Sastra dan Cerpen
Comments 2

Kahfi

Ah, lemas sekali rasanya badan ini. Sepertinya sudah lama sekali saya tertidur. Tertidur… Hmm, tunggu dulu. Kok, rasanya kata itu kurang pas menggambarkan keadaan aku.

Sebentar. Ada yang aneh.

Rasa empuk tempat tidur yang tidak familiar. Seingatku, kasurku tidak seempuk ini.

Harum bunga yang tidak ku kenal. Mana ada bunga di kamarku.

Cahaya silau lampu kamar yang mampu menerobos kelopak mata diriku yang sedang tertidur pulas ini. Bagaimana bisa, lampu kan selalu kumatikan sesaat sebelum tidur.

Rasa dingin malam yang tidak pernah kurasakan. Dan Hening. Terlalu hening. Sebenarnya di mana aku sekarang? Aneh, aku tidak ingat.

Ah, bagaimana sih. Tinggal bangun saja bukan? Apa susahnya…

Aku coba membuka mata yang tertutup erat ini. Susah sekali rasanya. Ayo, kenapa… Selelah itukah aku sampai sulit sekali kelopak mata ini bergerak. Tapi aku harus tahu, apa yang terakhir kulakukan, sehingga aku berada di tempat asing ini. Dan apa tempat asing ini?

Setelah berjuang sepenuh jiwa selayaknya memperjuangkan bangun setelah tidur dari bergadang mengerjakan tugas besar berhari-hari, bukannya hilang butir-butir keanehan tadi, malah bertambah satu demi satu. Aku tidak merasa membuka mata tetapi aku bisa melihatnya. Ya, langit-langit yang tidak pernah ku lihat. Tirai berpola aneh yang menggantung di jendela yang tidak ada dalam ingatanku. Dan yang terakhir ini, aku tahu, bentuknya selalu sama di mana pun aku melihatnya.

Tiang infus. Apa yang dilakukan tiang infus di sini? Siapa yang sakit… Tunggu, sini itu di mana?

Di sampingku, sesosok orang tertidur lelap menggenggam erat tanganku. Lelap sekali, seolah-olah ia baru tidur hingga larut malam. Apakah ada sinetron yang tayang sampai tengah malam? Hmm… Aku tidak yakin…

Tidak berapa lama, terdengar dengungan suara sayup-sayup yang setiap pagi ku dengar. Makin lama, makin dekat suaranya bersahut-sahutan. Pintu kamar terbuka dan seorang pria masuk. Nah, yang ini aku kenal. Meskipun wajahnya tampak muram dan sembab, aku kenal. Dia berhenti sejenak di samping tempat tidur, kemudian memandang sedih ke arahku. Sedikit menghela napas, dia kemudian pelan-pelan menepuk pundak wanita penggenggam tanganku tadi. Membangunkan.

“Ibu… Ibu… Bangun, Ibu. Ayo kita salat subuh dulu… Kita harus berdoa, supaya Rudy cepat siuman dan sembuh…”

Perlahan wanita itu mendongakkan kepalanya. Genggaman tangannya sejenak makin erat sebelum akhirnya dia lepaskan. Dia berdiri, memandangku sebentar, dan mencium keningku. Sesaat sebelum keluar ruangan, ia memandangku lagi, sama seperti pandangan saat aku akan pergi merantau dulu. Sekilas kulihat ada pantulan cahaya di ujung matanya yang kemudian ia usap cepat-cepat. Ia pun keluar diikuti pria yang masuk tadi.

Oh my god! Ibu, bapak? Kenapa bisa di sini? Apa yang terjadi… Kenapa sepertinya sedih sekali melihat aku. Ya ampun, ini di mana sih. Aduh, aduh… Kok susah sekali rasanya bangun… Tunggu dulu, “supaya Rudy cepat siuman”? Supaya aku cepat siuman? Ini aku sudah bangun kok… Ini aku bisa melihat sekeliling. Kok dibilang belum siuman. Apa-apaan ini. Memangnya aku pingsan? Pingsan? Pingsan…

Setelah entah berapa lama aku menggeliatkan badan, berusaha untuk membangkitkan tulang, aku menyerah. Ah, kelamaan begadang nih kayaknya. Ah, apa yang sebenarnya terjadi.

