi ya apa bedanya atau spesialnya di Jehova Witness. Kalau dengan 1 menit baca satu halaman brosur saya sudah bisa “tertarik” dengan sekte ini, chances are saya sudah kristen dari awal. Yang artinya, brosur dan tawaran Anda nggak berguna. Nggak ada cara yang lebih halus apa ya…
Yah tapi salut lah sama usaha mereka. Nice try. Kalau di Indonesia udah banyak yang protes kali usaha seperti ini… Wait, cek di youtube ternyata jaringan mereka besar juga. Ada channel yang didedikasikan untuk membahas Indonesia pula. Kalau Indonesia orangnya ramah-ramah dan jangan takut dakwah disana.
Di Inggris juga ada! GradeA UnderA sedikit bahas dalam video para pengetuk pintu-nya ini. Lucu banget. Check it out…
By the way, mereka ini juga persisten. Sangat! Dalam hampir dua tahun di apato Toyohashi (para pengetuk pintu ini nggak mendatangi asrama) saya mungkin udah diketuk mungkin hampir 10 kali. Bilang nggak bisa baca nihonggo ditawari bisanya bahasa apa. Oh ya awal-awal ditanyain orang apa, soalnya bukan muka Jepang kan aing. Terus seminggu kemudian datang lagi deh dia, bawa brosur Bahasa Indonesia.
Saya iseng nggak buka pintu. Brosurnya dimasukin ke kotak surat pintu. Pas keluar mau asharan, eh ketemu si ibu pas mau nyebrang jalan. Disamperin lah. Masih inget (bukan orang Jepang sih). Eh tadi saya nyoba ngetok nggak ada, kemana ya… Udah baca kah brosurnya… Semangat sekali ya mereka ini.
Hm hm… Seandainya ada orang grup islam dengan semangat yang sama. Jamaah tabligh mungkin?
Btw, ada yang bilang mereka ini, misionaris berdakwah ini, baito. Hm…
Missionaris Budha
Masih dalam kategori yang sama, pengetuk pintu yang satu ini menawarkan agama Budha. Yap, agak aneh emang kalau nggak ada biksu yang keliling berdakwah di negara yang mayoritas agama Budha ini (atau Shinto?, atau animisme?, atau atheis?).
Namun saya kaget ternyata ada beneran. Belum pernah ke pintu saya sih, tapi teman di Kanto. Mungkin karena rumahnya dekat dengan kuil, jadi disambangi.
Yang lucu adalah, teman saya cerita, dialog mereka meyakinkan si teman kalau yang mereka bawa itu keren. Katanya, Tuhannya Kristen cupu, bisa mati. Nggak kayak punyanya mereka yang sakti mandraguna. Well… Is that supposed to impress us?
Btw, teman saya yang satu ini keren juga. Dari ceritanya sih ngobrol di luar, fuyu-fuyu, sampe hampir sejam. Debat gitu. Kok kalau saya males meladeni ya. Masih banyak pengetuk pintu lain, haha… Ayo kita tunggu ceritanya di blog teman saya, semoga, suatu saat.
“Missionaris” Islam
Iya dong. Nggak ketinggalan. Islam juga punya para pengetuk pintu. Seperti yang saya singgung sedikit tadi, Jamaah Tabligh namanya. Bedanya, mereka hanya “menarget” yang sudah memeluk islam. Mengingatkan kembali jalan yang lurus.
Biasanya mereka ini adalah orang asing yang sedang keluar 40 hari atau 4 bulan. Maklum, orang Islam di Jepang kan secara proporsi tidak banyak. Jadi ya orang Indonesia, Malaysia juga yang datag. Kadang juga Bangladesh dan Pakistan. Mumpung mereka menginap di Masjid Toyohashi, mereka mengetuk pintu untuk “berdakwah” saling mengingatkan dan berkenalan dengan penduduk sekitar.
Saya juga pernah diajak keliling mengetuk pintu oleh orang-orang ini. Jadi observer aja sih. Seru juga… Silaturahim dengan teman-teman di satu kota.
Dengan demikian, saya sih nggak begitu keberatan kalau mereka mengetuk pintu saya. Kalau ada waktu dan makanan ya saya suruh masuk dan berbincang akrab di dalam. Daripada ngobrol di pintu. Saya juga penasaran dengan mereka. Apa cerita mereka? Kok bisa ke Jepang lama gitu untuk dakwah? Dananya, waktunya gimana? Di Jepang udah kemana aja? Bedanya dengan negaramu apa? Dst.. Dst.. Ya kayak ketemu paman gt lah.
