Pos-pos Terbaru

Cerita Pak Kimura – Tiga Pusaka Suci Orang Jepang

Gambaran artis tentang tiga pusaka suci Kerajaan Jepang.

Gambaran artis tentang tiga pusaka suci Kerajaan Jepang.

Waktu membahas tentang tata bahasa kebendaan います、いません, kami menemukan sebuah kata 冷蔵庫 (reizouko) yang artinya kulkas. Tiba-tiba, Pak Kimura bercerita tentang 三種の神器 (sanshu no jingi) yang artinya adalah tiga pusaka suci.

Sanshu no jingi atau juga bisa dibaca mikusa no kandakara aslinya adalah benda legenda yang merupakan bagian dari keluarga kerajaan jepang. Benda ini diwariskan dari raja ke raja secara turun temurun. Ketiga benda itu adalah 草薙劍 (kusanagi no tsurugi) alias Pedang Kusanagi, 八咫鏡 (yata no kagami) alias Cermin Yata, dan 八尺瓊曲玉 (yasakani no magatama) alias Permata Magatama.

Tiga pusaka suci tersebut adalah insignia atau lambang kerajaan Jepang. Tanda bahwa keluarga kerajaan berhak memerintah kerajaan Jepang. Juga merupakan simbol legenda keagungan masa lalu bagi rakyat Jepang. Ketiganya mencerminkan hal berikut. Pedang kusanagi : keberanian dan kegagahan (virtue and valor). Cermin yata : kebijaksanaan (wisdom). Permata magatama: kemurahan hati (benevolance).

Mungkin ketiga benda itu sama seperti keris empu gandring atau kitab Sutasoma kali ya kalau di Indonesia. 😀

Oh ya, bagi penggemar Naruto, ketiga benda ini juga diadaptasi sama Om Kishi di manganya itu ya. Pedang Kusanagi milik Orochimaru dan milik Itachi, Cermin Yata milik Susanoo-nya Itachi, dan jurus jarak jauhnya Itachi.

3 Sacred Treasure in Naruto 650px

Susanoo: Totsuka sword, yata mirror, yasaka magatama

 


Namun, bukan itu yg diceritakan oleh Pak Kimura.

Sekitar tahun 1960-an, Jepang mengalami puncak ekonomi. Puncak ini tertinggi sepanjang sejarah Jepang pasca PD-II, bahkan mungkin hingga sekarang. Oke, siapa bilang Jepang hanya butuh 50 tahun untuk bangkit dari bom nuklir? Nggak bro, 15 tahun!

Indonesia yang pertumbuhan ekonominya 6% sekarang saja sudah sebegitu sombongnya. Bagaimana Jepang yang saat itu pertumbuhannya 20%[1]? Pertumbuhan ekonomi Jepang ini bahkan punya nama yg juga diambil dari legenda: Izanagi-boom.

Pada masa itu, istilah sanshu no jingi mengalami perluasan makna. Tiga pusaka suci orang jepang tidak lagi pedang, cermin, dan permata. Pada masa itu, hampir di setiap keluarga jepang memiliki pusaka suci yang lain. Apa itu? Ialah televisi, kulkas, dan mesin cuci.

3 Sacred Treasure of Japan 1960s

3 Sacred Treasure of Japan 1960s

Statistik mengatakan (sumber wikipedia, disana ada sumber aslinya), 90% keluarga memiliki ketiga pusaka suci tersebut. Dengan kata lain, ketiga benda tadi merupakan hal wajib yang ada di rumah. Artinya lagi, kalau kamu orang Jepang yg jadi suami, wajib menyediakan ketiga barang elektronik tadi. Hehe, Kimura Sensei berkelakar.

Tahun 2003, istilah the new three sacred treasures alias tiga pusaka suci modern muncul. Kali ini, pusaka yg dimiliki setiap keluarga Jepang adalah TV Flat, kamera digital, dan DVD-Recorder[2] Kwan Weng Kin, “Japan’s new sacred treasures,” The Straits Times (Singapore), March 29, 2004.. Pada barang pusaka suci baru ini, Jepang menguasai 90% pasar global[3]. Menakjubkan.

Dan mungkin, konsep tiga barang-yg-wajib-dimiliki seseorang seperti ini bisa diperpanjang lagi hingga sekarang atau diperluas dengan menilik segmen masyarakat tertentu. Seperti tabel di bawah yang saya ambil dari jmr-marketing.com yang menisbahkan sumbernya dari Stanford Japan Center. Cukup menarik…

Female High School Students Music Fans Typical Households
Mobile phones Mobile phones (mobile video players) Mobile phones (mobile video players)
Photo sticker machines DJ machines Digital cameras and camcorders
Karaoke VJ machines Hard disk video recorders

Di Indonesia apa ya??? Menurutmu?


Dari perluasan makna dari sanshu no jingi yang menarik ini, saya juga baru menyadari betapa kuatnya kekuatan ekonomi Jepang dan betapa tingginya standar hidup masyarakat Jepang. Lihat saja tahun 1960 setiap keluarga sudah wajib punya teve, mesin cuci, dan kulkas serta tahun 2003 sudah pada punya TV tipis, kamera, dan perekam DVD (buat merekam acara kesayangan kali ya). Indonesia, sekarang masih belum ada apa-apanya.

Sangat tidak realistis kalau kita mengatakan 90% keluarga Indonesia sekarang sudah memiliki TV, kulkas, dan mesin cuci. Iya kan?  Keluarga saya aja tidak punya mesin cuci, TV juga dari saya SD itu-itu mulu. Berarti setidaknya kita, Indonesia lebih tepatnya, tertinggal 50 tahun dari Jepang. Hmm…

Masih panjang perjuangan kita kawan.

Cerita Pak Kimura: Sampah di Jepang

Pak Kimura bercerita tentang sampah di Jepang. Kalau disini, kita buang sampah bisa seenaknya. Saat saya bilang seenaknya, itu berarti seenak kita. Mau buang di kotak sampah, selokan, bawah kolong meja, dll. Bahkan saat buang di kotak sampah pun hampir tidak ada yg peduli untuk memisahkan yg mana yg organik mana yg anorganik. Padahal kategorisasi sampah disini hanya dua. Kalau mau buang sampah pun, disini bisa pakai plastik apa saja kan? Mau trash bag betulan merek apa saja, mau kantong bekas dari minimarket, atau kresek biasa. Bebas.

Di Jepang, kata Pak Kimura kita tidak bisa bebas. Disana setiap rumah kalau mau buang sampah wajib berlangganan ke perusahaan pengelola sampah kota. Kalau nggak berlangganan, ya nggak bisa buang sampah. Simpen sendiri aja di rumah. Nah, kalau sudah berlangganan boleh tuh meletakkan sampah di tempat penampungan sampah.

Kemudian, tidak seperti disini yg pakai kantong apapun boleh. Sampah yg dibuang di Jepang harus dikemas oleh kantong plastik khusus dari kota. Intinya, harus beli merek tertentu yg disediakan oleh pemerintah kota. Nggak bisa sembarangan. Cek dulu kantong di kota itu standarnya apa, bisa beda tiap kota soalnya. Nah, kalau ngotot pakai kantong plastik lain, nanti sampahnya akan dibiarkan begitu saja di tempat penampungan sampah. Tidak diambil. Sang pemilik sampah tersebut wajib mengambil lagi sampahnya untuk dibawa pulang.

Pusat Pembuangan Sampah

Pusat Pembuangan Sampah, Harus Langganan Kayaknya

Kalau nggak diambil lagi, ya malu. Kan ada namanya, ketahuan itu sampah punya siapa.

Lalu, sampah yg diberikan harus dipisah. Hal ini juga diceritakan pada buku Catatan Inspirasi dari Jepang oleh Abdi Pratama. Sama tuh, kalau tidak dipisah nanti sampahnya akan dikembalikan ke rumah pemiliknya.

