
Sumber Gambar: Wikipedia.
Hiruk pikuk kendaraan berdesakan pada ujung Jalan Asia Afrika, berebut ingin belok ke Jalan Otto Iskandardinata. Mereka merayap. Sulit sekali bergerak. Hari itu langit kelabu. Udara cukup dingin meskipun di jalan sesak ini hangat. Selain karena lima menit lagi azan magrib dikumandangkan, awan-awan kelabu pun baru mengeluarkan isi cairan tubuhnya. Akan tetapi, hal itu semua tidak menggentarkan para pengguna jalan utama Kota Bandung ini.
Setelah beberapa menit berhenti di tengah persimpangan, tidak peduli hijau-merahnya lampu lalu lintas waktu itu (wong sudah di tengah), serengkah ruang pun muncul di sisi dua mobil di depan. Sebagai pengendara motor yang baik, kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Sayangnya, rengkah yang muncul di tengah jalan itu tidak lain hanyalah jebakan. Trap! Kami pun kembali stuck di antara ribuan kendaraan lain di tengah Jalan Otto ini. Harusnya aku tadi mencari rengkah di sisi paling kiri jalan saja.
Rengkahan yang lain muncul! Kali ini sesuai keinginan: di sisi paling kiri jalan. Oke, hajar. Syahdunya pertarungan di sore itu membuat fokus kami tertumpu hanya pada satu tujuan: sampai ke tempat parkir secepat mungkin. Berdengungnya azan magrib di angkasa tidak menggoyahkan kemantapan hati salah satu pengguna jalan pun. Termasuk kami. Tetap bergeming. Di pinggir jalan, kami tetap fokus ke depan. Mau bagaimana lagi, hanya itu pilihan yang kami punya waktu itu.
Di pinggir jalan yang tentunya masih termasuk area jalan untuk kendaraan ini, di depan dua wanita berjalan berlenggak-lenggok layaknya foto model. Beberapa kali kami klakson, tetap saja mereka cuek. Sepertinya jalan ini atau setidaknya pinggirannya didanai oleh nenek moyangnya sehingga mereka merasa mereka – pejalan kaki – berhak memakai jalan raya. Meskipun kesal, apa boleh buat. Nenek moyangnya nyumbang sih, jadi saya hanya bisa mencari rengkahan lain untuk melewati mereka. Jalan sebesar ini, dengan ruas yang hanya 40 meteran, berapa menit sudah terbuang. Akhirnya kami sampai pula di belokan terakhir, Jalan Dalem Kaum, menuju parkiran Alun-alun Kota Bandung di depan Masjid Raya Bandung.
Sepertinya kami salah. Jalan Dalem Kaum ini lebih parah dari jalan sebelumnya. Setengah jalan muka dipakai 2/3 nya untuk parkir, menyisakan seumprit lajur setapak di tengah jalan. Setengahnya lagi di penghujung sana, jalan penuh sesak dengan penjual, parkir, pejalan kaki, dan pengendara motor yang ingin menggunakan jalan ini sesuai kegunaan asalnya saling berdesakan. Layaknya atom-atom dalam setetes fluida.
Tidak habis pikir saya, bukankah di bawah alun-alun sana ada parkiran yang sangat luas, bawah tanah, bertingkat. Mengapa pada parkir disini? Memenuhi jalan. Pejalan kaki juga. Di pinggir sana sudah disediakan jalan, agak lengang pula, mengapa lebih memilih jalan tengah yang seharusnya jadi hak preogratif kendaraan. Apakah karena frasa jalan tengah terdengar seperti jalan pintas yang begitu disukai rakyat Indonesia?
Memang jalan Dalem Kaum yang diantara pusat perbelanjaan tadi masih cukup bisa dimaklumi. Mungkin mereka ingin belanja disini, jadi jauh. Akan tetapi, di pinggir jalan besar di luar pagar Masjid Raya Bandung, dekat pos polisi, deretan parkir memakan separuh jalur berkecepatan tinggi itu. Tidak jauh, 20 meter dari sana, adalah gerbang muka masuk ke parkiran alun-alun. Sebegitu susah kah menggerakkan pantat ke bawah tanah sana.
