Haduh-haduh
Comments 27

Medical Check Up Is Damn Expensive / Cek Kesehatan Itu Mahal Sumpeeh..! Anyir!!

Mengikuti sebuah pendaftaran/aplikasi formal yang penting tidak terlepas dari yang namanya cek kesehatan. Dulu mas masuk ITB juga disuruh gitu kan. Kali ini saya juga melakukan cek kesehatan (MCU), untuk mendaftar beasiswa ^^.

Pembuka Cerita ~ Tiga Komponen Utama MCU

Melihat tulisannya Mbak Rheisa, cek kesehatan di Bumi Medika Ganesha (Bu Mega  alias BMG) ITB menghabiskan biaya sebesar sekitar Rp150.000. Rinciannya Rp119.500 untuk tes darah dan Rp45.000 untuk rontgen. Okelah, berarti biaya MCU sekitar Rp150.000-an lah ya di BMG. Saya akhirnya pun ke BMG dengan ekspektasi demikian.

Sesampai disana, saya pun bertanya ke resepsionis. Ibunya pun menyuruh saya tes darah dulu di lab milik Prodia dekat apotek BMG sana. Saya serahkan deh formulir certificate of health dari aplikasi beasiswa yang menyaratkan. Mbak Prodia pun langsung cepat membaca  kebutuhan dari puluhan kotak checklist yang ada di formulir. Kemudian, menyuruh saya duduk di kursi “eksekusi”. Agak serem juga mau diambil darahnya nih.Darah aing getoh! Ntar kalau diambil terus dikoleksi, dipustakakan, atau aing dikloning gimana? Tapi ya nggak separanoid teman saya juga sih takutnya, tentu saja.

Setelah digigit semut sedikit, saya pun disuruh bayar di tempat sejumlah uang. Aneh ya, saya yang ngasih darah kok saya yang disuruh bayar ya, haha. Berikut adalah rincian biaya komponen laboratorium dari MCU ini.

Invoice Laboratorium dari Prodia

Entah apa aja tuh yang dites dari darah dan urin saya.

Setelah itu saya diberi botol kecil untuk dikencingi. Sembari menunggu air putih kantin salman mendorong cairan di bagian tubuh lain masuk ke vesica urinaria, saya pun kembali ke resepsionis. Sambil sedikit sempoyongan, karena habis diambil darahnya (respon standar sejak kecil), saya pun bertanya: Selanjutnya apa nih bu? 

Katanya, sebaiknya rontgen dahulu. Mau ambil foto paru-paru (menurut formulir certificate of health-nya). Bayar di tempat seharga di gambar bawah, saya pun disuruh ke ruang X-RAY di pojokan utara kompleks Bu Mega ini. Lampunya menyala merah, ada yang lagi “direkam” kayaknya nih. Tapi karena penasaran saya ketok aja (di pintu sebelahnya). Keluarlah mas-mas penjaga. Saya kasih bukti pembayaran komponen rontgen thorax tadi dan saya pun langsung disuruh masuk ruangan X-RAY. Kosong, ternyata itu lampu merah di luar emang idup terus.

Di dalam setelah mesin aneh itu dihidupkan, saya disuruh buka baju *AW*. Lalu, di seberang tempat tidur sana ada sebuah objek tegak mepet dinding (bergambarkan paru-paru). Saya disuruh menempelkan dada di lempengan objek tersebut. Mesin dihidupkan, suaranya keras sekali. Diesel sampai mengedan. Saya kemudian disuruh tahan napas. Beberapa detik kemudian semua gelap. Tidak, bukan saya yang pingsan atau ada lampu yang mati. Emang udah selesai, cuma sebentar doang ternyata. Cepet, nggak sampe semenit.

Hasil rontgen-nya jadi jam dua katanya. Setelah pakai baju lagi, saya pun keluar ruangan X-RAY sambil bertanya-tanya “kalau perempuan yang dirontgen gimana ya?”.