Loh, kok bisa tahu tukang sampahnya, itu sampah di dalam plastik dipisah atau tidak? Ya, si tukang sampah ngudek-ngudek tuh plastik sampah. Dicek. Kalau tidak dipisah, ya ditinggal atau dikembalikan ke pemiliknya. Karena bukan tugas mereka untuk memisahkan sampah. Wow ya? Kalau disini pasti udah ngamuk orang dan minta petugas sampah untuk memisahkan.

university trash bins angle small

Jangan sampai salah buang yak!

Oh ya, pemisahan disana kabarnya repot loh. Tidak hanya dua kategori organik-anorganik. Bisa lima sampai enam. Sampah terbakar, sampah tidak terbakar. Sampah dapur. Sampah daur ulang seperti sampah kertas, sampah kaleng, sampah kaca, sampah botol, sampah elektronik. Pemisahan tergantung peraturan pemda masing-masing. Lebih lanjut, cek di Garbage in Japan. Bahkan katanya, kalau minum aqua, botol dan plastik pembungkusnya harus dipisah juga. Masuk ke tong yg berbeda. Wow lagi ya.

Saya belum pernah ke Jepang sih jadi belum bisa mengecek kebenaran info ini (semoga ada kesempatan). Tapi menurut berbagai sumber di Internet yg dapat dipercaya, disana jarang sekali ditemukan kotak sampah. Namun, lingkungan kota sangat-sangat bersih. Tidak ada sama sekali sampah berceceran. Kok bisa ya? Memang sudah dibudidayakan dibudayakan sejak SD kali ya. Mentalitas untuk membuang sampah “tepat” pada “tempat”-nya. Kalau nggak nemu, ya kantongin dulu.

Bandingkan dengan di Indonesia. Contoh saja di kantin Sasana Olahraga Ganesha dekat terowongan (tunnel) menuju area sunken ITB. Disana ada belasan tiang penyangga atap dan masing-masing memiliki kotak sampah di bawahnya. Tiap tiang jaraknya mungkin tidak sampai tiga meter. Namun, apakah tempat itu bersih? Well…

Rentetan Kotak Sampah di Saraga ITB 600px

Di belakang kamera masih ada lagi pilar berkotak sampah yg posisinya paralel dua lajur. Dan daerah belakang kamera lebih kotor.

Itu di kampus ITB padahal, yang katanya anak-anaknya adalah harapan bangsa (bleh). Gimana kalau di luar kampus…

Btw, Indonesia punya BUMN yang tugasnya mengurusi sampah loh. Namanya Perum Jasa Tirta I dan Perum Jasa Tirta II.  Saya penasaran. Mereka kerjanya apa ya sekarang. Kayak tidak terasa gaungnya sama sekali.

Afternote: Kayaknya susah mau mendirikan khilafah kalau muktamar khilafah saja bisa mengubah lapangan parkir menjadi hamparan sampah. Dimana letak akhlak. Dimana…

Dan beginilah tipikal penampungan sampah di Indonesia. Menyedihkan!

Dan beginilah tipikal penampungan sampah di Indonesia. Menyedihkan!

Cerita Pak Kimura: Universitas Sakura dan Bank Tomat

Dalam rubrik Cerita Pak Kimura ini, saya akan menceritakan cerita yg diceritakan kepada saya oleh Prof. Kimura, profesor dari Tohoku University yg tinggal di Indonesia mengepalai Tohoku University International Relation Office (TUIO) di ITB. Saya sudah bertemu dengan beliau kira-kira satu tahun untuk belajar bahasa Jepang. Beliau membuka kursus gratis di kantornya di atas IRO ITB, depan lapangan sipil. Kalau Anda mau ikutan, tunggu aja kira-kira Agustus/September. Semoga saja masih buka japanese language course-nya.

Beliau mengajar bahasa Jepang dengan bahasa Jepang (+bahasa Inggris logat Jepang sikit-sikit). Dan beliau banyak menceritakan hal-hal trivial di Jepang sana yg mungkin disini agak terlihat aneh. Nah, cerita ini yg akan saya tulis sikit-sikit.

Ceritanya beberapa berkaitan dengan kehidupan di Jepang. Saya sih belum pernah kesana. Tadinya ingin menulis cerita Prof Kim ini setelah dapat melihat langsung kebenaran cerita beliau. Namun, kayaknya butuh ngisi blog nih. Hitung-hitung juga mengisi hati di bulan ini. Jadi ya dipercepat publikasinya. Sekalian menyemangati diri kali ya, supaya cepat kesana. Aamiin.


Nah, suatu ketika di buku Minna no Nihonggo, terdapatlah sebuah teks dengan tulisan Sakura Daigaku, alias Universitas Sakura. Nah, bapaknya kemudian menyelingi dengan sedikit komentar.

Di Indonesia, penamaan organisasi masih kaku ya. Ortodox. Pakai nama daerah, misal Universitas Padjajaran. Kalau di luar, terutama Jepang sudah mulai terbuka tuh. Mulai bermunculan nama yg aneh-aneh. Pernah dengar Bank Tomat?

Bank Tomat beneran ada loh. Situsnya http://www.tomatobank.com, merupakan bank dari China yg buka di Los Angeles. Saya juga kaget dengan namanya. Ternyata Pak Kimura tidak bohong.

Kalau mendengar “Universitas Sakura” atau Sakura Daigaku kayaknya normal-normal aja ya. Coba kalau di Indonesia ada yg memakai skema nama yg serupa. Nama kembang. Universitas Melati gitu? (Kalau Universitas Kamboja kayaknya masih normal, nama negara soalnya) Ada nggak kira-kira yg mau kuliah disana?

Perkenalkan, Sungai Dago atau dikenal juga dg Sungai Juanda. Sungai Arus Deras Terbaru di Bandung.

Sabtu kemaren, tanggal 08 Juni 2013, Bandung dilanda hujat hebat. Bukan lebat tapi hebat. Sudah naik tingkat lah dari l ke h, bentar lagi d mungkin.

Saya kebetulan waktu itu sedang berkendara dari arah selatan ke utara. Hari itu gelap. Langit di kejauhan utara berwarna agak aneh, kelabu jingga. Kelabu dengan rona oranye sedikit. Semakin ke utara suasana semakin mencekam. Semakin gelap. Hingga sampai saya di jalan Riau, masuk arena distro dan mau keluar ke jalan dago di Dukomsel, hujan itu pun tiba. Kebetulan saya juga terjebak oleh mobil aneh yg entah kenapa parkir menghalangi jalan meskipun di pinggir, saya pun berhenti sejenak memakai ponco.

Jalan Santo Yusuf Maulana Yusup saat saya memakai ponco dan perempatan ke Jalan Juanda kemudian belok kanan perempatan di bawah Jembatan Layang Pasupati sebenarnya tidak jauh. Hanya 40 meter dan 40 meter. Namun, ketika saya sampai di bawah Jembatan Cikapayang tersebut, jalan raya sudah menjadi danau.

Sungai Juanda Dago 1

Sungai Dago, dipotret dari samping McD Dago

Itu belum seberapa, setidaknya danau disana alirannya tenang dan masih sangat sedikit. Maju sedikit, tampak Jalan Juanda ke arah simpang dago melewati perempatan jalan Ganesha sangat padat. Air yang turun kian mengamuk. Entah mengapa mereka tidak turun dengan lurus atau dengan sudut tertentu, melainkan berputar-putar dahulu. Seolah-olah, kecepatan angin yg membawa mereka sedang menggas-mengerem.

Lewat jalan ganesha, macet masih sangat terasa. Kayaknya memang sampai simpang dago nih. Itu berarti 1-2 km. Saya sebagai pengendara motor memang agak lucky, karena bisa menyelip lewat celah kecil di antara mobil paling kiri dan batas trotoar. Semakin lama, semakin terasa genangan air di jalan. Yang tadinya hanya sejung kuku sudah mulai menjadi seujung tangan.