Syukurlah, gerbang ke parkiran basement alun-alun terbuka. Kami kira alasan para penduduk lebih memilih parkir di pinggir jalan tadi adalah sederhana: karena parkirannya tutup. Ternyata kami salah. Mereka adalah orang Indonesia. Jadi ya, harap dimaklumi. Sesuai dugaan, parkiran masih menyediakan tempat yang lengang untuk sepeda motor. Meskipun sangat kotor dan jauh dari kesan terawat, cukuplah untuk menaruh motor. Lebih mudah bergerak dan bernapas juga dari luar tadi. Lebih aman pula. Ada fasilitas kenapa tidak dimanfaatkan, malah memanfaatkan fasilitas lain yang tidak sesuai tempatnya.
Oke lah, terlalu banyak preambule dari artikel ini. Enam paragraf pembuka di atas menggambarkan betapa riuhnya suasana jalan di sekitar Masjid Raya Bandung pada sore itu. Tujuan kami hanya satu: mencoba iktikaf di masjid di jantung kota Bandung itu.
Berikut Laporannya.
Suasana Alun-alun dan Sekitar Masjid
Loh, kok suasana lagi? Enam paragraf tadi belum cukup. Itu hanya menggambarkan suasana jalan saja. Belum suasana alun-alun dan sekitar masjid. Belum disimpulkan pula.
Masjid Raya Provinsi Jawa Barat, Bandung ini memang berhadapan dengan alun-alun Kota Bandung. Bisa dibilang alun-alun merupakan halaman masjid lah. Satu pagar mereka soalnya. Alun-alun dipenuhi oleh penjual selayaknya jalan raya disekitar pusat-pusat perbelanjaan atau jalur lintas. Ada yang mengasong, ada yang buka tenda-warung, ada yang gerobak biasa, ada pula yang kecil-kecilan. Selayaknya pasar, benar-benar pasar, beragam penjualnya: penjual baju yang menyibakkan dagangannya di lantai berterpal dan rak-rak gantung, warung penjual nasi goreng, penjual batagor+mie rebus, sampai ibu penjual sate tanpa gerobak dan watung hanya mengandalkan gendongan dan satu panggangan kecil.
Namun, berbeda dengan pasar di halaman belakang Masjid Habiburrahman, pasar disini tampak memusingkan. Terlalu ramai. Kotor. Beberapa penjual malah berani menaruh papan untuk alas masak di atas kotak sampah yang terbuka. Ih. Harga jangan ditanya lagi: mahal. Jika di Habib pasar lebib bersifat supporting, pasar disini lebih komersil: menjual masakan sebebas-bebasnya, tanpa peduli rasa-harga-kebersihan, mumpung banyak yang lewat kan area pusat perbelanjaan.
Pinggiran teras Masjid Raya Bandung berisi berbagai macam orang. Duduk-duduk. Tidur-tiduran. Mengobrol. Makan. Tidak tampak suasana ibadah sedikitpun di sana. Padahal itu sudah lewat magrib loh. Kok nggak shalat dulu mereka, apa memang sudah selesai tadi terus istirahat disini. Di tempat kotor ini. Teras masjid sudah tidak seperti teras masjid. Kumuh. Banyak flak yang menempel. Kesat. Sampah dimana-mana. Di dinding pun tertempel beberapa tulisan “Jangan Pacaran di Tempat Ibadah”. Memang katanya kalau hari biasa banyak yang bermesraan di teras yang katanya teras masjid ini.
Suasana Dalam Masjid Raya
Perlu Anda ketahui, selayaknya sebuah masjid yang memang title Masjid Raya Provinsi, masjid ini sangatlah luas. Ruangan dalam masjid setidaknya dapat dibagi dalam empat bagian : lantai dua (tidak di bahas disini), ruang utama, hall, dan area penghubung ruang utama – hall.
