Pos-pos Terbaru

Hebatnya Persepsi Manusia

Suatu hari, saya sedang duduk di sebuah bis dari Merak menuju Bandung. Saya duduk di dekat supir bagian depan kanan. Menjelang gerbang tol Pasir Koja Bandung, tentu saja bis tersebut melambat dan berhenti sesaat di salah satu kios pembayaran tol. Sambil transaksi, percapakan singkat itu pun terjadi.

Penjaga Gerbang Tol: “Gimana?”

Supir Bus : “Belum.”

Penjaga Gerbang Tol: “Oh.. Oke..”

Bayangkan. Supir dan kios tol tadi itukan jarang bertemu. Supir gitu, jalan dari Merak-Bandung saja sudah 5 jam sendiri per perjalanan. Paling pol mungkin mereka hanya bertemu beberapa kali dalam seminggu. Akan tetapi, percakapan mereka saat itu sangat sederhana. Dengan kata-kata sesingkat itu pun mereka bisa mengerti satu sama lain.

Apa nggak waw gitu? Saya sih kagum saja saat melihat fenomena itu. Tentu saja saya yang tidak terkait dalam pembicaran tidak punya ide sama sekali ttg. pembicaraan mereka. Direka-reka pun nggak ada klu sama sekali. Percakapan mereka begitu didesain supaya penguping tidak punya jejak apapun untuk merekonstruksi kejadian!

Kalau dimodelkan dalam konteks kecerdasan buatan kayaknya agak ribet deh. Harus lihat konteks kalimat dengan pengolahan bahasa alami (NLP). Harus cek agen lawan itu siapa. Harus liat daftar urusan dengan si agen. Kemudian, dihubungkan dengan konteks dari percakapan yg dilakukan.

Mungkin dalam kasus supir tadi lumayan sederhana dengan batasan tertentu. Asumsikan ada dua agen rasional yang jarang bertemu. Beri batasan bahwa urusan dengan lawan agen rasional tersebut hanya untuk satu masalah. Kita tinggal memberi tanda (flag bahasa kerennya) bahwa jika orang itu ditemukan pasti masalah yang dibahas adalah urusan yg itu. Nah, kalau batasan tadi dicabut, mulai deh keribetan terjadi. Bagaimana kita bisa melihat konteks dari kalimat sesingkat di atas? Hanya dari pertanyaan “gimana?”.

Beda dengan manusia. Di jalan, ketemu teman, langsung kita tanyain “gimana kemaren?”. Kedua belah pihak langsung mengerti yg dimaksud apa. Padahal kemaren yg mana pun ada banyak kemungkinan. Bergantung pada mimik muka dan gerak gerik saat bertanya juga, sepertinya.

Masih kurang yakin dengan hebatnya persepsi manusia? Buktinya Anda mengerti kan yang saya maksudkan pada artikel Kutipan Galau sebelumnya. Padahal saya tidak menyebutkan kata kunci apa-apa loh. 😀

Weekly Photo Challenge: Solitary ~ Yu Siti

Yu Siti standing behind her ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin – Non Machines Looms)
Baca Selengkapnya

Motto : The World Can’t Be Changed with Pretty Words Alone

Hampir sebagian besar formulir memiliki ruas yang saya sangat sebal terhadapnya ini. Ya, ruas moto atau moto hidup. Setiap saya menemukan formulir yang menanyakan ini saya bingung mengisinya. Apa ya?

Jalani hidup tanpa moto.

Saya sih dulu kepikiran untuk mempunyai moto “Jalani hidup tanpa moto“. Lumayan kalau diisi ke ruas-ruas yang entah apa motivasinya menanyakan hal demikian. Jelas, tegas, dan cukup mendeskripsikan orang-orang seperti saya bukan? Orang-orang yang malas merumuskan kata-kata yang disebut moto. “Jalani hidup tanpa moto“, hmm bagus kayaknya.

Sayangnya kalimat “Jalani hidup tanpa moto” tadi tidak cantik. Malah terdengar seperti pelarian. Bukan terdengar sih, lebih tepatnya memang pelarian. Nggak ada keren-kerennya. Kalau orang mendengar bakal tertawa, meremehkan, menafikan, atau bahkan meminta saya mengisi yang benar. Kalimat moto tersebut juga merendahkan pemiliknya kan. Masa saya mau menulis moto seperti itu kalau ditanya di CV atau oleh orang yang penting, calon bos saat melamar kerja misalnya (atau “melamar” lainnya)?

Hal ini membuat pertanyaan besar untuk saya (bisa dilihat dari jenis heading-nya) dalam masa awal-awal menuju dunia orang dewasa ini.

Apa ya enaknya?

Moto yang dimiliki orang biasanya keren-keren atau punya unsur yang sangat puitis. Atau minimal bermakna lah dan yang terpenting tidak konyol seperti ide saya tadi. Satu atau dua kalimat pendek yang punya makna mendalam, membuat nyes orang yang membacanya sambil mengangguk-ngangguk. Moto ini menjadi seolah-olah prinsip yang harus dipegang terus. Walaupun saya tidak yakin mereka bakal ingat moto tadi pada saat-saat rileks biasa (misal lagi duduk di atas motor) atau saat keadaan genting (misal saat lagi dicegat operasi polisi atau saat melihat orang ditodong di jalan).

Gaya moto yang biasanya dimiliki orang :

Lakukan yang terbaik dalam setiap langkahmu.

Catatan masa lalu untuk masa depan.

Hiduplah seperti lilin yang menerangi orang lain bukan seperti … .

Teman adalah …

Saya sebenarnya tidak mengerti apa pentingnya moto. Kenapa harus ditanyakan di kebanyakan formulir. Bahkan saat formulirnya (sebenarnya) tidak memedulikan kondisi sang pengisi formulir, misalnya formulir pendaftaran iktikaf atau kebanyakan formulir lainnya. Saya bahkan tidak yakin kalau ruas moto tadi bakal dibaca oleh si panitia.

Prinsip? Okelah prinsip memang harus dimiliki setiap orang. Manusia tanpa prinsip akan sulit menjalani kehidupannya dengan konsisten dan lancar. Akan tetapi, menuangkan prinsip tersebut ke dalam ranah kata-kata adalah hal yang sulit dan tidak penting. (Tentu saja ini adalah alasan yang dibuat-buat oleh orang seperti saya yang malas membuat moto).

Bahkan Sakata Gintoki yang mengaku menjaga prinsipnya dalam-dalam tidak punya moto. Orang-orang (nyata) yang terkenal dalam sejarah manusia juga apa punya moto? Kutipan (quote), nasihat, atau kata mutiara mungkin iya. Moto? Tidak pernah dengar saya. Gandhi? Einstein? Gates? Obama? Siapa yang tahu moto mereka apa. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW saja setahu saya tidak pernah menyebut-nyebut moto. Cukuplah prinsip islam yang sudah jelas dan rinci itu saja yang menjadi dasar perjalanan hidup kita. Tidak perlu ada tambahan kata-kata lagi.

Start-up saya dan teman-teman nih. Membantu UKM sandang pelosok dengan mempromosikan produknya lewat internet dengan eCommerce. Kunjungi www.sandangindonesia.com dan beli sandang indonesia (batik, tenun, tapis) langsung online.