Sampai di bekas Petronas hingga CK Dayang Sumbi, secara resmi air tadi mengatakan baaadaai, baaadaaaaai…. Jalan dago ruas ITB yang biasanya saya tempuh hanya dalam waktu 5 menit, kini entah sudah lebih dari 20 menit tanpa ada sedikitpun ruang yg tidak terisi mobil. Dan di bawahnya, air. Kami tidak berjalan di jalan dago, tapi di sungai dago.

Ya. Perkenalkan, Sungai Dago atau dikenal juga dg Sungai Juanda. Sungai Arus Deras Terbaru di Bandung.

Perempatan Juanda – Dayang Sumbi adalah sungai paling mengerikan yg pernah saya lihat. Mungkin karena saya berkendara di atasnya. Naik motor cina butut Zealsun Super Bit, rasanya sulit sekali mengendalikan stang. Ukuran gas biasa sudah tidak berlaku lagi. Mau digas kuat, takut numbur mobil di depan. Mau digas pelan, ini air di bawah bisa memundurkan motor.

Jalan Sungai dago ke utara memang agak menanjak. Dan kini, kami lewat di sungai berkedalaman sepaha itu dengan kendaraan bertumpah ruah. Sampai di Amanda, berkendara motor di pinggir kiri jalan sudah sama mengerikannya dengan menyeberang ledeng.  Arus sungai saat itu mungkin bisa menggelimpangkan Anda jika Anda berdiri biasa saja. Di pinggir kanan, tengah jalur dua juga sebenarnya sama mengerikannya. Hanya tampak agak sedikit lebih ramah arusnya.

Sampai di depan warung verde, motor saya pun mogok di tengah jalan. Memang dari tadi sudah naik turun nyawanya. Saya engkol tidak hidup juga. Mobil di belakang, entah tidak mengerti bahwa naik motor di sungai lebih sulit dari naik mobil, sudah marah-marah.

Saya pun ke pinggir, dg sedikit ragu melewati arus super tadi. Mengengkol motor sekuat tenaga di pinggir dan alhamdulillah hidup. Trotoar, tempat pejalan kaki lewat, saat itu sangat menggiurkan. Sepi, tanpa sungai. Beberapa motor lain pun tadi lewat disana. Namun, saya memilih kembali ke kejamnya Jalan Juanda. Mana mau saya merendahkan diri dengan pelanggar peraturan yg bodoh itu.

Motor lewat trotoar? Jangan becanda. Gini-gini saya lulusan ITB.

Mau ada macet, mau ada sungai, atau keduanya, motor ya tetep jalannya di jalan bukan di trotoar. Huh. Anda juga anak ITB? Serius? Camkan itu. Mahasiswa kok maunya demo aja, tapi pas berkendara asal.

Singkat cerita, setelah menunggu lampu hijau tiga kali di tempat yg sama, dengan menggas motor sekencang-kencangnya di gigi normal dan berusaha stabil dan tenang saat menaikkan gigi, man tidak pernah saya merasakan naik motor sesulit waktu itu. Akhirnya saya berhasil sampai ke simpang dago.

Inklinasi di jalan di simpang itu agak meninggi, dan jelas arus sungai pun lebih parah lagi dan lebih dalam. Jadi inilah penyebab kenapa sudah lampu hijau 120 detik tadi, tetapi saya masih juga belum bisa bergerak. Mana disaat kacau begini, tak tampak sebatang hidung milik polisi pun. Mana kalian woy!

Saya berusaha melewati sungai di ruas terakhir sampai di belokan ke kosan saya ini. Ternyata susah. Ngeden. Mobil dan angkot saya bergerak sangat lambat. Maklum, roda dan aliran sungai bergerak ke arah yg berlawanan.

Akhirnya, motor saya pun mogok lagi. Untuk yg keterakhirkalinya di hari itu, karena yah tidak hidup lagi sampai keesokan hari.

Di atas, adalah koleksi foto pilihan yg saya ambil saat saya stand-by di kantor PLN menunggu sungai dago sedikit lebih jinak. Saat berdiri menggigil (karena ponco tidak membantu apa-apa), saya melihat plastik, karung, dan batu paping segienam lewat di sungai itu. Menggambarkan betapa derasnya air.

Kok yg di ruas antara dayang sumbi – simpang nggak di foto? Kan disitu yg super deras dan macet parah. Yah, saya mengendalikan motor saja sudah setengah mati. Gimana mau ngambil hape dan menjaganya agak tetap kering. Kalau jatuh ke aliran di bawah gimana?

Oh ya, saya pulang ke kosan dengan mendorong motor. Air sungai setelah menunggi kurang lebih setengah jam agak menjinak. Di Jalan Kidang Pananjung Dalam, depan kosan, air setinggi betis masih menggenang, bercampur dengan selokan di pinggir gang. Menurut ibu kos, pada waktu badai-badainya, air ini mencapai ketinggian 3/4 tembok PUSAIR yang mungkin kira-kira sampai ke pinggang atau dada kali ya. WAH. Kosan saya sih aman, tapi kasian juga yg kosannya lulus lantak oleh air yg tidak tahu asalnya dari mana ini.


Cih. Sebenarnya saya tidak berencana menulis artikel seperti ini. Merusak dua tema yg ditetapkan oleh artikel keluh kesah saya kemarin saja. Membuat cacat hati di bulan ini. Akan tetapi karena ini merupakan pengalaman yg sangat menyayat hati saya, saya akhirnya bersedia berbagi cerita menyenangkan ini.

Kepada pemerintah Bandung, saya ucapkan selamat atas sungai terbarunya. Saya juga sudah mengupdate peta pada artikel Perasaan Saya Saja atau Di Bandung Memang Kondisi Jalannya Jelek? ini dengan menambah sungai terbaru ke Jalan Dago.

I am in a deep shit!

Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tulisan aneh ini. Tapi karena berbagai circumstance (istilah keren dari hal), akhirnya saya tunda sampai sekarang. Sampai situasi sedikit lebih ideal. Eh, situasi?

Saya sebenarnya juga bingung dengan yg mau disampaikan di artikel ini. Perbedaan tiga bulan antara ide yg muncul dan eksekusi mungkin penyebab utama. Tapi mungkin ketidaksesuaian judul dan isi serta ketidakjelasan konsep juga turut menyumbang besar. Apalagi kerangka tulisan ini yg ditinggalkan oleh saya di masa lampau hanyalah:

Alone in kostan…

Best plan vs worst plan: April

Time to world domination

Entah apa maksudnya. Saya juga nggak ngerti. Damn you, my past self. Karena bingung dan geje mungkin pendek aja kali ya tulisan random ini. Maklum. Kalau masuk kategori Blog’s Rambling ya kayak gini hasilnya.

Semuanya dimulai dari kelulusan saya di Bulan April 2013. Tanggal kelulusan yg merupakan rencana terbaik (best plan) dan terburuk (worst plan) dari wisuda saya, dengan kemungkinan tengah-tengah ada di antaranya. Loh, gimana bisa? Best dan worst di satu tanggal dan tengah-tengah di antaranya?

Ketertinggalan ini menyebabkan saya tertinggal juga dalam persiapan hal lain pascakampus. Ketika saya masih pusing sidang, orang sudah mulai untuk moving forward. Termasuk kedua sahabat saya, keduanya teman sekos. Mereka sudah mulai melangkah menuju pintu kereta masing-masing. Dan ketertinggalan saya akan terasa dampaknya secara sangat nyata. Saya bisa sendirian dikosan!

Alkisah waktu itu kami sedang tidur-tiduran sambil menatap langit biru Bandung yg terhampar luas di atas kosan kami dan cahaya matahari temaram karena sedang malu-malu bersembunyi di awan putih gimbal. Lebai. Lebih tepatnya menatap langit-langit kamar tidur saya, itu pun cuma saya yg tidur-tiduran. Hari itu indah sekali karena salah satu dari kami baru saja mendapat surat dari faraway sana. Kami pun membahas sebuah start-up yg juntrungannya kian tidak jelas karena founder-nya entah kemana. Ditambah lagi dua dari tiga pengobrol juga tidak lama lagi akan berada jauh dari radar, atau setidaknya sulit diakses. Saat itulah saya sadar, di antara tiga sekawan ini, hanya saya yg belum memiliki milestone apa-apa.