Oh ya, mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, “Kok judulnya gitu sih. Provinsi Jawa Barat di Bandung? Nggak kebalik ya.” Jawabannya sekarang sudah jelas kan ya. Jadi masjid yang saya kunjungi ini adalah masjid rayanya Jabar dan lebih dikenal dengan Masjid Raya Bandung. Ada lagi masjid lain yang merupakan masjid rayanya Kota Bandung. Disebut Masjid Raya Kota Bandung. Beda loh ya. Yang terakhir ini punya nama asli Masjid al-Ukhuwah. Kalau Masjid Raya Bandung yang saya kunjungi ini entah ada nama asli entah tidak.
Kami sampai di dalam Masjid Raya Bandung memang terlambat. Gara-gara macet tadi. Ternyata memang jemaah magrib utama sudah selesai. Pemandangan di ruangan dalam masjid hampir sama dengan pemandangan teras tadi. Beberapa orang duduk-duduk, tergeletak, atau mengobrol. Yang belum shalat magrib pun sedang shalat. Mereka melakukan shalat berjemaah sendiri-sendiri. Loh maksudnya? Iya, bukannya mereka membuat jemaah baru yang besar di ruang utama sana, mereka malah berjemaah-jemaah kecil, 2-3 orang. Satu masjid multi imam. Kemudian, bukannya lari ke ruang utama sana, mereka malah shalat di hall ujung sini. Agak jauh sih, tapi kok malas sekali.
Tidak usah membahas tempat wudhu yang becek dan muncul cacing dari sela-sela kemarik di selokan lah ya. Setelah wudhu saya langsung ke ruang utama dengan harapan ada jemaah yang mendingan. Ternyata di sana sama saja. Terdapat dua jemaah besar yang berdampingan kiri-kanan. Imamnya dua, masing-masing. Tiap jemaah satu baris. Ini jemaah yang mana yang begitu sombongnya tidak mau bergabung ke barisan yang sudah ada duluan dan membuat barisan baru? Entahlah. Anehnya lagi kedua barisan ini berada di posisi belakang ruang utama, kenapa tidak di depan. Di depan sana malah ada beberapa jemaah kecil (dua-tiga orang) juga. Haduh biyung. Terpaksa, akhirnya saya pilih salah satu jemaah besar di belakang yang kira-kira lebih dahulu shalatnya. Mau menunggu seluruh jemaah selesai dan membuat baru rasanya mustahil di masjid ini. Mungkin shalat sendiri-sendiri lebih baik dari shalat berjemaah seperti ini.
Shalat Tarawih
Skip ke shalat isya dan tarawih. Setelah shalat magrib, kami hanya makan sate ibu-ibu seharga Rp10.000,- karena merasa iba dengan ibu-ibu itu dan menghargai perjuangannya jualan dibandingkan para peminta-minta. Pusing dengan keramaian dan masuk lagi ke ruang utama masjid.
Shalat Isya berlangsung empat rakaat. Ya iya lah ya!!! Dengan keramaian seperti di luar tadi, shalat isya hanya mengiri empat shaf pertama dari ruang utama masjid. Memang shafnya cukup lebar sih, tetapi seharusnya lebih penuh jika para pelancong dan pedagang tersebut mau meluangkan waktu untuk shalat. Ehm, empat shaf tersebut tidak kesemuanya penuh. Selain shafnya renggang, shaf ketiga dan keempat tidak sampai ujung. Jemaah disini – yang memang kebanyakan orang lewat tentunya – belum awas terhadap peringatan “penuhi shaf”, tidak seperti jemaah Salman yang selalu diperingatkan setiap shalat. Bahkan ada yang ikut shalat berjemaah tetapi tidak ada dalam shaf. Sendirian beberapa shaf di belakang shaf terbelakang. Tapi berjemaah? Bingung saya.
