Pos-pos Terbaru

Lima Menit Yang Begitu Berharga

Tipikal Tabel Jadwal di Jepang

Tipikal Tabel Jadwal di Jepang

Jepang dikenal sebagai bangsa yang cepat jalannya dan begitu tepat waktu. Hal ini tercermin dari sistem transportasinya yg menitan. Jadwal kereta tertera sampai ke menit dan dijamin berangkat di menit itu. Hanya topan dan orang bunuh diri aja yg bisa membuat kereta terlambat. Bus masih banyak kemungkinan (untuk halte bukan ujung rute) karena macet misalnya.

Saya sebenarnya agak ragu sih apakah karena orang Jepang “punctual” sehingga mereka membuat teknologi seakurat itu atau sebaliknya karena teknologi yg begitu canggih, perlajan-lahan mereka jadi belajar tepat waktu. Well, by the way. Menurut Anda, seberapa lama waktu dihabiskan sehingga bisa disebut berharga? Mungkin salah satu jawabannya adalah 5 menit.

Jika jadwal Anda adalah naik kereta 8.03, pastkan jangan naik kereta yang 8.01 karena Anda bisa nyasar. Dengan sistem yang ketat waktu seperti ini, kita bisa memprediksi dengan ketelitian tinggi kapan kita sampai kantor, kapan akan naik transportasi berikutnya, kapan kita bisa ketemu dimana, berapa lama kita harus menunggu, seberapa cepat kita harus lari.

Dua minggu ini saya harus magang di kota sebelah, jam ngantor mulai dari 8.30. Saya harus ambil paling tidak bus ketiga dari kampus, 7.20. Kenapa? Perjalanan bus dari kampus ke stasiun kota sekitar 25 menit, sehingga 7.45 jadwal kedatangan saya. Pada 7.50, kereta ke Gamagori berangkat dan sampai pukul 8.03 sehingga saya ada waktu untuk mengejar bus perusahaan di depan stasiun Gamagori yang berangkat pukul 8.07. Perhatikan jarak antar moda, hanya 5 menit! Lima menit yang begitu berharga. Jadi paham kenapa orang Jepang jalannya kayak gitu, tiap hari latihan di stasiun nih.

Masalahnya, kehandalan bus itu sangat bergantung pada lalu lintas dan jumlah penumpang yang turun naik (Yup! Solusi kota dengan mengandalkan bus memang bagus, tapi kurang tepat guna). Pernah satu kali, bus 7.20 ini terlambat sampai stasiun, ia sampai pukul 7.50. Karena saya belum belajar teleport, saya tidak bisa mengejar kereta yang biasa. Hasilnya saya pasti terlambat bus perusahaan dari stasiun Gamagori, itu artinya saya harus jalan kaki dari stasiun lain yg lebih dekat, 20 menit. Saya pun naik kereta selanjutnya 7.57 yang golongannya kereta lokal sehingga lebih lambat, kemudian jalan kaki dari stasiun setelah Gamagori. Hasil akhir, terlambat masuk kantor 10 menit. Sesampainya di kantor, hm hm hm…

Chikokudesuka? Naze renkakushimasenka? Kok telat mas? Kok nggak ngabari kantor?

Pelajaran yang sangat berharga yang saya pelajari di Jepang ini: waktu. Salah satu benda yang berubah, jika bukan satu-satunya, saat saya pulang ke Indonesia adalah jam tangan. Hal yang cukup esensial di negeri ini. Karena melihat jam dengan mengeluarkan hape dari kantong sangat membuang-buang waktu.

Itulah, 5 menit itu sangat berharga. Mungkin saja dia itu, istri/suamimu, ortu, anak, atau dosen pembimbing, atau aku, cuma ingin ngobrol denganmu 5 menit saja. Ayolah. Sediakanlah sedikit waktu untuk bertemu. Mungkin cuma 5 menit, tapi jika pertemuan itu berkualitas bukankah hal itu menjadi waktu yang paling berharga.

Kembali ke soal magang. Jika saya beruntung (baca: tidak diajak ngobrol setelah jam kantor 17.10 berlalu), saya bisa pulang naik bus perusahaan lagi, naik kereta dari stasiun Gamagori dan sampai di Toyoashi pukul 18.10. Jam berapa bus berangkat ke kampus? 18.12. Yup, rentang dua menit. Pertama kali saya mencoba, saya belum memparameterisasi semua hal sehingga gerakan saya jadi tidak efisien. Turun kereta tangga kelewat, jadi harus memutar dan tangga pun sudah dipenuhi orang. Manuver dalam kerumuman juga jadi susah. Dan ternyata turun lewat lift tidak lebih cepat dari lari lewat tangga. Saat saya sampai di halte nomor 3, bus ke kampus di halte nomor 2 sekitar lima meter di depan menutup pintunya dan bye bye.

Lima detik doang gan! Kalau saya bisa hemat 5 detik, saya bisa hemat setengah jam sampai rumah… Bus selanjutnya ada di 30 menit berikutnya. Arghh… Percobaan kedua, saya sudah siap-siap. Mulai dari pemilihan gerbong yg keluar tepat di depan tangga, ancang-ancang sebelum pintu kereta buka, juga pernah sekali ngecek lari lewat tangga vs lift butuh berapa detik. Hasilnya, saya bisa duduk di bus tadi sekitar 20-30 detik sebelum ia berangkat. YATTA!!

Lima detik. Pelajaran lagi. Mungkin sebenarnya dia hanya perlu lima detik saja, atau bahkan sesaat, untuk bertemu Anda. Melihat wajah dan senyum kekasihnya, sahabatnya, mahasiswa bimbingannya. Hanya sesaat saja… Cukup sesaat saja…  Sesaat saja… Waktu memang berharga, sesaat pun sangat berharga. Sedikit saja Anda anugerahkan sedikit benda berharga itu ke orang-orang yang mencintai Anda, akan sangat berarti bagi mereka. Karena Anda begitu berharga… (loh kok jadi kayak iklan)

Bagaimana menurut Anda tentang waktu yang superstrict ini?  Relakah Anda hidup di negara seperti ini?

Emang bisa bangsa Indonesia diset dengan gaya transportasi begini? Katanya pada minta bikinin MRT??? Setelah berapa tahun dengan ini sistem, bisa nggak ya bangsa kita jadi tepat waktu kayak orang Jepang? 

Ataukah lebih enak angkot yang bisa naik kapan saja dan sampai entah kapan-kapan saja? 

