Islam, Kampus Ganesha
Comments 3

Shalat Idul Fitri di Kampus bersama Masjid Salman

Seperti tahun lalu dan dua tahun lalu, saya tidak mendapatkan kesempatan untuk shalat idul fitri bersama keluarga di rumah. Dua tahun lalu saya shalat idul fitri di dekat kosan dan tahun lalu saya memutuskan untuk ke Metro shalat idul fitri bersama sahabat SMA. Tahun ini saya mencoba shalat id di kampus. Kali ini saya berangkat pukul 05.50 untuk membunuh kemungkinan terlambat shalat seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.

Masjid Salman yang Harus Ditiru

Menurut saya, masjid-masjid lain sebaiknya meniru Masjid Salman dalam banyak hal: pola pengaderan, manajemen, rutinitas, dll. Salah satunya adalah profesionalitas dan sisi informatifnya (loh itu dua ya…). Keinformatifan masjid salman sudah pernah saya singgung dalam artikel Iktikaf di Masjid Raya Bandung.

Pukul enam tepat saya sampai di kampus tercinta. Hari itu motor saya jalankan begitu lambat tetapi waktu yang saya tempuh hanya sekitar 10 menit saja atau kurang. Jejalanan lengang. Suasana sepi. Beberapa pengendara motor bahkan mengganti helm menjadi peci di urat nadi besar kota Bandung jalan H. Juanda itu. Saya memilih parkir di Masjid Salman dibanding di pinggir-pinggir Jalan Ganesha yang sudah disulap oleh orang entah darimana menjadi lapangan parkir mendadak. Jika ada tempat parkir betulan, kenapa kita harus memilih tempat parkir kemarin sore? Iya kan. Tempat parkir ITB di sisi Seni Rupa sebenarnya juga buka – tidak seperti dua tahun lalu, parkiran tutup ketika saya mampir kesini pasca shalat id. Sebaliknya, parkiran basement Salman tutup. Hanya tinggal parkiran ground level saja. Jadilah pikirku.Suasana Berbeda di Gerbang Depan ITB

Sahut menyahut takbir semakin keras semakin saya mendekati kampus. Hari itu kampus memiliki nuansa berbeda dari keseharian. Orang-orang beramai-ramai memakai baju terbaik (dan sepertinya terbaru, kecuali saya) mereka dan mendatangi pusat-pusat keramaian waktu itu: lokasi pelaksanaan shalat id. Raut muka mereka cerah. Senyum tergurat di wajahnya. Suasana kampus di bulan Agustus yang penuh kembang memperindah suasana hari kemenangan waktu itu. Boulevard Kampus Ganesha ITB, lapangan basket, dan lapangan cinta dipakai untuk shalat. Lokasi ini sudah disiapkan baris shaf, perangkat suara, dan hijab pembatas ikhwan-akhwatnya dari bada Maghrib malam sebelumnya. Dari malam, talu takbir terdengar dari lapangan ini,

Di gerbang depan dua, panitia pelaksanaan shalat idul fitri Masjid Salman ITB sudah bersiap. Mereka membagikan sesuatu. Rupanya sebuah buku berisi teks khotbah idul fitri. Wah, seperti pidato sidang terbuka saja pikirku. Pukul enam, tempat shalat masih belum banyak diduduki orang. Baru tiga shaf ikhwan terisi penuh. Aku duduk mendapat posisi shaf keempat. Panitia membagikan koran untuk alas bagi yang tidak membawa sesuatu alas. Aku sendiri dengan bodohnya lupa membawa sajadah. Dari sejak diberi buku teks khotbah tadi aku menyadarinya. Duh… Akan tetapi, aku mempercayai panitia dan tidak membeli koran dari penjual-penjual koran bekas (yang harganya lebih mahal dari koran baru) disana.

Sekitar pukul 06.30 rangkaian shalat idul fitri dimulai. Pelaksanaan dimulai dengan penyampaian informasi-informasi penting. Sambutan. Zakat. Sedekah. Wakaf.  Imam dan khotib. Standar lah ya. Ditambah prosesi pelaksanaan shalat id. Maksud saya, bagaimana shalat id dilaksanakan. Dua rakaat, rakaat pertama diikuti dengan 7 takbir, rakaat kedua diikuti dengan 5 takbir, dll (biasanya hal ini tidak penah disebut panitia id lain mungkin karena dianggapnya jemaah sudah tahu). Setelah shalat, terdapat khotah id yang merupakan ibadah yang menjadi terintegrasi sehingga jika tidak mengikuti khotbah sama saja tidak mengikuti shalat id. Pak Johan -pembina YPM Salman yang menyampaikan informasi waktu itu- menekankan berulang-ulang supaya tidak pulang sebelum khotbah selesai atau ibadahnya nihil (yang ini juga jarang disebutkan panitia id kebanyakan). Setelah id dilarang pula bagi ibu-ibu untuk membuka mukena dan bapak-bapak untuk merokok (yang ini apalagi).Pengumuman-pengumuman