Siapa sih penemu moto. Jadi kesel juga nih.

Kalau perusahaan mungkin perlu lah moto atau slogan. Misalnya Sandang Indonesia, slogannya Khazanah Budaya Jatidiri Bangsa. Nokia Connecting People. Google dengan don’t be evil-nya. Perusahaan soalnya akan selalu dilihat orang dan ia memang berurusan dengan pelanggan jadi butuh bumbu yang catchy untuk meningkatkan kesan dan pamor serta keakraban dengan pelanggan. Juga sebagai janji prinsip yang diumumkan untuk jaminan terhadap gerakannya.

Moto untuk manusia biasa? Rasanya agak aneh. Bahkan saya mencari moto bagaimana yang bagus dan sering dipakai orang pun susah. Tidak percaya, coba saya sendiri di Google. Ada juga kata-kata mutiara dari orang-orang besar.

Lagipula moto itu kan cuma kata-kata cantik. Oke lah, maknanya bisa mendalam. Membuat orang terkesan. Memberi inspirasi. Namun, kata-kata ya tetap kata-kata. Terus? Setelah pamer ke orang, setelah orang tahu, setelah orang terkesan bagaimana? Ada yang berubah? Ada yang spesial? Apa orang itu bakal ingat? Atau kamu bakal ingat kalau orang itu tahu? Kalaupun iya hal itu cuma membebani diri saja kan. Dan dunia tidak akan berubah dengan moto tersebut. Cih… Membuat saya ingin berteriak :

The World Can’t Be Changed with Pretty Words Alone, guys!

Eh, hey… Tunggu dulu.

Kayaknya keren juga tuh kalimatnya. “The World Can’t Be Changed with Pretty Words Alone“, Mantap! Lumayan cocok dengan saya yang tidak suka dengan permotoan. Kutipan (quote) ini diucapkan dari orang keren juga pula,  Lelouch Lamperouge (Code Geass). Keren kan.

Artinya juga lumayan mendalam tuh. Dunia tidak dapat diubah hanya dengan kata-kata cantik belaka. Wah! Kalau dipikirkan lebih mendalam, kalimat tadi berarti kita tidak boleh cuma omong doang, kan? Pejabat tidak boleh hanya tebar janji kampanye saja. Ustadz juga tidak boleh hanya menasihati. Yang terpenting bukanlah kata-kata cantik, tetapi aksi. Wow keren.

Baca Selengkapnya

Kutipan Galau Minggu Ini

Sisi Ikhwan

Pilihan memang banyak tetapi seorang ikhwan itu harus tegas dengan pendiriannya. Makanya sebelum memutuskan harus dipertimbangkan ke depannya gimana. (Abdurrisyad Fikri, 2012)

Asbabul Wurud: Saya (penulis) berubah pikiran dari malas ikut menjadi mau ikut jalan-jalan ke Lampung melihat UKM Ruwa Jurai untuk kepentingan www.sandangindonesia.com. Karena yang ikut ternyata dua orang dan penulis kasihan, penulis pun memutuskan untuk ikut. Ternyata setelah diputuskan untuk ikut ternyata malah tiketnya cuma dibelikan dua dan akhirnya kemalasan ikut yang pertama tadi pun terejawantahkan.


Sisi Akhwat

Bila berada dlm suatu situasi dimana anda hendak pergi tetapi kendaraan yg telah anda tunggu2 tak kunjung muncul… Ya sudah tidak ada salahnya anda mencoba berjalan saja… Bila setelah berjalan lalu kendaraannya lewat, ya sudah naik dan teruskan perjalanan… Tak perlu lama2 berdiam diri dalam kegalauan… Life must go on ^^. (Indah K*rniasari, 2012)

Asbabul Wurud : Tidak diketahui. Kutipan (quote) hanya diambil sepihak oleh penulis dari status Facebook pengutaranya. Dialog lanjutan dari kutipan di atas adalah.

RA: Kalo udah siap langsung aja ukh, mending naek taxi ajah. Khan bisa di telpon.

IK: Jangan naik taxi lah…. Nyari yg lebih hemat. 😀 atau ada info yg lagi promo.

RA: Heh, di analisa dong ukh. Masa mau cari yang promo???? Belum tentu kualitasnya joss. Biar mahal tapi aman. Jangan lama2 loch ukh nunggu sendirian bahaya.


Simpulan

Hmm.. Di masa menjelang dewasa ini, apa pun bisa menyerempet ke arah sana ya.

Everyday Life ~ Batik

I admit that these pictures are not my everyday life looks like. But, these pictures show the face of those who struggle to conserve our county culture everyday.

Pembuatan Batik
Batik : Paint on Cloth

Batik is one of treasures, cultural treasures of Indonesia. Batik is recognized as national outfit and now used widely on the country. Civil servants and workers is obligated to wear Batik for a certain days of their work day. Some occupations even make Batik as it’s uniform such as stewardess. Batik is the pride of Indonesia.

So many style and technique has been found to enhance batik. It is no longer a traditional cloth. It is also no longer a national formal outfit to attend office work, business meeting, or party invitation anymore. It is one of the fashion and can be used in all kind of occasion on all kind of cloth type. It has many styles: traditional style, young style, and modern style. Even the abstract one has come to the surface in the last few years using mathematical equation called Fractal Batik. It is also used not just as cloth but also as bag and wallet’s motive, sandals, curtains, sheets, and even just a decoration.

The National Batik Day is 02 Oktober. It is often celebrated by people by wearing batik outfit for the whole day.

Ibu-ibu Sedang Membatik
Drawing Patten on Cloth (Batik)

But for them, the craftsmen in the pictures, all of mentioned above doesn’t matter very much. Batik is mostly produced countryside far from city by a group of villager. They usually form a Small Medium Enterpise aka UKM (Usaha Kecil Menengah). Their handmade batik is bought by a wholesaler or distributor for cheap. The products then move from one distributor to another  until it reaches some big shop or mall. The price of course highly increased BUT in the end, the one who made it,  SME craftsmen, got none from this value raising. They can’t developed much because of this system and their distance from the city. And they don’t have the motivation and method to to so. They satisfied just for the way they are.

The other problem is production method. High quality batik is made by hand: handmade. But, nowadays there is technique that use machinery to produce it. It is called Printing Batik. Just like the name, the method use printer to print batik pattern in a piece of fabric. It can be mass produced for a very cheap cost.

But, this is just plain wrong. It should be noted that Batik is not (just) about the motive. It is the technique to draw or paint the motive by hand and canting. It is the way of life (maybe). The entrepreneur who developed Printing Batik just killing the very villager who conserve the culture. They mass-produced low quality “batik” cloth with a slightly cheap price. They eat business area from the SME craftsmen. They not even try to conserve the culture of batik.

There is more than that. Indonesia is a vast country. Batik is just one of who-know-how-many of Indonesian traditional clothing. The other most well-known one is Tapis, Ulos, and Songket. It is a very valuable art.

Unfortunately, batik is our only golden child. The rest is not either popular nor have attention.  The craftsmen or SME who produced it got worse condition from the one who produce batik. To make thing worse, batik comes from Java Island where most of Indonesian market and civilization is concentrated. It is supported by government too (which is mostly of course from Java Island). This non-batik cultures with the same richness which comes from another island just don’t have a place. Too far from country center is too far. It’s conservationist is just a few. Some of the culture is so expensive and hard to find or even near extinction.