Sayangnya, kadang saya mendapati kemalasan atau kekesalan saat mereka. Mungkin hati saya yang sudah sedikit keras, atau kebetulan pembicara waktu itu masih hijau dalam mengajak orang dalam kebaikan. Gimana ya? Seperti menghakimi atau menuntut begitu…
Seolah-olah mereka melihat ke bawah dari pucuk bukit lalu berkata ikutilah jalan kami, keluarlah, KELUARLAH, kalau tidak NERAKA.
Seolah-olah loh ya, mereka nggak ngomong gitu persis plek tentunya. Cuma nada bicaranya… Atau susunan kalimatnya… Atau secara implisit menjelekkan firqah islam yang lain. Nggak tahu lah. Yang penting seperti kurang ahli-lah… Kurang mengena…
Tidak selalu sih, kadang saja. Masih harus banyak belajar mungkin. Nggak semua orang pandai berbicara kayak usadz di tivi-tivi. Menurut saya sih, daripada memaksakan membawa elemen dakwah, ceramah, mentah-mentah begitu ke rumah-rumah, mending mereka ambil rute full silaturahim. Ya kayak yang saya bilang tadi. Apa cerita mereka? Dari mana asal? Udah kemana aja di Jepang? Terus kan bisa disisipi dengan si inti yg ingin disampaikan. Misal komentar ttg Jepang, atau , atau nasihat-nasihat. Sambil ngobrol gitu. Lebih elegan sepertinya.
Story for another time.
Tukang Koran
Di anime, saya sering mendapati adegan begini. Orang mengetuk pintu. Lalu yang punya rumah langsung teriak:
Sinbun nara iranai yo…!
Yang artinya, kalau tukang koran aing nggak butuh.
Saya nggak mengerti adegan ini sampai saya mengalaminya sendiri. Yap, tukang orang mengetuk pintu saya. Setelah saya pindah di Nagoya.
Awal-awal pembicaran ramah. Bisa bahasa Jepang nggak? Bisa baca? Terus nanya pelajar atau kerja. Terus, biasanya liat berita darimana. Wah! Harus baca koran tuh!! Kebetulan ini lagi ada promo… Diskon… Nyodorin kartu diskon AEON dia.
Karena kurang ahli, saya refleks menerima saat dia menyodorkan kartu itu. Kesalahan fatal! Butuh waktu 20 menit untuk meyakinkan kakek ramah itu kalau saya nggak perlu si kartu diskon dan si koran. Semurah apapun.
Yang buat paling kesal adalah tentu persistensinya: Kalau nggak mau kartu diskon X, mau yang Y nggak? Wah, nggak bisa bahasa Jepang, belajar lah! Bisa bahasa Inggris??? Wow… Kebetulan ada yang bahasa Inggris juga kok. Mahal? Maunya berapa, untuk mas saya jatuh harga lagi deh.
Sales sejati tuh bapak. Lain kali saya ikuti trik di anime aja deh. Shinbun nara iranai yo…
Kuroneko
Nah ini. Ini adalah pengetuk pintu yang ditunggu-tunggu. Soalnya barang pesanan dari Amajon. Makin sering beli di amajon, frekuensi mereka mengetuk tentuk makin sering, dan akhirnya bisa-bisa kenal deh
Saya baru pindah di Nagoya 2 bulan aja, pas pulang dan lewat di depan apato, ada mobil kuroneko lewat, mas-masnya langsung nanya. Eh yang di kamar xyz itu ya. Ini barangnya udah sampe… Padahal diset jadwal kedatangannya masih malam.
Tetangga Ngasih Makanan
Terakhir ini adalah pengetuk pintu yang paling diharapkan. Biasanya tanpa ketuk pintu sih, tiba-tiba sudah ada di gantungan pintu aja. Sayangnya frekuensi kejadiannya sangat langka. Hiks.
Kapan lagi yak… Mana da kemungkinan kalau gedung yang saya tinggali ini tak berpenghuni pula. Waduh-duh-duh…
Bagaimana? Ada pengetuk pintu lain yang saya lewatkan?
