Ne-na-naa ne-naa. Sambil mengayuh sepeda kudengar alunan seruling menggema di langit. Seolah-olah dunia nyata ini kini punya soundtrack pengiring. Alunan itu memanggil anak-anak kembali ke rumah, selalu diputar pada jam yang sama. Tanda akhir hari. Ia mendayu-dayu. Membuatku terkilas dengan kisah kita sejak mendarat di negeri ini.
Ting-tung ting-tung, tung-teng ting-tung. Diikuti panggilan bersahutan memberitahu pesawat datang dan pergi. Aku sudah terbiasa dengan bahasa itu tetapi belum mengerti penuh apa yang mbak itu bilang. Letih, aku cuek. Hanya mengikuti kemana antrian berjalan. Hingga sampai giliranku, aku difoto, diberi kartu, dan keluar tanpa ada kejadian berarti. Resmi sampai. Syukurlah.
Wruhh… Suara gemuruh hujan menyambutku. Kabarnya topan sedang hobi berlibur kesini. Di bulan pertamaku saja, dua tiga kali dia blusukan. Tiupannya dahsyat. Mengombang-ambingkan pepohonan. Berdansa dengan tiang listrik. Menggoda kereta yang membawaku.
Wusshh… Kereta melaju cepat meninggalkan pulau buatan. Tampak jalanan dan perumahan yang dilintasi jalur rel, elok dan bersih, rapi tertata. Indah dipandang. Antrian keluar masuk kereta pun tampak seperti barisan anak SD sebelum kelas dimulai. Oh, inikah masyarakat yang terkenal dengan disiplinnya itu. Hanya saja, aku langsung merasakan apatisnya modernitas ketika aku terseok-seok menggeret koper dari gerbong belakang ke depan. Semua bergeming. Dan aku lelah. Pergi sendiri memang tidak enak. Setelah kuingat-ingat lagi hanya saat inilah aku pergi berkereta sendirian. Dan kukira hanya akan saat ini. Sayang aku salah…
Jeng jrengg jeng jeng… Belum sampai seminggu aku sudah diajak menari di jalan di bawah rintik hujan. Bong bon bong… Seminggu kemudian meraga baju adat di tengah jalan raya diiringi tabuhan genderang. Duta budaya sepertinya hal yang wajib bagi alien seperti kami. Hampir setiap kesempatan festival ada saja undangan. Ddurururu dung dung dudung. Tapi justru itulah yang seru dari bertualang. Bertemu keluarga baru, teman baru. Dunia baru yang siap dieksplorasi.
Drek kredek… Kereta di sini begitu tenang. Bukan hanya karena gerakannya yang stabil dan bantalan rel yang kuat, tetapi juga karena orangnya. Sunyi. Dredek… Bahkan di jendela ada tempelan gambar handphone disilang merah. Dilarang menelepon. Drek kredek… Sesekali pengumuman dengan suara melengking berbunyi. Semua orang tetap berdiam menatap gadgetnya. Termasuk kau juga senyum-senyum sendiri memijit ponselmu, entah apa yang kau baca.
Kelenting… Setiap makan-makan pasti diawali oleh adu gelas. Cheers! Entah acara resmi atau senang-senang. Homestay, meeting, atau party. Tak terkecuali di lab. Mereka heran dengan kita yang tidak minum. Mungkin sama seperti herannya kita dengan mereka yang tidak suka pedas. Tidak menikmati hidup.
Hou?? Hahaha… Sambil makan mereka mengobrol. Kadang tidak jelas juntrungannya. Makin mabuk makin bacar. Katanya -atau dalihnya- banyak keputusan penting dimulai dari sini. Di kesempatan ini kita bisa mendekati orang penting, misal direktur, karena saat inilah kita bisa semeja. Kita hanya bingung saja memandangi tak jelas obrolan mereka ngalur ngidul.
Tu deettt… Setiap akan berjalan dan berhenti, bus selalu menyuarakan dering tersebut, diiringi pemberitahuan informasi juga dengan suara melengking. Entah peri mana yang membuatku kebetulan bertemu denganmu lagi di bus ini. Sayang tujuan kita sedikit berbeda, kau obat aku beras. Buzaa… Buzzer berbunyi tanda penumpang akan turun di halte berikutnya. Aku turun duluan melambaikan tangan.
Ti nung tinu ni nung. Bunyi itu menyambut setiap kali kita masuk keluar ke warung. Di manapun, merk apapun warungnya. Entah siapa penggubah dan berapa royalti yang ia dapat dari membuat denting itu ya. Kau keluar dari warung ketika aku tiba, dan pamit pulang. Hahh… Desahku. Deru bus pun tepat sekali terdengar lewat di depan warung. Lima menit kemudian, ti nung tinu ni nung, dengan muka capek separuh tertawa, kau melambai tangan kembali. Terlalu cepatkah si bus rupanya.