Silakan tulis komentar Anda di kotak diskusi di bawah.

The Rubber Watch

I do not usually post a status in Facebook. When I do, it is probably because of one of these few reasons: publishing my blog post, sharing something nice from the web, showing of, or a kind of wondering/asking a question.

This week (of December 25th, 2013) I posted a Facebook status below. Actually, I have about 5 articles in line for this blog but it is not finished yet. In this 25th December according to my calendar, I must post something in this date. My will now is full of this Facebook status. The reason publish this articles is because 1) that post is full of typing and grammar mistake (I wanted to edit it but Facebook won’t let me), 2) some sentences is not clear and probably reader won’t understand my true intent, 3) I don’t know how to feel about this matter and wish to get more feedback (globally).

This status has been corrected and reworded because the original one is a little bit unclear. The correct one (I hope) should be this. Correction is in blue. (On the time of this article’s writing, I was not yet aware about the “edit status” feature of Facebook)

Really. Indonesian people should learn that if they want to meet at 4 don’t say it at 3 o’clock. I hate being late actually  but knowing this fact I always be careful to arrive at the exact time or 5 minutes late. I will never arrive like 15 or 20 minutes before the time, it would be suicide. It’s not only 2 or 3 times I have to wait 1 hour (or more). Someone did that suicide thing and then I gave him a saying “sir, you must be careful when attending Indonesian event, the earliest is 5 minutes late“.  In respond to that, a lad gave me a strict advice/warning me “hey, if everyone thinks to come late, the event will never be on time, isn’t it?“.

Which I responded and will always respond with: “Oh yeah? And if everyone thinks late except me (and the newcomer of this community), what will it be?

なんて美しく残酷な世界だ。

And yet here I am, still alone, waiting, for the next hour to come. The lad also did not come on time.

There are two things that make me post this status (and this article) with which would make a lot of people hurt (I hope). The first: waiting is boring. Especially, waiting outside in winter with nobody around. Lucky that I brought my cellphone and Facebook asked me “what on your mind?” and I just answer her nagging.

The second is here. I come at the exact time because two persons which represents two different sport activity (badminton and futsal, even though it is in one place) tell the same 3 o’clock by two different communication medium. I have the responsibility to come because the sport utilities is keep in my room. Of course, I confident that such a late will not happen. I mean, what is the probability of two persons with different activity to look forward to comes both of them late. If you see the probability chart (P1-Late-P2-Ontime, P1-Ontime-P2-Late, P1-P2-Ontime, P1-P2-Late), the answer is 25%. At least, I can meet one of them (or representative) at a bearable time range.

But, Peter is right: “the unexpected always happened”.

For you non-Indonesian reader out there, there is a saying in our country that “Indonesian watch is made from rubber” which means that we are always late. That is not necessary true though. Of course, lateness depends from one person to another. Additionally, somebody most likely will be on time when meeting another country’s citizen even though he/she is always late when meeting fellow Indonesia. Here, I hear (and face) this phenomena: We arrange our internal (fellow nation member) events so that it will be held up to one hour after the scheduled time. Why?

I don’t know.

If you read my status carefully, you will realize that I am also a late-comer. I am also Indonesian after all. It’s in my blood. I will come to class in the range of five minutes of its starting time. I (or maybe we, Indonesian) cannot bear to wait. Everyone hates waiting, aren’t they? That’s why, I will come at the time the event is ready to start, so not to waste any of my precious time. Five minutes waiting is boring enough. Maybe that is also a reason for why people comes late. BUT, in those case, one hour? I mean, I can use one hour to watch three episode of my favorite anime. I usually not a person that complaint, actually. I can handle enough misfortune to not sighing publicly. But, maybe missing some anime for waiting outside in cold season make my blood boiling.

Actually, and obviously, late is not a special property to Indonesian people. Non-Indonesian people also can be late. And of course, many people of different region believe that “their own geographical region or ethnic group is unique for its casual attitude toward punctuality” (as quoted from psychologytoday). Not just Indonesian, some ethnic group also thinks that tardiness is their’s special property. Everyone (and every ethnic) can be late and everyone (and every ethnic) did that. If you do a Google a bit on this subject – like me, you will read that.  It’s just some people is later than the others.

But how?

And why some people that always be late always be late?

I don’t know. I planned to make an elaborate explanation in this article which I usually did when I wanted to discuss something. But, you can find those reason on the web. 23 reasons why you’re always late, 100 reasons to be late, 11 reasons for a late period (?). I wanted to list them here but now, two weeks after this article was created for the first time, I feel lazy. Actually, the article from  psychologytoday sums it up quite a bit.

Now we know that it is not our DNA’s fault, Indonesian’s DNA’s fault that we always late. Maybe it’s only that the population of Indonesia is bigger or the scale of Indonesian tardiness is hour (not minute). So, how is it not to be late? I myself do not know. Maybe it’s better to read this huffingtonpost’s article and buy a watch (I plan to, not a rubber one of course). Don’t forget to exercise in time calculation and act accordingly. Finally, don’t forget that even though you hate waiting, other people also hate it. Therefore, do not make others wait.

On the day that I post the status, one person gave me a consolation and remarked that this culture of chronic tardiness that made him lose interest in the PPI’s event. Surprisingly, two weeks later when we went for our own vacation (not a PPI’s event), he himself were late. No, I do not blame him for that. The writer of this blog also can be and will be late. I just want to give an example that everyone hate it. Hate for someone lateness and hate for being late. But, it’s just we can’t help it when the time is come.

If you search enough, you will notice that this subject is a blur and delicate. That’s why I write this article and want to receive some opinions regarding it, globally if possible.

Perlengkapan Tempur Musim Dingin

Penduduk daerah tropis sebagaimana penduduk modern pada umumnya menyukai pakaian simpel untuk sehari-hari. Kemungkinan besar hanya perlu dua lapis saja. Lapisan dalam, atas-bawah. Kemudian lapisan luar, kaos dan celana. Sudah. Beberapa -seperti saya- mungkin menambahkan jaket. Saya selalu pakai jaket ketika jalan keluar. Waktu persiapan dari nol: kurang dari dua menit (saya tidak tahu kalau perempuan, katanya bangun sejam sebelum waktu kuliah pun sudah dianggap terlambat).