Sudah lama mau awak tanyakan dari dulu. Apa lah ini rupanya? Dimana-mana awak jumpanya bènda ini.
Gaya kali macamnya surat kabar ini. Panjang bètul rupanya artikèl awak ya? Sampai berderet-deret nombor halaman kow itu. Tak capèk rupanya reportèr awak tulis sepanjang itu.
Tapi kutèngok, tak pula panjang-panjang artikèl kow itu. Apa pulanya bah? Tiga ampat paragraf sudah awak potong. Paragraf pun kau pendek-pendek! Tak ada lah bobotnya kutèngok. Kupaksa baca pun, diulang-ulang rupanya isi berita kow. Tak ada kontennya pun.
Dear investor tribun,
Saya merekomendasikan Anda untuk mengaji ulang proposal konstiuen Anda tersebut. Sebaiknya jangan langsung mempercayai angka view count yang pihak redaksi Tribun presentasikan pada rapat investor. Ada harus punya pemahaman bahwa sublaman tadi adalah keputusan bodoh dan menjadi indikasi besar bahwa semua angka itu adalah mark-up. Tidak merepresentasikan realita pengunjung ke situs Anda yang sebenarnya. Mark-up yang sistemis demi membohongi diri sendiri. Atau membohongi Anda-anda ini.
Jika ingin mendekati angka sebenarnya, ada baiknya Anda bagi nilai yang mereka sampaikan dengan faktor tiga atau empat. Namun, jika ingin lebih tepat dan ilmiah, saya sarankan untuk membangun crawler sederhana untuk situs Tribun. Cukup satu fungsinya, yakni menghitung rerata jumlah paging per per laman di situs tersebut. Kemudian, Anda bisa memakai asumsi bahwa seluruh pengunjung berita multilaman mengunjungi semua sublaman tersebut. Atau buat asumsi sendiri yang lebih realistis. Nah, bagilah angka view count yang mereka sampaikan itu dengan nilai rerata yang Anda dapat. Karena memang lebih logis menghitung jumlah pembaca per berita, bukan per laman.
Bagi dua tanpa tujuan
Sangat disayangkan saya punya keterbatasan waktu. Kalau ada waktu luang, mungkin saya bisa membantu menghitung rerata jumlah tautan sublaman tadi.
Dear koran-koran onlen yang tak berebda dengan blog macam kami ini,
Apakah kau tahu bedanya kolumnis dan jurnalis? Ataukah kau sudah lupa?! Kini artikel-artikelmu tidak lagi memegang prinsip jurnalisme. Tidak ada lagi istilah tajam dan teruji. Tak ada lagi objek, semua berganti subjek. Selayaknya tulisan level kolumnis, bias-bias kalian semakin mengemuka. Berita-berita kalian sudah bergeser menjadi opini-opini. Fakta-fakta menjadi kolom-kolom. Reputasi jurnal kau, koran kau, nil.
Apakah jurnalis-jurnalis Anda sudah beralih profesi semua? Atau editor-editor kalian sudah tidak pernah lembur lagi. Atau saking besarnya permintaan akan berita cepat saji, kalian punguti cecunguk-cecunguk yang biasa bermain topeng monyet di perempatan? Atau memang bos-bos kalian sudah pada melek teknologi, akhirnya selevel dengan anak SMP di Facebook.
Ini membuat aku jadi berpikir. Pantas saja banyak orang sekarang suka bagi artikel dari portal blog, atau kolom opini macam komposiana, atau comot-nama-koran-terkenal-luar-negeri-lalu-tambahi-Indonesia-di-belakangnya.com. Lalu menganggap bahwa “wah berita ini iyaaa banget….” Pantas saja banyak portal yang pandir, tak beredaksi, tak ada sistem tanggung jawab. Tapi memproklamirkan bahwa adalah media alternatif! Alternatif? Jika yang dimaksud alternatif adalah sampah, iya mungkin,
Bagaimana tidak. Jika penggawa saja tidak bisa diandalkan. Namanya saja yang besar. Kepentingan pun besar. Disetir penguasa. Disetir parpol pengusungnya. Bagai buah separuh busuk. Terang saja masuk tanah. Lalu pergilah ibu ke pasar pagi. Mencari gerbang opini kedua ketiga dan keempat.