Cahaya mentari mulai mendelik di antara tirai yang menyelimuti jendela asing tadi. Sudah pagi rupanya, ayo bangun.. Bangun.. Terlalu lama keanehan ini, mimpi ini, terjadi. Sedikit berjuang dan berjuang, akhirnya aku bisa duduk menyender juga. Atau setidaknya itulah yang ku kira.

Aku duduk, tetapi aku masih berbaring. Oh my god! Sebenarnya apa yang terjadi… Aku… Ada dua… Sosokku yang duduk, yang bisa bergerak, tampak sedikit transparan. Sementara itu, ada sosok yang juga mirip diriku sedang tidur lemah lengkap dengan infus dan selang hidung. Aduh, nggak paham lagi saya.

Aku tidak pingsan. Aku koma! – Kayaknya…

*

Perlu beberapa jam untuk menenangkan diri dari syok. Hey, aku bahkan nggak tahu kalau hantu bisa syok. Hantu. Hantu… Hantu ya? Aku sih nggak rela disebut hantu. Akan tetapi, sekarang aku transparan. Aku juga bisa melihat si aku yang sebenarnya tertidur tak sadarkan diri di sampingku. Kalau bukan hantu, apalagi?

Namun, menyebut aku hantu kayaknya terlalu berlebihan deh. Itu, aku masih bernapas. Jadi bagaimana dong. Baiklah, aku putuskan kalian boleh menyebutku “Thought Projection”. Ya ya, aku tahu. Terlalu keren. Ya sudahlah, terserah deh, hantu juga boleh.

Pukul sembilan. Matahari sudah mendaki setinggi bahu. Aku sedari subuh duduk bersilang tangan berusaha mencari benang merah kenapa aku bisa tersasar ke rumah sakit ini. Di sampingku, Ibu sedang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci. Sesekali beliau berhenti demi memandang wajahku yang sedikit pucat. Matanya berkaca-kaca memancarkan cahaya kesedihan dan kerinduan yang sangat mendalam. Tangannya mengelus lembut pelipisku, menembus tubuh proyeksi pikiranku yang sedang terduduk bingung berusaha memahami semuanya.

Sesaat kemudian, terdengar ketukan dari pintu kamar rumah sakit. Segerombolan orang pun masuk. Terdapat tujuh orang laki-laki dan perempuan dalam rombongan tersebut. Mereka masuk ditemani oleh bapakku. Setelah sampai di tepi singgasana peristirahatanku, Ibuku pun berdiri menyambut mereka.

“Ini, teman kuliah adek katanya Bu.”

Setelah mengobrol sebentar, bapak dan ibu meninggalkan mereka dan aku sendirian. Entah mau mengurus apa. Sesaat, suasana hening. Mereka memandangku dengan wajah tidak jauh berbeda dengan wajah bapak dan ibuku tadi. Beberapa malah menundukkan kepala.

“Eng… Halo teman-teman. Habis pada dari mana nih? Terima kasih banget nih sudah bersedia menjenguk saya… Anu, ada yang tahu saya kenapa nggak ya?”, aku mencerocos begitu saja. Bingung bagaimana caranya memecahkan kecanggungan situasi ini. Tentu saja, sepertinya mereka tidak bisa mendengar suaraku.

“Ooii… Hendro… Bisa dengar nggak?”, aku sengaja berteriak ke salah satu temanku yang berdiri di dekatku. Ngetes, siapa tahu terdengar. Tentu saja aku sudah tahu karena sebelumnya sudah ku tes dengan bapak ibuku tetapi mungkin saja kan beda orang beda ‘kemampuan’.

