Salah satu hal yang diamanahi ke saya selama di Jepang (dan belajar di Toyohashi) adalah mengelola sebuah toko makanan halal.
Pusat muslim di Kota Toyohashi adalah Masjid Toyohashi dan kampus TUT, karena sebagian besar muslim adalah mahasiswa. Kebetulan posisinya jauh dari ‘peradaban’, alih-alih toko halal. Harus agak jauh bergerak dulu dengan transportasi pribadi baru bisa menemukan restoran muslim-friendly.
Bahan makanan? Agak susah. Ada juga supa Gyomo atau toko brazil yang menjual ayam halal tapi hanya satu dua dan agak jauh.
Jadi, senpai-senpai mencetuskan toko halal sendiri di Masjid Toyohashi. Entah kapan dimulainya… Mungkin 2012 kali ya, karena si Masjid sendiri kan baru beroperasi tahun 2012. Saya cuma tahu 2 generasi ‘pengelola’ sebelum saya: Trio Agus-Hairi-Febry dan Purwo.
Sekarang saya sudah memegang toko ini hampir satu setengah tahun. Seperti yang dilakukan senpai-tachi, sebentar lagi juga saya akan memindahtangankan toko.
Oh ya, si Toyohashi Halal Food ini punya fanpage loh. Senpai yang buat… Entah kenapa tiap minggu ada aja yang like… Nggak ngerti juga saya. Update terakhir 2012 padahal.
Kantin Kejujuran
Konsep toko ini adalah kantin kejujuran. Tidak mungkin soalnya toko ditungguin terus tiap siang. Saya kan kuliah. Konsep ini kayaknya unthinkable untuk dilakukan di Indonesia.
Barang dibiarkan di rak dan kulkas. Orang yang datang tinggal ambil si barang, melihat harga di daftar, dan memasukkan uang ke kotak. Jika tidak ada kembalian, hutang dulu aja dan ulis di kertas. Besok kalau kesini lagi atau ketemu pak manajer (saya) baru bayar.
Kalau ada perlu atau nggak tahu harga barang, bisa tilpun saya.
Setiap shalat ke masjid, saya tinggal mengecek ada uang kertas atau nggak di kotak. Kalau ada ya dipanen. Kalau tidak, ya rapi-rapikan uang koinnya.
Konsep ini mengandalkan situasi kondusif dan semangat kejujuran yang dijunjung tinggi oleh budaya Jepang. Muslim yang datang kesini tentunya tahu dan sadar ttg budaya ini, terutama sadar kalau dia muslim kan? Jadi alhamdulillah konsep kantin kejujuran ini bisa diterapkan disini.
Rutin Mingguan
Jobdesk manager “hanyalah” memastikan stok ada setiap minggu. Liat apa yang habis, kirim fax ke supplier, dan besok atau lusanya menunggu Sagawa Transport mengirim si barang. Bayar kemudian rapikan barang ke rak/kulkas. Udah deh!
Biasanya hal itu saya lakukan setiap Selasa sampai Kamis.
Kerjaan lain mungkin menunggui toko setelah jumatan, soalnya waktu masjid ramai cuma saat ini. Kadang ada yang nggak mau beli kalau nggak dihitungi belanjaannya.
Terakhir mungkin mendatangi komunitas yang tinggal agak jauh dan sulit mengakses masjid. Biasanya setiap dua minggu sekali kami kesana dan menggoyong semua barang pake mobil supaya orang saya bisa beli.
Melihat rutin mingguan di atas sebenarnya saya pikir tidak ada kriteria istimewa yang harus dimiliki pengelola. Namun, entah kenapa saya agak sulit mencari penerus saya sekarang. Tapi itu mungkin untuk cerita lain kali. Doakan saja…
Sedikt twist-nya adalah di bahasa Jepang. Karena yang nyupir truk Sagawa Transport itu adalah orang Jepang, jadi harus bisa minimal janjian kapan waktu datang. Juga ketika ada kejadian khusus yang membuat kita perlu menghubungi atau dihubungi supplier (misal: stok habis, salah kirim, salah hitung, dll).
