Jepang dikenal sebagai bangsa yang cepat jalannya dan begitu tepat waktu. Hal ini tercermin dari sistem transportasinya yg menitan. Jadwal kereta tertera sampai ke menit dan dijamin berangkat di menit itu. Hanya topan dan orang bunuh diri aja yg bisa membuat kereta terlambat. Bus masih banyak kemungkinan (untuk halte bukan ujung rute) karena macet misalnya.
Saya sebenarnya agak ragu sih apakah karena orang Jepang “punctual” sehingga mereka membuat teknologi seakurat itu atau sebaliknya karena teknologi yg begitu canggih, perlajan-lahan mereka jadi belajar tepat waktu. Well, by the way. Menurut Anda, seberapa lama waktu dihabiskan sehingga bisa disebut berharga? Mungkin salah satu jawabannya adalah 5 menit.
Jika jadwal Anda adalah naik kereta 8.03, pastkan jangan naik kereta yang 8.01 karena Anda bisa nyasar. Dengan sistem yang ketat waktu seperti ini, kita bisa memprediksi dengan ketelitian tinggi kapan kita sampai kantor, kapan akan naik transportasi berikutnya, kapan kita bisa ketemu dimana, berapa lama kita harus menunggu, seberapa cepat kita harus lari.
Dua minggu ini saya harus magang di kota sebelah, jam ngantor mulai dari 8.30. Saya harus ambil paling tidak bus ketiga dari kampus, 7.20. Kenapa? Perjalanan bus dari kampus ke stasiun kota sekitar 25 menit, sehingga 7.45 jadwal kedatangan saya. Pada 7.50, kereta ke Gamagori berangkat dan sampai pukul 8.03 sehingga saya ada waktu untuk mengejar bus perusahaan di depan stasiun Gamagori yang berangkat pukul 8.07. Perhatikan jarak antar moda, hanya 5 menit! Lima menit yang begitu berharga. Jadi paham kenapa orang Jepang jalannya kayak gitu, tiap hari latihan di stasiun nih.
Masalahnya, kehandalan bus itu sangat bergantung pada lalu lintas dan jumlah penumpang yang turun naik (Yup! Solusi kota dengan mengandalkan bus memang bagus, tapi kurang tepat guna). Pernah satu kali, bus 7.20 ini terlambat sampai stasiun, ia sampai pukul 7.50. Karena saya belum belajar teleport, saya tidak bisa mengejar kereta yang biasa. Hasilnya saya pasti terlambat bus perusahaan dari stasiun Gamagori, itu artinya saya harus jalan kaki dari stasiun lain yg lebih dekat, 20 menit. Saya pun naik kereta selanjutnya 7.57 yang golongannya kereta lokal sehingga lebih lambat, kemudian jalan kaki dari stasiun setelah Gamagori. Hasil akhir, terlambat masuk kantor 10 menit. Sesampainya di kantor, hm hm hm…
Chikokudesuka? Naze renkakushimasenka? Kok telat mas? Kok nggak ngabari kantor?
Pelajaran yang sangat berharga yang saya pelajari di Jepang ini: waktu. Salah satu benda yang berubah, jika bukan satu-satunya, saat saya pulang ke Indonesia adalah jam tangan. Hal yang cukup esensial di negeri ini. Karena melihat jam dengan mengeluarkan hape dari kantong sangat membuang-buang waktu.
Itulah, 5 menit itu sangat berharga. Mungkin saja dia itu, istri/suamimu, ortu, anak, atau dosen pembimbing, atau aku, cuma ingin ngobrol denganmu 5 menit saja. Ayolah. Sediakanlah sedikit waktu untuk bertemu. Mungkin cuma 5 menit, tapi jika pertemuan itu berkualitas bukankah hal itu menjadi waktu yang paling berharga.