Kini, saya masih selalu pakai jaket sih. Ya musim dingin pertama nih. Yg panas di Indonesia saja pakai jaket masa disini kagak. Bedanya, sekarang saya juga pakai benda-benda lainnya dan merasa cukup ribet setiap akan pergi keluar.

Memang apa saja sih yg dipakai saat musim dingin? Sedingin itu kah? Itulah masalahnya. Saya juga selalu nggak yakin sedingin apa di luar sana. Setiap hari kombinasi pakaian yg saya pakai sih berbeda, buat eksperimen kalau begini dingin nggak begitu dingin nggak. Angin sih musuh utama. Suhu nyata sih tidak begitu rendah, cuma anginnya itu, multiplier hebat.

Memasuki bulan pertama musim dingin ini, saya sedikit banyak mulai memahami tentang musim dingin. Bisa saja saya salah, tapi saya akan cerita sedikit.

Kaos dan Celana Lengan Panjang

Seperti halnya di negara tropis, hal pertama yg kita saya pakai adalah lapisan dalam, tentu saja! Juga kaos (atau kemeja) dan celana. Mungkin kaos, kemeja, dan celananya yg dibutuhkan adalah yg lengan panjang. Masih biasa…

Masih kurang juga? Lapis kaos dua atau tiga atau empat. Masih biasa…

Jaket dan Mantel

Setelah itu tentu pakai jaket. Nah, setelah itu pakai jaket lagi. Haha… Jadi jaket disini secara umum ada dua: jaket indoor dan jaket outdoor. Jaket indoor adalah yg tidak begitu tebal dan dipakai kalau lagi kerja/kuliah di depan meja. Kalau keluar-keluar, baru pakai jaket outdoor alias coat. Mantel, bahasa Indonesianya. Catatan: Kebiasaan orang bisa beda sih, ada juga yg pake jaket tiga atau cuma mantel doang.

Ngomong-ngomong, disini juga saya baru tahu kalau pakai jas kemudian pakai mantel itu nggak aneh. Keren malah… Hmm…

Di UNIQLO harga jaket sekitar 2000-an yen dan harga mantel (atau jaket tebal) di atas 6000 yen. Beberapa tempat memiliki toko pakaian bekas. Tidak seperti di Indonesia, toko pakaian seken disini bagus-bagus dan harganya cukup miring. Dan ada juga toko yg harganya sama untuk semua item, murah (kualitas nggak tahu tapi). Namun, tetap saja ada juga jaket yg harganya 30.000-an yen ke atas di toko pakaian bekas seperti ini. Entah, barunya berapa harganya.

Syal dan Sarung Tangan

Kemudian, pakai peralatan standar yg sering kita lihat di drama-drama itu. Yg kepikiran adalah tentu muffler atau scarf alias syal bahasa Indonesianya. Keren kan ya pake itu mafura… Sayang di Indonesia panas aja… Jadi jarang liat. Selendang mungkin mirip lah, versi tipisnya.

Saya beli mafura yang ukurannya kotak besar. Jadinya benri euy, bisa diapa-apain. Praktis. Bisa buat syal biasa. Buat sajadah juga bisa. Buat ngangkut-ngangkut apa atau bungkus juga. Bisa buat nutup muka juga atau jadi jilbab kayak cowok arab itu, jadinya muka dan telinga nggak kena dingin. Buat selimut juga bisa (gedenya 1mx1m). Atau diiket di tangan, di kepala, atau di kaki buat demo. Mantab dah. Saya beli 2.900 yen, seken (nggak tahu barunya berapa). Yg standar harganya di bawah 1000 yen sih. Yg dari Indonesia saya juga bawa, cuma belum pernah dipake, nggak yakin saya.

Syal

Kemudian sarung tangan. Sangat penting tuh disini. Kalau nggak punya ya tangan harus dimasukin ke kantong saat jalan. Oh ya, sarung tangan ada juga yg untuk touch screen ternyata. Di Indonesia ada nggak ya… Sayangnya, yg saya beli itu udah nggak mempan lagi ke layarnya iPhone. Karena sarung tangan 100 yen kali ya.

Sarung tangan juga sangat penting kalau naik sepeda atau gentsuki (motor kecil matic). Kalau nggak mau tangannya beku sih. Perhatikan juga tingkat kekedapan udara si sarung tangan, kalau nggak ya dinginnya tembus.

Cupluk dan Lobe

Kemudian kadang kita harus pakai tutup kepala juga terutama mantelnya nggak punya cupluk. Yang bentuknya kayak lobe topi ustadz itu, cuma ya agak besaran dikit. Atau yg full face kayak yg suka dipakai peronda/maling itu juga boleh.

Kepala bisa kedinginan juga loh. Makanya rambut sangat penting disini untuk menghangatkan kepala. Wanita berjilbab pasti sangat bahagia saat musim dingin begini.


Nah, sampai disini standar, dalam artian belum pernah musim dingin pun tahu ada benda itu. Peralatan yg disebut setelah ini tidak pernah terpikir oleh saya sebelumnya bahwa benda ini ada dan saya harus memakainya.


Baca Selengkapnya

Derita Bujangan di Negeri Orang: Harus Masak Sendiri

Dua minggu ini saya tidak pergi kemana-mana. Jadi, tidak ada artikel jalan-jalan untuk jatah minggu 23 November – 8 Desember. Sebagai gantinya, saya akan curhat/pamer/minta tolong tentang sedikit keseharian saya di Jepang ini yang berbeda dengan di Indonesia. Jika saat ngekos di Bandung (atau kota lain di Indonesia), kita bisa dengan mudah mendapatkan makanan. Tinggal beli. Enak. Murah. Praktis. Disini tidak. Selain harga lebih tinggi, diragukan kehalalannya, jauh pula dari kampus. Maklum masih sendiri jadi nggak ada yg masakin, pilihannya hanya satu: memberanikan diri masak. Yah, kalau yang di bawah mau masakin sih lain lagi ceritanya.