Baca Selengkapnya

Muallaf Istiqlal, Manajemen Masjid Raksasa, dan Sedikit “Sisi Gelap”

Masjid Istiqlal begitu luas. Sayang jika tidak dijelajahi, pikir saya waktu itu. Kebetulan punya banyak waktu juga saya. Sambil menunggu jam 4, saya akhirnya memutuskan untuk berkeliling. Pertama, saya menyusuri koridor di hadapan tangga utama. Koridor ini sepi, hanya dua tiga orang saja yg duduk-duduk. Kiri kanan koridor terbentang luas tempat shalat terbuka. Membuat koridor tersebut sepoi-sepoi meskipun di duduk di tengah jantung Jakarta.  Tadinya sih saya mau nyari colokan untuk buka laptop dan cas hape, tapi saya penasaran dengan ujung koridor sana.

Sampai ujung, ternyata ada tangga ke bawah. Pintu sebelah utara rupanya lebih rendah dari area lantai utama, kagum saya waktu itu. Ya iyalah! Bodohnya saya. Lantai utama kan di lantai dua (tadi kan naik tangga dulu). Saking luasnya lantau utama tersebut (dan teras shalat luar tadi), saya sampai tidak merasa itu di lantai dua. Hmm…

Ini lantai dua loh.

Ini lantai dua loh.

Area utara jauh lebih sepi dibanding Pintu Al Fattah di tenggara. Hampa. Gelap. Tapi tetap, ada satpam yg berjaga di pintu keluar masuk sana. Di kiri dan kanan ruang pertama pintu tersebut, langsung terhampar tempat wudhu hingga ke ujung sayap masing-masing arah. Saya pun ke luar dan melihat-lihat taman di sebelah utara yg ternyata berhadapan dengan Monumen Nasional dan Kantor Pertamina Pusat, plus ada air mancur yg sepertinya sudah pensiun.

Setelah memoto-moto sungai hitam di sekitar gerbang utara tanpa beralas kaki, saya masuk lagi ke Istiqlal dan menyusuri tempat wudhu ke sebelah barat. Sepi banget nggak ada orang. Seperti maling saja saya lewat sana. Agak takut juga ditegor satpam. Dan ngomong-ngomong soal maling, ada tempelan lucu loh yg saya temukan di tempat wudhu sana.

Perhatian bagi maling, mohon bertaubat

Perhatian bagi maling, mohon bertaubat

Saya menjelajah hingga ke posisi barat, nemu pintu kecil keluar dan melihat pintu Al Malik yg ternyata pintu Viviaipi (VVIP). Kemudian melintasi tengah tempat wudhu tepat berada di bawah ruang utama (sepertinya) dan mendapati ruang luas yg sepertinya adalah koridor di depan sekolah PAUD dan SD Istiqlal. Kemudian saya naik tangga yg ternyata muncul ke dalam ruang utama di bagian akhwat.

Viviaipi

Malik = Raja = Viviaipi

Setelah ditegur seorang ibu-ibu, saya pun mencari pilar terdekat untuk bersandar. Beristirahat sejenak sebelum bertualang lagi. Sambil menikmati indahnya ruang utama ini. Ngomong-ngomong soal pilar, Masjid Istiqlal ditopang oleh 12 pilar besar. Di tengah 12 pilar terdapat kubah raksasa berwarna emas yg menjulang tinggi hingga lima lantai lebih. Di setiap pilar terdapat rak buku besar yg isinya mungkin mushaf Al Quran. Itu sih biasa ya, yg tidak biasa ialah. Di setiap pilar juga terdapat layar monitor besar. Ada 40 inch kali, atau lebih. Entah buat apa saya juga bingung.

Pilarnya bok... Mahal kayaknya...

Pilarnya bok… Mahal kayaknya…

Kebeluan di pilar yg saya singgahi terdapat seorang bapak-bapak yg juga sedang tidur-tiduran. Tidak kusangka, bapak itu menyapa dan mengajak ngobrol. Dari mana? Lagi cari kerja? Wah Bandung, saya pernah tuh ke masjid raya sana… Dari sanalah sepertinya petualangan saya berakhir dan beralih ke kisah cerita dan sisi-sisi Istiqlal yg saya belum tahu.


Pak Setiawan Sang Muallaf Istiqlal

Baca Selengkapnya

Melancong ke Masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal alias masjid kemerdekaan adalah masjid terbesar di Indonesia, atau bahkan Asia Tenggara? Tentu dengan gelar yang mengagumkan tersebut, kita sebagai warga biasa yg suka penasaran, penasaran dengan masjid sosok masjid ini. Minggu kemarin saya mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki ke masjid kenegaraan ini. Saya yakin sebagian besar pembaca  (yg umumnya teman kuliah-SMA saya) belum pernah kesana bukan? Wong yg di Jakarta saja belum tentu pernah, seperti kata orang.

Kalau tidak disempat-sempatkan, ya tidak akan pernah sempat.

Pada artikel ini, saya ingin membahas tentang arsitektur dan pemandangan yg saya dapatkan dari hasil berkeliling di Masjid Jantung Ibukota ini. Pada artikel berikutnya, saya akan menceritakan obrolan saya dengan seorang muallaf yang kebetulan bertemu saat sedang bersantai di ruang utama masjid.

Masjid Istiqlal bisa dibilang terletak di  jantung ibukota. Lokasinya persis di sebelah Monumen Nasional dan Statiun Gambir, dan juga disekitar pusat perkantoran pusat (udah pusat, pusat lagi). Pertamina pusat di seberang jalan ke utara, kementrian keuangan pusat juga disana, dan kantor-kantor pusat lainnya. Mungkin katedral besar di depannya pun suatu gereja pusat juga kali ya.

Kubah Masjid Istiqlal dapat dilihat dari jauh. Maklum, gedung ini memiliki lima tingkat di bangunan utamanya. Gedung non-utama sebelah timur yang juga menempel di gedung utama memiliki lantai yang lebih tinggi lagi, entah sepertinya lapan lantai ada kali.


Oh ya untuk masuk ke gerbang Masjid Isitiqlal, pejalan kaki harus menghadapi sebuah jalan super ramai yg tidak akan pernah berhenti, karena di perempatan sana tidak ada lampu lalu lintasnya. Tapi tenang saudara-saudara, tepat di seberang gerbang terdapat zebra-cross plus sepasang lampu merah terpancang. Yup, lampu ini akan selalu merah (bagian lampu yg menghadap ke arah zebra-cross). Saya sampai menunggu 5 menit berharap akan mengubah tanda hijau bebas jalan untuk kendaraan berubah menjadi merah secara ajaib. Udiknya saya, ternyata ada tombol di tiang lampu tersebut.

Namun, jangan juga banyak berharap sobat. Setelah saya pencet tuh tombol, memang lampu merah untuk pejalan kaki berubah menjadi hijau (persiapan 4 detik, hijau selama 15 detik) dan lampu hijau yg mengarah ke jalan untuk kendaraan menjadi merah. Akan tetapi, ternyata yg udik bukan hanya saya. Yg nyupir di dalam kendaraan berkecepatan tinggi itu lebih udik lagi. Mereka lewat saja. Oblivious dengan merahnya lampu dan keberadaan pejalan kaki yg terseok-seok ingin menyeberang sambil mengeluarkan sumpah serapah. Saya tidak meyangka, orang Jakarta ternyata setolol itu. Udik!

Lampu merah (untuk pejalan kaki) aja nggak tahu!