“Rudy. Ini ada surat yang harus ditandatangani. Saya taruh di sini ya.”

Alfi memecah suasana dengan melakukan hal aneh tersebut: mengobrol dengan pasien yang sedang tidak sadar. Beberapa teman tampak bingung. Sebagian merasa aneh. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka berubah raut muka menjadi lebih sedikit cerah.

“Eh, Rudy, tahu nggak. Teman-teman sekelompok tubesmu pada panik loh gara-gara kamu.” Yani mengikuti jejak Alfi.

“Iya nih. Temen-temen himpunan juga kebakaran jenggot. Tiba-tiba danlapnya menghilang begitu saja. Gimana ospek bisa lanjut.”

“Err… Kayaknya cerita hal-hal yang menambah stres orang sakit kayaknya nggak bagus deh.” Aku berkomentar tanpa ada tanda-tanda terdengarnya suara oleh mereka.

“Oh ya, Minggu depan si Kapet sidang ya katanya… Wah gila ya sudah MT aja…”

“Iya, gua aja baru lulus berapa bulan. Eh dia sudah lulus lagi untuk yang kedua kalinya.”

“Emang dia itu gila. Bulan depan langsung berangkat ke Jepang tuh, langsung S3.”

“Woohh…”, yang lain berdecak kagum.

“Minggu kemarin katanya Zach sidang. Katanya dibantai dia sama itu ibu…”

“Iya hari Jumat kemarin. Padahal kan TA-nya keren banget. Apa itu, mendeteksi plagiarisme dengan …”

“Eh Rud, kamu tahu nggak… Milan kalah loh di pertandingan Rabu kemarin.”

“Iya… Sayang banget. Coba kamu nonton, hehe.. Bakal nangis-nangis pasti kamu. Cupu banget lagi, itu siapa kipernya, pas striker dari …”

Mereka mulai menceritakan hal-hal yang tidak jelas. Macam-macamlah. Mulai dari presentasi tubes yang konyol, festival apalah di kampus, hingga macet karena ada artis lewat. Hal-hal yang kulewatkan selama aku menginap di tempat ini. Mereka bercerita dengan cerianya. Seolah-olah mereka adalah paman dan bibi dari jauh yang bercerita untuk keponakan jauhnya. Aku hanya bisa duduk manis mendengarkan. Betapa tidak kusangka, aku punya masih punya teman. Banyak teman. Teman yang masih bersedia berbagi dan bercanda ria walaupun aku tidak bisa bergerak seperti ini.

“Oh iya. ‘Summer Solitude’ juga sudah tamat loh. Seru banget loh, iya kan… Pada liat kan?”, Hendro turut menambahi cerita mereka yang sudah melantur ke mana-mana. Seolah orang yang diceritakan tidak sedang koma.

“Yoi mantap pisan bro. Malah, sekuelnya bakal tayang minggu depan tauk!”

“Oh iya… Serius? Kok saya nggak tau?”, Hendro yang menjadi rivalku dalam kefasihan jadwal tayang drama sedikit tersinggung terhadap ketertinggalannya atas info penting itu.

“Udah selesai? Ah, sial! Harus cari DVD-nya nih…”, aku menggerutu sendirian.

“Terus tahu nggak… Si Ai ini ludah pengumuman mau nikah loh..”

What?

“Nggak tahu pasti kan. Kelamaan sih kamu sebulan di sini! Pasti banyak ketinggalan info, deh. Udah ketinggalan info, keduluan lagi sama Aisyah. Percuma kau pengumuman duluan. Haha…” Mereka pun tertawa semangat sekali.

“Ma-makanya Rud. Kamu cepat sembuh ya… Biar nggak ketinggalan. Ya Rud ya… Biar bisa lanjut nonton lagi juga.” Aisyah yang dari tadi tampak diam ikut angkat bicara. Suaranya sedikit bergetar dan tertahan. Tangannya tampak terkepal erat. Sejenak atmosfer kamar kembali berat, hingga…

“Iya Rud. Ngapain lama-lama nginep di sini. Kosan sepi tahu.”