Phyuuu… Duar… Duar… Duar… Indah nian kembang api, berduyun-duyun mengudara, bersinar sinar laiknya supernova di gelapnya langit malam nan dingin. Jauh sekali berbeda dengan kualitas dan kuantitas di negaraku. Bahkan ada juga kembang api raksasa yang dihidupkan sambil dipeluk. Unik menggemaskan. Pandangan mata dan kamera kita terpaku ke peristiwa unik ini.
Cekrikk… Shutter kamera menutup lebih cepat dari kerlip mata. Membuat pengalaman baru, mengunjungi tempat baru memang sangat mengasyikkan. Apalagi jika seluruh penjuru negara merupakan kawasan asing bagi kita.
De drek kredek… Jauh ke selatan, berkelana. Memandang turunnya es dari langit. Memandang hamparan hutan beton dari puncak bianglala. Memandang kolong fondasi kayu kuil-kuil. Memandang gundulnya hutan musim dingin. Melewati sungai-sungai, hutan bambu, lubang tanah, dan lautan manusia. Gurun, laut, badai salju. Sungguh petualangan menakjubkan.
Koak.. koak.. Gagak bermunculan di musim dingin. Manusia berdatangan hanya untuk menuruni lereng es. Aku yang belum pernah main pun ingin mencoba. Penasaran bagaimana rasanya berski ria. Wuss… Bahagianya aku, kau, kita serombongan, sebagian dengan papan, sebagian dengan perosotan. Meluncur sekali dua kali, atau sehari rasanya tidak cukup. Meskipun pegal, sepertinya salju ada zat adiktifnya. Ronde kedua seminggu setelahnya pun dilaksanakan. Aku persiapkan masakan spesial untuk saat ini, sayang kau tak disini.
Harus belajar keras di sini, mengingat disiplin adalah budaya rakyat. Mana ini itu nggak mengerti. Sret… Sret… Buka bahan presentasi dan buku juga sulit. Kendala huruf ada. Kendala rumus tingkat tinggi banyak. Memilih kelas pun galau setengah mati. Sret… Sret… Untung sesekali ada kau untuk membagi beban. Berusaha bersama memecah sunyinya lab. Mengingat cacing-cacing yang sudah lama sekali tidak pernah disentuh lagi semenjak entah kapan.
Klik-klik-klik… Namun, baru disinilah aku merasakannya. Mungkin kecepatan internet-lah hambatannya dahulu. Yang lain ialah teman bermain. Game Online memang tidak bisa dimainkan sendirian. Kebersamaan tanpa kenal umur memang asyik.
Ring… Ring… Bersepeda juga seru tiada duanya. Transportasi utama jarak dekat-menengah bagi banyak orang di sini. Lebih asyik lagi jika ada temannya, ramai-ramai konvoi sepeda, melihat laut, melihat mentari terbenam.
Prok.. prok.. prok.. prok… Tepuk tangan meriah kaupandu saat tongkat diestafetkan. Aku pernah menyebut bahwa disini kita seperti keluarga. Tidak hanya pada saat jalan-jalan, hari-hari biasa pun terasa hangat.
Hahahaha… Tawa canda ketika acara makan-makan. Klululung… Klung… Latihan musik untuk acara budaya kampus. Pok… Tepok… Olahraga bersama. Ting tung… Atau sekedar ngobrol atau main tanpa tujuan. Kebersamaan hampir selalu hadir setiap pekan di ujung dunia ini. Semoga masih tetap bisa kita jaga. Kebersamaan ini, kuharap.
Tuutttt…. Suara mini gadget meraung tiba-tiba, mengganggu, memberi tanda bahwa minuman pesanan sudah siap. Aku ambil fruit mix-ku dan kau manggo juice-mu. Enak juga, walau buah di sini mahal dan pasti ini bukan yang segar. Mengingat kafe ini baru pula. Yang aku kaget, tumben kau yang usul pertama menghabiskan waktu mencobanya.
Teeet… Benda itu bereaksi ketika kartu ini ditempelkan. Sistem absensi baru ini asyik juga. Aku memindai seluruh kursi dan menemukan kau sudah disana. Seperti biasa, aku pun menghampiri dan duduk di sebelahmu, sampai-sampai kau bosan sepertinya. Sayang, aku tidak. Hhoam… Dengan kombinasi aura hitam, celoteh statistik, dan bahasa alien, siapa yang tidak terbuai. Tidak jauh beda dengan nina bobok. Kamu ga ngantuk? Tak mungkin tidak. Makanya aku memainkan pulpen, browsing internet, memandangi kelas, dll. Minggu depan? Mengandalkan kamus, jeli penerjemah, dan dirimu. Berusaha melawan kantuk dan mengerti celoteh itu. Absen? Ada cek up? Semua hal dan obrolan untuk menjaga mata terbelalak.