Percuma ada lampu lalu lintas yg pencet-able ini

Percuma ada lampu lalu lintas yg pencet-able ini

No offense untuk orang Jakarta beneran ya, khususnya pengendara. Selama Anda belum membuktikan bahwa Anda cukup pintar untuk membedakan antara lampu lalu lintas pejalan kaki sedang merah atau hijau dan bertindak sesuai aturan lalu lintas tersebut. Sampai itu terjadi, saya akan mempertahankan generalisasi saya terhadap Anda orang Jakarta. Kenapa saya sebersikukuh ini? Well, dari sekian kali (sekitar 6 kali) saya menyeberang dengan fitur lampu merah penyeberangan itu, tidak ada tuh satupun kendaraan yg berniat baik mengurangi kecepatannya. Akhirnya, saya kembali ke cara lama, cara Indonesia, jalan dikit-dikit sambil menengadahkan tangan ke arah mobil dan harap-harap cemas supaya skenario yg rawan terjadi di sinetron tidak terjadi.


Okeh, kembali ke topik utama.

Masjid Istiqlal dikeliling oleh sungai kecil (atau ledeng (atau lebih tepatnya Sungai Ciliwung)). Saking besarnya Masjid Istiqlal, sungai kecil selebar mungkin 20 meteran yang mengelilingi Istiqal di tiga arah mata angin tidak terasa ada apa-apanya. Yah, seandainya sungai ini berwarna biru dan mengalir dengan tenah, syahdu, dengan riak-riak ikan kecil berwarna-warni yg berenang-renang di bawahnya dan pepohonan hijau yg sedikit-sedikit menutupi jernihnya air dengan dedaunannya yg berwarna coklat. Seandainya begitu, masjid ini akan sangat sempurna di mata saya. Perfecto patronum!

Faktanya:

Pemandangan Indah di Sekitar Istiqlal

Pemandangan Indah di Sekitar Istiqlal

Pancuran, Monas, dan Sampah

Pancuran, Monas, dan Sampah

Yup, Masjid ini dikelilingi oleh sungai sampah. Tentu bukan salah arsiteknya merancang (walaupun dia orang nasrani). Tentu juga bukan juga salah Ir. Soekarno yg memvisikan masjid kebanggaan ini. Entah salah siapa, orang Jakarta yg tolol itu mungkin (yg tolol ya, yg pintar sih tidak).

Di arah utara masjid ke arah pintu yg menghadap ke Gedung Pertamina dan Monas sebenarnya terdapat pula air mancur raksasa. Bangunan air mancur ini duduk gemulai di tengah danau kecil dengan riak-riak kekhusuannya, seandainya air itu berwarna biru. Sayang airnya berwarna hitam pekat, tidak beriak, dan berisi banyak sekali plastik, kaleng, bungkus-bungkus, dan mungkin kotoran manusia di dalamnya. Entah siapa yg bisa disalahkan dari kondisi suram ini.


Okeh, kembali lagi ke Masjid Istiqlal yg megah.

Masjid berkapasitas 200 ribu jemaah ini memiliki lima gerbang dan tujuh pintu utama, setidaknya itu menurut wikipedia. Yang berhasil saya temui hanyalah tiga pintu (dan satu gerbang) di antaranya, yakni Pintu Al Fatah (yg pertama ditemui saat masuk dari gerbang utama), Pintu Al Malik (bersebarangan dengan mimbar, VVIP katanya, Malik getoh), dan Pintu Al Ghaffar (menghadap ke pancuran black-hole tadi).

Setiap pintu ada penjaganya. Dan dengan penjaga, yg saya maksud adalah dua orang satpam dengan garret dan pintu deteksi logam yg sering kita lihat di bandara itu loh. Serem ya… Sasuga masjid kenegaraan. Baca Selengkapnya

Semarak Iklan via SMS 2 – Iklan Lowongan Pekerjaan

Iklan Lowongan Kerja via SMS

Masih inget artikel beberapa waktu silam Semarak Iklan via SMS?

Haruskah saya beri kabar bahagia bahwa sekarang ada iklan lowongan pekerjaan juga yang disebarkan via SMS?

Kabar bahagia!

Sekarang kita tidak perlu repot lagi mencari lowongan pekerjaan. SMS yg berisi lowongan pekerjaan akan datang sendiri kok.

Asyik ya…

PT HANKOOK TIRE INDONESIA 2013 menerima karyawan(i) Lulusan setara SMK, S1, S2. Lamaran dapat dilakuakn dengan mengirim data riwayat hidup, foto 4×6, dan nomor ponsel. Lamaran dikirm via email ke PT.hankooktire@asia.com

Karena saya kasihan dengan lamaran di atas, saya tulis ulang saja disini.

Ada yang berminat. Silakan, silakan. Jangan malu-malu.

Btw, itu beneran nama perusahaannya PT Hankook Tire Indonesia 2013. Ada 2013-nya? Ntar tahun depan ganti nama atau gimana tuh, hmm…


Artikel ini akan di-update dengan iklan via sms lain, jika ada yg kebetulan lewat.

Ngomong-ngomong, cara ngelaporin iklan/penipuan lewat SMS ke operator itu gimana? Saya lupa…

Sepotong Senja Pantai

Saat sedang melihat berkas-berkas lama, saya menemukan puisi di bawah ini. Entah sedang kesambet malaikat apa waktu itu, sampai-sampai saya menulis puisi ini. Puisi ini tertulis di binder catatan kuliah saya waktu TPB (Tahap Persiapan Bersama, sebutan untuk tingkat 1 di ITB).


Dipersembahkan untuk : Kak Muslimin bin Bukhari (Murabbi saya saat SMA)

Sepotong senjang jingga kemerahan
Bersinar indah digenggaman tangan

Koral dan kepiting kecil berterbaran
Pasir putih terbawa debur ombak yang damai
Angin sepoi diiringi cahaya keemasan
Siluet batu karang tampak di sela jemari
Lalu kubawa sepotong senja pinjaman itu
Ke tempat dimana kawanannya bertengger
Tepi pantai barat nan jauh ku berjalan
Usai sampai penat hilang jua

Itulah kecil ibarat perjuangan dalam hidup kita
Menggenggam asa s’lalu nan gemilang cahaya
Setitik padahal luas dan lebih
Hasrat menggapai cinta padahal milik sang kuasa
Beban berat namun indah kita pikul dan genggam
Jalan berliku melintas guning dan bukit
Membawa risalah Muhammad, seindah senja tepi pantai
Menyebar… Menebar…
Memperlihatkan keindahannya
Mesti sepotong

Perjalanan jauh menuju tepi daratan ujung
Melangkah ke teluk dimana senja terhampar luas
Membentang ke seluruh samudera
Melihat debur angin badai, ombak menggulung
Karang menjulang dan membentang
Penuh kesejukan juga tantangan
Memuaskan para pencapainya

Sampailah berhasil ke tepi pantai
Bersama orang-orang yang t’lah terpana
Takluk ‘kan keindahan sepotong senja pinjaman
Namun… Tiadalah kita terlupa
Bahwa senja tidak sepotong saja
Pantai bukan secuil jua
Meski tiba tepi pantai
Masih jauh juga berat perjalanan kita
Lebih berbahayanya lautan lepas
Serta ganasnya sang samudera

Setidaknya kita tahu…
Senja indah tetap bersama kita

Perjuangan selama ini
Sukses
Namun sebenarnya tak seberapa
Masih banyak proyek yang bertumpuk
Masih harus kita memeras keringat
Memandang jauh ke masa depan
Kita dan dunia

Jangan berpuas diri dengan yang t’lah diraih
Masih ada daratan di seberang
Berpanorama megah berkilau

Jangan pula takluk oleh perjalanan dan waktu
Oleh badai yang menghempaskan karang
Oleh karang yang mengaramkan kapal
Telah banyak para penakluk samudera
Kini giliran kita

Jika burung camar nan melintas lautan
Dapat jumpa dengan kerabatnya lagi
Elok pulalah jika kita semua dapat bertemu kembali
Tuk sekadar bercerita tentang petualangan
Senja
Di samudera masing-masing

Karya: m.ln.albadr


Pada judul sebenarnya tertulis “– half version“. Menyiratkan kalau ini cuma separuh dari yang mau ditulis. Tapi saya nggak tau – atau lupa – separuhnya lagi dimana.