Membuat Batik Celup
Dyeing the Batik

And this is where these craftsmen’s life and my life crossed path. I and my friends come up with a solution to help the craftsmen promote their goods and to popularize the traditional clothing from all culture in Indonesia. Not just batik, but all kind of Indonesian proud clothing. We intend to promote it internatially of course. That is our ambition. But let’s take things step by step slowly.

We build a start-up company named Sandang Indonesia. Literally, it means “Indonesia’s clothing”. The company holds a site www.sandangindonesia.com which host a blog to give information about Indonesian culture especially the traditional cloth. The site is launched (read: announced) to public last week on September 14th, 2012. The blog serves as a catalog to the vast culture of Indonesia.

We also have a eCommerce. We will reach those UKM that far from city and the products’ is hard to propagate. We will encourage them to use technology such as internet (yeah, most of them knows little technology or even afraid of it) and train them ourselves if necessary. On our site, we will promote their goods FOR FREE. They will join the eCommerce and input their goods themselves (including the price). We involve the SME in our business process so that they can accostumed to technology and online marketing themselves. Then, people can buy the SME’s goods directly from the www.sandangindonesia.com eCommerce (just like standar eCommerce). In this way, we cut the distribution line short and the rest is Bussiness (the SME craftsmen) to Customer direct interaction.

Sandang Indonesia
Our newly launched start-up : Sandang Indonesia

We admit that eCommerce is not popular yet for Indonesian people. But in the last few year, our people slowly have the courage to buy something online. We hope this simple technology can help the SME craftsmen to get a higher position than they already are, Internationally.

October the 2nd, coincide with National Batik Day, the online shop of www.SandangIndonesia.com will be open to public. And then, the SME’s product will be ready to bought and delivered to any point in Indonesia.

We hope you support us. Even you are not an Indonesian,
please visit our site http://www.sandangindonesia.com
and our Facebook fan page http://www.facebook.com/sandangindonesia
and give your support (like, comment, critique, or whatever that can motivate us further).

I am sorry for the inconvenience of language presented because we are not ready for International release yet, so just bear with Indonesian language or Google Translate. 😀

Thank you very much, and see you on the next Weekly Photo Challenge and on the National Batik Day (2nd Oktober).


Note.

The photos above was taken from one SME on Gunung Kidul, Jogjakarta and Cawas, Klaten, Central Java, when we visit the SME.

Baca Selengkapnya

My Startup : Sandang Indonesia

Weekly Photo Challenge: Near and Far ~ Goat and Boat

Goat and Boat

Hey everybody. It’s been a while since my last post on Dailypost Weekly Photo Challenge. The theme is gradually harder and harder and I can’t come up with it. So, shame me. Fortunately, this week is easy enough for me. Welcome back, me!

Long story short, the theme this week is near and far. Well, as you can see in the picture above, near camera is a goat and far from camera is a boat passing. This rather funny picture – I don’t know what the goat’s doing in the port – is taken at Panton Port in Tanjung Balai Asahan, North Sumatera, Indonesia. The goat and his friends maybe just taking a walk on the sunny evening.

Okay, I think that’s my share this week. I am looking forward to the next photo challenge too.

Baca Selengkapnya

Membentengi Diri dan Keluarga dari Ancaman Dajjal (2) ~ Masalah dan Solusi

Oleh Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag.
Khutbah Idul Fitri 1433 H – 2012 M. Institut Teknologi Bandung.

Tidak mengada-ada jika kami katakan bahwa kini Dajjal telah menyusup dan memengaruhi seluruh sendi kehidupan kita. Dajjal menyusup dalam hiburan dan pakaian, menyusup kepada remaja dan orangtua, menyusup kepada sistem ekonomi dan politik, bahkan menyusup mula ke dalam simbol-simbol islam.

Kini hampir semua orang menggunakan internet sebagai sumber informasi. Internet sangat bermanfaat. Akan tetapi, disana terdapat pula berbagai macam informasi yang sebetulnya bisa merusak akhlak antara lain situs-situs yang bersifat pornografi.

Kami beristighfar ketika membaca hasil penelitian sebuah tim, bahwa di suatu provinsi, lebih dari 50% remaja usia SMP-nya sudah melakukan hubungan sebadan. Naudzu billahi min dzalik. Sangat mungkin ketika di rumah anak-anak kita seperti anak soleh, pura-pura awam soal itu tetapi di luar rumah ternyata mereka berbuat maksiat. Mengapa mereka melakukan zina? Sangat mungkin karena anak-anak kita tidak tahu besarnya dosa zina, tidak tahu bagaimana akibat perbuatan zina, baik di dunia maupun di akhirat.

Kasus yang sering terjadi pada malam pengantin, perumpuan tidak lagi virgin. Suami yang mendapatkannya, walaupun suami itu sebenarnya tidak begitu baik perilakunya, tetap saja tidak sudi menerima hal tersebut. Suami itu lantas menghadapi dilema besar antara mencerai istrinya atau terus berumah tangga. Diceraikan akan memalukan keluarga. Tidak diceraikan akan melahirkan perasaan jijik yang amat luar biasa.

Berbagai kasus rumah tangga yang tidak harmonis, hampir 50% disebabkan oleh tidak perawannya si istri pada malam pertama. Suami akan memandang sangat rendah kepada istrinya. Siang malam sang istri akan mendapat hinaan. Akibatnya sang istri menderita batin selama hidup. Sang istri hanya diam dan stress. Mengadu kepada ayah tidak mungkin. Curhat kepada teman pun mustahil. Penderitaan ini bisa dialami oleh perempuan tersebut hingga beranak cucuk, bahkan sampai mati. Tidak ada akibat zina yang ringan. Semua akibatnya amat berat dan panjang. Akibat ini, sebelumnya sama sekali tidak terbayangkan. Pantas jika Allah SWT memperingatkan kita dengan keras:

“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” [QS. Al Isra (17) : 32]

Dajjal Menebarkan Seni Buka Aurat

Kini di mall-mall, para wanita baik muslimah maupun nonmuslimah sudah banyak yang berani berpakaian minim sehingga orang-orang bermoral yang melihatnya menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Perlu diketahui bahwa dasar falsafah fesyen Dajjal adalah seni membuka aurat, sedangkan dasar falsafah fesyen di dalam Islam adalah seni menutup aurat. Kedua hal ini sangat berbeda secara fundamental.

Banyak muslimah ketika shalat memakai mukena yang menurut seluruh auratnya. Ada sedikit rambut keluar pun segera dirapikan. Kain di ujung tangan ditarik memanjang. Pokoknya tertutup rapat sekali. Akan tetapi, setelah shalat pamer aurat lagi. Hadits mengatakan bahwa di akhir zaman nanti banyak perempuan yang berpakaian tetapi telanjang “as-sailat al-mumilat”. Hadits menyatakan

Baca Selengkapnya

Membentengi Diri dan Keluarga dari Ancaman Dajjal (1) ~ Pendahuluan

Oleh Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag.
Khutbah Idul Fitri 1433 H – 2012 M. Institut Teknologi Bandung.