Sebenarnya saya mau buat satu artikel untuk setiap jenis masakan yang saya coba buat. Cuma nanti blog ini jadi blog masak kan nggak enak juga. Dan kebanyakan jadwal juga penuh dengan jalan-jalan. Oh ya, sedikit review streak saya jalan-jalan tiap minggu hingga akhir minggu kemaren adalah:

11 Oktober 2013: Orientasi Beasiswa Aichi di Balai Kota Nagoya
12-13 Oktober 2013: Festival Kampus TUT – Gikadaisai

19 Oktober 2013: Menari di Jalanan Toyohashi, Festival Kota Toyohashi
27 Oktober 2013: Jadi Pengantin Dadakan di Festival Rakyat Tahara
04 November 2013: Momiji ke Danau Fujikawaguchi, dekat Gunung Fuji
10 November 2013: Jadi Special Police alias Samurai di Futagawa Honjin Matsuri
17 November 2013: Jalan-jalan saja ke Kota Nagoya mengunjungi Kuil Osu Kannon, Pusat Perbelanjaan Osu Kannon, dan Kastil Nagoya
23 November 2013: Momiji Bersama Keluarga Besar Indonesia Toyohashi ke Kyoto

Semua sangat menyenangkan. Untuk pertama kalinya, dua akhir pekan ini (30/11 & 7/12) saya tidak kemana-mana. Cuma hari ini (7/11) ada makan-makan KOCHA PPI + FAREWELL + WELCOME PARTY dan besok (8/11) ada katanya makan-makan MUSLIM GATHERING di MASJID sih, jadi enak juga. Mungkin nanti saya ceritakan juga.

Kembali ke masak-masak. Sebenarnya, dibilang masak sih agak kurang tepat. Soalnya, disini yang diandalkan adalah bumbu-bumbu jadi. Belinya di masjid. Bukan merk Royco sih, kebanyakan Bamboe. Karena itu, nggak perlu numbuk pala, jahe, kunyit, merica, bawang, daun jeruk, dll. Wong nyarinya juga kadang susah di supermarket. Namun, mengingat bahwa latar belakang masak saya NOL, agak ragu juga untuk memulai. Patut diketahui bahwa saya hanya pernah masak empat hal sebelum ke Jepang: mie, air, nasi, dan telor. Nggak pernah motong-motong, nggak pernah belanja bahan makanan, dan nggak tahu sangrai dan tumis itu mahluk apa. NIHIL.


Jadi, eksperimen masak pertama saya adalah tumis sayur kol! Agak ragu juga mau menumis waktu itu. Live, dibimbing oleh ibu saya dan chef Sidik Soleman waktu itu.

Sebenarnya saya masak tumis ini karena terpaksa. Ngobrol sama si Sidik, tadinya mau masak sayur kuah gitu. Nah, saya mau beli caisin deh, di sayur enak, kata dia. Ke Supermarket, saya kita caisin yang ini. Setelah dikonfirmasi kok bukan. Gagal deh masak sayur bening, akhirnya terpaksa menumis. Kekko umai zo… (menurut lidah saya yg susah membedakan rasa ini) Untuk hasil masakan yg pertama.


Level selanjutnya: daging! Betapa kagetnya saya ketika seminggu pasca Idul Adha, Baca Selengkapnya

RealFeel® dan Mengetahui Suhu Dingin yang Pasti

Di negara yg suhunya labil ini, mengetahui cuaca besok atau beberapa jam ke depan merupakan hal yg sangat penting. Di televisi sini, tayangan ramalan cuaca pun masih laku. Di Indonesia, terakhir saya melihat tayangan ini waktu SD sepertinya. Di era internet dan era ponsel pintar ini, tentu paling gampang adalah dengan melihat aplikasi prediksi cuaca yg berbasis lokasi. Tinggal pencet kelihatan sekarang lagi berapa suhunya, nanti hujan jam berapa, angin berapa cepat.

Salah satu aplikasi ponsel pintar untuk prediksi cuaca yg paling terkenal adalah AccuWeather. Hal yg paling sering dan menarik bagi saya lakukan dg aplikasi ini adalah bukan untuk melihat sekarang cuacanya apa (gitu doang kan tinggal lihat keluar jendela). Suhu. Untuk bangsa tropis yg hampir selalu merasakan suhu stabil sepanjang tahun, suhu sekarang yg dirasakan adalah hal yg membuat penasaran saya. Ini dingin buanget, berapa ya suhunya. Biar terlihat perbandingannya, dengan di Indonesia dan hari kemaren.

AccuWeather Real FeelYg menarik di AccuWeather adalah ada fitur RealFeel® di indikator suhu. Saat tulisan ini dibuat [2013/12/18], hari sedang hujan, angin lagi lambat, suhu sebesar 11 derajat, dan suhu “Perasaan Nyata” sebesar 3 derajat Celcius. Ini saya nggak mudeng maksudnya suhu perasaan nyata ini apa.

Menurut senior disini, RealFeel® ini adalah suhu yg beneran dirasakan oleh manusia, bukan suhu yg diukur oleh alat atau suhu pada lokasi alat itu berada. Misalnya dengan mempertimbangkan angin.

Angin memang faktor perendah suhu yg sangat signifikan. Di Toyohashi, kondisi standar angin adalah sangat kencang. Bisa sampai 45 km/h, kayak naik motor aja ya… Dan kondisi ini bukan sedang topan loh. Catatan: badai dan topan beda ya. Beberapa waktu lalu di pagi yg berhujan angin sangat lebat, saya menulis “pagi-pagi badai, kuliah nggak ya” sudah banyak yg mengejek saya. Heh, segitu doang dianggap badai bed? Belum ada apa-apanya itu. Cupa ah kau! Dengan tidak mengurangi rasa hormat, mungkin Anda-anda perlu buka lagi kamus apa itu badai dan apa itu topan! Dan tidak, kalian salah kalau mengira badai itu lebih hebat dari topan.

Saat tidak ada angin, sebenarnya suhu di Toyohashi tidak sedingin itu. Kemaren yg suhunya 10 derajat saja saya tidak pakai mantel saat keluar. Muka masih dingin sih, tapi badan nggak segitu menggigilnya dibanding kalau ada angin.

Namun, apakah RealFeel® ini berkaitan dengan angin? Nggak tahu juga.

Saya juga menduga “Perasaan Nyata” ini berkaitan dg cara kulit mengukur suhu. Sensor suhu berada pada kulit, bukan di luar kulit. Dengan demikian, sensor mengukur suhu kulit atau suhu yg dirasakan kulit, bukan suhu asli/luar. Jadi, bisa jadi suhu di luar berapa yg kita rasakan berbeda.

Pernah memegang pintu kayu bergagang besi? Si pintu dan gagangnya berbeda suhunya kan, saat kita pegang. Padahal itu pintu sama-sama di taruh di luar jadi seharusnya bersuhu sama. Tapi kok beda? Yah, katanya si besi lebih mudah menghantarkan kalor, jadi saat kita memegang besi kalor dari tangan langsung diserap besi sesuai Asas Black. Nah, saat kalor equilibrium, kalor di kulit berkurang, suhu merendah, jadi deh kita merasakan lebih dingin. Makanya pakai HeatTech® dong!