Invoice Rontgen Thorax Bu Mega

Nama saya kali ini sepertinya benar.
Eh hasil rontgennya gede loh, A3. Susah mau discan… Hitam semua juga.

Setelah kencing di botol, saya kembali ke ruangan laboratorium. Agak awkward juga menyerahkan air seni sendiri ke seorang cewek. Katanya hasil lab keluar jam 3. Oke deh, biar sekalian habis ashar aja saya ambil dua hasil lab itu. Kata resepsionis juga ke dokternya kalau sudah dapet hasil labnya.

Jam 4 saya kembali ke Bumega. Oh, hasil rontgen sudah ada di resepsionis, karena saya telat rupanya. Saya pun ke lab Prodia untuk mengambil hasil tes darah+urin. Sudah ada juga hasilnya, ngintip bentar, eh salah nama (cek aja di invoice Prodia di atas). Gimana tuh? Mbaknya langsung panik (udah beda dari yg tadi, mbak yg ini udah jadi dokter kayaknya), harus dibenerin katanya. Beliau langsung ke office sebelah, nanya-nanya, nelpon-nelpon, dan akhirnya saya dikabari kalau paling cepat hasil print out perbaikan datang jam 05 nanti. Agak lama sepertinya karena lab benerannya di Wastu Kencana sana… Okelah ditunggu. 

Saya dan teman sedikit berpikir, kalau saya jadi pegawai prodia saya bela-belain tuh harus nyampe sekarang juga saat ini juga, toh kesalahan ada pada mereka kan, salah nulis. Nggak bisa baca apa dari naskah asli pada saat ngetik.  Padahal mbak tadi pagi bener kok nulisnya. Huh, do not expect service too much, this is Indonesia.

Oke deh, melewati hal yg nggak penting, singkat cerita hari Kamisnya saya kembali ke Bu Mega. Nggak jadi nunggu sampe jam 5 karena percuma, dokter yg buat cek kesehatannya udah nggak ada. Rabunya saya ke cibubur, ngajar di labschool. Untungnya pendaftaran beasiswa masih agak lama (prof juga belum bales email, bu Ayu belum ngasih rekomendasi). Akhirnya, kamis pagi saya ambil hasil lab (sudah bener namanya!!) dan ke dokter umum buat MCU. Biaya komponen SKS bisa dilihat pada gambar berikut.

Invoice Surat Keterangan Sehat Bu Mega

Murah Meriah!!

Saat cek kesehatan di dokter, saya dikenai aksi sebagai berikut. Disenteri matanya, rongga mulutnya, dipencet disana-sini, dipukul kaki tangan pakai martil, dipompa lengan atasnya, ditempeli besi-besi di banyak bagian tubuh, disuruh tebak-tebakan angka dari sebuah buku aneh berwarna-warni, dan ditanya pernah masuk RSJ atau nggak. Dokternya seru sih, sudah sangat sepuh tapi tetap asyik dan lucu. Saya sampe diukur tekanan darah dua kali karena yang pertama nggak perfect 120/80. Baru dateng katanya, kemungkinan tekanan darahnya nggak normal. Jadi deh saya tiduran di kasur klinik 5 menit baru selesai.

YAY! Selesai MCU saya hari ini. Saya minta bu dokternya isi dua berkas certification of health karena saya daftar lebih dari satu program beasiswa. Sampe lama ibunya ngecekin tulisan Inggrisnya salah apa nggak, ada yang kosong apa nggak, dan tanda tangannya bagus apa nggak.

DONE. To recap, biaya cek kesehatan (alias MCU) di Bumi Medika Ganesha, terdiri dari tiga komponen:

Laboratorium (darah dan urin) : Rp161.000,-
Rontgen Thorax: Rp60.000,-
Dokter yang memeriksa dan membuat SKS: Rp25.000,-

Total: Rp246.000,-

Well, hanya beda tipis (sekitar Rp100.000) dari kisaran biaya yang diungkapkan kak Rheisa tadi, dan itu juga kak Rheisa belum memberikan biaya dokternya kan. Itupun udah beda tiga tahun (2010 vs 2013). Masih wajar lah!  Dan yang terpenting hasil MCU ini adalah SAYA NORMAL, \o/ YAY!!!

