Pos-pos Terbaru

Antipati

Kelabu. Langit hari itu menunduk rendah. Berjalan lambat dan tenang ditiup monsun November. Jika bukan karena jiwa ketertarikannya yang besar sehingga mengelabui warna tubuhnya, mungkin tidak ada yang berpikir bahwa ia sedang memperhatikan hewan-hewan melata di bawahnya. Mengintip dengan tenang, menyembunyikan senyuman. Sesekali berkomplot dengan angin dan awan. Menggoda sahabat lama yang sepanjang sejarah selalu diusik oleh kelakuan hewan melata tersebut. Menambah suasana misteri dan ironi yang terjadi di atas wajah sang bumi.

Aku terjatuh. Terduduk. Lemas dan terengah. Pandanganku kosong ke depan. Tanganku menggenggam erat lantai berumput yang ditemuinya. Di hadapanku terhampar pelataran yang biasa menjadi pusat keramaian. Kini pelataran itu tampak seperti lapangan pasir belaka. Terbang seperti badai yang sering terlihat di film-film timur tengah, partikel pasir tersebut menutupi pandangan. Sesekali menerpa wajahku, memelintir rambutku hingga menutupi mata. Menyembunyikan pepohonan, bangunan-bangunan kecil, air mancur, dan monumen yang seharusnya berdiri megah di ujung cakrawala sana. Dengan warna kelabu cokelatnya seolah ingin tampak serasi dengan langit saat itu.

Angin berpasir perlahan berdansa di depanku. Masih memainkan rambutku yang terurai. Ia pun mengajakku menoleh ke belakang dengan lamat-lamat. Di belakangku jalan tidak sempit yang seharusnya dipenuhi lalu lalang kendaraan itu masih di sana. Memang masih tampak sejumlah kendaraan di sana. Sebagian besar tidak bisa dikatakan sedang berlalu lalang, bahkan mungkin tidak akan pernah bisa berlalu lalang lagi. Setiap orang yang melihat serakan kaca, reyot tubuh, dan centang perenang mereka seolah diparkir oleh kaki Godzilla, pasti akan setuju dengan pendapat tersebut.

Debu. Debu menutupi permukaan, trotoar, dan seluruh perabotan tak tertata yang ada di jalan berhantu itu. Jendela-jendela gedung tinggi. Dan rambu-rambu lalu lintas. Kesunyian sangat terasa menemani debu-debu mengisi ruang-ruang kosong di antara pencakar langit. Senyap. Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Hanya ada tanda kematian dan aroma darah. Ya, karena sisa-sisa yang hidup sudah menjadi pernak-pernik tak bergerak. Menghiasi sudut-sudut jalan dan pintu-pintu mobil.

Merah putih cantik menghiasi jalur peregang nyawa tersebut. Ada yang terciprat di jendela toko yang sudah setengah pecah. Ada yang bersimbah begitu saja di atas zebra cross. Ada yang tampak berlindung dengan percuma di balik tiang lampu lalu lintas. Onggokan mayat merona merah. Dengan debu putih yang setia menyelimuti. Udara kelabu juga tidak lupa menutupi jarak pandang. Mencegah siapa pun yang ingin mengintip ada apa gerangan di ujung jalan sana. Aku yang sedang tersungkur ini hanya bisa menggenggam akar rumput dan tanah. Gemetar. Menahan rintih dan tangis. Sambil berharap hijau-hijau di kejauhan yang menyibak udara kelabu itu tidak membuatnya merasakan takut lebih dari yang sekarang ia rasakan.

Dentum.

Aliran gelombang udara berfrekuensi rendah dengan cepat merambat ke arahku diikuti oleh tarian asap dan abu. Sekilas semantik cahaya bulat jingga menyeruak dari ujung koridor raksasa berhias merah putih kelabu itu. Sejenak refleks aku menutup mata untuk menghindari partikel yang berlarian dari jalan sana. Godaan badai debu yang mengajak rambutku berdansa kalah oleh angin baru dari utara tersebut. Membuat rambutku – dan tubuhku – serasa didorong kuat ke belakang.

Sesaat kemudian, bunyi kaki dan gemerisik mesin berkeluaran. Semakin lama semakin terdengar keras seperti rombongan pegawai negeri sipil buru-buru hendak pulang ke rumah. Asap dan abu yang menutupi koridor jalan tadi sudah sedikit lebih tipis diterbangkan oleh angin dentum. Pemandangan depan sudah mulai dapat ditangkap oleh mata sayu dan sembab ini. Tampak hijau baret yang mengganggu ketenangan asap kelabu di jalan raya tadi berlarian ke sini. Beberapa masih berusaha bangun dari posisi tidurnya. Beberapa memanggul temannya yang tampak pincang. Namun, mereka semua memiliki satu kesamaan: wajah panik.

Satu orang hijau baret paling depan melambai-lambaikan tangan kirinya tinggi ke para prajurit di koridor, kemudian menunjuk ke arah diriku yang masih mematung di tanah selama beberapa detik yang lalu. Tangan kanannya memegang sebuah alat komunikasi besar. Merah-merah di yang mengalir dari dahinya menunjukkan bahwa wajah paniknya pasti punya penyebab yang cukup hebat.

Setelah beberapa sahabatnya melewati posisi tempat ia berdiri, ia pun bergerak maju. Mendekati ke arah pelataran tempat aku masih berdiam tanpa kata. Suara deru mesin yang datang dari kejauhan meningkatkan kemampuan mengguncang gendang telinganya. Membuat para baret hijau –yang sebagian berlari, sebagian bergerak mundur sambil mengacungkan senjata– itu mempercepat langkahnya.

“Lapor, ada satu warga masih di lokasi. Anak perempuan 16 tahunan. Kami turut evakuasi ke pangkalan.”

Salah satu hijau yang paling dekat denganku terperanjat ketika menyeberang jalan memasuki pelataran tersebut. Menemukan seorang gadis kecil bersimpuh di atas lapangan rumput berpasir. Sendirian. Tak berdaya. Menyisikkan air mata.

“Dik, kita harus segera pergi dari sini. Saya bantu ya…” Tanpa ramah tamah dan basa basi, apalagi perkenalan, tentara itu mengembangkan tangannya untuk merangkul tubuhku. Sontak aku refleks mundur menghindari cengkeraman baret hijau tersebut. “Tidak apa-apa, ayo…” Baret hijau itu pun memaksa. Kali ini dua tangannya dipanjangkan untuk menggendong erat tubuhku. Aku tahu aksi itu pasti berat sekali mengingat tangan kanannya tadi begitu erat menggenggam senjata laras panjang yang menggantung di tubuhnya. Sejenak kemudian, aku pun berada di punggung baret hijau tersebut. Kami pun berlari menuju pusaran badai debu di ujung taman sana. Bersama dengan baret hijau lain yang berlari mundur di belakang kami.

Setelah beberapa ratus meter berlari, diiringi dengan musik yang dihasilkan oleh sahut menyahut peluru sebagai melodi dan bom sebagai bassnya, tampak di hadapan kami beberapa helikopter terparkir. Masing-masing dikawal oleh dua orang petugas dengan lampu kimia batangan. Hari memang belum gelap, tetapi jingganya cahaya mentari sore kurang cukup menembus gumpalan asap dan debu yang berkeliaran di mana-mana. Baret hijau yang membawaku menemui salah satu dari mereka. Petugas pun menunjukkan jalan menuju pintu helikopter dan mendudukkan aku di pinggir pintu. Baret hijau yang membawaku turun melompat, masuk ke dalam entah memeriksa apa, kemudian keluar lagi berjaga di pintu. Menyuruhku duduk di kursi dekat pintu sambil tersenyum yang menyiratkan pesan “kita akan baik-baik saja”. Kuharap itu bukan senyum palsu karena mimik wajahnya tidak sesuai dengan senyum yang ia berikan.

Beberapa menit kemudian sebagian baret hijau sudah menaiki helikopter. Sisanya, yang kehabisan tiket kereta, bertiarap di bawah sambil menerima orkestra yang suara musiknya kian mendekat. Helikopter pun meningkatkan deru baling-balingnya dan terangkat ke udara.

Seiring mengecilnya lapangan tempat kami bertolak tadi, kilatan-kilatan cahaya makin ramai muncul di bawah sana. Di ujung taman, tampak gajah besi muncul. Dengan gagah memuntahkan api dari ujung belalainya. Aku mengintip dari jendela mencari-cari titik hijau yang tersebar di landasan heli tadi. Khawatir terhadap beberapa baret yang masih tertinggal dan bertahan di sana. Saat itu juga aku teringat sesuatu. Aku memandang lagi arah jalan merah putih tadi. “Mamaa…” Kata itu terucap di dalam kepalaku. Ingin sekali aku meneriakkan kata itu, namun tidak ada suara yang keluar.

Heli meninggi. Horizon di kejauhan mulai tampak di sela-sela pencakar langit. Kosong, hampa, kesan yang terpancar dari hutan beton tersebut. Asap menghiasi sela-sela pancang bumi. Beberapa bahkan muncul dari gedung yang terpenggal kepalanya. Riuh suara orkestra makin bertalu-talu di bawah sana meskipun jarak kami merenggang. Matahari duduk tidak jauh dari batas laut, memancarkan cahaya merah jingga. Membuat kota ini seperti lautan darah. Namun, bukan itu yang membuat pemandangan sore itu menarik. Setidaknya menarik pandangan kami.