Apakah ini maksudnya RealFeel® disini? Nggak tahu juga. Hm.

Yg jelas, kayaknya kedua indikator suhu yg diberikan AccuWeather ini hoax deh. Suhu yg sama di hari yg beda perasaannya beda!! Mungkin suhu yg ditampilkan suhu di lokasi temperaturya atau suhu rata-rata sekota. Atau beda karena proses si kulit tadi?

Kayaknya perlu beli termometer beneran kalau ingin tahu suhu yang pasti (di hp nggak ada sensor suhu ya?).


Yg saya kagum adalah kemiringan bumi 23.4 derajat saja sudah menimbulkan perbedaan suhu yang segini berbeda. Cuma gara-gara nggak kebagian sinar matahari merata doang. Hmm…

Kata teman, di Rumania kalau musim dingin bisa sampai -20 dan musim panas 37 derajat. WOW!

Bumi di miringkan sedikit saja sudah beda derajat sebegitunya? Apalagi kalau salah taruh?

Dan yang saya agak penasaran juga, dahulu sebelum orang punya heater dan pemanas ruangan, serta belum punya jaket yg tebal-tebal, hidup di daerah bermusim dingin gini gimana ya?

Ada yang tahu?


(V1) Kau tahu, aku ingin kau mengetahu RealFeel® ku. Setiap diriku melihatmu, dunia serasa bundar. Angin seperti mendayu. Angkasa seperti terbentang tanpa ujung. Bulan dan matahari seolah mampu hadir dalam satu langit. Aku merasa bersyukur terlahir di planet bumi.


(V2) Mungkin engkau masih bersikap biasa padaku. Berusaha untuk tetap tersenyum dan menampilkan mimik ceria. Namun, aku ingin mengetahui bagaimana sebenarnya RealFeel® yang ada dalam hatimu.


^^

365

Dua bulan belakang ini, pemilik blog saya jarang menulis lagi. Jumlah pos dalam dua bulan kurang dari jari sebelah tangan. Huh. Dan. Seperti biasa, ritual setelah hal ini terjadi adalah menulis artikel di kategori Blog’s Rambling untuk mengeluhkan hal tersebut. Artikel ini adalah jatah untuk kemalasan menulis artikel pada bulan ini. Mungkin ini artikel sejenis yang ke-10.   -.-  Dan salah satu rangkaian ritualnya adalah janji bahwa setelah ini akan menulis lebih rajin lagi. Janji yang sudah berulang-ulang, hmm…

Seperti ritual pada artikel sejenis sebelumnya, pertama-tama saya akan mengeluhkan alasan si pemilik blog (jarang menulis) yang sepertinya dibuat-buat itu. Karena nyampe di Jepang? Adaptasi? Sibuk? Ih… Alasan!

Ini adalah sepetik kalimat yang tertulis di sudut pikirin milik pemilik saya tersebut. Juga tertuang di Informasi Pemilik Blog update-an terbaru.

To tell you the truth, I still don’t believe that I  am here, now in Japan. Every time I wake up, realizing that I am inside a futon in a middle sized apartment, I am surprised. Oh, I am really here. It’s real.

Orang aneh.

And many things troubled me. The future. Job. Marriage. My family, brother, and sister. Japanese Languages. My work in Bandung that left behind. My internet banking account that recently locked because I forgot its password. And I foolishly bought its ATM Card to Japan. What an idiot.

And mainly, the upcoming February entrance examination. I must study hard. Must study Japanese hard. The exam is in Japanese after all. If I fail, I have to come back. I will lose my scholarship. Lose face. Though, with my current level I can’t read anything on the question section.

I must submit a periodic report about my research. But I don’t even have a slightest idea about what to do when I am sitting in front of my desk on the lab. Even conversing with my lab member needs huge motivation.

I still don’t believe I am in Japan, right now.

Ah. Galau mulu. Yg aneh-aneh dipikirin sih. Just do it, lah. Urusan masa lalu dan masa depan, ntar aja.

Terus, sibuk gimana. Wong di lab belum ngapa-ngapain. Sampe bingung mau ngapain karena masih awal-awal, kayak baru mau mulai TA itu. Tiap pagi jam 8.50-12.00 ada les bahasa Jepang sih. Cukup memakan waktu 15 jam seminggu. Habis cram course pulang makan, terus kalau mood jam 1-an ke lab. Pulang magrib lalu masak. Tapi ya masa tak bise la luang sikit waktu nulis. Kan masih ada malem, malah dipake buat nonton -.- .

Emang sih beda dengan di kosan dulu, sekarang tugas kosan lebih banyak. Harus masak sendiri, nyuci-setrika sendiri, belanja sendiri. Tapi ya harusnya bisa la bagi-bagi waktu la ya. Masak kagak bisa. Masalah super dingin terus jadi lebih susah melawan rasa pengen tidur pagi setelah subuhan. Ah alasan aja… Ini kan dinginnya belum seberapa, masih dingin aki belum fuyu.

Emang bener-bener alasan tuh orang.

Oh ya, saya lahir pada Maret 2009 (lupa tanggalnya). Setelah 4,5 tahun akhirnya saya mencapai artikel ke 365-nya. Artikel ini juga ditulis untuk merayakan hal tersebut.

Published - 365

Horee…..

Well, bukan prestasi yang mengagumkan memang. Malah bisa dibilang malas -.-, sesuai yang dibilang teman saya Garin, masa sudah dua tahun baru 333 pos, lah ini hampir lima tahun baru 365. Huh. Harus lebih giat lagi nih mendorong pemilikku menulis. Dan harus diingatkan terus, jangan panjang-panjang artikelnya.

Oh ya, bahkan itu lebih diperparah dengan distribusi jumlah pos yang berat hanya di satu setengah tahun belakang. Berarti sisa tahunnya gak ngapa-ngapain ya… Ah. Diriku tercampakkan.

Mulai Maret 2009

Bukti kalau aku lahir Bulan Maret 2009

Yang jelas, 365 ini merupakan batu loncatan yang cukup dinantikan. Semoga pemilik saya cepat tobat dan bisa mengisi hati ini dengan untaian kalimat bermakna lebih semangat lagi, untuk mengejar 365-365 berikutnya.