Salman memang selalu informatif. Setiap hendak memulai shalat, lurus, rapat, dan rapinya shaf selalu ditekankan. Isi barisan terdepan dahulu sebelum membuat baru shaf untuk ikhwan dan dari belakang untuk akhwat juga ditekankan. Shaf shalat dimulai dari tengah. Imam akan naik mimbar dan mengecek keempat penjuru barisan jemaah. Shalat tidak akan dimulai sebelum jemaah waktu itu lurus, rapat, dan rapi baik barisan ikhwan maupun akhwat.

Pada waktu pelaksanaan shalat tarawih dan iktikaf, setiap hari prosesi pelaksanaan disebut ulang. Hari ini shalat tarawih berapa rakaat berapa salam. Ceramah kapan. Yang mau ngaji saat ceramah berlangsung bagaimana. Setelah tarawih ada apa. Jika mau shalat witir nanti pagi bagaimana. Mulai shalat malam jam berapa. Setiap hari sehingga jika ada jemaah yang kebetulan baru mampir di Salman malam itu, mereka juga bisa mengikuti tanpa bingung. Setiap mulai dua-rakaat tarawih juga disebut ini rakaat berapa dan keberapa. Dengan demikian, kita tidak pelu pusing atau panik duh, udah sampai rakaat berapa nih. Hal-hal informatif dan profesional seperti ini jarang (atau hampir tidak pernah selain di Salman) saya temui di masjid-masjid lain. Biasanya, kalau shalat tarawih ya langsung shalat. Kalau ternyata mereka tarawih 20 rakaat atau 46 rakaat, ya itu urusan jemaah nantinya. Surprise!

Stupidly stubborn people are everywhere

Beberapa saat setelah saya duduk di shaf saya, shaf keempat pun penuh. Di belakang shaf kelima dimulai dari pojok kanan. Memang hal ini diatur oleh panitia supaya nantinya shaf tetap bisa rapi dan rapat walaupun shalat dilaksanakan di luar ruangan dan dengan beralaskan koran. Jika semua membentuk shaf dengan merapat ke kanan, rapi kan jadinya dibanding jemaah dibebaskan mau mulai duduk darimana. Kalau titik duduk awal dibebasacakkan, shaf bisa terpecah bahkan saat masih duduk (sebelum shalat) atau sebelum duduk. Pengaturan barisan duduk dilakukan untuk menangani hal ini.

Teorinya begitu.

Faktanya, ada beberapa orang di dunia ini yang tidak mau diatur dengan peraturan sekecil apapun. Mereka mementingkan diri sendiri dibandingkan umat. Jika tidak ada untung buat mereka, ngapain ikut panitia. Mereka berbuat seenak udel mereka. Tidak tahukah mereka panitia itu ada dan peraturan itu ada supaya semua pelaksanaan berjalan dengan lancar.

Di belakang saya, seorang bapak tua (bersama entah anaknya atau temannya) duduk di tengah shaf. Panitia yang mengatur setiap kedatangan jemaah yang ada mengajak bapak tersebut ke pinggir kanan yang baru dihinggapi 4 orang dari pinggir. Sesaat bapaknya menoleh ke kanan, refleks sedikit geser dan mengangkat sajadahnya. Akan tetapi, baru satu langkah bapak itu kembali ke posisi semula dengan muka bersungut sambil berkata “Halah! Sama aja lah dek. Udah lah disini aja. Ngapain disana. Disini bisa enak ngeliat khotib”. Panitia yang masih mahasiswa tentu tidak bisa membalas perkataan seorang yang beberapa dekade lebih tua darinya.