Semakin helikopter menggapai altitude, semakin tampak pula hamparan laut di utara kota tua ini.  Akan tetapi, tidak seperti laut biasa yang polos tak berfitur, laut ini dihiasi ornamen-ornamen indah kejinggaan. Tidak. Bukan pantulan cahaya mentari sore yang menghasilkan pemandangan tersebut. Rona-rona merah, kuning, jingga bermunculan di jendela langit. Kiri kanan atas bawah. Di barisan ujung ufuk sana, seperti air terjun terbalik, air tampak berubah merah dan terangkat ke udara. Menyatu kepada sebuah ujung kuning putih yang melompat tinggi ke langit. Dihiasi awan putih yang muncul dan hilang seketika. Terkadang bunga turut bermekaran di segala penjuru. Bunga-bunga jingga itu dengan cantik menghiasi objek yang mengambang beraturan di atasnya. Seperti festival. Satu persatu muncul, sesaat. Satu persatu terbang ke langit. Satu persatu berakhir menjadi kembang api, mengiasi samudra dan angkasa.

Kembang api itu tidak hanya berasal dari kapal-kapal yang berbaris di air, di ujung lautan sana. Menghantam pantai, gedung, atau kapal lain yang sedang apes berada di jalur lintasan. Tidak. Di angkasa, burung-burung tak terhitung jumlah saling berkejaran. Memuntahkan biji-bijian bercahaya jingga. Kembang api jenis lain rupanya. Dan kadang menembakkan kembang api yang juga mirip dengan kembang api air tadi.

Bercahaya, lalu bergerak indah, berdansa di udara. Kadang sendirian, lebih sering berpasang-pasangan. Berputaran. Diikuti oleh berkas cahaya api yang turut meliuk-liuk. Menari balet mengejar burung dan capung yang berada di hadapannya. Diakhiri dengan cahaya api bundar berbentuk bunga. Aku berbinar melihat adegan itu. Pemandangan yang sekilas membuat pikiran ku kosong. Aku tidak peduli lagi dengan keluarga yang hilang, kota yang hancur, apalagi pertempuran konyol yang entah untuk kepentingan siapa itu. Wajah dan tanganku menempel ke kaca, dengan antusias aku menatap atraksi udara tersebut. Tak ingin kehilangan satu momen pun. Tak ingin aksi itu cepat hilang dari pandangan.

Satu burung sedang terbang menyisiri pantai kemudian berbelok sedikit ke atas hutan beton. Ia adalah burung yang paling dekat dengan kami. Tiba-tiba, ia berbalik sejenak menghadap kami dan perlahan melepas anak kesayangannya. Dari ketiak sayap induknya, anak burung itu bercahaya. Kemudian melesat cepat dengan api berkobar di belakang ekornya. Melayang ke arah kami.

Seketika tenangnya perjalanan kami terusik. Helikopter yang aku naik tiba-tiba memiringkan diri ke kanan membuatku terjerembab ke kursi seberang. Satu prajurit yang ada di pintu masih dengan susah payah bertahan untuk berdiri di pintu sambil memegang sebuah pipa besar. Setelah menemukan saat yang tepat, baret hijau itu pun menarik pelatuk dan beberapa pelor pun keluar dari ujung pipa. Beberapa waktu kemudian, puluhan kembang api muncul tidak jauh dari ekor helikopter. Menyambut kedatangan si anak burung.

Semua berlalu dengan cepat, seolah-olah tidak memberiku kesempatan untuk mengedipkan mata. Helikopter oleng lagi ke kiri dan aku pun terlempar ke pintu. Aku berhasil menangkap bahu si prajurit pipa tadi tetapi ia juga sepertinya kehilangan pijakan. Helikopter juga seperti terhempas tegak lurus dengan arah ia terbang. Hanya pegangan tangan kiri si prajurit ke sela pintu helikopter yang membuat kami tidak terjatuh. Tergantung di pintu ke arah bawah sementara helikopter berusaha mengembalikan posisi terbangnya. Terbang miring ternyata tidak senyaman yang kukira.

Secepat kilat, tidak tentu tidak sampai secepat kilat, hanya saja kami dapat merasakan efek geraknya di udara dengan jelas, dua pesawat dari arah berlawanan menyambut burung besi yang mengamuk dan mencari anaknya yang hilang tadi. Beriringan seperti sepasang kekasih mereka berpapasan dengan burung besi tersebut dan saling melepas tembakan. Beberapa tembakan mengenai lambung helikopter karena burung besi tersebut mengarah ke sini. Menambah sudut miring helikopter hingga heli berbalik pada tulang belakangnya.

Tanganku yang hanya berpegangan pada leher sang prajurit tergelincir. Aku sedikit turun tetapi sempat menangkap kerah seragam sang prajurit dengan tangan kananku. Helikopter masih berusaha menenangkan diri. Prajurit pun mengulurkan tangan kanannya untuk memegangku lebih erat tetapi peganganku terhadap kerah itu sama rapuhnya dengan jahitan kancing pada seragam sang prajurit. Kancing terlepas. Aku terjatuh. Beruntung tangan kanan sang prajurit yang sudah siaga sempat meraih tanganku.

“Bertahan. Kita akan baik-baik saja.” Sang prajurit kembali tersenyum dan berbisik. Sekali lagi aku berharap itu bukan senyuman palsu karena sama sekali tidak sesuai dengan mimik wajahnya. Tangan kanannya erat merengkuh tangan kananku meski jelas peluh mengaliri tangan dan membuat pegangan licin. Miringnya helikopter yang tak kunjung pulih sama sekali tidak membantu kondisi kami saat itu. Hanya perlu sedikit dorongan, ya hanya sedikit saja. Misalnya tabrakan dari helikopter sebelah yang bernasib sama. Akan menghempaskan kami dari tumpuan yang memang tidak stabil ini.

Dan kami pun terhempas. Dua helikopter itu tidak terlalu akrab satu sama lain. Mereka berseteru dan saling bergesekan. Pegangan tanganku dari sang prajurit pun terlepas sudah. Beberapa saat kemudian, sang prajurit juga kehilangan pegangannya yang ditarik oleh helikopter tetangga. Kedua helikopter yang jauh lebih berat dari kami itu pun mendahului kami menyelam ke udara.

Sementara helikopter berubah menjadi bola api di sudut bawah sana, tiga burung besi tadi masih menari-nari di angkasa. Mereka saling pamer kebolehan di atas langit kelabu. Pertukaran api, gerakan berputar-putar seperti penari balet, dan ekor yang saling mengekor. Kilau permata bertebaran  seiring gerakan atraksi mereka. Diiringi pula misil yang bergerak lincah di antara luwesnya gerakan tubuh ketiga burung. Pertempuran tersebut tampak seperti pertarungan dua naga. Sungguh indah dan memanjakan mataku.

Angin menerpa punggungku selama ketinggianku kian berkurang dimakan gravitasi. Nyaman. Menyejukkan dan menenangkan rasanya. Rambutku diterpa angin menutupi pandanganku ke arah langit. Terpaksa aku sesekali menyibaknya dari hadapan mataku. Kini aku hanya tertarik pada satu hal: pertarungan tiga naga di atas sana. Urusan dunia, urusan siapa yang benar siapa yang salah, urusan siapa yang hancur siapa yang luntur. Aku tidak peduli lagi. Aku antipati. Kejadian hari itu mengubah hidupku. Sambil diiringi dua tiga kembang api yang bermekaran di sekelilingku, aku mengepalkan tangan. Kini aku tahu impianku. Aku tahu arah hidupku. Dan aku akan melampiaskannya ke dunia yang telah menghancurkan hidupku ini. Untuk menghancurkannya.

Indahnya Danau Toba di Taman Simalem Resort, Merek, Tanah Karo

Lebaran kali ini saya diberi kesempatan oleh Allah untuk merayakan Idul Fitri pada hari H di rumah. Ini lebaran saya bersama keluarga di Tanjungbalai setelah 4 tahun sebelumnya saya masih berkesempatan lebaran bersama keluarga di Metro. Dua tahun disela-selanya saya “libur”.

Karena lebaran kali ini cukup spesial, keluarga saya pun menyempatkan diri untuk jalan-jalan pascalebaran. Mumpung di Sumatera Utara, tentu saja tempat wisata paling wah yang mampu dipikirkan adalah Danau Toba. Tahun kemaren sih saya sudah mengunjungi situs populer untuk danau toba yaitu Pantai Parapat. Karena sudah pernah kesana, kami mencari alternatif lain. Dengar-dengar ada tempat wisata yang relatif baru yang juga sangat menarik untuk dikunjungi. Namanya Taman Simalem Resort. Lokasinya di Karo, jadi ujung danau toba paling utara nih.

Danau toba dari One Hill Tree, Taman Simalem Resort, diambil pukul 8 pagi

Danau toba dari One Hill Tree, Taman Simalem Resort, diambil pukul 8 pagi

Dilihat dari gambar googling-googling, tempat ini sangat menjanjikan. Berikut link-link review yang saya baca dan situs ini juga punya situs web juga loh http://tamansimalem.com/ dan Facebook fanpage https://www.facebook.com/TamanSimalemResort. Disini katanya sering dibuat untuk foto pre-wedding (contohnya liat di page). Ah, jadi pengen…

Oh ya, jangan salah sebut ya. Namanya bukan taman semalem. Kalau “semalem”, di dearah sini itu semakna dengan “kemaren”. “Semalem kau kemana?”, itu artinya kemaren kamu pergi kemana (bisa hari sebelum hari ini atau minggu kemaren atau bulan kemaren saat kita terakhir bertemu). Nah kalau simalem, artinya adalah nyaman dan sejuk. Hmm…

Tempat berhenti sarapan

Sekitar dua kilo dari gerbang Simalem

Kami berangkat dari rumah pukul 3 pagi (bangun dan siap-siap mulai pukul 2). Bertolak dari Tanjungbalai, via Kisaran tentu, kemudian ambil jalur Lima Puluh menuju Siantar. Lewat Siantar karena menurut Google Map lebih cepat dibandingkan lewat Medan. Dilihat dipeta logis juga soalnya Medan agak menyerong ke utara sedangkan Simalem ada di barat laut Tanjungbalai.