Terakhir, saya mau membagikan gambar aneh yang terdapat di dekat kosan di Bandung.

Gak sempet google, sempet twitter?

Gak sempet google, sempet twitter?

Ada ya orang yang make itu? Ini link twitternya kalau berminat. Jumlah tweet-nya masih 0. Mendingan Ghuweh

Laporan Keuangan Sebulan Pertama di Jepang

Saya sering mendengar bahwa hidup di Jepang itu mahal. Yah, memang. Begitu sampai saya langsung merasakan. Namun, karena penasaran, saya ingin mengecek seberapa sih pengeluaran hidup disini. Artikel ini adalah laporan keuangan saya (hampir) sebulan belakang saya di Jepang. Saya cantumkan juga daftar barang yang saya beli berikut harganya untuk referensi. Misalnya untuk perbandingan antar kota di Jepang atau bahkan dengan indonesia.

Beberapa hal yang perlu dicatat. Pengeluaran ini dilakukan di kota Toyohashi, sebuah kota countryside yang pastinya lebih murah dibanding ibukota atau ibukota provinsi. Tertanggal  09 Oktober 2013 – 02 November 2013, jadi belum genap sebulan.

Kemudian, pengeluaran ini belum mencakup pengeluaran telepon dan tempat tinggal (saya tinggal di asrama internasional kampus). Karena memang belum saya keluarkan. Pengeluaran telepon saya (seharusnya) sebesar 7.155 yen per bulan mulai bulan depan. Saat saya datang saya membayar sekitar 39.000 yen untuk asrama (detail pada tabel di bawah, belum termasuk listrik air gas). Kedua hal ini tidak dicakup pada diagram di bawah.

Nah, berikut laporan keuangan saya…

Personal Budget

Atau lebih tepatnya kurang kerjaan.

Berikut adalah daftar barang yang saya beli, sebagai basis dari grafik di atas. Baca Selengkapnya

私の夢

私は夢がたくさんあります。子供のころ、私はパイロットになりたかったです。パイロットはかっこいです。いろんな所へ行ったり、かわいいお姉さんと旅行したり、飛行機を操縦たり、かっこいです。中学校では、星と自然の本をよく読みますから、私はサイエンティストになりたかったです。サイエンティストはあたまがよくて、すばらしいけしきをかんさつします。かんさつするのはおもしろそうです。それから、私はきょうしにもなりたかったです。きょうしはそんけいされます。せいとにいろいろおしえます。なんかすごいです。

そいえば、子供のころ、ふつうの子供のちがって、私は医者にぜんぜんないたくなかったです。どうしてかなあ。人を接種することが私は怖いかもしれません。接種はとても嫌いから、私は人を接種したくないです。

時間が流れて、わたしの夢は変わりした。なにひとつ長続きませんでした。パイロットの学校は私は知らくて、じつは、高校でパイロットになる夢はもうなくなりました。サイエンティストの夢も、難しいそうだから、あきらめました。インドネシアのサイエンティストはお給料が少ないと、いろんな人が言ました:)。そして、きょうしの夢は私が教えることで下手ですから、あきらめました。

情報科学を勉強するのは、小さいころのわたしにとって考えられない事でした。SNMPTNの時、STEIのグレードが一番高いから、私がその学科を選びました。意外に、入学しました。情報科学は楽しかった。でも、今、卒業して、「夢はなんだろうか」と私は迷いました。
むかし、私はブレインサイエンティストになりたい。VRGAMESを作りたいのです。新しい世界を、ヴェルデュアル世界を作りたい。それが無理な夢かどうか、かなえられるかどうか、私まだ分かりません。あ~、それはただの夢かもしれない。

今大人になって、夢がすこしずつ消えてしまう。現実に直面しないといけない。生きる為に、働くしかない。夢か?夢だろうな~。自分の会社を立てようかな、なんて~。公使(こうし)になる?あ、なりたいけど、ポリチキスがいやです。教師の夢がもうないけど、講師(こうし)はがかのせいがまだあります。そういえば、私は小説を書きたいです。最終的に、天国に行きたい。それがみんなの夢だな。

今頃瞬間、私の夢が、二つあります。一つ目は、私は日本へ行きたい。むかしからあの桜の国へ行きたい。日本で研究を続きたい。それから地球を旅行するのは楽しいそうです。日本に、あのVRを作りたい。夢をかなえるための始めのステップがあるかもしれない。二つ目は、私は良いお嫁さん、「敬虔(けいけん)な」お嫁さんと結婚したいです。シンプルな家族を作りたいのです。それもみんなの夢と同じだと思いますが、私と結婚したいい女性はいるのでしょうか?私は自信がない。

あの二つ夢がわたしの二人の親友にもうすぐかなう事になりました。それに私は神に有難いでしたが、私は思った「私の番はいつだろうか」。
私も考えて:どうやって、あの二つ夢が同時にかなうのか。それはすてきだと思う。その事がかなったら、日本で一人ぼっちなりません、妻がいるから。私と妻、日本へ二人、夢を追いかけて、優しい家族を作って、お互いに支え合う。すてきですね。みんなーさん、どう思いますか?

それと、私はインドネシアを改善する夢がまだあります。どんな方法はまだわからないけど、最初は他人のために役立つようにがんばります。

~アル

Mezase! JAPAN: Beasiswa LPDP vs Beasiswa Aichi

Jepang. Adalah negara impian saya sejak kecil. Salah satu alasan saya masuk ITB juga adalah sebagai batu loncatan untuk mencapai negara ini. Achilles heels. Itu berarti jika negara ini tidak tercapai, agak percuma saya masuk ITB.

Untuk menggapai mimpi tsb, saya tidak yakin dengan kemampuan saya. Sebelumnya sekitar 2012, saya pernah mencoba satu kesempatan untuk pertukaran pelajar ke Nagoya University, tetapi gagal. Gagal.

Tidak yakinnya sederhana saja, saya tahu banyak sekali orang di luar sana yang memiliki impian yang sama. Contohnya adalah sahabat sekos saya yang ternyata persis seperti saya, masuk ITB karena ingin ke Jepang. Karena itu, saya  mengambil semua kesempatan yang tersedia (pada waktu itu) untuk menggapai impian tersebut.