Kembali ke soal magang. Jika saya beruntung (baca: tidak diajak ngobrol setelah jam kantor 17.10 berlalu), saya bisa pulang naik bus perusahaan lagi, naik kereta dari stasiun Gamagori dan sampai di Toyoashi pukul 18.10. Jam berapa bus berangkat ke kampus? 18.12. Yup, rentang dua menit. Pertama kali saya mencoba, saya belum memparameterisasi semua hal sehingga gerakan saya jadi tidak efisien. Turun kereta tangga kelewat, jadi harus memutar dan tangga pun sudah dipenuhi orang. Manuver dalam kerumuman juga jadi susah. Dan ternyata turun lewat lift tidak lebih cepat dari lari lewat tangga. Saat saya sampai di halte nomor 3, bus ke kampus di halte nomor 2 sekitar lima meter di depan menutup pintunya dan bye bye.
Lima detik doang gan! Kalau saya bisa hemat 5 detik, saya bisa hemat setengah jam sampai rumah… Bus selanjutnya ada di 30 menit berikutnya. Arghh… Percobaan kedua, saya sudah siap-siap. Mulai dari pemilihan gerbong yg keluar tepat di depan tangga, ancang-ancang sebelum pintu kereta buka, juga pernah sekali ngecek lari lewat tangga vs lift butuh berapa detik. Hasilnya, saya bisa duduk di bus tadi sekitar 20-30 detik sebelum ia berangkat. YATTA!!
Lima detik. Pelajaran lagi. Mungkin sebenarnya dia hanya perlu lima detik saja, atau bahkan sesaat, untuk bertemu Anda. Melihat wajah dan senyum kekasihnya, sahabatnya, mahasiswa bimbingannya. Hanya sesaat saja… Cukup sesaat saja… Sesaat saja… Waktu memang berharga, sesaat pun sangat berharga. Sedikit saja Anda anugerahkan sedikit benda berharga itu ke orang-orang yang mencintai Anda, akan sangat berarti bagi mereka. Karena Anda begitu berharga… (loh kok jadi kayak iklan)
Bagaimana menurut Anda tentang waktu yang superstrict ini? Relakah Anda hidup di negara seperti ini?
Emang bisa bangsa Indonesia diset dengan gaya transportasi begini? Katanya pada minta bikinin MRT??? Setelah berapa tahun dengan ini sistem, bisa nggak ya bangsa kita jadi tepat waktu kayak orang Jepang?
Ataukah lebih enak angkot yang bisa naik kapan saja dan sampai entah kapan-kapan saja?
Silakan tulis komentar Anda di kotak diskusi di bawah.
Ping-balik: Shakaijin: Rakyat Kelas Satu Jepang | Blog Kemaren Siang
Ping-balik: Constant Moving and Perfect Plan | Blog Kemaren Siang
Yup, pretty much agree, setiap millisecond memang berharga di negara manapun, jadi detik mana nih yang bisa membuat kita bebas keluar masuk jepang hehe, sapa tau bisa bawa tempe dari sini kali aja kanget bahan masakan indonesia yang super mahal disana 🙂
Di Bandung sudah mau dimulai pembangunan sejenis monorail/subway entah apa namanya yg jelas berbentuk kereta, rutenya Padalarang-Tanjung sari. Semoga tak lama Bandung kota dan sekitarnya sudah terhbung dengan transportasi semacam ini, saya sendiri utk komuter rumah-kantor pakai sepeda karena sdh sumpek di jalan kalo pake kndran bermotor, naek sepeda tingkat stress nya sedikit berkurang menurut saya pribadi 🙂
Di Bandung juga udah kayak gitu loh. Contohnya, kalo di jalan, lampu ijo tinggal 5 detik malah ga dikebut. Bisa dapet lampu merah lagi yang 3 menit. Terus efek domino ke lampu merah berikut dan berikutnya. Haha. Contoh yang salah.
Namanya angkot, kerjanya ya menunggu penumpang… Jalan mah sampingan. 😀
Nice post Bad! Disana keadaan juga emang udah sangat mendukung (atau mungkin memaksa) buat tepat waktu sih ya. Sebenernya kalo dibilang rela atau ngga, tentu aja rela. Jujur saya sendiri masih payah kalo soal tepat waktu. Pengen nyalahin kondisi sekitar, tapi sadar juga sebenernya kuncinya ada di diri sendiri juga, haha.