Mohon maaf Tribun! Artikel ini harusnya didarmakan untukmu seorang. Sepertinya aku terjangkiti oleh tren masa kini kroni-kronimu. Pasang judul ke hulu. Tulis isi ke hilir. Namun aku juga gatal bun. Gatal dengan situasi “koran” atau “media” Indonesia ini. Mumpung yang aku singgung adalah kau! Salah satu anggota terdepan barisan itu.
Tidak perlu bersedih hati. Ini bukan salah engkau, Tribun. Bukan pula fokus artikel di blog kemaren sore ini.
Namun sayang. Andai salahmu hanya ada di si antarmuka bodoh itu. Aku akan cukupkan sampai disini. Sayang. Situs yang kau klaim sebagai pustaka para jurnalis itu pun, sebagian mirip seperti tembok depan apartemen-apartemen di Jepang. Kotak sampah.
Sumber: http://www.a-c-t.jp (agen apartement), lokasi gambar di Gunma. Kotak sampah memang umum dijumpai di depan apartement Jepang. Semakin bagus apartement semakin bagus kotak sampahnya. Tapi tetap saja, kotak sampah ya hanya untuk diisi sampah. Namun, di kota besar ia hampir selalu kosong, hanya terisi di hari tertentu, beberapa jam sebelum mobil sampah datang.
Dear teman-teman pembaca tribun,
Kok masih mau-maunya baca ya ini koran. Heran deh saya… Kalau saya sih biasanya langsung eneg kalau ada yang nge-share berita dari sini. Ih, kalau nggak terpaksa jangan sampe deh. Amit-amit…
Padahal ya, tribun ini masih lebih mending lho kan dari blog yang ngaku-ngaku berita itu. Ironisnya sebagian ngaku-ngaku sebagai beritanya islam. Padahal isinya, berita bukan, islam bukan. Si tribun masih mending lah, ada sistem redaksinya, walaupun kontennya tetap njilani.
Tapi yang nggak kesampean UI-nya itu lho. Ya ampun… Kayak nggak bisa nyewa desainer aja. Kotak paging-nya itu pula, membohongi diri kok bangga. Ngeliat ada page 2, 3, 4 gitu semenarik apapun judul dan page 1 nya, definitely langsung saya tutup. Sama aja kayak ngeliat ada mesej yang lebih panjang dari layar, siapapun pengirimnya, sebagus apapun semulia apapun mesejnya, nggak akan saya liat. Tapi bukan karena panjangnya loh ya. Kalau mereka nggak niat menulis berita lengkap di satu halaman, cuma memberikan berita cetek yang cuma dua tiga paragraf lalu harus pindah laman untuk membaca lebih yang akhirnya juga mengulang-ulang laman sebelumnya, cih mending nggak usah deh. Buang-buang view count.
Saya nih ya, kalau ngeliat orang share berita Indonesia, kadang, kadang banget, baca juga. Bukan tribun lah tentunya. Yang lain lah, yang termending dari yang masih mending. Cem-cem Kompos, Tempe, atau Repelikan. Tapi biasanya kalau isinya heboh, terutama tentang berita sains atau berita internasional, saya skeptis. Nyari dulu berita dari koran internasional. Kalau ada berita yang sama baru saya percaya.
Nggak tahu ya kalau negara lain. Kalau orang Indonesia, setiap ngumpul pasti ada aja organisasinya. Ngumpul bola, buat paguyuban futsal. Ngumpul naik gunung, grup pecinta alam. Ngumpul makan-makan, tim investigasi makanan halal. Ngumpul maganger, ikatan saudara trainee. Ngumpul mahasiswa, sudah barang tentu persatuan pelajar.
Serunya, hampir setiap organisasi itu bakal memiliki ring yang lebih besar dan lebih besar lagi, hingga sampai senegara (se-Jepang misal) atau sedunia. Soal persatuan pelajar tadi, di Jepang namanya PPIJ ~ Persatuan Pelajar Indonesia (di) Jepang.
Oh ya, jangan salah ya… PPI di Jepang, P yang pertama itu persatuan bukan perhimpunan, sesuai dengan AD/ART PPIJ. Walaupun, mayoritas negara lain memakai kata perhimpunan.