Di pagi hari yang cerah ini, 1 Syawal 1433 Hijrah, segenap kaum muslimin di berbagai belahan bumi, duduk bersimpuh merendahkan hati, sambil mengucapkan takbir: Allahu Akbar, mengucapkan tahlil: Laa ilaha ilallah, dan mengucapkan tahmid: wa lillahi al-hamd. Suaranya bergemuruh memecahkan senyapnya pagi. Ucapan takbir mengikis sikap sombong sampai ke akar-akarnya. Ucapan tahlil adalah penegasan bahwa kita tidak sudi diperbudak baik oleh harta, tahta, maupun wanita, tetapi hanya siap diperbudak oleh Allah SWT semata. Adapun ucapan tahmid sebagai ungkapan merendahkan hati mengikis sikap sok suci.

Dengan mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid di hari Id yang suci ini, setam terkapar kepanasan, iblis pun menjerti histeris karena mereka telah dikalahkan oleh orang-orang yang shaum. Mudah-mudahan Allah menerima ibadah ramadhan kita, baik shaum, tawarih, tadarus Alquran, sedekah, zakat fitrah, iktikaf serta segenap amalan ramadhan lainnya. Mudah-mudahan kita menjadi pemenang dalam pertaruran melawan nafsu syaithaniyah: Taqabalallahu minna wa minkum. Mudah-mudahan Allah menerima segala ibadah kami dan ibadah kamu. Tawabbal yaa Karim. Amin.

Aidin wal aidat rahimakumullah

Tujuan shaum adalah la’allakum tattaqun yakni mewujudkan insan-insan yang bertaqwa. Apakah taqwa itu? Taqwa berasal dari kata waqaya – yaqywiqayatan yang artinya hidup berhati-hati. Orang yang taqwa adalah orang yang selalu berhati-hati dalam segala hal: berhati-hati dalam berbicara, berhati-hati dalam makan dan minum, dalam berpakaian, dalam berekonomi dan berpolitik, dll. Sikap hati-hati disini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran melanggar nilai Ilahiyah, nilai-nilai Alquran – tata cara hidup yang telah digariskan oleh Allah SWT.

Taqwa itu bertingkat-tingkat. Kita menginginkan taqwa yang integral, menyatu antara semua unsur diri. Ingatlah bawama manusia memiliki lima unsur yaitu tubuh, perilaku, kesadaran, nurani, dan nafs. Orang yang taqwa integral atau kaffah adalah orang yang tubuhnya bersih luar dan dalam. Tubuh luarnya bersih dan sehat, kalau bisa harum. Tubuh dalamnya pun terhindar dari darah dan daging yang haram. Perilakunya baik dan memesona, memukau banyak orang. Kesadarannya untuk melakukan hak dan kewajiban sangat tinggi. Hati nuraninya ikhlas, ridha, dan senang berbagi. Nafs-nya adalah nafs yang muthmainah, yakni nafs yang senantiasa tunduk dan taat total kepada sang pencipta, bukan nafs yang memberontak kepada ketentuan Allah.

Orang yang taqwa bukanlah orang yang tanpa cacat dan terbebas dari kesalahan tetapi apabila ia melakukan kesalahan atau khilaf, ia segera bertaubat kepada Allah. Di dalam Alquran surat Ali Imran ayat 135 ditegaskan sbb.:

“(Orang yang bertaqwa) isalah orang yang apabila mengerjalan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka segera ingat kepada Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya. Selain Allah, siapa lagi yang dapat mengampuni dosa mereka? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedangkan mereka mengetahui”

Kebalikan dari taqwa adalah kufur. Orangnya disebut kafir. Apa itu kafir? Kafir adalah menolak atau memberontak kepada ketentuan Allah. Orang kafir terbagi dua yakni kafir maghdub dan kafir dhallin.

  1. Kafir maghdub adalah orang yang sengaja memberontak kepada Allah. Siapakah mereka itu? Antara lain adalah iblis. Ia bersikap amat sombong dan dengan terang-terangan membantah perintah Allah. Selain Iblis, siapa lagi? Ada Raja Namrud di Babylon, Firaun di Mesir, Abu Lahab dan Abu Jahal di Mekah, serta orang Yahudi. Siapapun yang tidak mau melaksanakan Alquran adalah kafir maghdub. Sangat mungkin mereka membaca, menghapal, dan memahami Alquran tetapi mereka tidak mau melaksanakannya, misalnya berbuka aurat, bergelimang dalam bunga riba, pergaulan semau gue, mengakui dan menaati hukum yang bertentangan dengan hukum Alquran, dll. Itulah kafir maghdub (yang sangat dibenci Allah).
  2. Kafir dhallin adalah orang yang tersesat. Apa maksud tersesat disini? Yaitu mereka yang merasa benar padahal berada pada jalan yang salah. Mereka mengakui adanya Allah, beribadah kepada Allah, memiliki semangat ibadah, bahkan siap mati sebagai martir dalam membela agamanya. Sayangnya, konsep mereka sangaty salah, keliru besar, tetapi mereka sama sekali tidak menyadarinya. Ia merasa benar padahal salah. Itulah orang yang tersesat. Misalnya, mereka meyakini bahwa Allah memunyai anak. Ini syirik besar, orangnya disebut musyrik. Atau mungkin juga mereka salah dalam memilih dan meyakini Tuhan.

Baca Selengkapnya

Informasi Singkat tentang Tanjungbalai, Asahan

Jika aku akan pulang kampung, entah kenapa orang selalu menyebut “kapan pulang ke Medan?”. Yah, mereka yang menyebut seperti itu sebenarnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bagaimana tidak untuk kemudahan saya juga menyebut kota Medan sebagai tujuan pulang. Jika saya menyebut Tanjungbalai, kemungkinan besar pendengar akan bingung dan percakapan bisa lebih panjang. My bad.

Sebenarnya mental seperti ini muncul akibat sentralisasi peradaban Republik Indonesia di salah satu pulau di negeri ini, sebut saja Pulau Jawa. Orang yang bertempat tinggal di pulau jawa bisa dengan percaya dirinya menyebut “Besok saya pulang ke Klaten”, “Yo, pamit ke Sukabumi dulu”, “Saya kerja di Gresik”, atau “Saya masih di Cianjur euy”. Sangat jarang yang menyebut “saya mau ke Jawa dulu” atau “saya mau ke Surabaya dulu” padahal tujuan akhirnya Probolinggo. Bahkan orang Cimahi tidak akan salah menyebut Bandung saat akan pulang kampung padahal jarak keduanya sama seperti jarak Bikini Bottom ke rumah Spongebob.

Orang-orang yang mendapat kemudahan ini kemudian seenaknya menyebut nama ibukota provinsi atau bahkan nama provinsi untuk menyebut titik manapun di provinsi itu. “Kamu di Medannya dimananya?” padahal rumahnya di Kisaran. “Eh, rumahmu di Aceh ya” atau “di Bengkulu ya”. “Kapan pulang ke Bali?”. Lebih parahnya lagi, para pendatang entah juga karena supaya pendengar mudah berbicara atau memang dirinya sendiri kurang mengenal mengenai kota-kota di provinsi asalnya melakukan hal yang sama. Di jawa, mereka berkelakukan seperti orang-orang modern tersebut: menyebut segala kota di luar jawa baik asal daerahnya maupun provinsi lain dengan nama ibukotanya. Well, I condemn them all, including I myself. But I can’t do anything about it.