Surat kesehatan dapat, berkas lain lengkap, kirim deh ke luar negeri.

Mission accomplished.

Atau itulah setidaknya yang saya pikirkan. Anda tidak berpikir bahwa judul artikel ini, yang begitu heboh, sudah terbahas bukan? Sekarang mari masuk ke cerita yang sebenarnya


Spesialis – Si haraP lahaM

Dua minggu kemudian. Hari Selasa 14 Mei 2013. Saya masih menikmati hari ke dua duduk di kantor baru. Memang ini kantor masih sumpek, gelap, dan kotor. Panjang tidak sampai tiga meter, meja yang menempel ke sekat dinding hanya cukup diokupasi oleh tiga orang. Lebar lebih lagi, dengan kursi putar berdebu, seadanya ambil dari ruangan sebelah, mundur sedikit sudah mentok ke dinding. Lemari ada tetapi tidak begitu mengesankan. Dikunci dengan hanya seutas lakban hitam, dan hanya berisi sebuah buku tentang Batik di Jawa bagian Utara. Sebuah buku nemu dari penghuni sekat kantor sebelumnya. Namun, inilah kantor pertama kami sesaat setelah lahir ke dunia. Sebelum menjejak ke dunia luas sana, alangkah baiknya kami mensyukuri nikmat kantor yang sudah hampir dua tahun kami idam-idamkan ini.

Sedang asyik membuka layar sebuah IDE, sebuah kotak biru-biru lewat di ujung kanan atas layar. [URGENT] begitu kata pertama pada kotak biru-biru tersebut. Sebelum kotaknya menghilang, saya buru-buru klik itu kotak dan membaca surat elektronik yang diwakilinya.

Dear Mr.Albadr Lutan Nasution

I have a request about one of required documents, health check.
There are two blank points about health check which you sent to us.
1)Eyesight (without glasses) (with grasses)
2)Hearing

So, please take medical examination on the above two points (eyesight and hearing) as soon as possible, and let us know the results by email. Please attach certificate of the results by email.

Wah, iya juga. Di lembar certificate of health yang waktu itu dikirim memang dokternya tidak mengisi bagian penglihatan dan pendengaran. Toh nggak dites, cuma ditanyain “nggak pake kacamata kan?”,”ini bisa denger saya kan?”. Well, karena kayaknya obvious saya normal dan dua ruas isian itu hanya seumprit dan tampak remeh dibanding puluhan ruas isian lain beristilahkan rumit lain, jadilah saya biarkan saya ruas itu kosong.

Oke tenang. Mata dan telinga. Langsung tes nih. Sekarang jam 2. Kayaknya di Optik Melawai bisa tuh tes mata dan tes pendengaran, gratis. Saya pun langsung merapikan meja dan beranjak. Tidak lupa saya mengajak teman di samping supaya kalau ada “apa-apa”, saya bisa di-backup.

Sebelumnya, kami cek dulu ke Optik Ganesha di Salman, siapa tahu bisa cek mata+pendengaran juga. Eh, ternyata nggak bisa, mata doang bisanya. Mumpung dekat, saya cek lagi ke Bu Mega, ternyata juga cuma bisa mata doang. Terpaksa nih Melawai, agak ragu karena minggu ini STNK Motor saya lagi diperpanjang di SAMSAT Metro dan saya agak trauma dengan Sabtu yang tak terlupakan itu. Dengan sedikit berdoa, kami pergi ke Melawai dan untung tidak ada operasi di jalan yang kami lewati. Masuk ke Melawai dan bertanya dan ternyata memang bisa dan gratis. Setelah periksa mata dengan komputer saya dapat deh kertas kecil berisi plus-minus-cilinder mata saya. Tapi itu kertas gitu doang dan nggak ada namanya, valid nggak ya. Dan pas mau periksa kuping eh kata mamasnya nggak bisa dapat hasilnya karena itu sepaket sama yang mau buat alat bantu pendengaran.