Sekitar pukul 05.30 kami berhenti di masjid di pinggir jalan kecil setelah Siantar untuk shalat subuh. Konsekuensi jalan via jalur ini adalah memang jalannya tidak selebar dan sebagus jalur melalui Medan – Berastagi. Dengan berbekal navigasi dari Google Navigate, saya PD kalau kami akan sampai sebelum pukul 7 (masih 70 km lagi dari tempat kami subuhan). Dan memang, sekitar pukul 7 kurang, jalan bercabang yang sudah dari tadi dikabari oleh Google Navigate itu muncul juga. Ke kanan ke Kabanjahe Berastagi dan ke kiri Simalem. Pemandangan kiri kanan pun sudah berubah menjadi kebun-kebun jeruk, tomat, dan lembah pegunungan. Dari persimpangan ini, 8 km lagi pintu gerbang Taman Simalem Resort berdiri. Kami memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan yang agak bagus pemandangannya untuk sarapan. Catatan: dinginnya pagi itu wuih, benar-benar sejuk dan nyaman. Melebihi dingin Parompong Lembang perasaan.

Gerbang Simalem

Petunjuk gerbang Taman Simalem Resort

Dan sepertinya kami mengambil spot yang salah untuk berhenti sarapan. Karena tidak jauh kami berangkat, satu dua kiloan, ternyata gerbang Taman Simalem itu sudah tampak. Memang ini gerbang agak ambigu karena tidak jelas jalan yang mana yang menuju ke resort. Lurus bisa, ke kiri bisa. Tapi karena ke kiri kayaknya jalannya lebih landai dan tertata, kami pun ambil kiri saja. Dan memang benar, sekitar 200 meter kemudian tampaklah gerbang Taman Simalem Resort yang sebenarnya.

Kami pun dicegat penjaga gerbang. Tampak tertempel di pinggir gerbang daftar tarif masuk ke resort. Untuk mobil tarifnya Rp.250.000,- per mobil. Ini sudah mendapat berbagai macam kupon yakni untuk diskon saat membeli di kafe (senilai Rp50.000,-) atau memakai fasilitas di dalam (setiap jenis kupon senilai Rp10.000, dapat dua rangkap voucher diskon yang masing-masing ada 6 jenis A-F). Jadi memang di dalam masih dapat bayar lagi ya.

Untuk tarif lain yang tersedia adalah, pedestrian Rp50.000,- termasuk kupon senilai Rp25.000,- dan 1 voucher diskon, motor Rp85.000,- bonusnya sama dengan pedestrian, mini bus dengan isi maksimal 15 orang Rp500.000,- dengan bonus kupon Rp100.000,- dan 4 voucher diskon, van atau minibus maksimal 20 orang Rp900.000,- bonus kupon senilai 150.000,- dan 6 voucher diskon, dan bus lebih dari 20 orang Rp1.200.000,- bonus 8 voucher diskon.

Karena masih pagi-pagi buta (pukul 7 lewat), suasana situs saat itu sepi sekali. Mantap sekali rasanya berlenggang disana tanpa harus diganggu wisatawan lain. Jalan dari gerbang depan ke area pusat dalam jaraknya sekitar 1-2 kilometer. Jalan tersebut diisi oleh hutan pinus. Oh ya, berikut peta Taman Simalem yang saya foto dari brosur “tiket”. Kupon-kupon yang saya sebut tadi juga ada di sisi kanan foto.

Baca Selengkapnya

Korban Pemerkosaan dan Pakaian Provokatif versus Bank dan Konten Provokatif

Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah gambar lewat di umpan berita akun Facebook saya. Gambar yang hanya berisi tulisan ini cukup menarik isi tulisannya untuk dibahas. Tentu saja, sampainya kutipan dalam gambar tersebut di dunia nyata karena ada banyak orang yang setuju dengan tulisan tersebut. Saya juga menganggap kutipan tersebut ada benarnya juga. Saya setuju dengan kutipan tersebut. Hanya saja kalau berhenti sampai disitu saja, saya tidak akan membuat tulisan ini bukan.

Sebuah teks yang memiliki unsur kebenaran tetapi lucu dan dangkal

Sebuah teks yang memiliki unsur kebenaran tetapi dangkal

Kutipan di atas memang memiliki unsur kebenaran. Makanya banyak yang setuju dan melakukan reshare. Namun, harus saya tunjukkan bahwa teks tersebut adalah lucu dan dangkal. Yang pada intinya, mereka terlalu menyederhanakan sebuah masalah kompleks dan menggampangkan situasi. Terlebih melupakan fitrah dan dorongan yang ada pada manusia.

Berikut penjelasan pendapat saya. Tidak ada argumen agama disini. Jadi apapun aliran Anda, Anda bisa tenang.


Adalah murni kesalahan sebuah bank jika ia meletakkan uang dan emas yang ia simpan di depan etalase bank. Transparan. Tampak lemah tak terjaga. Kemudian bank tersebut dirampok. Pasca kegiatan, kemudian bank diaudit, pasti manajemen bank (bisa dikatakan bank itu sendiri bukan?) akan disalahkan.

Kenapa itu kesalahan bank? Karena bank tersebut bodoh. Ia tahu bahwa konten dia miliki berharga. Ia tahu bahwa mencegah kejahatan itu sangat-sangat penting. Ia dapat melakukannya, karena pasti ia punya dana. Tapi entah karena alasan apa, bank tersebut tetap memancing penjahat dengan provokasi yang seterang matahari di siang bolong. Penjahat mana yang tidak tertarik? Manajemen bank mana yang tidak akan dipecat atau bahkan dituntut jika mereka melakukan hal tersebut?

You get my point?

Bank dengan segala fungsi yang ia miliki mesti bertanggung jawab melindungi konten (yang sebagian besar milik nasabah bukan miliknya). Hal ini biasanya dilakukan dengan menyimpan rapat-rapat konten yang ia punya. Entah surat berharga, uang, emas. Biar enak kita sebut konten itu perhiasan lah. Hanya orang tertentu yang memiliki previlege khusus untuk perhiasan tersebut yang dapat mengambil atau bahkan mengakses secuil informasi dari perhiasan itu. Jangan lupa tambahkan gembok dan baja sembilan lapis di depannya. Taruh di bawah bunker. Dan pasang satpam, alarm, serta rencana taktis jika ada pembobolan dan perampokan.

Now, that’s a bank.

Wanita pintar juga harusnya seperti bank. Pasang keamanan berlapis, perlindungan super ekstra, lapisan super tertutup untuk menyembunyikan “perhiasan”. Untuk melindungi dari kejahatan. Dan perhiasan sang wanita tentu hanya untuk orang berprevilege khusus. Suami misalnya. Baru itu namanya profesional.

Dengan segala penutupan, perlindungan, dan rencana sebegitu hebat kok masih ada yang merampok juga? Itulah manusia bung. Tidak semua manusia baik. Apakah Anda tidak tahu fakta tersebut?

Baca Selengkapnya

Syarah “OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?”

Di artikel ini saya akan mencoba mensyarah atau mengulas atau memberikan takwil seputar artikel yang saya tulis kemaren yakni OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?. Sebenarnya apa yang ditulis pada artikel itu, dan apa maksud penulis dilihat dari teks yang ditulisnya… Juga memberikan takwil atas respon dari beberapa orang atas artikel tersebut.

Perjalanan Sebuah Judul

Artikel yang saya tulis kemaren mengalami tiga kali pergantian judul.

Judul asli adalah “OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?”.

Setelah mendapat info yang dicari, itu shalat apa nggak, judul saya ubah. Saya agak nggak rela sih, jadi spoiler soalnya. Tapi ada yang mendesak judulnya diapain gitu. Ya udah boleh dah, demi kejelasan kan? Judul tersebut diganti dengan “OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak? (Jawaban: Shalat tapi 18.40)”. Singkat padat saya tambahi kalau tadi malam mereka shalat pukul 18.40, syukurlah.

Kemudian, karena indentasinya kurang bagus, judul tersebut saya ubah lagi dengan memisah jauh antara judul asli dan jawaban atas info yang dicari artikel dengan (…….::). Hasil ahirnya adalah “OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak? …….:: (Jawaban:) Alhamdulillah ternyata shalat jamaah walaupun 18.40“.

Terakhir, saya baru sadar bahwa saya tidak harus menulis jawaban pada judul shg merusak. Maksudnya tidak harus menulis pada kolom title di blog post WordPress. Duh, duh. Akhirnya, bagian jawaban saya pisahkan dari judul dan ditaruh tepat di bawah judul dengan heading yang sama. Judul kembali seperti awal. Skema ini yang dipakai hingga sekarang.

Tujuan Dari Tulisan

Pada tengah artikel tertulis jelas mengapa tulisan tersebut muncul dan mengapa judulnya begitu.

Wah, wah… Saya yang rakyat biasa ini penasaran dong, acara selanjutnya apa dan bagaimana teknis shalat untuk kerumunan 4000an orang di lapangan tersebut.

Sebelumnya sebagai pembukaan, terdapat 6 paragraf yang jelas ditulis penulis untuk menceritakan asal kedatangan penulis ke sana dan situasi sekitar sekitar. Paragraf ke tujuh, penulis memberikan transisi ke inti dari permasalahan. Di awal, paragraf selanjutnya penulis mengungkapkan keingintahuannya. Di akhir tulisan juga terpampang jelas pertanyaan penekan yang memancing pembaca untuk berkomentar, sehingga kepenasaran penulis bisa terjawab.

Kenapa Pertanyaan pada Judul Bisa Begitu

Tentu saja sebuah asap memiliki api. Jadi kok bisa penulis bertanya begitu?

Ada dua alasan.

Pertama, karena penulis tidak melihat ada persiapan shalat di lapangan tersebut. Tumben yak, ada orang lewat (penulis) yang memperhatikan hal ini. Tidak lain karena penulis pernah melakukan persiapan shalat yang sama. Pasti ada batas shaf, ada botol wudhu, ada toa, ada panitia shalat. Nah, waktu itu tak ada. Pertanyaan muncul: jadi teknis shalatnya gimana?