Banyak yang shalat bawa barang belanjaan dan bungkusan sandal. Kami juga sih. Hihi… Tapi kami bukan beli di sekitar sini loh ya, barusan dari daerah bandung yang lain. Jadi kami bukan kebetulan lewat masjid ini terus shalat disini.
Ceramah tarawih berlangsung singkat 10 menit. Konten dan pembawaannya cukup bagus sih, tidak seperti ceramah tarawih masjid kampung. Yah, gini-gini title-nya Masjid Provinsi.
Shalat tarawih di sini ternyata memakai jumlah 20 rakaat 10 salam. Bacaan yang dibaca adalah surat-surat pendek pada juz ‘amma. Ya, surat yang benar-benar pendek saja. Kemudian pada rakaat kedua setiap dua-rakaat, dibaca surat al-Ikhlas. Di setiap salam diselingin dengan solole, eh maksud saya Shalawat Nabi. Setelah empat rakaat, shalawat yang dibaca agak panjang, di antara empat rakaat lebih pendek. Tidak ada pemberitahuan sekarang sedang melaksakan shalat tarawih rakaat berapa. Bahkan, sebelumnya tidak diperingatkan kalau shalat tarawihnya 20 rakaat. Diasumsikan jemaah sudah tahu. Maklum, ini bukan Masjid Salman ITB yang serba informatif.
Setelah tarawih langsung dilaksanakan shalat witir tiga rakaat dua salam. Keseluruhan rangkaian shalat selesai pada pukul 20.30 (mulainya pukul 19.30).
Setelah rangkaian shalat tarawih dan witir selesai, tidak ada pemberitahuan agenda iktikaf apa pun. Pikir kami mungkin karena ini hari ke empat jadi tidak diberitahukan lagi. Pukul 21.00 kurang, orang yang tinggal di ruang utama masjid tinggal segelintir, mungkin tidak lebih dari 20 orang. Dan kebanyakan dari mereka sudah berbaring. Biasanya setelah shalat tawarih kan banyak yang tilawah tuh, ini kok cuma dua-tiga orang. Suara tilawah disini menggaung ke ruangan saking sepinya malan itu. Harus mengatur napas dengan baik atau seluruh ruangan masjid bisa mendengar suara ceking Anda.
Oh ya, lampu utama ruang utama masjid sudah dimatikan beberapa saat setelah rangkaian shalat tarawih selesai. Ya! Hanya beberapa lampu kecil di samping ruangan yang masih hidup. Pintu menuju ruang utama pun sudah ditutup. Sepi hening. Pukul 21.00 tepat kami coba keluar melihat keadaan sambil mencari makan ronde dua. Di alun-alun, keadaan hiruk pikuk pasar masih terasa, sangat kontras dengan hening syahdunya ruang utama masjid tadi. Sebagian penjual sudah menghilang. Sebagian lagi sedang berkemas. Hanya sedikit yang masih jualan.
Orang-orang yang duduk di teras sudah tidak ada. Mereka digantikan oleh bapak-bapak yang sudah berbaring dan berselimut. Saya tidak yakin mereka berniat tidur di teras kotor dan dingin ini untuk iktikaf. Kenapa tidak di dalam saja. Mau iktikaf masak jam segini sudah tidur. Apa ya program iktikaf nanti malam begitu padatnya?
Oh ya, karena pusing melihat keramaian di jalanan luar yang ternyata masih ramai, kami tidak jadi mencari target ronde dua. Tidak ada makanan yang cukup menarik hati juga (selain arum manis, tapi masa makan malam arum manis?). Kami pun kembali masuk ke ruang utama dengan tangan hampa.
Program Iktikaf, dan Shalat Malam
Ruang utama masjid ini sangat nyaman. Nyaman untuk iktikaf? Hoo bukan. Nyaman untuk tidur. Suasananya hening. Gelap. Hangat pol pula. Karpetnya asyik. Sempurna lah. Karena yang lain sudah tidur, walaupun masih di bawah pukul 10.00 saya pun ikutan tidur.