Mau nggak mau ke rumah sakit dong nih. Wah… Bayar dong. Wah… Kondisi finansial saya minggu tersebut sedang anjlok. Saya pun bertanya kepada back-up yang saya bawa.

Gimana nih dik, uang saya nggak sampe Rp50.000,-

Udah nggak apa, saya ada kok. Toh, berapa sih nggak bakal sampe 500 ribu juga kan.

Yah, logikanya sih cuma tes mata dan kuping doang nggak mungkin sampe setengah juta kan? Iya kan? Dua tahun lalu saja waktu saya MCU di Borromeus nggak sampe seratus perasaan (tapi setelah diinget lagi itu cuma surat keterangan sehatnya aja sih). Dengan asumsi begitu, kami beranjak ke Rumah Sakit Santo Borromeus.

Naik ke lantai dua, ke resepsionis, buat janji dengan dokter mata dan dokter THT. Yang mata sekarang jam setengah tiga yang THT nanti jam lima. Kami pergi ke depan Ruang 24 dan menunggu lama karena antrian kami nomor 5. Setelah hampir sejam menunggu, kami pun masuk.

Mau cek mata kiri kanan dok. Buat surat keterangan sehat mata.

Okelah, mata saya langsung disenteri, dan saya disuruh baca huruf-huruf kecil yg tertera di layar kejauhan. Lumayan lancar. Setelah itu saya disuruh main game tebak rute di buku bergambar warna-warni. Tes buta warna lagi nih. Lancar juga. Setelah itu bu dokternya menulis surat keterangan sehat (catatan: suratnya butuh foto 4×6) dan isian kiri kanan mata saya diisi dengan angka 1.00, sepertinya normalnya gitu ya? Beliau menulis sambil nanya-nanyain mau lanjut sekolah dimana. Saya pun merekues (1) ada nggak sruat yang bahasa inggris, (2) boleh nggak suratnya dua karena saya daftarnya ke lebih dari satu aplikasi. Dokternya agak bingung dan susternya lebih lagi. Kata susternya cuma bisa satu aja suratnya. Biasanya juga tes matanya sepaket dengan MCU jadi langsung tes lain-lain dan formulirnya dari sananya ada (dari Jepangnya).

Well, situasi saya kan beda, karena saya sudah mengirim certificate of health-nya dan ada ruas yang kurang. Sempat lama juga berdebat sama susternya bagaimana sebaiknya, sampai wajah suster dan dokternya tampak kesal. Intinya diskusi yg pointless karena akhirnya saya juga cuma dapat surat bahasa Indonesia yang diisi sama dokter tadi. Dokternya sampai sudah-sudah sambil melambaikan tangan kayak ngusir ayam itu. Dengan muka kesal (kami juga), susternya mengantar saya ke kasir.

Pada saat itulah saya sadar betapa mengerikannya harga di rumah sakit, terutama harga spesialis. Ibu kasih memberikan dua lapis kuitansi dan berkata Rp175.000,-. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah total uang simpanan saya. Tubuh ini terasa berdesir. Lemas. Dunia seakan terhenti, bergerak lambat. Sidik teman saya pun menepuk pundak dan mengeluarkan dompet dari saku jaketnya. Menyerahkan empat lembar biru-biru ke ibu kasir.

Invoice Mata Borromeus

Sumpeh loh!

Lemas. Kesal. Udah mahal, ditanyain nggak solutif malah bikin ribet, buat surat dua aja nggak boleh. Komersil sekali sih, itulah yang lewat dipikiran saya lewat.

Saya pun kembali ke ruang bersekat berukuran 3×0.5 meter itu lagi untuk menunggu jam 5. Berdasarkan pengalaman tadi siang yg menunggu lama padahal tadi cuma antrian 5 sekarang antrian 8, kami memutuskan untuk pergi pukul setengah enam. Dan sepertinya ini keputusan yg tepat. Ketika saya datang, dokter THT-nya terlihat sedang duduk santai di ruang tunggu. Saya masuk pun langsung dilayani.