Kedua, karena penulis tidak sempat memantengi acara hingga selesai. Mau shalat magrib dan mau makan bareng di bebek garang. Jadi penulis pergi. Dan karena penulis alumni dan panitia yang sekarang entah berapa angkatan di bawahnya, we have no means to know what happen next…

Pertanyaan utama berubah menjadi shalat magrib nggak ya? karena itulah skenario terburuk kita dan hanya itulah yang akhirnya dipedulikan penulis. Yap, akhirnya hanya itu. Kalau tahu ternyata shalat jamaah, oh ya sudah, aman berarti. Alhamdulillah… Teknisnya? Tinggal dijelaskan belakangan.

Dengan basis tersebut, penulis menulis dengan berharap mengetahui jawaban apakah maba sempat shalat magrib atau tidak dan juga berharap bukan skenario terburuk yang terjadi (harapan ini tertulis tersirat pada catatan kaki poin 2).

Kemungkinan-kemungkinan Skenario

Selanjutnya, penulis mereka beberapa kemungkinan skenario yang ada dalam pelaksanaan shalat magrib. Memang agak kurang terstruktur di artikel aslinya, salah saya waktu itu mengambil mode narasi dibanding deskripsi. Harusnya pake poin per poin aja biar kalau yg membaca kurang intelek, tetap tahu maksudnya.

Penulis menulis:

Untuk yell-yell dari sekitar 10 himpunan yang tersisa, minimal 20 menit terbuang lah. Durasi waktu magrib biasanya maksimal hanya satu jam saja. Waktu yang tersisa hanya 40 menit. Dan saya tahu bahwa mobilisasi 3000 orang dalam waktu setengah jam adalah angan-angan. Kembalilah ke pertanyaan pada judul? Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?

Pada kutipan di atas, penulis mengemukakan skenario pertama. Penulis menghitung-hitung apa yang terjadi setelah penulis pergi dengan info yang diperoleh. Sisa himpunan yang akan yell-yell. Acara yang dilanjutkan begitu saja tanpa notifikasi kapan shalat magrib dilaksanakan dari panitia (baca: danlap) ke peserta. Durasi waktu magrib. Durasi mobilisasi.

Asumsi penulis pada skenario pertama ini adalah ada suatu tempat shalat di luar sana yang akan menjadi tujuan panitia mengarahkan massa untuk shalat. Asumsi ini bisa ditarik dari cara penulis menghitung waktu mobilisasi, kalau tidak ngapain penulis capek-capek menghitung waktu. Hal ini memberi hint bahwa penulis sadar, kalau tidak shalat disini tempat lain juga bisa. Masjid atau lapangan lain yang telah disiapkan. Berarti penulis paham dunia pengondisian shalat pada OSKM ITB. Kondisi lapangan umumnya bagaimana.

Namun hasil hitungan: mustahil. Kalau tidak sempat shalat di luar dan juga tidak ada tanda-tanda shalat di dalam, pertanyaan berubah menjadi shalat magrib diadakan atau tidak, bukan?

Kemudian penulis mengemukakan skenario lain yang mungkin. Oh bisa dilaksanakan masing-masing peserta terserah dimana.

Atau dibiarkan bubar secara sporadis dan dibebaskan shalat dimana pun, sesempatnya. Kalau memang begitu, dan bubarnya sempat sebelum shalat isya, lumayan juga.

Jelas penulis puas dengan skenario tersebut. Lumayan juga, katanya. Soalnya yang dipedulikan penulis hanya shalat mungkin dilaksanakan oleh peserta pada waktunya, bukan pukul berapa dan bagaimana caranya. Darurat-darurat. Jadi salah dan bodoh kalau ada panitia shalat yang tersinggung dengan angka 18.40 yang diperoleh penulis. Dianggapnya penulis kecewa padahal mereka sudah berusaha keras. Hah, sama sekali tidak, mana pernyataan kecewa tersebut?

Hanya penulis menekankan di akhir paragraf, skenario itu tetap sulit dilaksanakan walaupun hanya menaksir jumlah muslim 2/3 dari peserta.

Selanjutnya penulis mengemukakan kemungkinan terburuk, yang bisa saja diambil panitia OSKM jika panitia pengondisian shalat tidak ada. Misal ternyata ada petinggi yang menganggap shalat magrib bisa dijama’. Skenario ini didukung dengan pengamatan penulis sepulang dari bebek garang, peserta baru pulang tak lama setelah isya.

Skenario jama’ ini bukan menghina panitia OSKM, bukan. Ada loh orang yang berpendapat bahwa menjama’ shalat boleh karena kegiatan sibuk, berbahaya, atau penting. Serius ada, saya tahu. Kali aja salah satunya ada di OSKM kan. Nah, supaya lengkap saya cantumkan deh sekelumit ilmu dari buku yang kebetulan penulis punya Fikih Shalat 4 Mahzab. Sambil bertanya-tanya tentunya, udzur syari yang diambil yang mana. Pendapat mana yang diambil.

Beberapa skenario lain tidak ditulis di skenario tubuh walau mungkin dilaksanakan. Tidak ditulis karena agak lucu dan probabilitasnya rendah. Misal peserta disuruh tayamum.  Atau shalat sendiri-sendiri di lapangan. Atau antri wudhu di mushola kolam renang saraga. Saya cuma diskusi di kotak komentar WordPress dengan teman.

Kalimat selanjutnya adalah kalimat terakhir. Penekanan terhadap topik keseluruhan tulisan tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi…

Pemutakhiran-pemutakhiran

Beberapa pemutakhiran kemudian ditambahkan penulis atas umpan balik pembaca. Misal salah ketik. Juga tentu tentang info jawaban atas pertanyaan tadi. Secara umum ada dua info yang diperoleh penulis. Pertama dari  Dayu Wiyati tentang kepastian shalat dan kedua dari Bahary Setiawan tentang situasi lapangan. Penulis sangat menghargai info mereka.

Reaksi Jagat Pembaca: Mensyarah Reaksi Orang-orang Yang Tidak Mau Jujur Itu

Sebenarnya reaksi pembaca kurang lebih sudah terbahas pada segmen Catatan dari Penulis pada akhir artikel aslinya. Intinya banyak yang “protes” terhadap tulisan itu. Bagian mananya? Mereka tidak bilang. Pokoknya protes saja.

Yang koar-koar protes itu pun tidak memberikan info terhadap yang dicari-cari oleh sang artikel. Jadi, ya entahlah apa gunanya mereka protes itu. Kemudian keluar istilah rumit seperti membuat isu, tabayun, pembunuhan karakter, dan mengutuk kegelapan vs cahaya lilin.

Disini saya mencoba menguak isi hati memperjelas apa yang mereka maksud dengan tanda-tanda yang diberikan.

Tentang Judul Artikel

Dari komentar pada artikel tersebut, saya sadar bahwa judul adalah poin utama dari protes.  Setelah cek twitter juga (saya jarang buka twitter, nggak ada guna) judul artikel saya itu jadi objek kelebihan beban (keberatan) dan objek banten (serang).

Entah perlu berapa lama mereka itu untuk jujur mengungkapkan isi hati mereka, mana sih yang mereka nggak sreg. Judul? Oke, terus bagian mananya…

Akibat pendidikan yang tidak mengedepankan kebebasan mengemukakan pendapat sih. Jujur aja susah.

Protes Terhadap Judul: Pertanyaan Kurang Jelas

to the point?

Hanya mau menanggapi kalimat pertamanya saja. Sepertinya pertanyaan saya sudah seterang matahari di siang bolong. Lebih dibikin to the point -nya seperti apa ya? Kan saya cuma mau tahu, kemaren shalat magrib nggak? Bisa ditafsir lain kah pertanyaan itu? Ada yang salah dengan pertanyaan / judul itu?

Protes Terhadap Judul: Kesan Negatif Judul Pertama

Hanya orang bodoh yang menganggap bahwa judul pertama itu adalah negatif sehingga perlu dirombak total. Judul tersebut (sekarang judul artikelnya juga itu) adalah:

OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?

Mungkin seperti ini alur berpikir mereka yang protes itu: Takutnya pembaca langsung menyangka panitia tidak memberi slot waktu shalat. Jadi panitia tercoreng. Terbunuh karakternya, bla-bla-bla.

Nah, mari saya jelaskan kenapa pendapat itu bodoh. Kalau saya bertanya begini:

Adik. Jadi tadi malam kamu makan nggak?

Apakah saya sedang menuduh adik saya kalau sebelumnya tidak makan? Mari buat contoh yang lebih mendekati, agar analogi saya tidak jatuh kepada False Analogy. Saya bertanya kepada teman saya Yoschaem atas pernikahannya kemarin.

Yos, kemaren sibuk banget kan pas resepsi, tamunya banyak.

Jadi kemaren itu sempet shalat magrib nggak?

Apakah saya sedang menuduh oskam tidak magriban kemaren? Nah itu… Tidak kan. Namanya pertanyaan netral, sifatnya netral. Tidak positif atau negatif. Kecuali kalau kata-kata dalam pertanyaan dibalik sehingga cenderung ke satu sisi…

OSKM 2013: Jadi tadi malam mahasiswa baru itu nggak shalat magrib?

Jadi lo kemaren pas nikah nggak shalat magrib yos?

Nah, pertanyaan di atas baru menyudutkan karena langsung mengambil sisi asumsi nggak shalat nya. Yang dipertanyakan bukan shalatnya iya atau tidak, tetapi benarkah tidak shalat.

Mahasiswa harusnya pandai dikit berbahasa lah. Ambil TTKI Lanjut sana kalau perlu. Jadi tidak ada yang perlu diubah kan dari judul original tersebut? Tidak ada panitia (OSKM atau Pengondisian Shalat) yang disudutkan kan…

Protes Terhadap Judul: Kepaduan Judul dan Isi Artikel

Di salah satu jejaring sosial, ada yang mempertanyakan. Itu judulnya tidak sesuai isi, katanya.