Bagaimana dengan shalat malam disini? Program iktikafnya? Oh, tenang. Belum. Jadi program iktikaf di Masjid Raya Bandung ini adalah TIDAK ADA. Saya pikir masjid sebesar ini punya program malam yang bisa ditawarkan lah. Ternyata tidak. Mungkin karena animo jemaah yang ingin iktikaf disini sangatlah rendah, jadi tidak diadakan. Wah-wah.
Pukul setengah satu saya terbangun. Lantai yang agak keras dan efek Masjid Habib sebelumnya, mata saya pun bisa terbuka sebentar di tengah malam. Oh, suasana sudah lebih mending dari yang tadi. Lampu yang hidup sudah bertambah. Sebagian penghungi ruang utama sudah bangun. Beberapa mengaji. Beberapa shalat. “Tapi nggak ada shalat jemaah toh?” gumam saya kemudian tidur lagi.
Selanjutnya terbangun pukul setengah tiga. Keadaan masih seperti tadi. Hmm… Rupanya mereka yang tinggal disini memang beraktivitas di sepertiga malam terakhir, makanya jam 21 sudah pada tidur. Saya yang terlambat bangun pun cepat-cepat melaksanakan agenda saya sendiri.
Sahur dan the Soothsayer
Setelah shalat malam sendirian dan super cepat (karena sendirian), pukul 03.00 saya mengajak teman saya keluar untuk mencari sahur. Dag dig dug. Dengan harap-harap cemas kami keluar. Berharap ada warung yang buka, cemas karena disini adalah area pusat perbelanjaan bukan area warung. Pasar heboh di alun-alun tadi juga sudah gulung tikar jam 21 malam.
Keluar dari Masjid Raya Bandung ternyata tidak gampang. Pintu-pintu utama sudah ditutup. Tidak ada yang buka. Begitu keadaan saat saya mengecek setelah wudhu pukul 02.30 tadi. Sekarang pukul 03.00 sudah ada pintu samping yang dibuka. Di hall masjid, sudah bangun beberapa pengunjung, beberapa seperti keluarga, dan mereka sedang makan sahur dengan nasi bungkus. Wah, ada nasi bungkus pikirku. Kami terselamatkan. Suasana di luar sepi. Meskipun begitu, teras masih berisi beberapa bapak yang tidur-tiduran.
Kami pun keluar area masjid dan menyusuri jalan protokol di sekitarnya. Distro-distro sudah tutup. Gerobak-gerobak juga sudah tidak ada. Makan dimana ya? Wuih, di kejauhan ada Warung Padang Simpang Raya. Dengan harapan terselamatkan kami pun menuju sinar di kejauhan itu. Fakta masyhur bahwa warung Simpang Raya super laham (baca: mahal) tidak menyurutkan semangat kami pagi itu.
Syukurnya, di dekat Warung Padang Simpang Raya tersebut ada sebuah warung tegal yang sedang ramai dikunjungi orang. Warung padangnya memang buka tetapi sepi. Mewah sih tetapi ya mahal dan sepi. Akhirnya kami lebih memilih meraih pertolongan warung tegal yang datang tiba-tiba di hadapan kami tadi. Ternyata memang harganya cukup murah. Nasi sayur ayam hanya Rp8.000,- Teh manis hangat hanya Rp2.000,- Walaupun di tengah kota begini, warung tegal memang yang paling murah.
Oh ya, saat kami keluar masjid tadi kami bertemu seorang ibu. Ibu-ibu tadi menghampiri kami dan memberi nasihat. Nasihat dan perkiraan masa depan. Kira-kira begini.
“Dik, kiamat sudah dekat dek. Kiamat bakal terjadi 2023. Perbanyak ngaji. Shalat. Banyakin shalat tahajud. Tafsir-tafsir qurannya dibaca juga. Ada itu kiamat tanggalnya dalam Quran. Surat 7 ayat 67. Ada itu. Kiamat dek, seram. Ayo pada tobat. Ngaji.”