Jadi kenapa telinganya?

Dokter menanyakan sambil langsung mengintip-intipi lobang telinga saya dengan semacam benda seperti teropong. Teropong kuping. Standar lah dokternya nanya gitu, aneh juga kan ada orang ke dokter THT. Kemasukan cotton bud kali ya…

Nggak dok, mau cek telinga aja. Untuk mengisi surat kesehatan. Mau daftar beasiswa ke Jepang.

Dokter dan susternya langsung mengerti. Suster pun mengajak saya ke luar ruangan dokter. Di bagian depan ruang tunggu dokter ada objek kecil berpintu (sejenis ruangan gitu) yang dindingnya ada semacam karpetnya. Saya disuruh masuk ke dalam. Di dalam ada headset dan saya disuruh memakai. Supaya tidak mengganggu ponsel disuruh dimatikan oleh suster.

Instruksi dari suster. Albed, fokus ya, konsentrasi penuh. Jangan dengerin suara di luar atau suara lain. Nanti ada suara dari headset, kecil banget, jadi harus konsentrasi. Kalau terdengar suaranya, tekan tombol ini ya. Suster pun memberi tongkat bertombol yg kayak di acara kuis itu. Kemudian, susternya pergi dan ruang kecil itu ditutup dari luar. Sekejap ruangan senyap, sunyi. Hanya suara nging tinnitus yang cukup umum dimiliki orang.

Beberapa saat kemudian, dari headset terdengar suster memberi instruksi yang sama. Sekarang konsentrasi ke telinga kanan dahulu, kalau terdengar bunyi tekan tombol ya. Kemudian terdengar suara tuut kecil dari kanan headset. Jadi serasa main kuis saja, ada bunyi tuut saya menekan tombol. Namun, tantangannya karena sepi sekali kadang pikiran melantur kemana sebentar dan nggak konsen ke bunyi yang lewat. Ada juga bunyi yang keluar berturutan, ya udah saya pencet juga berturutan. Sekarang konsentrasi ke telinga kiri, kalau terdengar bunyi tekan tombol ya. Yang telinga kiri aneh, agak dikit bunyinya, cuma sebentar doang selesai.

Ah, normal ini telinganya. Bagus. Yang kanan malah bisa denger sampai 5 dB…

Oh, karena itu yg kanan lebih banyak bunyinya.

Setelah dokter menulis surat keterangan sehat (kali ini nggak pake pas foto, suratnya cuma kecil gitu doang, dan nggak ada keterangan kanan berapa kiri berapa kayak di mata itu) dan sebuah lembar audiogram dengan diagram aneh berikut.

Audiogram

Kayaknya sih diagram desibel-frekuensi gitu, mana yg didenger

Ya udah deh. Kayaknya udah bener lah, nanya ke dokter kalau ada isian kiri kanan gitu enaknya diisi apa? Kata dokternya isi aja normal dua-duanya. Ya udah deh.

Kembali lagi ke main course, kasir! Kali ini keluar dari ruangan dokter tidak sekesal tadi karena saya juga udah males mau minta dua surat lah, minta pertimbangan ttg. certificate of health lah, apa lah. Kalau itu nggak bisa, kesini lagi aja pagi-pagi, sudah buka kok dari jam 7. Susternya memberi pesan terakhir. Well, kalau masuk after-service alias gratis sih saya mau kesini lagi sus, jawab saya dalam hati.

Dan berapakah ongkos kalu ini. Lebih besar, lebih kecil dari mata?

Invoice Telinga Borromeus

Uju boneng…

Wahaha…. To recap, dua tes ini saya (baca: teman yg sementara menalangi saya) mengeluarkan biaya:

Ongkos tes mata: Rp175.000,-
Ongkos tes kuping: Rp255.000,-

Total: Rp430.000,-

Sip. Sesuai tebakan, tidak sampai Rp500.000,- Tapi selisihnya itu loh kawan-kawan!! Cuma dikit. Dikit lagi Rp500.000,- ;-( Ya Allah… Astagfirullah… Nasib.