Stok, Manajemen, dan Eksperimen
Jualan toko saya kami ini intinya cuma dua: bahan mentah dan bumbu Indonesia. Daging, ayam, hati, sosis, gitu-gitu. Bumbu instant rendang, balado, semur, dll. Juga cabai, Tak lupa indomie tentunya.
Pencilan lain agak kurang rajin distok seperti beras pakistan “basmati”, bumbu pakistan, kacang hijau dan kacang oranye “dal”, dan barang Asia Selatan sana. Juga tambahan barang eksperimen iseng yg lagi pengen saya beli.
Yap, saya kadang eksperimen pengen coba masak ini atau itu. Karena saya punya kekuasaan penuh terhadap stok, jadi saya coba pesan dikit. Ambil satu, sisanya di jual. Berharap ada yang beli… ^^v

Second law of thermodynamics: entropies always increase
Oh ya, saya juga jadi observasi dg. perilaku manusia dari sudut pandang berbeda sekarang. Observasi yang mungkin nggak bisa dilakukan kalau cuma berperan sebagai konsumen.
Misal, orang-orang selalu nanya saya “ada barang ini itu nggak” atau “barang x habis ya”? Padahal kalau memang nggak ditemukan di rak/kulkas ya berarti nggak ada, nggak mungkin tak sumputin di rumah kan. Ya mungkin sekadar konfirmasi kali ya, atau mengingatkan supaya cepat-cepat distok ulang.
Kemudian, soal hukum entropi. Kulkas selalu saya susun supaya semua barang masuk seefisien mungkin dg juga mengusahakan supaya semua barang gampang di ambil. Namun, setelah ditinggal satu dua hari, kerapihan langsung berubah jadi kekacauan.
Kayaknya, pembeli tidak selalu mengambil barang yg paling atas. Yang sering adalah mereka mengutek-utek barang yang sama sampai bawah buat perbandingan, mana yang paling memuaskan. Entah apa bedanya… Mungkin kayak saya pas SD dulu kali ya, beli Chiki ditimbang pake tangan kiri kanan, mana yang lebih berat…
Hutang Itu Baik
Dengan mengelola toko halal food ini, saya sedikit belajar mengelola uang. Karena ini masuk dalam ranah “bisnis”, mau nggak mau urusannya uang. Dan urusan uang tentu saja not always rosy (Indonesia-nya piye iki? tidak selalu memawar?).
Misal, stok habis tapi uang belum kembali. Banyak yang harus distok ulang tapi panenan yang ada belum cukup. Dalam situasi seperti ini biasanya saya harus memakai uang pribadi sementara untuk menutupnya. Dan ini nggak dihitung sebagai modal dan nggak menambah perhitungan persentasi bagi hasil pemegang saham tentunya.
Dari sini saya baru memahami situasi di sinetron-sinetron atau jDrama itu. Adegan biasanya berupa seorang suami meyakinkan istrinya kalau bisnisnya yang baru ini pasti sukses atau seorang bos yang memohon supaya diberi uang untuk menghasilkan uang. Baru paham kalau dalam bisnis uang itu harus diputar.
Atau sadar bahwa harga barang sudah naik setelah barang terjual. Hal ini bisa terjadi karena kadang Sagawa mengirim barang beku dahulu Jumat pagi, kemudian sorenya baru memberikan invoice total saat mengantar barang non-beku.
Kadang saya membeli barang-barang esensial dari supplier lain karena supplier yang biasa lagi out of stock terus. Harganya jauh beda, lebih dari harga jual di toko toyohashi ini! Namun, karena males ganti label harga jadi ya disamakan aja harganya. Repot juga ntar harga naik terus turun lagi.
Dari sisi lain, pembeli juga dibolehkan berhutang ke toko. Karena secara sistem toko tidak ditunggui, belum tentu ada kembalian di toko kalau bawa uang besar. Daripada nggak jadi beli, utang aja dulu nanti kalau ketemu yang bawa dompet baru deh bayar. Biar nggak lupa dicatat di kertas utang.