NB: Ini belum shaf buat shalat loh ya. Masih untuk duduk dan merapikan dulu. Sebelum shalatnya kan duduk dulu agak lama sekitar 60 menit dari pengisian shaf pertama. Nanti kalau shalat bisa langsung geser-geser dan merapat-rapat ke tengah. Shaf shalat yang harus dari tengah yang harus di atur cuma shaf shalat yang paling belakang saja. Dengan demikian, bisa meminimalisasi perpindahan shaf yang pastinya bakal lebih susah lagi tuh orang-orang untuk menggerakkan pantatnya (biasanya karena males menggeser sajadahnya atau pisah dari keluarganya). Coba lihat gambar ke tiga yang portrait tepat di belakang saya di sekitar tempat duduk bapak yang tadi.Tengah dibanding pinggir

Saat mendengar itu langsung kalimat itu terlintas di pikiran saya, pakai bahasa Inggris: “Cih, stupid stubborn people are everywhere”. Even in this holy occasion.

Beberapa waktu lalu, di Masjid Salman saat Shalat Jumat, ada telepon yang berdering. Padahal sudah diperingatkan beberapa kali oleh panitia shalat jumat. Okelah, kalau berdering saat shalatnya sih agak wajar. Sudah sering terjadi orang-orang bodoh seperti itu. Bisa jadi mereka lupa, atau khilaf, atau tidak mendengar perkataan panitia, atau tidak tahu kalau hapenya hidup saat shalat jumat itu sangat mengganggu dan harus dimatikan segera walaupun harus bergerak di luar gerakan shalat. Harus. Akan tetapi, stupid and stubborn people akan berbeda. Telepon yang berdering waktu itu sudah berdering dalam beberapa kesempatan. Sebelum khotbah jumat. Saat khotbah jumat pertama. Kedua. Dan shalat shalat. Setiap berdering, jemaah di sekitar bapak itu tentu akan memelototi beliau. Mattin woy! Teriak saya dan mereka dalam hati. Akan tetapi, yah stupid and stuborn people are stupidly stubborn. Beliau bahkan tidak merasa bahwa ia bersalah atau mungkin (huznudzon-nya) ponselnya tidak punya mode senyap.

Jemaah yang tidak mau gabung ke shaf yang ada malah di belakang shaf sendirian atau tidak mau merapikan shaf dan merapat ke tengah shaf ketika shalat berjemaah (kalau gitu ngapain shalat berjemaah). Supir yang parkir mobil memakan separuh jalan. Motor yang jalan melawan arus padahal di jalan besar. Penumpang yang BBM-an sesaat pesawat akan lepas landas. Pejabat yang tidur saat rapat DPR. Mereka dimana-mana ya. Bahkan saat shalat idul fitri.

Yah, saya sendiri pernah melakukan sesuatu yang bisa menyebut diri saya stubborn people kok. Sepertinya hal ini terpatri di DNA kita, orang Indonesia.

Beberapa Foto

Sudahlah kesal mengomongi orangnya ya. Berikut beberapa foto yang saya ambil saat shalat idul fitri 1433H 19 Agustus yang lalu.

Mendengar KhotbahMenunggu Shalat Id

Renggangnya Shaf Karena Shalat Di Outdor Terlihat Pasca Shalat

Sesaat Akan Shalat IdSesaat Setelah Selesai Khotbah

Menyalami Pak Rektor

Siapa ini ya...Gerbang Depan Setelah Shalat

3 Comments

    • Yang dari tengah kan shaf shalat. Kalau mulai shaf shalat baru, di depan udah atau sesaat lagi shalat mulai dari tengah.
      Kalau yang saya ceritakan itu kan bukan shaf untuk shalat. Belum. Baru mau duduk bikin shafnya. Shalatnya masih setengah jam lagi.
      Lagipula ini baru shaf ke lima dari puluhan shaf, jadi kalau disini, saat duduk belum rapi, gimana entar.

      Saya nggak tahu juga kenapa panitia nggak merapikan, nyuruh duduk yang baru dateng di tengah.
      Mungkin karena nantinya jadinya titik interest yang harus diawasi supaya jemaah yang datang ada dua, jadi sulit menunjukkan duduk dimananya.
      Makin ribet lagi. Akibatnya jemaah bisa duduk sesukanya, bukan merapat ke orang yang udah duduk.

  1. Wah, ternyata lebaran di Bandung juga ya, Bad, Aku juga sholat di Salman, tetapi gak secepat kamu berangkatnya, jadinya dapat posisi di sekitar shaf 10 gitu. Dan kemarin itu aku gak tahu petunjuk tentang pengisian shaf, entah karena datang cukup terlambat (06.30) dan melewatkan pengumuman atau memang gak sempat baca petunjuk di sekitar tempat sholat (kalau ada). Jadinya mengisi shafnya tetap aja dari tengah merapat ke kanan mengikuti orang yang sudah ada sebelumnya 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.