Dan untuk sekedar catatan, saya (yg sekarang) sendiri nggak tahu maksud dari tulisan di atas apa.

Salah Konsep Blog Kemaren Siang, Perlu Ganti Nama?

Pada waktu memulai blog ini, saya merumuskan judul blog “Blog Kemaren Siang” dengan konsep berikut. Saya adalah anak culun, yang baru memulai melihat dunia maya (alih-alih dunia nyata). Baru saja lulus SMA waktu itu. Untuk menggambarkan konsep itu, ada adagium yang cukup terkenal “anak kemaren sore”. Maknanya, anak yang baru saya sadar akan dunianya kemaren sore. Jadi belum bisa berbuat apa-apa lah.

Nah, saya menganggap bahwa blog saya ini lebih rendah dari sekedar blog kemaren sore. Blog yang baru muncul kemaren sore, belum ada apa-apanya lah. Blog saya lebih cupu lagi. Oleh karena itu saya beri nama “Blog Kemaren Siang”.

Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, kayaknya keputusan itu memiliki kesalahan fundamental yang luar biasa. Logikanya nggak pas.

Anak kemaren sore itu dipandang sebelah mata karena dia baru melek kemaren sore, dalam artian pengalamannya masih sedikit, baru sedikit mengenyam asam garam. Dari kemaren sore sampai hari ini, ah baru sebentar. Nah, dengan keinginan saya untuk merendah, lebih rendah dari itu, harusnya saya menulis Blog Kemaren Malam atau Blog Tadi Pagi. Kan lebih sebentar lagi.

Blog Kemaren Siang

Itulah kesalahan logika yg sangat fatal. Entah kenapa baru akhir-akhir ini, setelah hampir 5 tahun blog mengudara dengan nama tersebut, saya sadar.

Perlukah ganti nama? Perlu.

Menimbang, kesalahan logika seperti yg saya utarakan di atas. Mengingat, blog ini sudah mengalami masa permulaan selama 3 tahun lebih dengan pengisian yang minim. Memperhatikan, bahwa dalam satu tahun terakhir, blog ini dan pemilik blognya memberikan kemajuan konten dan statistik yang sangat baik.

Menyarankan. Sebaiknya, blog ini diubah namanya, dari kesalahan semula “Blog Kemaren Siang”, menjadi “Blog Kemaren Malam” dan setelah berhasil mengarungi beberapa tahun permulaan naik pangkat menjadi “Blog Kemaren Sore”, dan setelah memberikan performa yg luar biasa selama setahun terakhir, naik pangkat lagi menjadi “Blog Kemaren Siang”.

Pada akhirnya, memutuskan, blog ini berganti nama dari “Blog Kemaren Siang” menjadi “Blog Kemaren Siang” dengan alur pikir di atas.

*prok-prok-prok*

Segala hal yg menyangkut pengalihan kekuasaan, dll akan dilakukan dengan tempoh secepat-cepatnya.

Tertanda, penulis tunggal blog “Blog Kemaren Siang”.

Albadr Nasution.

Truth, Lies, and Obat Tetes Mata Herbal

Setiap manusia, khususnya manusia Indonesia, sepertinya lemah terhadap kata-kata herbal. Kalau sudah mendengar herbal (dalam konteks obat herbal), kesan yg ditangkap adalah alami, murah, manjur, berkhasiat atau bahkan multikhasiat. Dibanding dengan obat sintetik atau obat kimia yg kesannya mengerikan.

Obat herbal selalu dicari sebagai obat alternatif atau sekedar suplemen [citation needed]. Ia selalu dipromosikan sebagai obat multikhasiat. Lihat saja di pameran-pameran, satu obat biasanya bisa menyembuhkan satu kertas folio daftar penyakit. Wah, hebat ya. Bagi orang Indonesia yg gampang tergiur dg hal-hal ajaib, tentu saja obat itu sangat menarik. Ditambah lagi dengan label bahwa ini cara islam, cara nabi, dll makin melejit lah keajaiban obat herbal tersebut.

Saya termasuk orang yg tidak percaya dengan keajaiban obat herbal, setidaknya tidak sepenuhnya. Memang kenapa sih obat herbal bisa punya rentetan kekuatan penyembuh seperti itu? Well, saya bukan anak farmasi dan tentu bukan pakar herbal. Tebakan saya sih (ini cuma tebakan ya), karena herbal itu kan artinya diambil dari herb alias tanaman, artinya kandungan di dalamnya macam-macam. Itu artinya, bagian penyembuh dari ginjal, jantung, paru-paru, dan (sebut organ lainnya) ada dalam sari tanaman tersebut. Jadi ya penjual herbal dapat menyimpulkan bahwa sari tanaman itu bisa menyembuhkan penyakit-penyakit itu, secara ajaib. Kontraskan dengan obat sintetik yg sengaja dibentuk dari bahan kimia tertentu dengan hanya satu tujuan penyembuhan tertentu. Ajaib mana?

Ehm, tapi bukan itu sih yg saya mau bahas kali ini. Masuk ke cerita utama.


Jadi kemaren saya dapat ilmu bermanfaat baru.

Seorang teman saya yang sedang mengenyam tingkat akhir di Sekolah Farmasi, program studi Sains dan Teknologi Farmasi, yang kebetulan anggota Kongres Keluarga Mahasiswa ITB, sebut saja Dana, membagi sedikit ilmu tentang obat mata. Saya disini hanya membagi sedikit ilmu yg diketahui oleh (hampir semua) anak farmasi itu ke blog saya.

Dana mengeluh tentang penjualan obat mata herbal di Forum Jual Beli ITB. OTEM (Obat Tetes Mata), merek obat tetes mata herbal yang dijual itu. Kenapa dikeluhkan?

Lapak Jualan OTEM

Menurut peraturan BPOM Pasal 34 ayat (2) Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria obat Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, ditetapkan bahwa obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan tetes mata, intravaginal, parenteral dan suppositoria (kecuali digunakan untuk wasir). Peraturan bisa dilihat di Pranala PDF Peraturan ini dan paragraf ini diambil sebagian dari FAQ ini.

Kenapa dilarang? Menurut calon farmacist kita ini (sebenarnya kata Dana menurut seorang dosen pada suatu mata kuliah, untung dia datang dan ingat ttg kuliah itu), obat tetes mata harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Streril
  2. Isotonis
  3. Isohidris

Baca Selengkapnya

Peta Kerusakan Jalan (dll) di Bandung

Perasaan Saya Saja atau Di Bandung Memang Kondisi Jalannya Jelek?

Dari waktu saya menjejakkan kaki di Bandung 5 tahun silam, hingga sekarang, hal ini selalu membuat saya bertanya-tanya. Bandung ini kan kota besar, Ibukota Provinsi Jawa Barat. Paris van Java. Bersejarah. Kota terbesar ke empat di Indonesia. Tapi kok jalannya jelek sih. Pada rusak atau setidaknya bolong, pasti ada bolong di setiap ruas jalan. Nggak peduli dia itu jalan raya utama atau jalan depan kantor gubernur.

Ada apa gerangan? Atau itu cuma perasaan saya sajakah. Halusinasi?

Peta di bawah adalah peta yg menggambarkan area hidup saya. Sangat kecil, dibanding area Bandung yg begitu luas. Dapat dilihat di peta, daerah jalan yg (seingat saya) punya cacat seperti lubang atau memang parah-separahnya. Contoh dari kasus yg terkhir adalah Jalan Tubagus Ismail – Sadang Serang. Yup. Parah, banget! Padahal yg lewat disitu setiap hari tidak sedikit.