Dengan demikian, demi propaganda, saya ingin memberikan beberapa informasi singkat untuk memberikan bibit nama kota di luar jawa selain nama ibukota provinsi sekaligus mengedukasi pembaca mengenal kota tempat saya tinggal sekarang. Informasi ini diperoleh dari buku Tanjungbalai Kota dalam Angka, situs pemerintah Kota Tanjungbalai, situs BPS Tanjungbalai, dan cerita penduduk dan keluarga disini.

  • Kota ini sering disebut Tanjungbalai Asahan meskipun sudah bukan bagian dari Kabupaten Asahan lagi untuk membedakan dengan kota bernama sama Tanjungbalai di Kepulauan Karimun, Riau.
  • Walaupun nama aslinya disambung: Tanjungbalai, kota ini sering dipisah menjadi Tanjung Balai atau disingkat menjadi Tg. Balai.
  • Tahun 1980an kota terpadat di Asia Tenggara kira-kira kota mana ya? Ya, Tanjungbalai. Dengan luas hanya 199ha (2 km²), waktu itu Tanjungbalai memiliki penduduk 40.000 jiwa. Dengan demikian, kepadatan populasi adalah 20.000 jiwa/km². Bandingkan dengan kepadatan DKI Jakarta sekarang yaitu 14.000 jiwa/km2. Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi ± 60 km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan. Tahun 2011 lalu penduduk Tanjungbalai mencapai 150.000 jiwa dengan wilayah terpadat adalah kecamatan Tanjungbalai Utara dengan kepadatan 21.000 jiwa/km².

Tanjungbalai : Saya (Akhirnya) Pulang (2) ~ Terbang dan Mendarat

Bandung – Medan

Perjalanan Bandung – Medan memakan waktu kurang lebih 2 jam 20 menit. Jika pesawat berangkat 16.50, ETA 17.10. Saya sampai di bandara sekitar pukul 16.40. Bandara Husein ternyata lumayan kecil. Teras kedatangan dan ruangan check in begitu dekat. Tempat turun dari taksi ke pengecekan barang pertama pun cuma beberapa langkah. Resepsionis ke tempat pembayaran pajak bandara dan tangga ke pintu masuk ruang tunggu juga cuma sekali salto. Entah ini memang dermaga ini saja atau di sebelah ada dermaga lain, saya lupa mengecek.

Setelah datang saya langsung masuk ke bandara. Di pintu kedatangan bandara, langsung ada pengecekan barang dengan pintu radiasi itu. Kemudian beberapa meter ke kiri tampaklah deretan resepsionis setiap maskapai. Saya pun mendatangi antrian maskapai Lion Air yang menuju Medan. Mungkin saya kepagian jadi antriannya hanya 2 atau 3 orang saja. Saat antre, saya mendengar petugas berkata ke tentara yang antre di depan “Di koper sudah tidak ada barang elektronik kan pak?” Hoo, nggak boleh saya. Pikir saya yang memasukkan harddisk ke koper. Saat saya maju, anehnya saya tidak ditanyakan hal yang sama, Mungkin karena petugas bandaranya sudah beda. Akhirnya, saya yang bertanya. Walaupun hanya harddisk, saya pun disuruh untuk mengeluarkannya. Ya sudalah, demi bapak juga, katanya. Oh, ternyata alasan keamanan kalau-kalau kopernya dibobol barang berharga tidak hilang.

Saya pun check in dengan print out e-tiket tadi. Identitas yang saya pakai adalah paspor. Kenapa? Apa KTP tidak boleh? Boleh sih, Tapi saya pikir nggak keren aja gitu. Hehe… Kalau yang dikeluarkan paspor kan lebih bonafit gimana gitu. Kebetulan saya sudah punya paspor walaupun belum berkesempatan jalan kemana-mana. Daripada tidak dipakai, ya sudah. Jadi pengganti KTP saja. Belum ada e-KTP, paspor pun jadi. Lebih keren pula.Ruang Tunggu Bandara

Ruang tunggu bandara ada di lantai dua. Jika dibandingkan Soekarno Hatta, Polonia, atau bahkan Beranti, ruang tunggu Husein Sastranegara ini sangat kecil. Sumpek. Mungkin karena yang menunggu sudah cukup banyak. Lebar ruangan mungkin lumayan bersaing dengan ruangan di GKU Barat ITB. Di salah satu sisi ruang tunggu ada mushola kecil yang menghadap lapangan parkir pesawat. Mushola ini hanya memiliki empat shaf yang tiap shafnya muat tiga orang. Lumayan lah, daripada tidak ada. Tempat wudhu ada di dalam toilet di sebelah mushola. Keduanya cukup bersih untuk ukuran fasilitas publik.

Setelah shalat Ashar, masih ada waktu satu jam untuk menunggu keberangkatan pesawat. Karena hari ini agak sibuk, saya jadi mengantuk. Maklum. Mandi jam 5. Ke kampus untuk shalat id dengan masjid salman jam 6. Selesai shalat dan khotbah jam 8 kurang. Lalu saya foto-foto kampus mumpung sepi dan berbunga. Pulang makan sebentar kemudian siang ke open house pak rektor, Pulang jam 2 kurang. Eh, belum packing. Satu jam dipakai untuk mengisi koper, merapikan kamar, cuci piring dengan buru-buru lalu langsung berangkat cari taksi. Yang paling melelahkan adalah naik taksinya. Walaupun hanya sekitar 15 menit, saya memang agak lemah terhadap transportasi darat berkapasitas udara sedikit. Akhirnya, saya tidur di ruang tunggu sambil H2C, semoga tidak kebablasan tidurnya.

Sambil mengantuk-ngantuk, saya mendengar penumpang Lion Air ke Medan sudah dipanggil ke pesawat. Waktu masih tersisa 30 menit sebelum 16.50. Wah, cepat juga, pikir saya. Ternyata persiapan pesawat untuk lepas landas, mulai dari berputar dari tempat parkir ke landasan, menunggu izin terbang, hingga pramugrai memeragakan peragaan yang cuma diperagakan pramugari memakan waktu hampir 30 menit. Hmm…

Pesawat Yang Dinaiki

Bandara Husein Sastranegara dekat dengan Masjid Raya Habiburrahman. Titik awal lepas landas pun tepat berseberangan dengan masjid. Tampak dari kejauhan, pinggir jalan dan pagar masjid dipenuhi puluhan penonton yang ingin menyaksikan kami terbang. Ada yang berdiri, duduk, ada anak-anak ada bapak-bapak. Nggak kelihatan orangnya sih, tapi posturnya tetap terlihat lah. Kalau pesawatnya kepeleset atau meledak meledak, bagi mereka yang menonton keren dan merupakan momen langka kan, bagi kami yang di pesawat merupakan akhir dunia. Jadi merinding deh saya.