Dan saya mengira-ngira, kalau MCU lengkap di rumah sakit ini bisa habis berapa ya… Bisa sejuta setengah kayaknya. Atau lebih. Ini dua item aja hampir setengah juta. Dunia memang kejam. Berarti dua tahun lalu itu saya diselamatkan oleh Allah karena cuma harus mengisi certification of health yang standar saja, SKS saja. Toh, kalaupun sudah bayar mahal, waktu itu akhirnya saya juga nggak lulus.

Tapi kali ini harus lulus! Doakan ya.


Tidak, saya tidak menghujat seorang ahli yang memasang biaya tinggi atas kepakarannya. Bukan itu maksud saya menulis artikel ini. Wajar saja kalau kepakaran itu dibayar laham. Namanya juga ahli. Takutnya ada sahabat saya seorang dokter protes seperti saat sahabat saya protes saat pemerintah di protes pada artikel Reformasi Birokrasi Pemerintah dan Pembayaran Tahunan Pajak Motorku.

Saya cuma mau berbagi pengalaman saja. Siapa tahu ada yang mau MCU juga dan belum mau MCU tapi penasaran rontgen itu gimana atau tes kuping gitu gimana. Dan saya juga pingin mengeluh dan berkomentar, masih dijamin UUD kan hal tersebut.


Akhir Kata

Mungkin saran saja dari saya untuk Anda yang ingin MCU. Ambil aja MCU di Bumi Medika Ganesha ITB seperti kasus saya yang pertama. Nah, nanti bagian mata dan pendengaran akan dikosongin, karena memang tidak di cek. Kamu kemudian tes mata aja yang gratisan di optik lalu tulis hasilnya di lembar certificate of health. Kemudian bagian pendengarannya tulis aja normal-normal, toh nggak pake alat bantu dengar kan. Dengan begini lebih murah, harganya sama kayak kasus saya di awal. Tapi saya nggak tahu ya ini halal apa nggak (soalnya yg nulis mata/telinganya kita sendiri, tapi karena udah terisi beserta ruas isian lain, nggak bakal ditanyakan panitia sana kok). Do at your own risk.

Kalau mau yang agak terjamin kehalalannya tapi murah, ya tetep ke Bumi Medika Ganesha atau klinik komunitas lain yang murah. Kalau mata nggak dites, minta dites aja disana sama dokter mata, kemungkinan lebih murah lah dari Borromeus. Yang telinganya biasanya nggak ada sih di klinik, jadi tetep harus ke rumah sakit. Atau cari kenalan dokter THT, pasti lebih murah.

Begitulah pengalaman MCU saya yang anyir dan membuat saldo saya minus ini. Anda punya pengalaman serupa?

27 Comments

  1. Nuriowandari says

    Hahaha, aku pun sedang ikut program pertukaran dan lagi bingung cari tempat mana yang bisa buat medical checkup terjangkau. Kepikiran RSUD tapi khawatirnya si dokter atau petugas lain yang ditanyai malah ga ngudeng soal surat kesehatan yang pake bahasa inggris.

    Eh btw, ngakak pas baca bagian rontgen :))
    Kalau buat perempuan ya kerasa ngganjel lah yaaa tapi kalau ngomongin hasil rontgennya mah, masa iya alat medis kalah ama anatomi manusia yang udah dari sononya.

  2. Nesti says

    info tambahan aja, kalau mau check up liat jamnya juga mas… biasanya tarif dokter pagi dan sore berbeda 🙂

  3. Muhammad Aslam says

    Ikut share ya, biaya medical check up di Indonesia ini masih relatif mahal apalagi kalau medical check up ataupun tes darah di laboratorium swasta. Cuma temen kemarin cerita dan gw coba juga, ada startup mirip gojek gitu, lumayan mereka kasih promosi diskon klo ga salah 25%. Namanya pesanlab.com, not bad lah menurut gw. Cuma emang Prodia itu paling mahal buat medical check up.