Saya tidak tahu persis hitam di atas putih organisasi nasional ini. Namun yang pasti, KBRI Jepang mengakui keberadaan PPIJ ini. Secara struktural, setiap universitas atau gabungan universitas (kalau mahasiswanya dikit) tergabung dalam PPIJ di satuan terkecil, namanya Komsat alias komisariat. Beberapa komsat kemudian bersekutu menjadi satuan regional, namanya Korda alias koordinator daerah. Di bawah PPIJ, terdapat 9 korda, yang detailnya dapat dilihat di web PPIJ.
Secara organisasi, pengurusan PPIJ diurus rembuk oleh semua korda. Ketua dipilih oleh badan tertinggi PPIJ yakni Kongres PPIJ yang diadakan satu tahun sekali. Kongres diisi oleh utusan tiap korda.
Meskipun begitu, secara praktikal yang berpengaruh di kehidupan Mahasiswa Indonesia di Jepang sebenarnya adalah komsat. Korda dan Pusat tidak ngepek apa-apa untuk mahasiswa biasa… Di kampus saya, komsatnya bernama PPI-TY alias PPI Jepang komisariat Toyohashi atau disingkat PPI Toyohashi. Komsat ini berada di bawah Korda Chubu. Mekanisme pemilihan ketua komsat dan korda diserahkan ke masing-masing yang bersangkutan. Kebetulan saya pernah apes terpilih jadi ketua PPI-TY. x.x
Kenapa cuma komsat yang ngepek, korda dan pusat nggak? Karena jarak, kesibukan, dan kepentingan. Orang-orang komsat kan sekampus, ya ketemu terus… Jadi gampang koordinasi, kalau mau makan-makan, kumpul-kumpul, buat acara, atau menghadiri event/festival tertentu.
Saya pernah mendapat pertanyaan sulit dari mapres ITB yang kebetulan lagi ada program internasional seminggu di TUT. Berikut pertanyaannya:
Urgensi ada organisasi PPI pusat se-Jepang apa ya mas? Kan kayaknya komsat aja udah cukup.
Biasa, mahasiswa S1 bahasannya seputar urgensi dan idealisme mulu…
Ya buat tukar pikiran aja dengan komsat lain, ttg. kegiatan dan mungkin riset. Dan juga supaya koordinasi lebih efisien ke kedutaan, organisasi lain, dll… Minimal buat nambah temen senasib seperjuangan.
Namun, jawaban ngasal diplomatis ini kayak belum memuaskan, setidaknya bagi saya. Saya juga nggak punya kapasitas buat jawab. Mungkin Pak Ketua PPIJ, Candra Wirawan bisa menjawabnya. ^^v
Oke, udah cukup premis dan world building-nya? Sekarang masuk ke cerita yang mau diomongin.
Salah satu hal yang diamanahi ke saya selama di Jepang (dan belajar di Toyohashi) adalah mengelola sebuah toko makanan halal.
Pusat muslim di Kota Toyohashi adalah Masjid Toyohashi dan kampus TUT, karena sebagian besar muslim adalah mahasiswa. Kebetulan posisinya jauh dari ‘peradaban’, alih-alih toko halal. Harus agak jauh bergerak dulu dengan transportasi pribadi baru bisa menemukan restoran muslim-friendly.
Bahan makanan? Agak susah. Ada juga supa Gyomo atau toko brazil yang menjual ayam halal tapi hanya satu dua dan agak jauh.
Jadi, senpai-senpai mencetuskan toko halal sendiri di Masjid Toyohashi. Entah kapan dimulainya… Mungkin 2012 kali ya, karena si Masjid sendiri kan baru beroperasi tahun 2012. Saya cuma tahu 2 generasi ‘pengelola’ sebelum saya: Trio Agus-Hairi-Febry dan Purwo.
Sekarang saya sudah memegang toko ini hampir satu setengah tahun. Seperti yang dilakukan senpai-tachi, sebentar lagi juga saya akan memindahtangankan toko.
Oh ya, si Toyohashi Halal Food ini punya fanpage loh. Senpai yang buat… Entah kenapa tiap minggu ada aja yang like… Nggak ngerti juga saya. Update terakhir 2012 padahal.
Kantin Kejujuran
Konsep toko ini adalah kantin kejujuran. Tidak mungkin soalnya toko ditungguin terus tiap siang. Saya kan kuliah. Konsep ini kayaknya unthinkable untuk dilakukan di Indonesia.