“Ka-kasihan Irina juga Rud… Dia kayak tidak bersemangat terus gara-gara kamu.”

“Eh Irina ke mana ya? Kok nggak bareng kita?”

“Ya nggak mau la dia bareng kita. Lebih asyikkan ngobrol berdua aja kan. Iya kan Rud?”

“Hush! Minggu pagi ini dia kan mengurus bunga dulu. Ini bunga dari kebun pribadinya kan… Pasti setiap hari Irina datang mengurusi bunga ini juga.” Yani mengangkat setangkai kembang dari vas di meja samping. Harum bunga yang tak ku kenal tadi rupanya dari… “Sudah jam 10. Sebentar lagi pasti dia datang. Ayuk, kita jangan lama-lama di sini. Nggak enak sama mereka berdua nih.”

“Xixixi… Oke deh. Udah dulu ya Rud. Cepet sembuh loh.”

Satu per satu mereka berdiri dan pamit dengan tubuh bergemingku. Perlahan, pundak-pundak mereka pun menjauh menuju pintu kamar rumah sakit. Aku yang tidak bisa bergerak ini hanya bisa menatap dari atas ranjang. Sepertinya ini kali pertama aku merasa sangat sedih ditinggal pulang teman yang berkunjung.

Setelah mereka keluar ruangan, kembali terdengar suara sedikit gaduh dan kaget di luar. Mungkin mereka ngobrol sebentar kemudian pamit dengan bapak ibu. Eh, tak berapa lama pintu kamar terbuka lagi. Akan tetapi yang masuk berbeda. Bukan teman-teman tadi, bukan pula bapak dan ibu. Suara desau obrolan dan sedikit cekikikan di luar masih sedikit terdengar.

Orang yang masuk itu tampak segar dan cantik. Habis mandi mungkin. Berpakaian rapi berwarna cokelat krim. Mengenakan rok panjang terukir hiasan kembang-kembang renda. Mirip motif batik tetapi tidak terlalu tegas garis-garis coraknya. Baju lengan panjang menutupi sebagian rok tersebut. Warna baju itu cukup kontras dengan warna rok walaupun sama sekali tidak tampak norak. Mirip es krim lah. Corak kembang juga tampak di ujung lengan baju itu. Penutup kepala terjuntai hingga ke dada menyembunyikan sebagian bentuk dari baju lengan panjang. Warna jilbab itu cokelat polos sangat serasi dengan lembaran di bawahnya. Sedikit di bawah leher tampak bros kembang berwarna perak memberikan sentuhan terakhir terhadap wanita anggun tersebut.

Postur wanita itu tidak terlalu tinggi, malah bisa dibilang pendek. Tangannya yang mungil membawa seikat kembang berwarna-warni dibungkus oleh plastik transparan. Bibirnya tampak tersenyum seolah ia menikmati pagi di akhir pekan ini. Matanya tampak berkaca-kaca, atau bisa jadi itu hanyalah pantulan sinar matahari dari jendela terhadap lensa yang ada di depan dua bola matanya.

Irina berjalan mengitari tempat aku tergeletak (dan sekaligus duduk) tak berdaya. Mengambil vas kembang. Kemudian pergi ke wastafel di salah satu pojok kamar. Diangkat kembang-kembang yang ada di dalam vas tersebut. Keran wastafel kemudian dibuka setelah mulut vas berada di tepi keran. Sesekali ditunggingkan vas tersebut sehingga keluar airnya. Setelah itu, dipilih beberapa kembang yang dikeluarkan dari vas tadi dan beberapa kembang lagi dari buket yang dibawa dari rumah. Kembang pilihan itu sangat beruntung untuk mendapatkan rumah baru di sebuah vas mungil nan cantik tersebut. Tidak percuma mereka semangat tumbuh hingga semerbak. Kembang sisa yang tidak begitu beruntung, pucat akibat telah melemahnya tubuh mereka, harus rela berpisah dari sahabat mereka. Mereka hanya bisa melihat dari kejauhan vas dengan kembang pilihan tersebut kini berdiri tegak di samping sesosok manusia yang tergeletak entah apa sebabnya. Beberapa kembang yang masih cukup mujur juga tergeletak di samping manusia itu. Terselimuti plastik transparan bermotif mawar mengkilap.