  4. waahhh.. makasih banyak kak atas informasi cek kesehatan ini. kebetulan saya juga dikasih form untuk cek kesehatan dalam rangka apply beasiswa ke jepang (tapi bukan monbusho). saya sempat bingung gimana gitu caranya dan biayanya karena rencananya saya mau tes kesehatannya di rumah sakit umum. hm.. semoga bisa lebih murah jatuhnya ya dan lengkap. kalo di RS daerah gak bisa semuanya mungkin bisa dilakukan pemeriksaan terpisah.

  5. Melisa says

    Permisi.. Numpang comment hehhe…

    Untuk yang hematologi rutinnya itu sudah termasuk pemeriksaan hb, leukosit, ht, trombosit, led, dll. Pemeriksaan nya ini butuh beberapa alat yang sekali pakai dan memakai larutan campuran.. Guna ya melihat apakah komponen darah kita ada masalah di saturasi nya, ada infeksi atau tidak, ada gangguan pembekuan darah, dll

    Kalo yang urin pemeriksaannya termasuk ureum, kreatinin.. Pemeriksaan urin itu bisa untuk med check untuk kelainan ginjal, kandung kemih (vessica urinaria), hati, dll… Ya guna nya buat menilai ada kelainan di organ ginjal atau tidak, di saluran dan organ kemih… Hehehhe… Kalo positif maka bisa pemeriksaannya bisa didapatkan ureum nya melebihi kadar batas, kreatininnya juga, ada protein di urin, yang seharusnya jumlah nya itu harus normal hehehe

    Kalo gpt untuk memeriksa enzim hati sgot sgpt.. Misalnya pada penyakit kelainan hati, sirosis hepatis, hepatitis, dll hehehhehe

    Kalo pemeriksaan fisik mata dokter yang lengkap itu cek visus (ketajaman penglihatan) dengan cara memakai snellen chart dan melihat apakah ada kelainan pada mata dengan cara memakai loop dan senter.. Kyknya kalo ada tertulis mata kanan 1.00 bisa jadi mata anda ada bermasalah ntah di minus atau postif yang pasti pada pemeriksaan visus matanya sedikit abnormal, tapi karna jumlah masih 1.00 kebanyakan orang tidak memakai kacamata

    Kalo pemeriksaan fisik tht normalnya selalu dilakukan pemeriksaan dalam telinga dengan corong (otoskop) untuk melihat keadaan membran timpani, pemeriksaan hodung, dan tenggorokan itu sudah 1 paket…
    Lalu untuk yang tes audiometrinya, itu untuk menentukan apakah anda ada gangguan pendengaran atau tidak.. Dimana jika ada gangguan pendengaran frekuensinya bisa sampai dibawah 20 hehehhe.. Tapi dari hasil, semua frekuensinya normal tidak ada gangguan pendengaran heheh…

    Sekedar share… Terima kasih

  6. ternyata mahal juga ya. Biaya mahal aja sering ngasih pelayanan yang kurang baik.

    Bagian ini jleb juga Gan :
    “Sesuai tebakan, tidak sampai Rp500.000,- Tapi selisihnya itu loh kawan-kawan!! Cuma dikit. Dikit lagi Rp500.000,- ;-( Ya Allah… Astagfirullah… Nasib. ”

    Satu lagi tambahan untuk kita, jagalah kesehatan. Karena kesehatan adalah investasi yang begitu berharga. 🙂
    terimakasih Albadr Nasution sudah berbagi pengalamannya 🙂