500 rupiah < 5 yen, just saying
Oh ya, ada yang lucu. Saya pernah nemu uang 500 rupiah dan 1 sen ringgit di kotak koin. Bayar nggak pakai yen. Entah salah ambil 500 yen jadi 500 rupiah atau bijimana tuh… Hehe…
Keuangan dan Sistem Bagi Hasil
Kembali ke tujuan utama toko halal ini adalah untuk memudahkan komunitas membeli makanan halal. Kalau nggak ada toko halal, mereka harus pergi sendiri ke kota lain atau sokongan buat memesan bahan makanan (online misalnya, with delivery fee).
Dengan tujuan itu, keuntungan yang diambil dari sini sebenarnya tidak besar. Daging yang harganya 1000+ cuma selisih cuma 30-100 yen.
Kadang saya juga berusaha penuh untuk memenuhi pesanan/kebutuhan orang. Sayangnya kadang setelah dipesan barangnya nggak dibeli. Lebih susah juga untuk menyeimbangi origin bahan makanan. Sekarang jumlahnya timpang ke makanan Indonesia/Malaysia. Orang Pakistan/Bangladesh atau negara-negara sana lah kalau digabung juga banyak jumlahnya dan mereka kadang minta diperbanyak bumbu-bumbu asal sana. Saya bukan orang Afghan sayangnya, jadi nggak tahu watak ataupun taste mereka. Tes beli bumbu beberapa, udah setahun nggak habis.
Mengelola halal food ini kayak baito aja rasanya. Bedanya tencho (kepala toko) nya diri sendiri. Keuangan ngurus sendiri jadi menggaji diri sendiri. Kalau dihitung baito mungkin sebulan dapat 12 jam lah.
Yang paling sering ditanya orang ttg halal food ini adalah “berapa keuntungannya?”. Terus terang sulit menjawab hal ini. Karena sistemnya yang kejujuran, sulit atau mustahil mentrack barang apa saja yang sudah terjual/terbayar. Hanya bisa melihat stok mana yang habis.
Orang kan sah saja belum bayar, nggak dilarang. Asal komitmen buat bayar setelah uangnya dibawa. Di toko disiapkan lembar untuk menulis yang dibeli, biar kalau datang lagi bisa ingat. Secara teori bisa aja semua pembeli diminta menulis disini ketika membeli, jadi bisa direkap barang mana aja yang terjual. Namun, secara praktik sulit buat merekap. Dan belum tentu semua orang menulis disini. Menurut senpai, tidak perlu semua pembeli mencatat, cukup bayar saja. Kalau belum bayar, baru catat biar mereka bisa ingat.
Namun, meski sulit men-track keuntungan bukan berarti tidak bisa untung. Jadi keuntungan tergantung yang megang dompet saja, bulan ini mau untung berapa. Biasanya dilihat apakah uang yang terkumpul sudah sampai batas tertentu. Atau memang sengaja disisihkan setiap minggu/bulan, dengan catatan stok tidak terganggu.
Intinya, untung yang diperoleh nggak jauh dari gaji orang baito nyantai sebulan. Bedanya mungkin, bisa beli barang-barang dengan harga aslinya (soalnya tahu harganya kan). Juga punya kekuasaan penuh untuk pesan bahan makanan yang aneh-aneh tanpa perlu pusing dengan ongkos kirim, huaahaha…..

Pete misalnya…
Sedih Senang untuk Umat
Saya dan pemegang saham lain sepakat kalau halal food ini lebih untuk kepentingan umat daripada untuk mencari keuntungan. Selama masih sulit bagi pribadi-pribadi muslim untuk mencari daging/bumbu halal sendiri, toko halal food kecil-kecilan ini masih dibutuhkan.
Walaupun nggak begitu menguntungkan namun banyak pelajaran yang saya ambil dari sini.
Semoga toko ini bisa terus dilanjutkan setelah saya lulus sampai suatu saat ketika umat islam di Toyohashi tidak membutuhkannya lagi.
salut, ka, udah sibuk kuliah, ngurus organisasi ini itu tapi tetep semangat untuk kebaikan lainnya. jazakallah 🙂 ganbatte!!
Ganbatte! Semoga diberkahi terus!