Romansa Tiga Beasiswa

Awal April 2013, terdapat 3 kesempatan yang waktu itu terbuka untuk saya. Beasiswa MEXT (alias Monbukagakusho) dari Kementrian Pendidikan Jepang, Beasiswa Pendidikan Indonesia dari LPDP Kemenkeu RI, dan Beasiswa Aichi Prefecture dari Pemda Provinsi Aichi Jepang.

Tujuan utama waktu itu adalah beasiswa yang pertama, monbusho. Kemudian ada beasiswa LPDP baru muncul. Baru buka pertama kali waktu itu, formnya saya masih banyak ngebug, masa IPK harus integer. Nah, iseng, saya juga mendaftar Beasiswa Pendidikan Indonesia dari LPDP ini. Terakhir beasiswa Aichi diinformasikan oleh kaprodi saya menjelang akhir April. Setelah dipikirkan, tanggung hampir semua persyaratan sudah memenuhi (karena udah ngumpulin untuk dua beasiswa lainnya), saya juga mendaftar beasiswa Aichi ini. Syarat yg kurang tinggal cari profesor, dan dapet di detik-detik terakhir. Alhamdulillah.

Monbusho dikirim ke Jakarta. BPI diunggah ke web. Aichi dikirim ke Jepang.  Baca Selengkapnya

Beasiswa Pendidikan Indonesia dari LPDP Kemenkeu RI

Saya akan menceritakan tentang Beasiswa Pendidikan Indonesia atau lebih dikenal dengan Beasiswa LPDP. Sebenarnya situs resminya ada, yaitu beasiswalpdp.org dan lpdp.depkeu.go.id. Akan tetapi, informasi di sana kayaknya kurang lengkap. Saya akan memberikan informasi yang saya tahu yang mungkin tidak ada disana. Tujuan saya menulis artikel ini adalah tentu supaya teman-teman banyak yang tahu ttg beasiswa LPDP ini, dan mendaftar. Promosi.

Nama resmi beasiswa magister dan doktor yang diselenggarakan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan ini adalah Beasiswa Pendidikan Indonesia, sesuai petunjuk dari menteri. Bukan beasiswa LPDP. Tapi keduanya memang agak kurang catchy ya namanya, dibanding Dikti, Bius, Bidik Misi, Fullbright, Monbusho/MEXT, Erasmusmundus dan nama-nama unik lainnya. Mungkin nanti diganti dengan yg lebih menarik, misal beasiswa Cakrawala atau Angkaramurka gitu.

Beasiswa ini diambil dari sebagian dana abadi pendidikan yang disisihkan dari 20% anggaran pemerintah. Sebagaimana namanya, dana abadi pendidikan disimpan untuk masa depan. Terus, setelah sekian tahun (saya lupa dari tahun berapa) disimpan kok malah makin banyak. Tidak termanfaatkan. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah lembaga bernama LPDP untuk mengelola dana pendidikan ini. Salah satu programnya adalah BPI.

lpdp

Update 2015: Sistus beassiwalpdp.org sudah tidak aktif, diganti lpdp.depkeu.

Angkatan dan Alur Seleksi

BPI dibuka lembut pada bulan April 2013. Sampai sekarang (September) sudah ada 5 angkatan penerima, katanya sih 1000 orang (tepatnya saya lupa, buku catatan saya sudah dikirim pulang nih). Lalu timbul pertanyaan. “Angkatan” disini maksudnya apa?

Alur seleksi BPI adalah seleksi berkas via web -> wawancara -> pengayaan. Setelah lolos tiga seleksi tersebut, baru status kita diubah menjadi grantee. Nah, angkatan adalah jumlah pengayaan alias program kepemimpinan yang diadakan.

Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada jadwal khusus untuk seleksi BPI. Ini mungkin sisi jeleknya atau bagusnya. BPI mengklaim menerima pendaftaran beasiswa sepanjang tahun, ditandai dengan pemasukan berkas via web. Berkas ini kemudian akan dicek kelengkapan dan diseleksi. Jika lolos akan diundang untuk wawancara.

Nah, wawancaranya ini yang repot.

Baca Selengkapnya

Berwisata dan Keliling Taman Simalem Resort | Menikmati Pemandangan Danau Toba

Melanjutkan artikel yang terpotong sebelumnya tentang keindahan danau toba dari One Tree Hill Taman Simalem Resort, artikel ini akan memberi gambaran tentang area Taman Simalem Resort. Untuk menyegarkan ingatan, Taman Simalem Resort adalah tempat wisata di daerah Tanah Karo, Sumatera Utara. Situs ini ada di ujung utara danau toba. Situs ini termasuk tempat wisata baru, jaraknya sekitar 3 jam dari Medan. Kemarin kami berangkat dari Tanjungbalai via Siantar memakan waktu kurang lebih 5 jam.

Biaya masuk ke areal Taman Simalem Resort bisa dilihat di artikel sebelumnya atau memelototi gambar berikut:

Harga tiket masuk yang terpampang di gerbang depan

Harga tiket masuk yang terpampang di gerbang depan

Taman Simalem Resort memiliki 4 jalur utama. Mari kita tilik satu per satu jalur tersebut.

Peta Jalur Simalem Resort

Peta Jalur Simalem Resort

Baca Selengkapnya

At Last, My Days in Bandung are Numbered

Sebentar lagi saya akan cabut dari Bandung. Sudah diputuskan dan dibeli tiketnya bahwa saya akan meninggalkan kota ini pada Kamis, 26 September 2013. Agak sedih juga dan galau meninggalkan kosan dan kota yang saya tinggali 5 tahun belakangan ini. Kosan yang tenang dan penghuninya ramah. Kota yang sejuk, nyaman, dan enak kemana-mana. Rasanya masih banyak hal-hal yang belum saya lakukan, tempat-tempat yang belum saya kunjungi di kota kembang ini.

Sisa empat hari ini bisa dipakai apa ya? Berikut adalah daftar hal-hal yang saya ingin lakukan sebelum saya checkout dari kosan saya.