  7. kumarsono says

    Cek darah memang mahal… udah darah kita diambil suruh bayar lagi. Saya waktu itu memeriksakan darah anak saya ke lab sebuah rumah sakit di daerah Waru Sidoarjo ” Mitra Keluarga” pada suatu malam karena anak saya sakit di Ulu hatinya, sejarah dari Mamanya pernah terjangkit virus hepatitis B 3 Bulan sebelumnya, karena virus tersebut bisa menular, saya takut anak saya juga terjangkit virus yang sama, saat periksa di UGD Oleh dokter yg jaga pada waktu itu saya ceritakan sejarah Mamanya yg pernah opname di RS yg sama, dan disarankan untuk cek darah tanpa diberikan estimasi rincian biaya yg harus saya keluarkan. Setelah darah anak saya diambil Oleh petugas, saya harus membayar terlebih dahulu biaya lab yg lumayan fantastic untuk kalangan seperti saya yaitu RP. 704.000 saya kaget sekali karena tidak banyak uang cash yg saya bawa, dengan berat hati saya gunakan kartu kredit. Pada kuitansi yg tercetak tertulis ” Pemeriksaan HBsAg, Anti HCV Total. FEBRIS ANAK. Apa memang sebesar itu biaya pemeriksaan darah. CK CK ck ckkkk kesehatn memang mahal. Atau mungkinkah Kalau Dapat ganti dari perusahaan harga biaya pemeriksaan menjadi di mark up….???? Oleh RS yg bersangkutan. Karena sebelumnya di Tanya dulu apakah ikut asuransi Atau tidak. Sedangkan dari pengalaman 3 Bulan yg lalu saat opname di RS yg sama, saat istri saya melahirkan dalam keadaan yg normal ( tanpa operasi_) perusahaan saya harus membayar angka yg fantastic RP. 22.000.000 plus kelengkapan yg lain.( photo bayi, kendil, pembalut, dll) memang member efek WOW…. RS ini, padahal pelayanan dan fasilitas, serta kebersihan biasa biasa saja. Kenapa saya bilang begini, karena waktu proses kelahiran di kamar kelas 2 wktu itu saya mendapati lebih dari 3 serangga ” tom cat ” di kamar mandi dan bocor air saat hujan di kamar tersebut. OH MY GOD!

  8. Ping-balik: Hal yang Patut Dimanfaatkan Selama Menjadi Mahasiswa ITB « 夏の夢

  9. Ping-balik: Sex, Lies, and Obat Tetes Mata Herbal | Blog Kemaren Siang

  10. Muahahahaha. Kok darah badr, lha wong kita pas bab di toilet berbayar pada dasarnya “ngasih” malah disuruh bayar kok.

    Aku dulu pas awal masuk ITB juga sempet cek kesehatan di BMG juga, dua kali pula. Tekor parah.

    Kesehatan emang mahal lah, kemarin jumpa dokter aja bayar 150rb -____-

  11. annas.satria says

    ya berarti askesmu dah nggak berlaku, karna namamu udah nggak terdaftar lg di tunjangan anak d daftar gaji ortumu.. hmm..

  12. Kalo gak sakit, askes gak mau nanggung biaya medcheck.. jadi tetep bayar. :))
    Btw, emang borromeus itu mahal. Jadi inget cerita dokter saya yang praktek di klinik pribadi sama Borromeus.

    Saya kan kalo ke dokter itu selalu ke klinik pribadinya dokter (dokternya yang nyuruh). Nah, karena lokasi kliniknya jauuuuuh sekali (daerah Buah Batu), saya pernah minta buat kontrol di Borromeus aja. Dokternya malah bilang: “Jangan dis, mahal. 200ribu. Terus buat USG bayar lagi 50ribu” :)))))

    Kalo di kliniknya 100ribu udah sama USG. Dokternya baik ya, hahaha.

    Anyway sukses ya Bed.. Semoga keterima beasiswa ke jepangnya.. 😀

    • Emang udah gede masih bisa pul?
      Dan nggak semua rumah sakit nerima ASKES pul?
      Dan kartu ASKES saya di tanjung balai. Hmm…

      • annas.satria says

        masih ditanggung kan bed? usiamu kan belum 25 dan masih berstatus kuliah. masih masuk d tunjangan anak ortumu yg pns dan berarti msh tertanggung d askes.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.