Di pintu kamar, tampak bapak dan ibu bersandar di setiap sisinya. Yah memang itu aturannya kan? Meskipun aku dan wanita ini telah bersepakat untuk mengikat janji, selama akad belum terlaksana, tidak pantas kami berduaan di sebuah ruangan sendirian. Tidak terkecuali jika salah satunya terbujur kaku. Jika ada yang berdua-duaan, katanya yang ketiga setan. Dan dalam kasus kali ini, aku yang transparan ini sepertinya masuk kriteria yang terakhir.

“Hhe, kamu lucu ya Rud.”

Sebentar. Itu tadi perasaanku saja atau memang Irina merespons candaanku tadi dengan menertawakanku. Memangnya dia bisa melihatku? Segera aku meneliti ke arah Irina untuk mengecek ekspresinya. Irina masih berdiri di depan meja kembang. Masih tampak simpul kecil di pipinya. Tangannya terangkat kecil ke bibirnya, menahan senyuman tersebut.

“Orang lain kalau sakit pasti mukanya merengut. Kalau kamu, cerah. Baru sekarang ini sih… Pasti gara-gara dicandai grupnya Hendro c.s. tadi kan.”

Hmm, sepertinya Irina sedang mengobrol sendiri. Atau dengan diriku yang masih tidak sadarkan diri.

“Baguslah. Sepertinya auramu sudah jauh lebih baik dari kemarin. Sebentar lagi pasti kamu sembuh. Semoga.” Terasa getir suara Irina saat mengucapkan kata terakhir itu.

Irina sesaat menunduk. Matanya menatap lantai rumah sakit dengan layu. Aura kesedihan dan kecemasan pun menguap dari gerak dan ekspresinya yang berubah secara tiba-tiba. Kemudian, tidak kusangka, Irina mulai bermonolog.

“Kamu tahu kisah Kahfi kan Rudy?”

“Pemuda-pemuda yang saleh bersembunyi di dalam gua dari kejaran penguasa yang zalim. Kemudian Allah membuat mereka tertidur selama 300 tahun.”

“Ketika mereka bangun dan keluar dari gua, dunia sekitarnya sudah berubah sama sekali. Desa, kota, bahkan kerajaan pun telah berubah.”

“Mereka sudah tidak mengenal siapa-siapa lagi.”

Irina mengenang-enang cerita Pemuda Kahfi yang termaktub dalam kitab suci itu. Membahas banyak cerita tentang legenda terkenal tersebut. Membahas dari sisi lain, dari sisi orang-orang yang mereka tinggalkan.

“Kamu Rud. Apakah kamu akan berakhir seperti mereka. Lama tidur dalam perlindungan-Nya, kemudian terbangun hanya untuk mendapati bahwa dunia sekelilingmu telah berubah. Bagimu mungkin hanya beberapa malam saja, tetapi bagiku, bagi kami, waktu yang lama telah berlalu.”

“…”

Bukan aku tidak tercengang dengan sudut pandang berbeda tersebut. Bukan tidak simpati dan peduli dengan pancaran kekhawatiran yang mungkin sudah menumpuk padat di bahu Irina. Bukan aku tidak memperhatikan getar suaranya. Namun aku agak sedikit canggung melihat orang berbicara sendiri di hadapan orang pasien yang sedang tidak sadarkan diri. Aneh. Padahal pasien itu diriku sendiri.