Baca Selengkapnya

Tanjungbalai : Saya (Akhirnya) Pulang (1) ~ Tiket dan Bandara

Sampai dua hari sebelum lebaran, kepulangan atau ketidakpulangan saya masih belum dapat dipastikan. Beberapa kali saya mengecek tikep pesawat sebelum lebaran saya tidak menemukan harga yang memuaskan. Harga minimal yang dikeluarkan adalah 1,4 juta rupiah. Tentu saja itu tidak bisa dijangkau oleh saya. Hampir putus asa, saya sudah berekspektasi untuk lumutan di kamar kos selama liburan dua minggu ini. Bahkan saya sudah bersiap-siap stok makanan untuk berjaga-jaga suatu saat tidak ada warung yang buka.

Usai shalat jumat terakhir di Bulan Ramadhan, pikiran itu terlintas di saya. Kenapa tidak mengecek jadwal usai lebaran ya, dimana arus mudik sudah mulai turun. Setelah mengecek, wah mengagetkan juga. Ada yang dibawah satu juta pada hari H lebaran. Sekitar 800 ribu berangkat dari Jakarta ke Medan berangkat subuh jam 5.25, nggak shalat id dong. Setelah dicek ternyata Airasia ada juga yang murah dari Bandung ke Medan, tetapi berangkat subuh. Setelah dicek lagi ternyata Lion Air lebih murah hanya Rp660.000 dan berangkat sore jam 5. Kebanyakan penerbangan dari Jakarta lebih murah sedikit daripada dari Bandung. Wajar darisana lebih ramai. Akan tetapi, pergi kesana juga memakan ongkos yang tidak sedikit. Cek sana-sini tanggal lain sebentar, pilihan tanggal lain adalah tanggal 22 Agustus. Ngapain nunggu lebih lama pikir saja. Langsung deh isi form, pesan tiket, dan bayar tiket sambil menemani teman kosan beli oleh-oleh. Dalam kurang dari satu jam, ketidakpastian pulang-tidaknya saya tadi pun berubah. Diputuskan, berangkat Minggu, 19 Agustus 2012 dari Bandung pukul 16.50.

Beli Tiket Pesawat Itu Gampang

Iya lah, yang susah itu bayarnya.

PulangDenganPesawat_thumb.jpg

Bagaimana Anda merencanakan berangkat ke luar kota dengan pesawat? Cara mengecek harga tiketnya? Cara memesannya? Apakah dengan pergi langsung ke bandara atau ke agen perjalanan (travel agent) favorit/terdekat. Atau dengan meminta jasa pengecek harga tiket pesawat pada pihak ketiga yang menawarkan diri di beberapa Forum Jual Beli? Jika begitu, mungkin anda kurang mutakhir dalam hal informasi.

Bukan mengecap Anda yang masih memakai interaksi konvensional sebagai orang yang gaptek. Saya sendiri juga baru dua kali melakukan pemesanan pesawat sendiri selama 22 tahun hidup saya. Maklumlah, baru saat kuliah ini saya bisa terbang jauh sendiri. Cuma dua kali pula. Nggak ada duit gan!

Berkat teknologi informasi khususnya internet, tiket penerbangan setiap maskapai dapat dicek harganya hampir pada setiap tanggal. Pembelian pun dapat online, sama seperti pembelian barang belanjaan online (malah mungkin duluan pemesanan tiket dibanding e-Commerce, CMIIW). Tentu saja hal ini adalah keadaan yang sudah wajar di negara maju. Akan tetapi, di Indonesia pembelian tiket tanpa tatap muka seperti ini sepertinya masih belum begitu lumrah di masyarakat. Agak kurang meyakinkan. Padahal, kemudahan yang ditawarkan sangatlah tinggi, apalagi di era integrasi berbagai macam sistem ini. Pesan tiket, jumlah bagasi, identifikasi paspor, pesan makanan di pesawat, bayar tiket langsung bisa dilakukan. Bahkan kita bisa memesan karpet merah untuk ditaruh di bandara pada beberapa maskapai (Airasia salah satunya).

Jasa agen, pihak ketiga, atau pergi langsung ke bandara biasanya dilakukan supaya bisa membandingkan harga dan tanggal antar maskapai. Meminta tolong mencarikan yang murah. Di web, hal ini agak repot terutama jika internetnya lambat. Harus membuka lebih dari satu tab untuk setiap maskapai. Sebenarnya ada beberapa situs yang menawarkan fasilitas agregat harga tiket. Dengan demikian, harga dari setiap maskapai bisa dibandingkan lengkap beserta jadwalnya.

Situs perjalanan seperti itu yang terkenal di dunia adalah Baca Selengkapnya

Blue Rose dan Bunga di Tepi Jalan

Mawar biru alias blue rose adalah mawar yang tidak ada secara alami di alam. Mawar tidak memiliki gen untuk menghasilkan warna biru. Akan tetapi, manusia tidak kehabisan akal. Biasanya mawar yang berwarna biru, seperti gambar di atas, diwarnai dengan zat pewarna. Mawar yang tadinya berwarna putih dicelupkan sehingga berubah wujud menjadi lebih indah. Manusia juga tidak puas sampai disana. Rekayasa genetika pun dilakukan untuk membuat mawar berwarna biru dari lahir bukan pada saat dia mati. Meskipun hasilnya sebenarnya belum bisa disebut biru, hanya sekedar ungu saja.

Selain kebangsawanan, mawar biru menyimbolkan usaha manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin. Penggapaian cinta yang tak dapat dijangkau. Misteri hidup. Dan terwujudnya impian.


Ibunya Bergaya Saat Difoto

Penjual Bunga di Simpang Dago

Dua hari sebelum lebaran, pinggir Jalan H. Juanda atau yang lebih dikenal dengan Jalan Dago sudah dipenuhi para penjual bunga. Tidak seperti dua tahun lalu, bunga-bunga yang meramaikan simpang dago kali ini berlangsung dua hari. Mungkin karena waktu lebaran dan liburan sangat dekat dengan waktu masuknya perkuliahan dan liburan tengah tahun. Kali ini pula, langit dapat bekerja sama dengan tidak mengeluarkan cairan kesuburannya. Akan tetapi, ini berarti foto-foto kembang yang akan saya ambil tidak punya bintik-bintik air dan efek segar di kelopak bunganya,

Sebenarnya artikel ini persis dengan artikel yang saya tulis dua tahun lalu Flower In The Holy Night minus kalimat puitis yang menggambarkan sore berintik hujan di malam kemenangan waktu itu. Hanya mawar biru dan filosofinya yang entah menggambarkan keadaanku sebelah manany apada saat ini. Akan tetapi, artikel ini tetap saya tulis untuk sebagai pelengkap artikel dahulu saja. Waktu itu foto-fotonya agak gelap karena magrib telah usai. sekarang ini yang fotonya saya ambil di siang hari. Semoga pembaca bisa menikmati foto-fotonya saja.

Bunga di Tepi Jalan

Bunga di Tepi Jalan

Bunga yang dijual di tepi jalan ini bermacam-macam. Mulai dari mawar merah, putih, orange, pink, hingga biru. Sisanya saya tidak tahu karena nama bunga yang saya tahu hanyalah mawar. Ada yang mirip bunga matahari juga sih seperti pada gambar di bawah tetapi sepertinya bukan deh.