Judul Mengacu Beberapa Kalimat

Saya sebenarnya tidak yakin judul versi berapa yang dimaksud oleh akun di atas. Tapi saya akan mencoba membahasnya…

Judul versi satu:

Tujuan utama artikel adalah jelas, meminta jawaban atas sebuah pertanyaan. Yang ditanyakan juga jelas, terpampang di judul. Seluruh artikel juga berputar pada judul tersebut. Memang 6 paragraf pertama seperti off, tetapi tanpa itu saya kurang bisa menjelaskan duduk perkaranya. Ada acara apa, dimana, gimana. Dan tanpa pembawaan pada 6 paragraf itu, sisa artikel jadi cuma tebak-tebakan saja. Tidak menarik.

Mari lupakan 6 paragraf pembuka tersebut.

Sisa paragraf jelas merupakan perluasan dari topik/ judul. Skenario yang terjadi. Kemungkinan tiap skenario. Pertanggungjawaban kalau skenario terburuk (jawaban sisi kiri dari pertanyaan). Dan ditutup dengan pertanyaan umpan balik. Jadi jelas walaupun isi yang mengacu judul cuma dua kalimat, judul dan isi artikel padu. Mungkin bukan judul versi satu ini maksud si tweeps.

Judul versi kedua:

Setelah dapat info, saya bubuhi keterangan singkat pada judul “(Jawaban: Shalat tapi 18.40)”. Jawaban singkat ini hanya diacu pada bagian update yang pertama yang isinya mula-mula kurang lebih berisi kabar gembira karena ternyata shalat dilaksanakan di waktu yang aman dan rasa syukur saya serta alasan kenapa saya tidak lihat persiapannya, sedikit telat soalnya.

Update siang [09.15]: Ternyata ada pengondisian shalat di lapangan, dibantu oleh GAMAIS. Tapi memang agak telat sih shalatnya pukul 18.40 (isya pukul 19.03). Makanya saya juga nggak liat (persiapannya disumputin dimana ya). Fix aman berarti. Alhamdulillah…

Karena ini jawaban yang saya cari, saya tambahkan ke bawah artikel untuk mengabari siapapun yang membaca setelahnya. Judul juga saya ubah setelah seseorang bilang “judulnya rada diubah lah”. Oke, “terpaksa” saya kasih spoiler jawaban dari pertanyaan judul, di judul. Wah? Tapi karena jawaban itu komponen pelengkap, bukan utama, jawaban saya taruh dalam (tanda kurung) dan cukup singkat saja “Shalat tapi 18.40” yang penting jelas. Wong itu saja saya sudah bersyukur, pada masih sempat shalat. Saya kan membicarakan skenario terburuk di artikel.

Mungkin nih ya, mungkin. Tweeps di atas memprotes judul dua ini. Soalnya yang di dalam kurung cuma di bahas dikit di bagian update. Jadi kesannya, judul tersebut menyalahkan panitia karena telat shalatnya. Dan hal ini tidak dibahas lagi di artikel. Mungkin… Iya nggak tweeps? Kata kuncinya adalah kata tapi di penambahan judul. Itu murni kesalahan saya, memilih kata hubung yang berkesan negatif. Maaf. Buru-buru sih didesak sama yang dari FB.

Sayangnya sih tweeps malu untuk bilang. Padahal tinggal bilang dengan clear, “Bang kami panitia sudah berusaha, 18.40 itu udah mentok. Jangan dihujat lagi dengan judul begitu lah bang. Masih syukur shalat itu walau telat”. Nah, kan saya jadi mikir kalau tanggapannya gitu. Diksi yang saya pakai ternyata  salah.

Kemudian, si tweeps terlalu terbawa emosi untuk melihat tanda-tanda. Pertama, judul utama artikel diluar tanda kurung, pertanyaannya hanya apakah maba shalat atau nggak. Kedua, alur cerita pada artikel runut dari atas kebawah. Ketiga, bagian yang mengacu penambahan judul dalam tanda kurung adalah bagian update dan ditambahi kata-kata Alhamdulillah. Sampai disana, tinggal apakah orang yang melihat tanda-tanda itu orang yang berpikir atau tidak.

Malah balik menyerang penulis dengan kata-kata, “penulisnya muslim?”, “pernah belajar tabayun nggak sih”, “gue tersinggung nih, pembunuhan karakter namanya”, “loe tahu kondisi lapangan nggak!!!”

Judul frontal, kondisi lapangan

Tentu saja saya nggak tahu kondisi lapangan saat itu. Saya bukan panitia! Makanya saya bertanya… Makanya situ jelasin dong, apa yang sebenarnya terjadi. Balik ke pertanyaan saya kan?? Tapi camkan! Saya ini juga pernah jadi panitia, tahu saya kayak apa di lapangan saat OSKM…

Atau tinggal bilang langsung to the point “Bang, itu maksud judulnya apa… Yang bagian ‘tapi 18.40’ itu? Abang kecewa shalatnya telat? Itu sudah sesuai sama kondisi lapangan bang…”

Nah, itu namanya tabayun kan dan jelas hal yang ditabayunkan apa: kekecewaan yang tertulis dalam judul. Ternyata tidak dilakukan, kan saya jadi bertanya-tanya sebenarnya yang tidak melakukan tabayun siapa…

Judul versi ketiga:

Setelah menyadari dua hal, saya mengubah penambahan judul dan mengubah sedikit paragraf update dari Dayu. Dua hal yang saya sadari: Satu, indentasi judul kedua jelek, karena kata “(Jawaban:” naik dan sisanya turun. Dua, kata tapi disana kurang enak.

Kepaduan antara pertanyaan dan tubuh artikel sudah tidak kita bahas lagi kan. Sekarang antara jawaban dan bagian pemutakhiran. Judul ketiga sudah saya perlunak dan perpanjang (oh noo… merusak kerapihan judul saja) dengan saya tambahi Alhamdulillah dan ganti kata hubung menjadi walaupun.  Paragraf update juga cuma menambahi “sebagai info” sebelum kata “isya pukul 19.03”. Jadi kepaduan artikel tidak berubah seharusnya.

Atau mungkin judul yang ini yang dipermasalahkan si tweeps? Bisa jadi juga sih. Kata walaupun juga bisa dianggap kekecewaan dan train of logic-nya sama dengan sebelum ini. Namun, kata alhamdulillah (yang sebelumnya juga ada di paragraf update) harusnya bisa agak meredam kesan negatif kata hubung itu.

Saya sebenernya pengen mengungkit-ungkit cerita saya waktu jadi panitia pengondisian shalat juga, untuk memperlihatkan bahwa saya juga pernah capek kayak protester. Untuk memperlihatkan bahwa protester salah kalau kami tidak tahu apa-apa, kalau kami kecewa. Tapi saya tidak mau terjerumus kepada lingkaran yang biasa terjadi antara senior dan junior: jaman gue lebih susah dari jaman elo. Tidak.

Tersinggung (dan Kecewa) dengan Yang Tersinggung

Terakhir saya ingin mengungkapkan bahwa saya kecewa dengan orang-orang yang tersinggung. Plus saya juga tersinggung dengan sikap mereka tersebut.

Kabarnya beberapa dari yang tersinggung justru bagian dari panitia pengondisian shalat. Saya bingung kenapa mereka bisa tersinggung. Tidak ada pula yang menjelaskan. Diminta juga masih diam. Mari kita tabayuni dengan artikel ini.

Sepertinya, ada tiga kemungkinan kenapa mereka tersinggung:

  • Fikri menjelaskan mungkin tersinggung karena dipertanyakan pekerjaannya. Sudah capek-capek tapi masih ditanya-tanyain. Harusnya nggak usahlah nanya-nanya. Kalau nggak tau kondisi lapangan, nggak usahlah bertanya. Tau apa loe nanya-nanya?kondisi lapangan
  • Mungkin juga mereka merasa pekerjaan tidak diangap. Sebenarnya ada shalat jamaah, tapi dianggap nggak ada dengan judul artikel yang isinya pertanyaan seperti itu. Pekerjaan mereka harus dianggap! Ngapain capek-capek ngadain pengondisian shalat kalau semua orang tahunya nggak ada pengondisian shalat!
  • Mungkin mereka merasa yang bertanya kurang puas dengan kinerja mereka. “Gile lo ndro, masak shalat magrib telat beeut 18.40, aktivis dakwah atau bukan elo, kok ngajarin nggak bener.” “Eh, apaan, elo nggak tahu kondisi lapangan kan? Gak usah tanya-tanya lah!” Gitu mungkin dialog imajiner yg mereka bayangkan saat tweet di atas ditulis.

Saya kecewa dengan kemungkinan manapun dari tiga di atas.

Yang pertama berarti mereka menutup diri. Biarlah saya bekerja tapi jangan ditanya-tanyain. Kalau mau tabayun aja (loh) atau lihat sendiri atau bantuin. Loe diluar sistem udahlah di luar aja sana. Nah, kalau gitu kan ekslusif sekali berarti mereka. Saya kecewa karena mereka terkesan tidak mau dikritik, tetapi tidak bisa diapresiasi karena tidak berbagi info apa yang terjadi sebelumnya. Orang bertanya langsung dianggap menjelekkan pekerjaan mereka. Bah!

Yang kedua berarti mereka pamrih. Ditanyakan yang netral saja mereka langsung marah. Bukan menjawab dengan baik malah balik teriak. Jadi seperti “Gak usah nuduh sembarangan lah! Tabayun dulu woy! Orang ada shalatnya kok woy! Kerjaan gua ini woy.” Padahal tinggal beberkan apa adanya sesuai yang ditanyakan, beres…

Yang ketiga berarti mereka tidak evaluatif. Dikritik malah balas menyolot. “Loe kan nggak tahu kondisinya. Nggak usah nanya-nanya lah…” Logical fallacy… Justru kalau saya nggak tau, ente kasih tahu saya. Kondisinya bagaimana sih kok bisa begitu. Jelaskan. Evaluasi dong, tenangkan orang yang kecewa dengan kinerja kalian. Dan beri bukti nyata di hari esok. Kan lebih asyik, lebih mahasiswa. Saya tidak perlu kecewa jadi.