“…”

“Bukannya Irina tidak yakin dengan pertolongan Allah dan skenarionya. Bukan…”, suara Irina merendah.

“Tapi bukankah sunnatullah juga berlaku?”

Irina masih berdiri di samping meja vas berisi bunga indah pilihannya. Ia tertunduk. Kedua lengannya tampak bergetar. Jemarinya masih mengepal erat, menggenggam telapak sendiri, mengimbangi luapan emosi yang mungkin sudah ia pendam selama sebulan ini.

Ia pun kemudian menghela nafas panjang dan kemudian menegakkan kepalanya.

“Maaf. Sepertinya ak…”

Kemudian, Irina berbalik dan mengitari ranjang rumah sakit menuju ke pintu keluar. Tak lupa ia memberikan sentuhan terakhir kembali kepada hiasan bunga yang barusan diletakkan di meja samping sebagai ucapan perpisahan dalam pertemuan yang singkat tersebut.

“Kamu tidak seperti biasanya Ri.”

Suara itu menyahut sementara Irina beranjak dari tengah ruangan. Terdengar perlahan dan lembut seperti orang yang berbisik. Irina sejenak melambatkan langkahnya dan berhenti sejenak. Wajahnya mengguratkan campuran ekspresi kebingungan dan bahagia.

Bisa jadi wajahku juga menampakkan ekspresi tersebut saat itu. Disisiku, diriku yang sedang terbujur lemah itu masih terbaring lemah. Namun, matanya sudah tidak lagi memejam. Bibirnya yang sedikit kering tampak sedikit memaksakan senyum ke arah Irina yang sudah berbalik dan terpatung di tengah ruangan sana. Tampak berat sepertinya baginya untuk sekadar menampakkan senyuman tersebut.

Irina yang masih sedikit sembab itu mulai bereksperimen dengan campuran ekspresi yang lain lagi. Kaget, cemas, aneh, lega. Ia kemudian berbalik lagi dan berlari menuju pintu depan dengan satu ekspresi keriangan.

“Ibu, Bapak. Rudy, pak. Dia sudah sadar.” Sahut Irina sambil memeluk Ibuku dan kemudian mereka buru-buru berjalan ke arah sini lagi. Lalu mengitari diriku yang bingung dan diriku yang siuman.

*

Tempat pasien berbaring dikerubuti banyak manusia. Dokter dan perawat, ibu, ayah, Irina, dan beberapa teman yang tadi tetap tinggal mengobrol dengan ayah. Dokter sibuk memeriksa pasien yang air mukanya sudah mulai cerah, melepaskan jejak-jejak kepucatan yang sudah sebulan dia raut. Perawat berdiri di samping dokter bersedia menerima instruksi dari dokter sambil membereskan peralatan dan merapikan selimut. Ayah dan teman-teman berdiri agak jauh di luar tirai yang tersibak. Mereka mengobrol sambil memancarkan semangat seolah-olah baru melihat tim sepak bola Indonesia lolos menjadi peserta piala dunia. Ibu dan Irina berada di sisi ranjang rumah sakit berseberangan dengan dokter yang mulai mengajak mengobrol pasien di tengah.

Aku, transparan, dan makin transparan. Perlahan ingatanku dari bangun tadi semakin memudar begitu juga tubuh fisikku yang memang hanya diriku yang bisa melihatnya. Semakin terbuka mata dan semakin mudah bibir pasien bergerak, semakin kabur pandanganku. Aku yang memang tidak berwujud, kehilangan wujudnya. Setidaknya, aku bahagia telah mengetahui. Bahwa orang tuaku, teman-temanku, dan Irina masih peduli padaku. Melihat mereka begitu berseri memandangku siuman. Itu cukup untuk membiarkan kesadaranku menghilang dengan tenang.

2 Comments

  1. wow bed… wow… sip banget.. kirain kamu yg sakit lah -_____-
    btw.. Zach.. sidang jumat… mendeteksi plagiarisme dengan….. -> Zakiy? :))

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.