…….. Aku terdiam. Tak ada suara. Tak ada pikiran. Tak terlintas apapun. Tak mampu berpikir alih-alih berkata. Dingin. Kosong. Opname? Aku terkejut dengan berita tiba-tiba itu. Kenapa bisa rawat inap dari check up sendirian? Kenapa tidak ada yg mengantar. Tidak ada yg tahu. Tapi kan aku tahu kau akan check up. Kenapa aku tidak inisiatif? Karena dengan diam pun, aku sudah tahu jawabanmu. Tidak kusangka begini jadinya. Namun, itu rupanya hanya prolog dari perpisahan. Harus pergi? Tidak cukup satu bulan, tapi satu tahun? Kenapa harus selama itu. Kenapa bisa? Tidak ada yang tahu. Semua diam. Terdiam. Menundukkan kepala, melemaskan tangan, diam.
Wusshh… Drek kredek… Bunyi kereta melaju kencang. Aku duduk di samping jendela, sendiri memandangi kota tertata rapi di luar sana. Sungai mengalir biru jernih sampai ke dasarnya. Pinggirnya bertaburan pasir bersih tanpa jejak sampah sedikit pun. Hamparan padang sawah yang sama dan konstruksi jalan di sana-sini selalu menghiasi pemandangan jendela itu. Mengingat ini, jadi heran kenapa kau selalu memilih untuk duduk di sisi ini. Aku yang selalu di lorong ini kini menatap jauh ke bukit bertaburan dedaunan yang mulai menghijau itu. Mencari jawaban.
…….. Malam senyap. Aku hening. Kau pun begitu. Perlahan kudorong kursi. Tenang. Tiada suatu kata terucap. Kau pun terduduk beku. Di lorong itu, suara-suara mereka ramai. Di balai sana, panggilan dan kode bersahutan. Di jalan raya seberang, mobil berdesing berlalu lalang. Di angkasa, deru burung raksasa beradu dengan angin jelas. Namun, layak lubang hitam semua senyap ditelan malam itu. Satu persatu dari mereka berlutut dan menggumam sesuatu di hadapanmu. Aku hanya memandang kosong. Mereka melambai. Aku memaksa senyum.
Tutt… Tutt… Tutt… Tutt… Tutt… Tutt… Sirine kapal laut menggaung di hamparan kegelapan teluk berkarang. Hanya kerlip suar yang menunjukkan jalan dalam keheningan. Seperti biasa aku berangkat menuju kuliah jam pertama. Hanya saja kali ini aku berangkat 10 menit mundur dari biasa. Mungkin ini kali pertama aku menyengaja terlambat. Kini aku berjalan sendiri. Perlahan. Menikmati sepoi angin pagi dan musik dari earphone yg selalu menyumpal telinga. Setiap langkah diiringi bayang jutaan mercusuar menempel di ujung angkasa. Tersembunyi oleh terik panas suar bernama mentari.
Tutt… Tutt… Tutt… To the moon. Through the stars. Saat suara merdu Laura Shigihara mendayu tinggi, aku menghela nafas. Sambil mengira-ngira sekaranglah waktunya ia melintas. There we’ll find a place to be. Langkahku terhenti. Tangan mengepal. Kepala menengadah. Berharap dapat memandangmu sekali lagi. Close your eyes. Setitik putih berlari kencang di angkasa. Ia tampak gagah, meninggalkan tilas garis awan putih memesona. All these wonders. Sekali-sekali, kilasan sinar mentari terpantul oleh logam di sekujur tubuhnya. Mataku mengikuti terus burung besi itu seolah satu kedip mata akan membuatnya lenyap secara ajaib. In the dark we saw them shine. Ya, meskipun kutahu kau utara dan ia selatan, pandanganku tetap bergeming. Seolah cahaya ada disana. You and me. Hingga titik itu menghilang di cakrawala.
Tutt… Tutt… Tutt… Aku pun melanjutkan langkahku. Menggapai mimpi yang masih terbentang. Tutt… Tutt… Tutt… Melanjutkan hari hari.
Just a memoir and a short story (Cerpen) by Albadr Nasution.
Ping-balik: N.U.R.I | Blog Kemaren Siang
Ping-balik: Bungkus iPhone Itu Bahannya Apa Yak? | Blog Kemaren Siang