Beres-beres kosan

  • Jual dan hibah barang kosan
  • Jual motor
  • Kirim paket ke rumah
  • Nyumbangin baju yang nggak dipake lagi
  • Sentuhan terakhir bersih-bersih
In Progress

  • Completed
  • Scheduled
  • Completed
  • Planned
  • Scheduled
Beli koper besar Completed
Beli kopi Aroma Completed
Beli suvenir ke Saung Udjo Completed
Main ke ACE Hardware, beli plastik SpaceMaker Completed
Main ke Istana Plaza Completed (accidentally)
Main ke Paris van Java, lihat-lihat baju dingin Considered
Main ke TransStudio Only Wished
Main ke IT Telkom Not Feasible
Keliling Bandung ujung ke ujung Not Feasible
Mencoba Angkot Day Failed
Mencoba makan di Tizi Considering…
Mendokumentasikan setiap ruas partitur Plaza Widya In Progress
Makan bubur serba rame, pisang bakar, pisang goreng padang, ayam pak kumis, talago biru, sabrsabana, singgalang jaya, dan ramen house untuk yg terakhir kali In Progress
Lari di Sabuga untuk yg terakhir kali Completed
Renang di Sabuga untuk yg terakhir kali Scheduled
Pamitan ke Ibu Kos, Pak Nomo di kantor, Pak Asep warung padang, dan Ibu Laundry Planned
Berkunjung ke rumah dia Not Feasible
Nikah Absolutely Not Feasible
Membuat artikel ini Completed

Cukup sederhana ya, nggak ada yang istimewa dari daftar di atas. Nggak ada hal keren apa. Cuma segitukah ekspektasi saya, hmmm…

Ada usulan lain? Tempat yang harus kamu kunjungi jika kamu tinggal di Bandung gitu?

Perubahan

Hampir setiap orang takut akan perubahan. Akan berpikir dua kali untuk melakukan perubahan. Sulit menerima sebuah perubahan.

Ragu. Cemas. Merasa nggak jelas.

Setidaknya itulah yang mungkin kebanyakan orang rasakan. Saya bilang mungkin karena saya tidak tahu. Setidaknya itulah yang saya rasakan.

Misalnya.

Mau pindah sekolah, dari SMP ke SMA, atau dari SMA ke Kuliah. Males sekali rasanya meninggalkan rumah. Nggak rela, meninggalkan teman-teman dekat, misalkan sekolah tujuan adalah di luar kota dan sedikit teman lama yang kesana. Rasanya aneh, ragu. Cemas. Apa dapat teman baru nantinya?  Entar kosan gimana? Bisa hidup sendiri, merantau saat sekolahkah? Akhirnya, waktulah yang menjawab banyak pertanyaan itu.

Mau pindah tempat tinggal ke kota lain. Banyak sekali hal yang harus disiapkan. Jual barang ini-itu, jual motor. Bingung mau diapakan, takut nggak laku. Awal-awal rasanya nggak tega, nggak rela, dan nggak jelas. Rasanya masih sayang untuk pindah, meninggalkan kota yang sudah cukup lama ditinggali. Rasanya masih belum yakin juga di tempat yang baru kelak bagaimana. Cemas. Bisa beradaptasikah, bisa mendapat lebih baik kah, bisa dapat kenalan dan sahabat barukah. Banyak sekali yang lewat dipikirkan sehingga sekuens perubahan yang harus disiapkan itu pun tertunda dan tertunda hingga waktu juga yang menjawab.

Mau ikut suatu acara pelatihan yang opsional, yang dilaksanakan di luar kota bersama orang-orang yang tidak ada yang kita kenal. Perlu beberapa waktu untuk meyakinkan diri untuk ikut, harus ikut, dan mencanangkan sekuensnya. Jadi terpaksa memutuskan di dekat jadwal, deadliner. Setelah ikut pelatihan selama beberapa lama dan merasa nyaman dengan alur pelatihan, teman-teman baru, dan kegiatan yang menarik, rasanya juga tidak ingin kestabilan yang sudah terbentuk itu hilang lagi.

Mau mengubah kebiasaan atau menumbuhkan kebiasaan baru. Misal berusaha berhenti merokok. Atau berusaha lari pagi setiap hari. Atau diet. Pasti sangat sulit dilakukan. Awal-awal tidak yakin bisa. Takut macam-macam.

Mau mengajak seseorang untuk “membina masa depan”. Ragu untuk mengirim pesan, banyak sekali yang dipikirkan. Takut ditolak. Cemas kalau-kalau hal tersebut membuat persahabatan yang selama ini berubah. Takut kalau nanti ketemu jadinya canggung (awkward.pen) dan salah tingkah. Nggak banget dah.

Perubahan yang ditakuti orang adalah perubahan yang mendadak dan tak terbayang efeknya. Padahal pastinya setiap orang itu akan berubah, perlahan-lahan. Sestabil apapun keadaannya. Dan, pada akhirnya jika memang itu hal yang pasti terjadi, waktulah yang akan memaksa perubahan tersebut.

Manusia pada dasarnya sangat menyukai stabilitas dan membenci perubahan. Namun, jika perubahan itu esensial. Untuk hal yang lebih baik. Untuk menggapai mimpi. Kenapa tidak kita beranikan saja. Mulai dari sekarang.

Yuk bergerak… Bertualang!

Jika perubahan itu terjadi setiap hari pada kita, bukankah hidup jadi lebih berwarna dan tidak membosankan?

Petualangan

Satu petualangan berakhir
Petualangan-petualangan berikutnya menanti

Ku relakan pergi seorang sahabat
Tak sempat bersua tuk terakhir kali
Demi petualangan ini
Sebagai gantinya, kudapatkan pula satu sahabat lain padanya
Yang setelah petualangan itu berakhir, ia juga pergi
Juga tanpa ucapan selamat tinggal dan jabat tangan yang berarti

Kini ku sendiri
Disini
Duduk temangu
Berpangku tangan duduk di kamar sunyiku
Menanti petualangan baru

Petualangan
Memang lebih berarti jika dialami bersama
Bersama sahabat yang mendampingi semua kisah
Dan hidup ini esensinya adalah sebuah petualangan
Yang jauh lebih seru dan menantang dari semua petuangan
Yang juga lebih menyenangkan jika ada pendamping
Pendamping hidup

Dimanakah ku dapat menemukan pendamping itu?

Akankah kumulai perjalanan ini
Petualangan yang baru ini
Tanpa seorang teman yang menemani

Kuyakin, ini baru permulaan
Masih ada hari esok menjelang
Suatu saat nanti
Kita kan dapat bergandengan tangan kembali

Usi dan Aan

Perkenalkan dua pasangan kita, Usi dan Aan.

Situ Linuxiah (Usi) dan Anandroid Muslim (Aan)

Situ Linuxiah (Usi) dan Anandroid Muslim (Aan)

Art courtesy by Anak-anak MUSLIF 2009.