Peta Kerusakan Jalan (dll) di Bandung

Merah: Jalan rusak atau ada lubangnya
Hijau: Macet rutin setiap saat
Biru: Banjir kalau hujan deras

Di sekitar ITB, tepatnya di Jalan Tamansari, sebagian Jalan Ganesha, dan Jalan Siliwangi dekat Simpang Dago, dua atau tiga tahun silam juga sama. Parah, parah banget. Teman saya saja konon ada yg pernah jatuh di sana, tergelincir gara-gara jalannya berkawah. Namun, sekarang sudah bagus banget. Dalam waktu kurang dari seminggu apa, berubah total. Yang di Taman Sari dan Ganesha sudah mulus. Yang di Siliwangi sudah di beton, walaupun masih sedikit rusak-rusak. Khususnya jalan aspal lama (yg nggak dibeton) di antara jalan beton baru.

Dan seingat saya, selama lima tahun terakhir hanya itu jalan yg berubah 180 derajat. Sisanya masih sama, padahal terbukti nggak lama kan membagusin jalan sekitar ITB tadi.

Jalan Juanda menuju BIP juga masih sedikit bergelombang, nggak mulus. Jalan di sekitar Gedung Sate juga sedikit bolong dan banjir pada saat musim hujan.

Ini emang di seluruh Bandung atau emang cuma di sekitar tempat saya hidup saja ya? Konstipasi kah?

Kalau memang seluruh Bandung rusak (atau kalau rusaknya memang cuma di sekitar saya dan kerusakan itu nyata, bukan halusinasi yg saya buat-buat), kok bisa? Kenapa? Apa Bandung kurang dana untuk membenahi infrastruktur? Dananya kebanyakan dipakai buat nanam pohon setiap hari kali ya…

Bagaimana menurut Anda? Khususnya yg orang Bandung…


Saya kepikiran untuk membuat semacam peta di atas untuk seluruh Bandung. Gampang kayaknya, tinggal sediakan waktu satu hari. Lalu, jalan-jalan deh keliling Bandung sambil buat peta. Jalan yg jelek/ berlubang diberi tanda merah. Gampang kan, kita civillian saja bisa. Apa orang PU bandung nggak ada yg pernah kepikiran gitu ya, buat dokumentasi jalan mana saja yg perlu diperbaiki di kota kembang ini? Oh ya saya tahu, butuh ada pengadaan proyek survey dahulu baru dokumentasinya dibuat. Okay.


Tugas walikota yg akan datang nih untuk mengubah wajah Bandung menjadi lebih baik. Entah itu walikota sisa relics of the past dengan plot alternating bifamilia monarch-nya, atau walikota yg memang kerjaan sehari-harinya membuat tata kota dan bangunan yang bagus, atau walikota lain. Kita tunggu saja.

Kantor Pos Cisitu ~ Bagaimana Nasib Pos Indonesia?

Jumat dua minggu lalu, saya bertandang ke kantor pos. Ngapain? Mau ngenet, mau ngirim pos lah! Maklum, STNK saya harus diperpanjang di Lampung. Jadinya terpaksa saya kirim STNK+BPKB ke teman ibu saya di Metro, Lampung. Saya sudah cerita kan?

Saya kesana jam 10. Sesampai disana saya kaget. Rame banget. Maksud saya, bagian depannya ramai pengunjung. Mau masuk ke ruangan teras depan meja petugas saja susah. Berdesakan. Kok bisa ya? Namun, di meja hanya ada satu petugas. Sepi.

Sebagai pengunjung dan warga yang baik, saya pun menunggu. Memang tidak ada baris antrean disana. Kacau pada berdiri sesukanya. Juga tidak ada tanda-tanda nomor antrean disana. Tapi ya tunggu aja lah. Mau nanya bapaknya juga kayaknya itu bapak kepo banget. Sibuk. Cap sana-sini, geser lima langkah ke kiri, liat monitor, lari sana. Nggak efisien lah.

Lima belas menit saya menunggu, saya baru menyadari pengunjung yg memadati ini keperluannya apa dan sistem antreannya bagaimana. Mereka ini kebanyakan (atau semua?) ingin membayar listrik/air/pajak/dll. Dengan demikian, mereka antre dengan memberi si bapak tadi kuitansi atau slip apa lah untuk pembayaran itu. Kemudian, bapaknya memanggil nama yg tertera di slip paling atas tumpukan. Nah, kalau begitu aing yg nggak punya slip untuk dikasihkan gimana dong!

Antre dan Nggak Antre

Kok nggak bayar lewat ATM/Bank aja ya?

Sepuluh menit kemudian saya sudah didahului beberapa orang. Maksud saya, beberapa orang sudah keluar (memberi saya secercah harapan) baik karena urusannya sudah selesai atau sudah kapok antre. Sayangnya mereka diganti dengan beberapa orang lain yg datangnya lebih telat dari saya. Mereka masuk saja dan memberi slip pembayaran ke bapak itu. Saya pun terdahului. Huh, giliran saya siapa dong.

Nunggu lama lagi, tak ada tanda-tanda saya akan dilayani. Bapaknya juga sibuk setengah mati cemnya. Nggak enak juga. Saya cuma bisa melihat-lihat lowongan pekerjaan yg tertempel di mading dan mengamati ada benda apa aja di desktop si petugas.

Setelah total menunggu 45 menitan, seorang petugas lagi datang dg baik motor. Beliau masuk, melihat paket berupa sejenis paralon atau apa itu dan ke belakang. Duh, udah telat masih ngilang nih bapak. Lima menit kemudian beliau datang lagi dan mengambil alih PC yg ada di sebelah kanan. Seorang pengunjung (yg kayaknya masih duluan saya datangnya) meminta Materai 3000 ke bapaknya. Kemudian saya pun berinisiatif memberikan paket saya ke bapaknya, sambil bilang.

Isinya STNK BPKB asli pak. Pos kilat khusus tercatat ya.

Karena amplop saya belum ditulisi, bapaknya menyuruh saya menulis alamat pengirim/penerima dulu. Isi dulu alamatnya. Tapi saya nggak bawa pulpen. Ada pulpen nggak pak? Bapaknya pun ikut panik mencari pulpen yg ternyata disana pun langka. Facepalm. Beberapa saat bapaknya menemukan pulpen dan saya pun akhirnya ada progres juga semenjak sejam berdiri disana.

Sambil menulis alamat, saya diserobot orang. 1x Oke deh nggak masalah, toh saya juga lagi nulis. Selesai nulis, agak nunggu bapaknya ngisi macem2 info ke PC ttg paket penyerobot saya, terus saya serahkan amplop sambil mengeluarkan isinya. Sama bapaknya dilihat bentar terus diserahkan ke saya lagi. Masukin lagi terus ikat. Sesaat setelah kedua tangan kami mentransfer amplop dan isinya, saya kembali diserobot orang. 2x Dan anehnya tuh pak petugas nerima aja tuh berkas yang dikasih penyerobot.

Saya datang duluan dan bapak sudah menyentuh duluan paket saya, for god sake!

Baca Selengkapnya

Seratus Ribu

Minggu kemaren, blog saya pertama kalinya menyentuh angka 100.000 views.

HORE!!!

100.000

Masih kecil sih dibanding blog-blog kawan yang pastinja lebih WOW!

Tapi lumayannya sebagai batu loncatan pertama. Milestone pertama.

Ayo, semangat. Tingkatkan lagi! Lebih rajin lagi dan kreatif lagi.

(Emang pernah kreatif ya ini blog??)

Medical Check Up Is Damn Expensive / Cek Kesehatan Itu Mahal Sumpeeh..! Anyir!!

Mengikuti sebuah pendaftaran/aplikasi formal yang penting tidak terlepas dari yang namanya cek kesehatan. Dulu mas masuk ITB juga disuruh gitu kan. Kali ini saya juga melakukan cek kesehatan (MCU), untuk mendaftar beasiswa ^^.