Belum lagi kemungkinan yang ketiga ini tidak benar, hanya perasaan mereka. Salah paham. Interpretasi imajiner. Tidak ada pernyataan kekecewaan manapun di artikel saya. Tidak ada yang bilang panitia gagal. Tidak ada. Menuduh penulisnya saja itu. Kalau ada tolong tunjukkan. Kalau Anda mau, saya akan kasih seluruh revisi dari artikel tersebut, cari mana yang tersurat/tersirat menyebutkan saya kecewa, panitia gagal dengan angka 18.40, dll. Kan saya jadi tersinggung dengan tuduhan itu.

Sampai-sampai saya dan teman saya, Abdurrisyad Fikri, yang sama-sama mantan panitia pengondisian shalat bertahun-tahun, diskusi. Geleng-geleng kepala. Anak-anak jaman sekarang mentalnya gini ya. Disenggol dikit, ngamuk.

Apa bedanya sama preman.

Kecewa kami.

Catatan: Kami tidak kecewa dengan kinerja panitia pengondisian shalatnya. Tidak. Justru kami puas dan bangga. Bisa menego panita pusat untuk shalat di tempat. Keren loh, susah itu. Dan berani ambil risiko, walau pindah tempat mendadak. Pasti capek persiapannya. Salut… Pukul 18.40 selesai shalat magrib itu sudah bagus sekali untuk ukuran acara baru masuk separoh jalan waktu adzan tiba. Makanya jelaskan dong runut kejadiannya.

Kami kecewanya dengan mental kalian ketika ada yang bertanya tentang runut kejadian, malah kalian merasa tidak dihargai. Harus sedemikian dihargai kah pekerjaan kalian hingga orang sulit bertanya.


Tadinya saya mau balas dendam total dengan membuat 4 artikel, membahas satu-satu tentang istilah “isu”, “tabayun”, “pembunuhan karakter”, dan “pengutuk kegelapan” di artikel berbeda, di bawah rubrik OKMS 2013 Spesial. OKMS = blOg KeMaren Spesial, plesetan. ^^ Tapi karena capek, cukup segini dulu lah. Yang itu lain kali aja, minggu depan gitu.

OSKM 2013: Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?

(Jawaban: [update 9.30]) [spoiler alert!]

Alhamdulillah ternyata shalat jamaah walaupun 18.40


[Tutup mata dan baca dari sini jika tidak ingin terkena spoiler di atas]

Masa awal penerimaan mahasiswa baru, di ITB selalu ada acara yang bernama OSKM – Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa. Acara ini diadakan oleh panitia terpusat Keluarga Mahasiswa ITB, yang terdiri dari ratusan orang mahasiswa bebagai tingkat, dilatih beberapa bulan, dan dikritisi masa kampus dahulu sebelum direstui untuk menyambut maba. Panitia pilihan lah. OSKM adalah acara kaderisasi dan penyambutan maba ITB yang menurut saya cukup bagus dan perlu dilakukan.

OSKM tahun 2013 ini dibuka hari kemaren, pada tanggal 20 Oktober 2013 20 Agustus 2013. Kebetulan saya renang di Kolam Renang ITB dan ternyata pembukaan di lapangan bola SARAGA sana. Pukul 5 sore habis renang, mobilisasi maba dari dalam kampus untuk prosesi pembukaan OSKM ini masih dilakukan. Maklum, mobilisasi 3000 orang pasti super lama walaupun dengan protokoler dan pengibar bendera yang seram dimana-mana.

Mobilisasi Peserta OSKM 2013

Mobilisasi Peserta OSKM 2013

Oke, karena habis renang capek dan penasaran juga dengan acaranya, saya ikutan menonton. Belum pernah juga nonton pembukaan OSKM dari dekat sebagai massa kampus begini. Penasaran juga sama orang-orang berseragam petani yang gerak-gerak nggak jelas di depan barisan selama mobilisasi berlangsung itu bakal ngapain entar.

Penampilan pada Prosesi Pembukaan

Penampilan pada Prosesi Pembukaan

Singkat cerita, pembukaan dimulai sekitar pukul 5 lewat, hampir setengah 6. Ada pertunjukan yang dari jauh tampaknya pemainnya memakai pakaian daerah macam-macam. Dan orang-orang berseragam petani tadi naik ke panggung, simbol rakyat kecil sepertinya. Anehnya, selain pacul, capil, dan orang-orangan sawah, ada juga orang-orang berseragam petani yang membawa gentong kecil. Semacam yang dibawa pekungfu jurus mabuk itu. Dan si orang itu juga goyang-goyang sempoyongan gak jelas kayak orang mabok. What the hell the committee thinking? Mereka mau menyimbolkan bahwa mabuk itu realita pedesaan yang harus kita jaga?

Singkat cerita lagi, acara setelah itu adalah pamer yell-yell dari setiap himpunan mahasiswa yang ada di ITB. Dari tadi, massa masing-masing himpunan memang berdiri mengitari barisan maba, berkumpul dengan jahim kebanggannya masing-masing. Ini merupakan inovasi yang bagus karena sepertinya dulu tidak ada. Pengenalan himpunan semenjak masih maba adalah langkah yang cukup baik.

Saya yang belum pernah menyaksikan yell-yell seluruh himpunan satu-satu begini juga tertarik untuk menonton lebih dekat. Himpunan saya, HMIF dapat urutan ketiga kalau tidak salah.

Demonstrasi Yell-yell di Hadapan Maba

Demonstrasi Yell-yell di Hadapan Maba

Kembali ke topik di judul, sekitar pukul 6, adzan magrib berkumandang. Namun, himpunan yang mendemokan yell-yell terbaik mereka baru 60%. Himpunan yang berdiri di sebelah barat semuanya belum. Namun, the show must go on. Dan mereka pun go on (hanya hening sejenak menghormati adzan).

Barisan Maba (Dipotret dari bagian depan) Dikelilingi Massa Himpunan dan Dijaga Panitia Keamanan

Barisan Maba (Dipotret dari bagian depan barisan) Dikelilingi Massa Himpunan dan Dijaga Panitia Keamanan

Wah, wah… Saya yang rakyat biasa ini penasaran dong, acara selanjutnya apa dan bagaimana teknis shalat untuk kerumunan 4000an orang di lapangan tersebut. Karena pada waktu itu saya tidak melihat adanya Tim Pembantu Pelaksanaan Shalat dari GAMAIS yang biasanya bersiap dalam setiap acara OSKM. Batas shaf yang biasanya sudah siap sedari siang juga tak tampak (lihat gambar). Botol wudhu? Nggak liat.

Untuk yell-yell dari sekitar 10 himpunan yang tersisa, minimal 20 menit terbuang lah. Durasi waktu magrib biasanya maksimal hanya satu jam saja. Waktu yang tersisa hanya 40 menit. Dan saya tahu bahwa mobilisasi 3000 orang dalam waktu setengah jam adalah angan-angan.

Kembalilah ke pertanyaan pada judul? Jadi Tadi Malam Mahasiswa Baru Itu Shalat Magrib Nggak?

Spoiler: Alhamdulillah ternyata jadi shalat magrib berjamaah kok walaupun agak di akhir dan perlu lobying panitia.

Taplok di Belakang Barisan Maba (Area Depan Panggung)

Taplok di Belakang Barisan Maba (Dipotret dari Area Depan Panggung)

Atau dibiarkan bubar secara sporadis dan dibebaskan shalat dimana pun, sesempatnya. Kalau memang begitu, dan bubarnya sempat sebelum shalat isya, lumayan juga. Cuma ya, bayangkan 2000an muslim dari satu titik menyebar mencari tempat shalat. Sericuh apa? Apakah sempat sisa waktu yang diberikan panitia tersebut untuk bernapas eh shalat magrib.

Atau memang ternyata dibubarkan seselesainya acara tanpa memikirkan shalat magrib? Toh bisa dijama’ atau diqada gitu kali ya mikirnya. Setahu saya sih memang shalat jama’ juga boleh walaupun tidak sedang dalam perjalanan. Karena alasan cuaca (hujan, salju, dingin) juga boleh. Kata buku Fiqih Empat Mahzab, shalat jama juga boleh dilakukan dalam kondisi sakit yang menyusahkan (misalnya kencing terus menerus) atau udzur seperti khawatir maksiat, mengancam keselamatan jiwa, harta, atau keturunan, atau karena wanita menyusui yang berat baginya untuk selalu mencuci pakaian.

Tapi ikut acara OSKM ini masuk udzur syari yang mana ya… Hmm.

Suasana Terakhir Sesaat Setelah Adzan Magrib

Suasana Terakhir Sesaat Setelah Adzan Magrib

Jadi apa yang terjadi tadi malam? Skenario yang mana? Ada yang tahu kah?

Update [09.15]: Ternyata ada pengondisian shalat di lapangan, dibantu oleh GAMAIS. Tapi memang agak telat sih shalatnya pukul 18.40 setelah lobying dengan panitia (sbg info: isya pukul 19.03). Hal ini berdasarkan pernyataan dari Dayu Wiyati Purnaningtyas, anak gamais juga. Karena agak telat makanya saya juga nggak liat (persiapannya disumputin dimana ya). Fix aman berarti. Alhamdulillah…

Update [13:50]: Informasi dari Bahary Setiawan. Rundown panitia selesai acara pukul 6.15 dan rencana shalat magrib akan dilaksanakan di (bekas) GSG ITB dan (bekas) lapangan parkir utara ITB. Setelah GAMAIS melihat mobilisasi memakan waktu lama 40 menit (dari dua tempat tersebut ke saraga), GAMAS berpendapat kalau shalat sesuai rencana tidak akan terburu waktu. Dengan skenario itu jam 6.55 baru sampai lokasi (dgn asumsi mobilisasi memerlukan waktu yang sama 40 menit) belum pengondisian wudhu dll, tidak akan sempat untuk magrib. Oleh karena itu, GAMAIS melobi panitia OSKM agar shalat magrib dilaksanakan di saraga.