Ambil hikmahnya saja lah. Mari kita perbanyak ibadah sebelum kiamat tiba.
Penutup
Setelah shalat shubuh terdapat ceramah subuh yang juga menarik didengar. Di luar jemaahnya yang kurang baik, kepengurusan Masjid Raya Bandung ini cukup mumpuni juga. Setelah ceramah tersebut selesai, tidak ada pengumuman ada rangkaian acara apa pun di siang hari. Kami juga tidak tahu karena tidak mengecek. Karena mengantuk dan kondisi masjid yang mendukung, kami pun tidur lagi hingga pukul delapan pagi.
Kami sebenarnya agak khawatir kalau parkiran basement alun-alun belum buka. Jangan-jangan seperti mall-mall: bukanya jam sepuluh. Untungnya ternyata sudah aktif seperti sedia kala. Maklum, jalanan protokol juga sekitar masjid juga sudah banyak dilewati kendaraan.
Yang sedikit tidak kami perhitungkan adalah biaya parkir disini. Ternyata, meskipun petugas hanya duduk di meja sekolah bisasa, tidak ada gerbang parkir yang berkamera dan memuntahkan tiket parkir, tidak ada petugas parkir yang menggunakan komputer, tidak ada barcode, dan tidak ada benda-benda berbunyi titt, parkir di basement ini tarifnya per jam. Iya per jam. Di tiket yang diberi petugas ke saya, tertulis jam masuk jam 18. Sekarang jam 8. Arrghh… Akhirnya saya bayar Rp10.000,- untuk keluar dari sana. Agak heran sih, jam 18.00 ke jam 8.00 kan 14 jam, tetapi kok Rp10.000,- ya. Ya sudahlah. Itu juga udah mencekik kok.
Pelajaran bagi kami dan pembaca yang ingin mampir dan menginap di masjid ini. Parkirlah di parkiran Masjid Raya Bandung kalau tidak mau mahal. Memang parkirannya sempit. Bakal lama antri masuknya. Ada peluang tidak kebagian tempat juga. Tetapi sepertinya disana lebih murah. Dan yang terpenting, disana juga masuk kualifikasi tempat parkir. Bukan hanya bagian jalan yang dialihfungsikan jadi tempat parkir.
Jika di Masjid Habiburrahman kita akan mendapatkan kesan ibadah yang kita lakukan selama ini begitu sedikit dan kurang, di Masjid Raya Bandung ini kita akan melihat kenyataan lain. Masyarakat masih menganggap lalu rangkaian ibadah. Tidak perlu menyebut ibadah sunnah dan jarang. Ibadah wajib saja masih sembarangan.
Di antara puluhan ribu orang yang ada di daerah pusat kota Bandung, hanya segelintir yang masuk ke area masjid. Di antara yang ada di dalam area masjid, hanya segelintir yang singgah ke masjid. Di antara yang singgah ke masjid, hanya sedikit yang benar-benar berniat ibadah. Di antara yang niat ibadah, hanya sedikit yang tidak ngasal melaksanakannya. Di antara yang tidak ngasal melaksanakannya, hanya sedikit yang ibadahnya benar dan ikhlas.
Dakwah masih panjang dan susah bung. Jika kerjaan Anda, yang menyebut dirinya aktivis dakwah, hanya memperhatikan dan sibuk mengurusi masjid-masjid yang sudah ramai dengan orang shaleh dan ibadahnya serta melupakan masjid-masjid “terbuang” seperti ini, kapan [..isi baris kosong ini dengan kata-kata Anda sendiri..].
P.S. Maksud saya menulis dua laporan iktikaf ini adalah untuk mengontraskan dua masjid dan dua kesan yang saya dapat. Semoga maksud yang ingin saya capai terwujud.