Pembuka Cerita ~ Tiga Komponen Utama MCU

Melihat tulisannya Mbak Rheisa, cek kesehatan di Bumi Medika Ganesha (Bu Mega  alias BMG) ITB menghabiskan biaya sebesar sekitar Rp150.000. Rinciannya Rp119.500 untuk tes darah dan Rp45.000 untuk rontgen. Okelah, berarti biaya MCU sekitar Rp150.000-an lah ya di BMG. Saya akhirnya pun ke BMG dengan ekspektasi demikian.

Sesampai disana, saya pun bertanya ke resepsionis. Ibunya pun menyuruh saya tes darah dulu di lab milik Prodia dekat apotek BMG sana. Saya serahkan deh formulir certificate of health dari aplikasi beasiswa yang menyaratkan. Mbak Prodia pun langsung cepat membaca  kebutuhan dari puluhan kotak checklist yang ada di formulir. Kemudian, menyuruh saya duduk di kursi “eksekusi”. Agak serem juga mau diambil darahnya nih.Darah aing getoh! Ntar kalau diambil terus dikoleksi, dipustakakan, atau aing dikloning gimana? Tapi ya nggak separanoid teman saya juga sih takutnya, tentu saja.

Setelah digigit semut sedikit, saya pun disuruh bayar di tempat sejumlah uang. Aneh ya, saya yang ngasih darah kok saya yang disuruh bayar ya, haha. Berikut adalah rincian biaya komponen laboratorium dari MCU ini.

Invoice Laboratorium dari Prodia

Entah apa aja tuh yang dites dari darah dan urin saya.

Setelah itu saya diberi botol kecil untuk dikencingi. Sembari menunggu air putih kantin salman mendorong cairan di bagian tubuh lain masuk ke vesica urinaria, saya pun kembali ke resepsionis. Sambil sedikit sempoyongan, karena habis diambil darahnya (respon standar sejak kecil), saya pun bertanya: Selanjutnya apa nih bu? 

Katanya, sebaiknya rontgen dahulu. Mau ambil foto paru-paru (menurut formulir certificate of health-nya). Bayar di tempat seharga di gambar bawah, saya pun disuruh ke ruang X-RAY di pojokan utara kompleks Bu Mega ini. Lampunya menyala merah, ada yang lagi “direkam” kayaknya nih. Tapi karena penasaran saya ketok aja (di pintu sebelahnya). Keluarlah mas-mas penjaga. Saya kasih bukti pembayaran komponen rontgen thorax tadi dan saya pun langsung disuruh masuk ruangan X-RAY. Kosong, ternyata itu lampu merah di luar emang idup terus.

Di dalam setelah mesin aneh itu dihidupkan, saya disuruh buka baju *AW*. Lalu, di seberang tempat tidur sana ada sebuah objek tegak mepet dinding (bergambarkan paru-paru). Saya disuruh menempelkan dada di lempengan objek tersebut. Mesin dihidupkan, suaranya keras sekali. Diesel sampai mengedan. Saya kemudian disuruh tahan napas. Beberapa detik kemudian semua gelap. Tidak, bukan saya yang pingsan atau ada lampu yang mati. Emang udah selesai, cuma sebentar doang ternyata. Cepet, nggak sampe semenit.

Hasil rontgen-nya jadi jam dua katanya. Setelah pakai baju lagi, saya pun keluar ruangan X-RAY sambil bertanya-tanya “kalau perempuan yang dirontgen gimana ya?”.

Invoice Rontgen Thorax Bu Mega

Nama saya kali ini sepertinya benar.
Eh hasil rontgennya gede loh, A3. Susah mau discan… Hitam semua juga.

Setelah kencing di botol, saya kembali ke ruangan laboratorium. Agak awkward juga menyerahkan air seni sendiri ke seorang cewek. Katanya hasil lab keluar jam 3. Oke deh, biar sekalian habis ashar aja saya ambil dua hasil lab itu. Kata resepsionis juga ke dokternya kalau sudah dapet hasil labnya.

Jam 4 saya kembali ke Bumega. Oh, hasil rontgen sudah ada di resepsionis, karena saya telat rupanya. Saya pun ke lab Prodia untuk mengambil hasil tes darah+urin. Sudah ada juga hasilnya, ngintip bentar, eh salah nama (cek aja di invoice Prodia di atas). Gimana tuh? Mbaknya langsung panik (udah beda dari yg tadi, mbak yg ini udah jadi dokter kayaknya), harus dibenerin katanya. Beliau langsung ke office sebelah, nanya-nanya, nelpon-nelpon, dan akhirnya saya dikabari kalau paling cepat hasil print out perbaikan datang jam 05 nanti. Agak lama sepertinya karena lab benerannya di Wastu Kencana sana… Okelah ditunggu. 

Saya dan teman sedikit berpikir, kalau saya jadi pegawai prodia saya bela-belain tuh harus nyampe sekarang juga saat ini juga, toh kesalahan ada pada mereka kan, salah nulis. Nggak bisa baca apa dari naskah asli pada saat ngetik.  Padahal mbak tadi pagi bener kok nulisnya. Huh, do not expect service too much, this is Indonesia.

Oke deh, melewati hal yg nggak penting, singkat cerita hari Kamisnya saya kembali ke Bu Mega. Nggak jadi nunggu sampe jam 5 karena percuma, dokter yg buat cek kesehatannya udah nggak ada. Rabunya saya ke cibubur, ngajar di labschool. Untungnya pendaftaran beasiswa masih agak lama (prof juga belum bales email, bu Ayu belum ngasih rekomendasi). Akhirnya, kamis pagi saya ambil hasil lab (sudah bener namanya!!) dan ke dokter umum buat MCU. Biaya komponen SKS bisa dilihat pada gambar berikut.

Invoice Surat Keterangan Sehat Bu Mega

Murah Meriah!!

Saat cek kesehatan di dokter, saya dikenai aksi sebagai berikut. Disenteri matanya, rongga mulutnya, dipencet disana-sini, dipukul kaki tangan pakai martil, dipompa lengan atasnya, ditempeli besi-besi di banyak bagian tubuh, disuruh tebak-tebakan angka dari sebuah buku aneh berwarna-warni, dan ditanya pernah masuk RSJ atau nggak. Dokternya seru sih, sudah sangat sepuh tapi tetap asyik dan lucu. Saya sampe diukur tekanan darah dua kali karena yang pertama nggak perfect 120/80. Baru dateng katanya, kemungkinan tekanan darahnya nggak normal. Jadi deh saya tiduran di kasur klinik 5 menit baru selesai.

YAY! Selesai MCU saya hari ini. Saya minta bu dokternya isi dua berkas certification of health karena saya daftar lebih dari satu program beasiswa. Sampe lama ibunya ngecekin tulisan Inggrisnya salah apa nggak, ada yang kosong apa nggak, dan tanda tangannya bagus apa nggak.

DONE. To recap, biaya cek kesehatan (alias MCU) di Bumi Medika Ganesha, terdiri dari tiga komponen:

Laboratorium (darah dan urin) : Rp161.000,-
Rontgen Thorax: Rp60.000,-
Dokter yang memeriksa dan membuat SKS: Rp25.000,-

Total: Rp246.000,-

Well, hanya beda tipis (sekitar Rp100.000) dari kisaran biaya yang diungkapkan kak Rheisa tadi, dan itu juga kak Rheisa belum memberikan biaya dokternya kan. Itupun udah beda tiga tahun (2010 vs 2013). Masih wajar lah!  Dan yang terpenting hasil MCU ini adalah SAYA NORMAL, \o/ YAY!!!

Surat kesehatan dapat, berkas lain lengkap, kirim deh ke luar negeri.

Mission accomplished.

Atau itulah setidaknya yang saya pikirkan. Anda tidak berpikir bahwa judul artikel ini, yang begitu heboh, sudah terbahas bukan? Sekarang mari masuk ke cerita yang sebenarnyaBaca Selengkapnya