Catatan kaki:
  • Yang saya tahu adalah saya pulang dari Bebek Garang sekitar pukul setengah 8 lewat. Waktu itu, prosesi pemulangan maba sedang dilakukan.
  • Jika situasi yang terburuk terjadi, saya harap saya tidak dipanggil menjadi saksi di akhirat kelak untuk urusan ini hanya karena kebetulan saya ada disana waktu itu. Berat euy, kalau dituntut ribuan orang untuk hak shalatnya. Astagfirullah…
  • Tulisan yang benar menurut KBBI “magrib” ya, bukan “maghrib”.

Update siang [13:00]:

Catatan dari Penulis

Panjang. Jangan dibaca!

Baca Selengkapnya

Mengintip Bandara Kualanamu Dari Dekat (bagian 2 dari 2)

Sebelum ini, saya melaporkan hasil intipan saya ke Bandara Internasional Kualanamu alias KNIA pada saat saya datang ke sana (untuk pulang kampung. Laporan tersebut difokuskan kepada landasan saat mendarat, garbarata dan anjungan kedatangan, dan situasi taman dan tol di luar bandara. Waktu itu saya datang siang pukul 13 jadi fotonya cerah.

Gerbang depan bandara kualanamu di malam hari

Gerbang depan bandara kualanamu di malam hari

Kali ini saya akan melaporkan hasil intipan saya pada saat saya pulang. Dengan demikian, fokus laporan ini adalah anjungan keberangkatan dari KNIA. Waktu itu pesawat saya berangkat jam 5 subuh, jadi maklum kalau fotonya gelap-gelap. Sebelum itu saya juga ingin sedikit menceritakan situasasi jalan (dan daerah) sekitar bandara. Terutama jalan (arteri) yang meghubungkan antara bandara ke dunia luar.

Seperti artikel sebelumnya, akan ada banyak foto di artikel ini. Jadi harap maklum kalau lambat di-load. Tapi tenang, fotonya sudah dikecilkan semua kok jadi harusnya sih cepet.

Baca Selengkapnya

Mengintip Bandara Kualanamu Dari Dekat (bagian 1 dari 2)

KNIA alias Kualanamu International Airport adalah bandara teranyar Indonesia yang baru saja dibuka 25 Juli 2013 yang lalu. Bandara ini sempat heboh[citation needed] karena disainnya yang super apik, bandara dengan jalur kereta terintegrasi pertama di Indonesia, bandara dengan area check in terbuka pertama di Indonesia, dan bandara terbesar kedua di Indonesia dan akan diplot sebagai bandara hub penghubung regional ke Asia Selatan. Saya sempat mengunjungi bandara ini saat saya pulang kampung libur lebaran yang lalu.

Berikut adalah laporan intipan saya dengan foto-foto yang cukup banyak (jadi mungkin agak lambat, sabar yak). Laporan ini berfokus kepada landasan saat mendarat, garbarata dan anjungan kedatangan, dan taman serta tol di halaman bandara. Silakan menikmati.

Baca Selengkapnya

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434H

Selamat Idul Fitri 1434H

Festival Takbir dan Bedug Tanjungbalai

Anak baca ArRahman

Suasana di jalan raya TJB

Sudah menjadi tradisi di Indonesia bahwa malam sebelum hari raya Idul Fitri diisi dengan takbiran. Jadilah sebutan malam takbiran. Tidak hanya di masjid (karena kalau cuma di Masjid, sebutan tadi tidak akan ada) tetapi juga di jalan-jalan dan keliling kota. Biasanya pakai mobil, truk, atau bahkan motor. Setiap kota biasanya ada semacam festivalnya sendiri. Kalau di Bengkulu (kalau saya tidak salah ingat) ada yang namanya festival tabot, jadi mobil-mobil dihias sedemikian rupa saat keliling takbiran ini. Kalau di Tanjungbalai, ada yang namanya festival bedug dan takbir.

Tanggal 7 Agustus 2013 malam, suasana jalanan kota Tanjungbalai (yang memang biasanya sudah sesak oleh motor dan betor) disesaki oleh banyak orang lebih dari biasanya. Motor, betor, dan mobil-mobil pick-up berisi anak-anak kecil dengan speaker. Mereka berteriak-teriak takbir, menabuh gendang, dan bahkan ada anak di sebuah truk yang membaca surat Ar-Rahman.

Namun, di alun-alun kota, lapangan Sultan Abdul Jalul Rahmatsyat atau biasa disebut lapangan pasir, ada keramaian yang berbeda. Di bawah satu-satunya bangunan berbentuk kerang terbuka yang terletak di pinggir barat lapangan, sebuah panggung cantik terhias kain-kain dan ornamen ketupat. Di bawahnya terdapat beberapa beduk dan spanduk besar Festival Takbir dan Bedug. Berjarak sekitar 15 meter dari area panggung, entah siapa yang inisiatif “ambil jarak” duluan, warga berjejer di atas sepeda motornya menonton persiapan panggung dari kejauhan.

Suasana Lapangan Pasir Tanjungbalai

Suasana Lapangan Pasir Tanjungbalai saat Festival Bedug

Sekitar pukul 9, acara dimulai. Bapak walikota Tanjung balai, Bapak Munthe, memberikan sambutan. Bahwa festival ini sebagai bentuk rasa syukur. Rasa mengumandangkan takbir. Dan rasa membesarkan syiar islam. Dan jangan lupa bahwa judul festival adalah Takbir dan Bedug, jadi takbir duluan baru bedug. Bedugnya yang harus mengikuti (menyesuaikan.pen) takbir bukan sebaliknya.

MC pun mengabarkan, total peserta festival bedug kali ini ada 28 grup yang terbagi menjadi dua kelas: kelas muda dan kelas umum. Peserta terdiri dari anak SMP/SMA dan ada juga yang berasal dari warga sekitar atau mungkin – ini tebakan saya – jemaah masjid kali ya.

Salah satu tim memainkan karyanya

Salah satu tim memainkan karyanya

Berikut adalah beberapa video perlombaan takbir dan bedug yang berhasil saya rekam. Saya hanya berhasil merekam 5 aksi (itupun sudah sampai jam 12 malam). Silakan menonton: Baca Selengkapnya

Tanjungbalai, 4 Agustus 2013, Malam 27 Ramadhan: Festival Kembang Api

Merecon trailDear diary Blog Kemaren Siang,

Desing peluru. Bau mesiu. Dentum ledakan.
Di ujung horizon utara, tampak rinai-rinai cahaya.
Bersuar…
Kerlap kerlip menyeruak putih dari gelapnya malam.
Itulah yang akan didapati hampir semua warga Tanjungbalai
ketika ia menjejakkan kaki ke luar rumahnya pada malam 27 Ramadhan ini.

Entah siapa yang merencanakan non-event ini.
Atau memang sudah tradisi (entah siapa yang memulai).
Seolah-olah semua warga sudah tahu
dan sepakat untuk menyalakan kembang apinya bersama-sama*.
Mulai dari maghrib malam ke 27 Ramadhan.

Hasilnya lumayan seru.
Desing merecon roket siing siing dan rentetan ledakan kecil seperti peluru.
Bau asap bekas ledakan kembang api.
Dentum ledakan merecon yang agak lebih elit sedikit.
Beruntut-runtut tanpa henti.
Benarlah kata adikku ri, malam ini seolah-olah sedang berada di kawasan latihan militer**.
Tanjungbalai Latihan Militer

Menurutku, dibanding orang menyalakan merecon sendiri-sendiri, kemudian mengganggu tetangga.
Bikin ribut saja.
Kalaupun memang rela membakar-bakar uang untuk merecon,
mendingan sekalian ramai-ramai begini. Lebih seru!
Jadi event atau non-event yang disepakati bersama.
Seperti festival, sehingga semua orang menyalakan kembang api bersama-sama.
Jadinya Semarak…
Terasa semangatnya…
Apalagi kalau festivalnya diadakan oleh pemerintah sebagai daya tarik wisata
Kayak di Jepang tuh, mantep kan?

Yang sekarang ini memang belum sekeren Obon***
Atau Hanabi Matsuri*** yang ada di film-film itu sih.
Tapi lumayan lah, malam Tanjungbalai kali ini.

Tapi,
Ada drawback juga dari situasi malam Tanjungbalai ini
Shalat tarawih jadi kayak di Gaza***..
Kurang khusyu jadinya, hmm…

*) Keluarga saya bukan termasuk keluarga yg cukup punya uang untuk dihamburkan dengan membakar merecon. Adik saya saja (sudah SMA sekarang) sampe komentar “pas ayang kecil nggak pernah dibeliin merecon ma, ma..” Saya berkomentar, “Terus sekarang?”. Adik saya menjawab “Halah, kecil aja nggak dibeliin. Apalagi udah besar…”. Kami pun tertawa…
**) Saya tinggal di daerah agak sepi pinggir kota. Udah sebegitu bisingnya, gimana di kota yak… Oh ya, salah satu yg cukup menyegarkan adalah menertawakan merecon tetangga yang begitu murah sehingga suara meledaknya terdengar cupu. “Lebih besar bunyi kentut ayang”, kata adik saya.
***) Saya belum pernah lihat Obon, Hanabi Matsuri, atau Gaza

Tanjungbalai, Libur, dan Internet

Tinggal di daerah yang terpencil, walaupun masih disebut kota tetapi tidak dapat dimungkiri kalau terpencil, cukup menantang bagi anak informatika. Apalagi kalau bukan internet penyebabnya. Mana masih ada kerjaan yang harus disetor pas liburan menjelang lebaran gini kan. Disini saya mau “sedikit” melaporkan kondisi perinternetan (menggunakan modem) disini.

