Hiruk pikuk kendaraan berdesakan pada ujung Jalan Asia Afrika, berebut ingin belok ke Jalan Otto Iskandardinata. Mereka merayap. Sulit sekali bergerak. Hari itu langit kelabu. Udara cukup dingin meskipun di jalan sesak ini hangat. Selain karena lima menit lagi azan magrib dikumandangkan, awan-awan kelabu pun baru mengeluarkan isi cairan tubuhnya. Akan tetapi, hal itu semua tidak menggentarkan para pengguna jalan utama Kota Bandung ini.
Setelah beberapa menit berhenti di tengah persimpangan, tidak peduli hijau-merahnya lampu lalu lintas waktu itu (wong sudah di tengah), serengkah ruang pun muncul di sisi dua mobil di depan. Sebagai pengendara motor yang baik, kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Sayangnya, rengkah yang muncul di tengah jalan itu tidak lain hanyalah jebakan. Trap! Kami pun kembali stuck di antara ribuan kendaraan lain di tengah Jalan Otto ini. Harusnya aku tadi mencari rengkah di sisi paling kiri jalan saja.
Rengkahan yang lain muncul! Kali ini sesuai keinginan: di sisi paling kiri jalan. Oke, hajar. Syahdunya pertarungan di sore itu membuat fokus kami tertumpu hanya pada satu tujuan: sampai ke tempat parkir secepat mungkin. Berdengungnya azan magrib di angkasa tidak menggoyahkan kemantapan hati salah satu pengguna jalan pun. Termasuk kami. Tetap bergeming. Di pinggir jalan, kami tetap fokus ke depan. Mau bagaimana lagi, hanya itu pilihan yang kami punya waktu itu.
Di pinggir jalan yang tentunya masih termasuk area jalan untuk kendaraan ini, di depan dua wanita berjalan berlenggak-lenggok layaknya foto model. Beberapa kali kami klakson, tetap saja mereka cuek. Sepertinya jalan ini atau setidaknya pinggirannya didanai oleh nenek moyangnya sehingga mereka merasa mereka – pejalan kaki – berhak memakai jalan raya. Meskipun kesal, apa boleh buat. Nenek moyangnya nyumbang sih, jadi saya hanya bisa mencari rengkahan lain untuk melewati mereka. Jalan sebesar ini, dengan ruas yang hanya 40 meteran, berapa menit sudah terbuang. Akhirnya kami sampai pula di belokan terakhir, Jalan Dalem Kaum, menuju parkiran Alun-alun Kota Bandung di depan Masjid Raya Bandung.

Sepertinya kami salah. Jalan Dalem Kaum ini lebih parah dari jalan sebelumnya. Setengah jalan muka dipakai 2/3 nya untuk parkir, menyisakan seumprit lajur setapak di tengah jalan. Setengahnya lagi di penghujung sana, jalan penuh sesak dengan penjual, parkir, pejalan kaki, dan pengendara motor yang ingin menggunakan jalan ini sesuai kegunaan asalnya saling berdesakan. Layaknya atom-atom dalam setetes fluida.
Tidak habis pikir saya, bukankah di bawah alun-alun sana ada parkiran yang sangat luas, bawah tanah, bertingkat. Mengapa pada parkir disini? Memenuhi jalan. Pejalan kaki juga. Di pinggir sana sudah disediakan jalan, agak lengang pula, mengapa lebih memilih jalan tengah yang seharusnya jadi hak preogratif kendaraan. Apakah karena frasa jalan tengah terdengar seperti jalan pintas yang begitu disukai rakyat Indonesia?
Memang jalan Dalem Kaum yang diantara pusat perbelanjaan tadi masih cukup bisa dimaklumi. Mungkin mereka ingin belanja disini, jadi jauh. Akan tetapi, di pinggir jalan besar di luar pagar Masjid Raya Bandung, dekat pos polisi, deretan parkir memakan separuh jalur berkecepatan tinggi itu. Tidak jauh, 20 meter dari sana, adalah gerbang muka masuk ke parkiran alun-alun. Sebegitu susah kah menggerakkan pantat ke bawah tanah sana.
Syukurlah, gerbang ke parkiran basement alun-alun terbuka. Kami kira alasan para penduduk lebih memilih parkir di pinggir jalan tadi adalah sederhana: karena parkirannya tutup. Ternyata kami salah. Mereka adalah orang Indonesia. Jadi ya, harap dimaklumi. Sesuai dugaan, parkiran masih menyediakan tempat yang lengang untuk sepeda motor. Meskipun sangat kotor dan jauh dari kesan terawat, cukuplah untuk menaruh motor. Lebih mudah bergerak dan bernapas juga dari luar tadi. Lebih aman pula. Ada fasilitas kenapa tidak dimanfaatkan, malah memanfaatkan fasilitas lain yang tidak sesuai tempatnya.
Oke lah, terlalu banyak preambule dari artikel ini. Enam paragraf pembuka di atas menggambarkan betapa riuhnya suasana jalan di sekitar Masjid Raya Bandung pada sore itu. Tujuan kami hanya satu: mencoba iktikaf di masjid di jantung kota Bandung itu.
Berikut Laporannya.
Suasana Alun-alun dan Sekitar Masjid
Loh, kok suasana lagi? Enam paragraf tadi belum cukup. Itu hanya menggambarkan suasana jalan saja. Belum suasana alun-alun dan sekitar masjid. Belum disimpulkan pula.
Masjid Raya Provinsi Jawa Barat, Bandung ini memang berhadapan dengan alun-alun Kota Bandung. Bisa dibilang alun-alun merupakan halaman masjid lah. Satu pagar mereka soalnya. Alun-alun dipenuhi oleh penjual selayaknya jalan raya disekitar pusat-pusat perbelanjaan atau jalur lintas. Ada yang mengasong, ada yang buka tenda-warung, ada yang gerobak biasa, ada pula yang kecil-kecilan. Selayaknya pasar, benar-benar pasar, beragam penjualnya: penjual baju yang menyibakkan dagangannya di lantai berterpal dan rak-rak gantung, warung penjual nasi goreng, penjual batagor+mie rebus, sampai ibu penjual sate tanpa gerobak dan watung hanya mengandalkan gendongan dan satu panggangan kecil.
Namun, berbeda dengan pasar di halaman belakang Masjid Habiburrahman, pasar disini tampak memusingkan. Terlalu ramai. Kotor. Beberapa penjual malah berani menaruh papan untuk alas masak di atas kotak sampah yang terbuka. Ih. Harga jangan ditanya lagi: mahal. Jika di Habib pasar lebib bersifat supporting, pasar disini lebih komersil: menjual masakan sebebas-bebasnya, tanpa peduli rasa-harga-kebersihan, mumpung banyak yang lewat kan area pusat perbelanjaan.
Pinggiran teras Masjid Raya Bandung berisi berbagai macam orang. Duduk-duduk. Tidur-tiduran. Mengobrol. Makan. Tidak tampak suasana ibadah sedikitpun di sana. Padahal itu sudah lewat magrib loh. Kok nggak shalat dulu mereka, apa memang sudah selesai tadi terus istirahat disini. Di tempat kotor ini. Teras masjid sudah tidak seperti teras masjid. Kumuh. Banyak flak yang menempel. Kesat. Sampah dimana-mana. Di dinding pun tertempel beberapa tulisan “Jangan Pacaran di Tempat Ibadah”. Memang katanya kalau hari biasa banyak yang bermesraan di teras yang katanya teras masjid ini. Baca Selengkapnya