Hari Sabtu 9 Juni kemarin, saya dan teman-teman berangkat dari Bandung ke Bekasi Timur untuk menghadiri resepsi pernikahan murabbi kami Aditya Satrya. Tidak seperti undangan jauh lain, kami memilih untuk berangkat memakai kendaraan umum. Kenapa? Ya karena tidak bisa nyetir. Akan tetapi, untungnya walaupun capek, saya akhirnya sadar betapa asyiknya terjaga dalam perjalanan jauh seperti ini. Banyak hal dan kejadian yang bisa diamati dan dialami. Maklum, biasanya saya hanya tidur atau terkapar hampir seluruh waktu perjalanan.
Kami menunggu bus pengantar kami di persimpangan depan pintu gerbang tol Pasir Koja. Seperti yang kita ketahui bersama, sekarang bus tidak boleh mengetem (menunggu penumpang) di ruas depan muara gerbang tol. Tentu saja supa tidak memacetkan muara tol dan tidak membuat penumpang menunggu lama. Akan tetapi, menaikkan penumpang dari persimpangan terutama saat berhenti lampu merah masih diperbolehkan. Kami memilih naik bus dari persimpangan Pasir Koja ini supaya tidak menunggu bus mengetem lama dibandingkan naik bus dari terminal Leuwi Panjang Bandung.
Karena masih ada satu teman dari Cimahi yang belum datang, kami pun menunggu di trotoar persimpangan. Walaupun semua memakai batik, kami tetap berjemur dan duduk-duduk di samping jalan tersebut. Sambil rehat menenangkan CPU Usage pikiran saya yang sebagian sudah disita pusing, saya pun mengamati keadaan sekitar sambil berfoto ria.
Beberapa hal menarik untuk disebut. Pertama, ternyata bus ke Bekasi dan Bekasi Timur itu berbeda. Untung saja kami menunggu dulu sehingga tidak salah naik bus. Lalu, bus (dan kendaraan umum lain) yang melintas di persimpangan ini sudah berhenti walaupun lampu masih berwarna hijau. Loh? Iya, walaupun masih ada 10-20 detik lagi, bus nya tetap saja melambat atau bahkan berhenti. Tentu saja bukan supirnya yang buta warna atau tak tahu angka. Sepertinya ini sengaja untuk meningkatkan peluang mendapatkan penumpang lagi. Setelah bus masuk tol, mereka tidak akan bisa mendapat penumpang lagi bukan?
Selanjutnya, lampu lalu lintas di persimpangan ini agak aneh. Penghitung waktu (timer) di kebanyakan lampu lalu lintas berjalan mundur, maksudnya angkanya turun dari kecil ke besar dari besar ke kecil. Di persimpangan ini tidak. Terkadang penghitung waktunya naik. Entah ini sengaja atau memang agak ngaco sirkuitnya. Kemudian, waktu berhenti disini sangat lama. Pol, seluruh angka dipakai: 199 detik. Mana kadang naik turun pula. Dengan kombinasi bus dan lampu lalu lintas ini, jarak 50 meter pada ruas jalan dekat persimpangan bisa memakan waktu 20 menit. Fuih…
Setelah menunggu hampir satu jam, teman kami pun datang. Tidak berapa lama bus Bekasi Timur yang kedua (selama kami menunggu disana) pun lewat. Langsung kami naik. Tidak seperti perkiraan salah satu teman kami, masih banyak kursi yang kosong. Alhamdulillah, saya belum membayangkan gimana mau berdiri 3 jam selama perjalanan. Setelah tidak berapa lama duduk di kursi yang nyaman ini, obrolan lumayan mengering, seperti biasa saya tidur terlelap hingga bus sampai ke tujuan.
Sekitar pukul 12 kami sampai di Bekasi Timur. Karena agak bingung dimana letak Jembatan Kalimalang, tempat berhenti menurut petunjuk denah lokasi, kami akhirnya nyasar. Terlewat jauh entah berapa km dari angkot yang kami tuju. Di sebuah persimpangan kami turun dan kemudian bertanya-tanya ke orang sekitar dimana letak Gedung OSO Sport. Wow, ternyata tidak ada yang tahu. Tanya ojek pun tak tahu. Malah mereka menawari untuk ke sana sambil mencari dengan ongkos Rp30.000,- per motor. Makjang… Angkot nomor 39 pun tidak lewat sana. Terpaksa deh, kami berjalan kaki menelusuri jalan panjang yang bersisian dengan sungai ini. Persis jalan yang bus kami lewati tadi. Lumayan lah, melihat-lihat keadaan kota ini.
Jalan yang kami lewati ini merupakan jalan yang lurus saja dan bersisian dengan sungai di sampingnya. Banyak sekali jembatan disini. Daerahnya cukup rapi. Dan karena lurus saja, jalan seolah-olah sampai ke horizon sana.
Panas bok… Bukan karena capek berjalan selama beberapa kilo tetapi karena memang udaranya panas. Panasnya juga bukan panas sembarangan, panas lengket. Abnormal lah… “Memang Bandung kota paling best lah”, celetuk kami waktu itu sambil menunggu angkot nomor jurusan 39 di sebuah pertigaan kecil. Masih di jalan panjang di sisi sungai tadi sih. Setelah beberapa saat, kami pun mendapati angkot dengan nomor jurusan yang kami sukai.
Ternyata Gedung yang dicari jauh juga. Pak supir angkot juga tidak tahu. Setelah memutar beberapa saat di daerah Grand Wisata, angkotnya juga sudah lepas dari jalur trayek berniat “baik” mengantar kami hingga ke tempat, kami pun akhirnya menemukan penduduk setempat yang duduk-duduk janggal di pinggir pertigaan. Pangkalan ojek juga bukan. Mereka pun menunjukkan Gedung OSO Sport yang kami cari tak jauh dari pertigaan itu. Mungkin mereka memang orang yang dipasang kak Adit disana sebagai pandu untuk para pengunjung.
Ya, walaupun sempat memutar sedikit, perjalanan angkot ini relatif dekat. Akan tetapi, bayaran yang diminta angkotnya Rp6000,- seorang. Wuih, lebih mahal dari naik angkot Dago-Caringin yang ujung-ke-ujung. Ya sudahlah. Yang penting bisa lancar dan sampai. Setelah 5 jam lebih, kami pun sampai di tempat sekitar pukul 13 saat resepsi hampir akan bubar.
Bersambung…
wah kebetulan mas..saya juga ada undangan di grand wisata gd OSO sport. jadi rute yg benar saya harus naik bis apa ya? kmd setelah turun, kendaraan apa yg bisa saya gunakan utk sampai gd tsb? Tks
Dari bandung naik bis yang ke bekasi timur. Begitu keluar dari tol, belok ke kiri dari jembatan ke jalan utama turun. Naik angkot yang ke arah kanan bilang ke perumahan (lupa saya namanya).
hahaha.. deket rumah aku itu sih. mampir dulu harusnya. nanti aku anterin.
btw.. 6 rb itu mahal bgt. harusnya 3 rb. wah kena tipu sopir angkot ituuu..
“Penghitung waktu (timer) di kebanyakan lampu lalu lintas berjalan mundur, maksudnya angkanya turun dari kecil ke besar.”
Kok turun dari kecil ke besar? typo ya haha
Haha, iya juga. Kebalik. Makasih-makasih. Tak benerin lah.