Tanjungbalai adalah daerah yang cukup terpencil. Jaraknya 4 sampai 5 jam dari Medan. Dekat pesisir pantai menghadap langsung ke Port Klang, Selangor, Malaysia. Jaraknya 3 sampai 4 jam laut dari Port Klang. Meskipun begitu, kota ini pernah jadi kota terpadat se-Asia Tenggara loh.

Rumah saya agak di daerah pinggir Tanjungbalai (daerah perumahan bukan daerah ramainya). Agak masuk sekitar dua kilometer dari jalan utama menuju pusat kota. Nama tempatnya Sungai Dua. Mungkin karena dahulu daerah ini diapit oleh dua sungai.

Lokasi saya adalah di Indonesia, WOW!

Lokasi saya di Indonesia, WOW!

Oke langsung saja. Di Sungai Dua, TELKOMSEL lemah! Internet is a no-no, walaupun gambarnya sih 3G dan kadang-kadang H. Tapi nggak ada yg ke-load.

Dulu saya malah pernah ngetes, lebih cepet di tengah sungai dibanding di rumah saya, hmm…

Parahnya lagi, masa semenjak saya kesini, penanda posisi di layar homescreen operator yang mengklaim dirinya terbesar di Indonesia ini tulisannya Republic of Indonesia. Nggak ada keterangan tempat lain apa! Earth gitu. Atau “Sumatera” kayaknya lebih baik. Update (7 Ags 2013 12.40) : eh, ini salah operatornya bukan sih? Yang di homescreen HP biasanya dari operator kan ya? Kalau yg ini???

Saya biasanya pakai AXIS. Jika di Klaten dan Solo operator AXIS sangat jauh lebih cepat dibanding Bandung, disini Axis mati. End of story.

SmartFren saja yang bisa diandalkan. Namun, lambat.

Segitu saja laporan saya. Terima kasih. Wassalam…

Baca Selengkapnya

Perapihan Bandung yg Mulai Marak: Proyek Siapa Hayo? | Kuning-kuning di trotoar: Maksudnya Apa Hayo?

Sebulan ini banyak perkembangan dan pembangunan yang tampak di Bandung. Pembatas jalan diperbaiki (sekitar jalan dago simpang). Trotoar diganti (di Jalan Siliwangi dan sekitar kampus ITB). Jalan ditambal dan marka dicat ulang (beberapa ruas di dago). Lampu jalan dipasang (Cisitu).

Yang saya agak bingung adalah ini proyek siapa ya? Walikota yang mana… Kalau walikota yang baru rasanya nggak mungkin deh, wong belum dilantik. Kalau yang lama? Kan masih “masa” pemerintahan dia? Nggak yakin juga saya… Kalau saya parlemen mungkin saya sudah menjatuhkan mosi tidak percaya kok sama walikota penanam pohon ini.

Tapi memang yang paling logis ya proyek pemerintah yang lama lah. Herannya ya masa sudah akhir gini baru mulai membangun. Wong selama 10 tahun belakang kayak nggak ada gerakan.  Dananya baru cairkah, baru ingetkah, atau emang memanfaatkan kesempatan terakhir untuk penebusan dosa (atau meningkatkan citra)?

Ya sudahlah, setidaknya Bandung mulai berbenah.

Btw, saya juga baru sadar kalau jalan yg markanya baru itu nampak lebih seger gimana gitu. Kayak lebih luas atau lebih mulus.

Bersyukur, bersyukur.


Oh ya, ngomong-ngomong soal trotoar yang baru dibangun. Luas banget ya? Keren, rapih (masih belum selesai sih pembangunannya). Sekarang tebak-tebakan nih… Itukan di trotoar yg baru ada jalur kuning di tengah? Ada yang tahu nggak itu maksudnya apa.

Hayo tebak…

Kuning-kuning di tengah trotoar

Kuning-kuning di tengah trotoar

Nah, itu bukan marka jalan (tengah) versi pedestrian loh ya. Ngikut-ikut jalan raya gitu tapi disini kuning. No…

Saya juga baru tahu setelah Pak Kimura mengungkit hal ini. Memalukan, pengetahuan umum seperti ini malah diketahuinya saat belajar bahasa Jepang. Mungkin karena di Jepang objek pelayanan umum seperti ini banyak dan diajarkan sejak kecil kali ya, tidak seperti kita.

Yah, jalur kuning itu namanya tactile paving. Bukan cuma hiasan / tidak ada maksudnya loh itu.

Paping taktil itu sangat berguna untuk penyandang tuna netra. Karena papingnya memiliki tekstur berbeda, tuna netra bisa mengetahui jalur jalan yang aman. Pakai kaki / tongkat. Dan ditengah letaknya, jadi tambah aman. Kemudian, teksturnya pun berbeda saat turunan, tanjakan, dan saat akan memasuki zebra cross. Sangat membantu sahabat kita yang menyandang tuna netra.

Tactile paving ini ternyata memang pertama kali diperkenalkan di Jepang. Pantesan Pak Kimura tahu. Hmm..

Merasa Tertipu terhadap Kurs

Kurs adalah nilai tukar antar mata uang dari dua negara berbeda. Kurs Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Yen Jepang (JPY) adalah (sekitar) 0.01 artinya, 1 IDR = JPY 0.01 alias 1 JPY = 100 IDR. Mau nuker 100 rupiah dapatnya 1 yen (sebelum redenominasi.pen).

Nah kalau, ringgit ke rupiah kursnya sekitar 3000. 1 MYR = 3000 IDR. Dari dulu segitu kayaknya.

Sebelumnya saya belum pernah ke luar negeri dan menukar-nukar uang seperti ini. Jadi saya kira kurs tersebut flat. Maksud saya ya semua uangnya adalah segitu, kalau punya 1 Ringgit ya dituker 3000 Rupiah. Ternyata tidak!

Kurs ternyata dilihat juga dari besar lembaran kertas yang ditukar. Kalau uangnya pecahan kecil (1 MYR) lebih murah dibanding pecahan besar (100 MYR). Kurs yang biasa dicatat tadi itu untuk kertas pecahan besar. Berikut buktinya…

Kurs Ringgit

Huh, ternyata…


Oh ya, dengan pengalaman ke Malaysia kemaren saya juga jadi sedikit mengerti apa itu jual dan beli mata uang. Apa bedanya gitu. Baru paham saya.

Baca Selengkapnya

Polisi Berpakaian Preman

Jadi, tadi di Masjid Salman ceramah tarawih dikhutbahi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak M. Nuh. Biasanya kalau pejabat kan diawasi oleh protokoler atau polisi ya. Tapi saya lihat kok nggak ada…

Atau mungkin polisinya berpakaian preman?

Namun, saya cari-cari kok nggak ada orang yg pakai kaos nirvana, celananya bolong, pake rantai, anting di hidung, atau bertato. Nggak ada yg mirip preman tuh. Gimana…

Jadi. Mana? Polisi berpakaian premannya?

Ralat Tips Menghindari CCTV Salman dan Usulan Pemosisian Kembali

Minggu lalu saya menulis artikel tentang cara mengindari kamera CCTV di Masjid Salman. Perlu diketahui bahwa Masjid Salman ITB ini baru menambah installasi CCTV di sekitar ruang utama masjid terutama di pintu masuk. Ada 10 buah CCTV. Artikel ini akan meralat beberapa ketidakakuratan pada artikel sebelumnya.

Mohon maaf untuk ninja-ninja yang gagal setelah mengikuti tips saya tersebut.

Kemudian, jika memang masih ada yg belum nyambung maksud saya nulis artikel nyeleneh tersebut, adalah kritik ttg posisi CCTV-nya. Dengan demikian, saya juga ingin memberikan usulan pemosisian ulang CCTV tersebut. Perlu dicatat bahwa saya bukan pakar CCTV apalagi pakar telematika. Jadi, dasar usulan saya ini hanyalah common sense.

Ralat Tips Menjadi Ninja

Anda tidak suka tertangkap kamera? Alergi kamera? Difoto haram? Atau ingin masuk masjid seperti ninja? Ikuti tips berikut. Nah yang diralat adalah sebagai berikut.

Kemaren saya menyarankan salah satu espace route dari dalam ruang utama Salman adalah melewati Jepang kortim langsung. Ternyata hal ini adalah kesalahan besar. Di Jepang kortim, terdapat dua CCTV yang divergen ke arah pintu utama kortim. Dengan demikian, Anda para pelaku antikamera akan tertangkap kamera (dua buah pula!) jika lewat sini.

Dua Kamera di Jepang eh Kortim

Dua Kamera di Jepang eh Kortim

Kemudian, yang saya salah gambar juga adalah arah CCTV pada lorong utama ikhwan. Arahnya bukan ke dalam tapi ke luar, ke arah selasar hijau. Dan di selasar hijau ini juga terdapat CCTV yang mengarah ke tempat penyimpanan sepatu.

Akhirnya, denah Salman dan rute perang kita yang lebih akurat adalah sebagai berikut.

Rute Perang yang Baru

Yang saya lupa bilang adalah, di samping tandas ikhwan itu ada tempat yang menembus ke luar (tidak ada dindingnya) yg bisa dilewati. Tantangannya hanyalah tempat itu sedang dipergunakan untuk menyimpan bahan bangunan. Dengan memanfaatkan tempat ini, kita tidak perlu lagi lewat selasar hijau dan mengambil risiko dikenali oleh dua CCTV. Lihat panah merah pada denah di atas.

Escape Route

Nah, di diagram yang baru saya tambahkan juga rute kabur dengan warna ungu dan pink. Anda sebenarnya bisa lewat rute masuk tapi ya lewat sini juga boleh, biar lebih seru. Toh, rute kabur ini tidak terkena CCTV sama sekali. Hanya saja kedua rute melibatkan aksi melompat (ditandai lengkungan pada panah pada diagram di atas).

Baca Selengkapnya