Baca Selengkapnya

Open House Rektor ITB saat Idul Fitri

Foto bersama rektor dan teman dari Malaysia

Hanya ada tiga kesempatan untuk bersalaman dengan Rektor ITB. Satu, saat wisuda. Dua, saat dapat penghargaan Ganesha Prize. Tiga, saat open house rektor. Satu itu yang terakhir. Dua sangat mustahil. Kenapa tidak yang mengejar yang tiga. (Sidik Soleman, 2012)

Ketika Idul Fitri, saya belum sampai di rumah. Saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Open House Rektor ITB. Sudah tiga tahun memang Pak Akhmaloka membuka pintu rumah dinasnya untuk dikunjungi segenap keluarga ITB. Semua diundang mulai dari staf kerektoran, dosen, hingga mahasiswa (yang tidak pulang). Open house dibuka dari pukul 08.00 hingga 17.00 dan dilaksanakan di Kediaman Dinas Rektor ITB Jalan H. Juanda 153.

Saya datang pukul 10.30. Tadinya saya ingin datang langsung setelah shalat id sekitar setengah sembilan. Akan tetapi, karena saya kebanyakan foto-foto, baterai ponsel saya habis. Saya pun pulang dulu. Belum sarapan juga, cuma minum teh saja tadi pagi. Lumayan, tadi ditawarin ibu kos lontong plus rendang.

Pertimbangan saya datang pukul sepuluhanan adalah supaya agak rame. Kalau banyak mahasiswa yang datang, saya kan tidak mati kutu. Kalau sepi, canggung juga jadinya. Saya datang sendiri soalnya. Nggak ada temen.

Ekspektasi saya tidak salah. Ketika saya datang, lokasi open house ramai oleh orang. Hanya saja. Hmm.. Orangnya itu lho. Bule semua. Arab. India. Korea. Semua berpostur selayaknya orang penting. Ada juga beberapa bapak-bapak pribumi yang sepertinya pejabat atau orang besar setidaknya lah. Pak Rektor sedang sibuk menyambut dan bercengkarama dengan mereka. Saya yang bukan siapa-siapa minder saja. Mana sendiri lagi. Tidak ada yang menyambut. Hanya datang, diam, bengong, foto-foto, bengong, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil makan. Mau salaman dengan Pak Akhmaloka tetapi beliau lagi seru ngobrol.Grup Arab

Makanan yang tersedia mantap-mantap. Worthy for banquet of the rector. Setelah bengong dan bingung sebentar, saya mencoba salah satu cemilan disana. Kentang goreng dan irisan ikan. Karena kursi penuh terisi orang-orang penting, saya pun makan ke luar dekat tempat parkir sana. Sendirian. Sedih banget sih. Sesaat terlintas di pikiran “Foto udah. Makan udah. Sudah bisa cerita di blog lah. Apa pulang aja ya.” Akan tetapi, sudah sampai sini rasanya sayang tidak setor muka ke pak rektor. Jadi saya memutuskan untuk mencari kesempatan untuk mendatangi rektor dan menyalaminya. Namun, mau dikata apa, nasib saya tidak jauh dari tadi. Diam, bengong, foto-foto, bengong, makan.

Baca Selengkapnya

Shalat Idul Fitri di Kampus bersama Masjid Salman

Seperti tahun lalu dan dua tahun lalu, saya tidak mendapatkan kesempatan untuk shalat idul fitri bersama keluarga di rumah. Dua tahun lalu saya shalat idul fitri di dekat kosan dan tahun lalu saya memutuskan untuk ke Metro shalat idul fitri bersama sahabat SMA. Tahun ini saya mencoba shalat id di kampus. Kali ini saya berangkat pukul 05.50 untuk membunuh kemungkinan terlambat shalat seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.

Masjid Salman yang Harus Ditiru

Menurut saya, masjid-masjid lain sebaiknya meniru Masjid Salman dalam banyak hal: pola pengaderan, manajemen, rutinitas, dll. Salah satunya adalah profesionalitas dan sisi informatifnya (loh itu dua ya…). Keinformatifan masjid salman sudah pernah saya singgung dalam artikel Iktikaf di Masjid Raya Bandung.

Pukul enam tepat saya sampai di kampus tercinta. Hari itu motor saya jalankan begitu lambat tetapi waktu yang saya tempuh hanya sekitar 10 menit saja atau kurang. Jejalanan lengang. Suasana sepi. Beberapa pengendara motor bahkan mengganti helm menjadi peci di urat nadi besar kota Bandung jalan H. Juanda itu. Saya memilih parkir di Masjid Salman dibanding di pinggir-pinggir Jalan Ganesha yang sudah disulap oleh orang entah darimana menjadi lapangan parkir mendadak. Jika ada tempat parkir betulan, kenapa kita harus memilih tempat parkir kemarin sore? Iya kan. Tempat parkir ITB di sisi Seni Rupa sebenarnya juga buka – tidak seperti dua tahun lalu, parkiran tutup ketika saya mampir kesini pasca shalat id. Sebaliknya, parkiran basement Salman tutup. Hanya tinggal parkiran ground level saja. Jadilah pikirku.Suasana Berbeda di Gerbang Depan ITB

Sahut menyahut takbir semakin keras semakin saya mendekati kampus. Hari itu kampus memiliki nuansa berbeda dari keseharian. Orang-orang beramai-ramai memakai baju terbaik (dan sepertinya terbaru, kecuali saya) mereka dan mendatangi pusat-pusat keramaian waktu itu: lokasi pelaksanaan shalat id. Raut muka mereka cerah. Senyum tergurat di wajahnya. Suasana kampus di bulan Agustus yang penuh kembang memperindah suasana hari kemenangan waktu itu. Boulevard Kampus Ganesha ITB, lapangan basket, dan lapangan cinta dipakai untuk shalat. Lokasi ini sudah disiapkan baris shaf, perangkat suara, dan hijab pembatas ikhwan-akhwatnya dari bada Maghrib malam sebelumnya. Dari malam, talu takbir terdengar dari lapangan ini,

Di gerbang depan dua, panitia pelaksanaan shalat idul fitri Masjid Salman ITB sudah bersiap. Mereka membagikan sesuatu. Rupanya sebuah buku berisi teks khotbah idul fitri. Wah, seperti pidato sidang terbuka saja pikirku. Pukul enam, tempat shalat masih belum banyak diduduki orang. Baru tiga shaf ikhwan terisi penuh. Aku duduk mendapat posisi shaf keempat. Panitia membagikan koran untuk alas bagi yang tidak membawa sesuatu alas. Aku sendiri dengan bodohnya lupa membawa sajadah. Dari sejak diberi buku teks khotbah tadi aku menyadarinya. Duh… Akan tetapi, aku mempercayai panitia dan tidak membeli koran dari penjual-penjual koran bekas (yang harganya lebih mahal dari koran baru) disana.

Sekitar pukul 06.30 rangkaian shalat idul fitri dimulai. Pelaksanaan dimulai dengan penyampaian informasi-informasi penting. Sambutan. Zakat. Sedekah. Wakaf.  Imam dan khotib. Standar lah ya. Ditambah prosesi pelaksanaan shalat id. Maksud saya, bagaimana shalat id dilaksanakan. Dua rakaat, rakaat pertama diikuti dengan 7 takbir, rakaat kedua diikuti dengan 5 takbir, dll (biasanya hal ini tidak penah disebut panitia id lain mungkin karena dianggapnya jemaah sudah tahu). Setelah shalat, terdapat khotah id yang merupakan ibadah yang menjadi terintegrasi sehingga jika tidak mengikuti khotbah sama saja tidak mengikuti shalat id. Pak Johan -pembina YPM Salman yang menyampaikan informasi waktu itu- menekankan berulang-ulang supaya tidak pulang sebelum khotbah selesai atau ibadahnya nihil (yang ini juga jarang disebutkan panitia id kebanyakan). Setelah id dilarang pula bagi ibu-ibu untuk membuka mukena dan bapak-bapak untuk merokok (yang ini apalagi).Pengumuman-pengumuman

Salman memang selalu informatif. Setiap hendak memulai shalat, lurus, rapat, dan rapinya shaf selalu ditekankan. Isi barisan terdepan dahulu sebelum membuat baru shaf untuk ikhwan dan dari belakang untuk akhwat juga ditekankan. Shaf shalat dimulai dari tengah. Imam akan naik mimbar dan mengecek keempat penjuru barisan jemaah. Shalat tidak akan dimulai sebelum jemaah waktu itu lurus, rapat, dan rapi baik barisan ikhwan maupun akhwat.

Pada waktu pelaksanaan shalat tarawih dan iktikaf, setiap hari prosesi pelaksanaan disebut ulang. Hari ini shalat tarawih berapa rakaat berapa salam. Ceramah kapan. Yang mau ngaji saat ceramah berlangsung bagaimana. Setelah tarawih ada apa. Jika mau shalat witir nanti pagi bagaimana. Mulai shalat malam jam berapa. Setiap hari sehingga jika ada jemaah yang kebetulan baru mampir di Salman malam itu, mereka juga bisa mengikuti tanpa bingung. Setiap mulai dua-rakaat tarawih juga disebut ini rakaat berapa dan keberapa. Dengan demikian, kita tidak pelu pusing atau panik duh, udah sampai rakaat berapa nih. Hal-hal informatif dan profesional seperti ini jarang (atau hampir tidak pernah selain di Salman) saya temui di masjid-masjid lain. Biasanya, kalau shalat tarawih ya langsung shalat. Kalau ternyata mereka tarawih 20 rakaat atau 46 rakaat, ya itu urusan jemaah nantinya. Surprise!

Stupidly stubborn people are everywhere

Beberapa saat setelah saya duduk di shaf saya, shaf keempat pun penuh. Di belakang shaf kelima dimulai dari pojok kanan. Memang hal ini diatur oleh panitia supaya nantinya shaf tetap bisa rapi dan rapat walaupun shalat dilaksanakan di luar ruangan dan dengan beralaskan koran. Jika semua membentuk shaf dengan merapat ke kanan, rapi kan jadinya dibanding jemaah dibebaskan mau mulai duduk darimana. Kalau titik duduk awal dibebasacakkan, shaf bisa terpecah bahkan saat masih duduk (sebelum shalat) atau sebelum duduk. Pengaturan barisan duduk dilakukan untuk menangani hal ini.

Teorinya begitu.

Faktanya, ada beberapa orang di dunia ini yang tidak mau diatur dengan peraturan sekecil apapun. Mereka mementingkan diri sendiri dibandingkan umat. Jika tidak ada untung buat mereka, ngapain ikut panitia. Mereka berbuat seenak udel mereka. Tidak tahukah mereka panitia itu ada dan peraturan itu ada supaya semua pelaksanaan berjalan dengan lancar.

Di belakang saya, seorang bapak tua (bersama entah anaknya atau temannya) duduk di tengah shaf. Panitia yang mengatur setiap kedatangan jemaah yang ada mengajak bapak tersebut ke pinggir kanan yang baru dihinggapi 4 orang dari pinggir. Sesaat bapaknya menoleh ke kanan, refleks sedikit geser dan mengangkat sajadahnya. Akan tetapi, baru satu langkah bapak itu kembali ke posisi semula dengan muka bersungut sambil berkata “Halah! Sama aja lah dek. Udah lah disini aja. Ngapain disana. Disini bisa enak ngeliat khotib”. Panitia yang masih mahasiswa tentu tidak bisa membalas perkataan seorang yang beberapa dekade lebih tua darinya.

NB: Ini belum shaf buat shalat loh ya. Masih untuk duduk dan merapikan dulu. Sebelum shalatnya kan duduk dulu agak lama sekitar 60 menit dari pengisian shaf pertama. Nanti kalau shalat bisa langsung geser-geser dan merapat-rapat ke tengah. Shaf shalat yang harus dari tengah yang harus di atur cuma shaf shalat yang paling belakang saja. Dengan demikian, bisa meminimalisasi perpindahan shaf yang pastinya bakal lebih susah lagi tuh orang-orang untuk menggerakkan pantatnya (biasanya karena males menggeser sajadahnya atau pisah dari keluarganya). Coba lihat gambar ke tiga yang portrait tepat di belakang saya di sekitar tempat duduk bapak yang tadi.Tengah dibanding pinggir

Saat mendengar itu langsung kalimat itu terlintas di pikiran saya, pakai bahasa Inggris: “Cih, stupid stubborn people are everywhere”. Even in this holy occasion.

Beberapa waktu lalu, di Masjid Salman saat Shalat Jumat, ada telepon yang berdering. Padahal sudah diperingatkan beberapa kali oleh panitia shalat jumat. Okelah, kalau berdering saat shalatnya sih agak wajar. Sudah sering terjadi orang-orang bodoh seperti itu. Bisa jadi mereka lupa, atau khilaf, atau tidak mendengar perkataan panitia, atau tidak tahu kalau hapenya hidup saat shalat jumat itu sangat mengganggu dan harus dimatikan segera walaupun harus bergerak di luar gerakan shalat. Harus. Akan tetapi, stupid and stubborn people akan berbeda. Telepon yang berdering waktu itu sudah berdering dalam beberapa kesempatan. Sebelum khotbah jumat. Saat khotbah jumat pertama. Kedua. Dan shalat shalat. Setiap berdering, jemaah di sekitar bapak itu tentu akan memelototi beliau. Mattin woy! Teriak saya dan mereka dalam hati. Akan tetapi, yah stupid and stuborn people are stupidly stubborn. Beliau bahkan tidak merasa bahwa ia bersalah atau mungkin (huznudzon-nya) ponselnya tidak punya mode senyap.

Jemaah yang tidak mau gabung ke shaf yang ada malah di belakang shaf sendirian atau tidak mau merapikan shaf dan merapat ke tengah shaf ketika shalat berjemaah (kalau gitu ngapain shalat berjemaah). Supir yang parkir mobil memakan separuh jalan. Motor yang jalan melawan arus padahal di jalan besar. Penumpang yang BBM-an sesaat pesawat akan lepas landas. Pejabat yang tidur saat rapat DPR. Mereka dimana-mana ya. Bahkan saat shalat idul fitri.

Yah, saya sendiri pernah melakukan sesuatu yang bisa menyebut diri saya stubborn people kok. Sepertinya hal ini terpatri di DNA kita, orang Indonesia.

Beberapa Foto

Sudahlah kesal mengomongi orangnya ya. Berikut beberapa foto yang saya ambil saat shalat idul fitri 1433H 19 Agustus yang lalu.

Baca Selengkapnya