Sastra dan Cerpen
Tinggalkan sebuah Komentar

In The Zenith

“Ah, berakhir sudah.” Leila hanya bisa pasrah. Membubung tinggi di angkasa, gravitasi tak lagi memberi mereka ampun. Mereka jatuh bebas tanpa ada pijakan lagi. Terhempas ke lapisan udara di bawahnya, terhantam angin keras ke wajah. Waktu seakan melambat bagi mereka. Lemas, tiada lagi tenaga tersisa. Tubuh Leila kian labil berguncang tak terkendali. Terjungkal, kadang kaki di atas, kepala di bawah.

Dari jauh, mereka tampak seperti dua titik yang bergerak cepat. Menembus awan. Menuju permukaan samudra. Ditambah satu lagi garis hampir horizontal turut mencakar biru sang langit. Kondensasi udara membuat lintasannya terlihat di angkasa. Benda aneh menggantung di ujung jejak itu, berbentuk seperti bolpoin raksasa, panjang dua tiga meter, berbahan besi, dengan logo nuklir terukir di badannya. Rudal antar benua yang ikut jatuh bersama mereka itu mulai berkelip. Lalu berkelip lebih kencang. Pada akhirnya, cahaya menyilaukan dan kemudian api keluar secara beringas. Seperti semburan naga ke segala arah, bercabang selayaknya dahan pohon, perlahan tapi pasti, akan melahap mereka.

Lei sudah kehilangan semua harapan. Masa hidupnya terlintas di depan matanya. Juga tentang sahabat terdekatnya. Lei hanya bisa bergumam. “Sepertinya loe bener Fa… Manusia tak selamanya punya kesempatan untuk berakhir dan bersemayam di bumi. Ada yang ditenggelamkan di air. Ada yang dibuang abunya di udara. Sekarang gue sedang menuju akhir itu Fa. Karmakah ini? Ah, tidak. Benar yang loe bilang. Akhir di kobaran api gak mesti akhir yang buruk. Loe belum pernah kan? Biar gue yang ngerasain. Nanti gue cerita saat kita bertemu…”

Ayumi mulai tersadarkan diri. Ia melayang sedikit lebih jauh dari Leila. Meskipun gravitasi juga mengundangnya ke pangkuan sang bumi, posisinya lebih manusiawi. Tubuhnya pun masih cukup terkendali. Ia berusaha mengangkat tangan kanannya ke arah Leila dan benda berkobar itu. Dengan sekuat tenaga. Ia tak punya pilihan lain. Hanya saja, mungkin ini adalah batas terakhirnya.

“Maaf Lei. Kuharap aku takkan gagal lagi…”

Dengan mengucapkan itu, Ayumi menutup matanya dan menggenggam kedua tangan di depan dadanya. Darah keluar dari bibirnya, menetes ke pipi, dan terbang tertiup angin.


Konflik. Perang. Agresi. Hari itu tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hal yang sama sejak zaman purba. Tidak pernah usai. Tidak ketika dunia masih dipenuhi misteri, legenda, dan keajaiban. Tidak ketika manusia berkelompok, membentuk negara dan peradaban. Tidak ketika manusia menciptakan metodologi sains dan berpikir kritis. Tidak pula ketika manusia berhasil menjelajahi setiap senti permukaan bumi. Bahkan saat mereka bisa berkomunikasi instan dari ujung ke ujung planet, konflik pun masih terjadi.

Legenda mengatakan, ribuan tahun lalu dunia dipenuhi oleh keajaiban. Kekuatan misteri dan makhluk gaib merajalela. Manusia melakukan sihir seperti halnya teknologi kini digunakan. Saat itu pun hanya konflik yang terjadi. Dalam legenda, tujuh orang suci bersatu untuk memutus koneksi ruh, sumber sihir. Mereka menutup tujuh kunci kekuatan sihir, katalis kristal kubus. Dan menyembunyikan ketujuh katalis tersebut di penjuru bumi. Akhirnya sihir terhapus dari muka bumi. Dan juga konflik yang menyertainya. Atau setidaknya itu yang mereka harapkan. Namun apa daya, manusia selalu saja menemukan cara baru dalam berkonflik.

Kemudian datanglah era pencerahan. Teknologi dan sains membentuk peradaban. Kota-kota dibangun tinggi. Ilmu diangkat tinggi. Namun, perang dan konflik tetap dijunjung tinggi oleh manusia.

Lima puluh tahun lalu, koneksi ruh tersebut kembali terbuka – atau mungkin dibuka, tak ada yang tahu. Satu, kemudian, dua tiga dan seterusnya dari tujuh kunci, katalis utama dunia sihir ditemukan. Setelah ribuan tahun terhenti, sihir kembali dilakukan secara terbuka di muka bumi.

Namun, konflik juga tidak berhenti. Manusia seperti mendapat mainan baru. Kejayaan dan keajaiban masa lalu. Semua menjadi serba praktis. Dan tentu saja misterius. Misalnya saja, lampu dari batu yang menyala tanpa bahan bakar. Atau kotak yang selalu dingin setelah diberi mantra tertentu. Objek terbang tanpa mesin pendorong. Atau matinya pejabat secara aneh. Munculnya sihir mengubah gaya hidup dan peta politik dunia.

Dibekali dengan sains teknologi, ilmuwan seluruh dunia meneliti fenomena nirnalar tersebut. Output energi yang melanggar hukum pertama termodinamika tentu sangat menarik untuk dipelajari. Satu teori mengatakan bahwa katalis dapat memberikan manusia kemampuan mengolah dark energy. Teori lain ia merupakan artifak teknologi dari dimensi lain. Namun, setelah setengah abad tidak ada kemajuan berarti. Tak lain karena konflik. Hal baru selalu memunculkan pemikiran baru, ideologi baru, kekuatan baru, negara baru, dan konflik yang benar-benar baru.

Kini dunia terpolarisasi jadi dua kutub. Perang hitam dan putih mereka menyebutnya, antara Federasi dan Aliansi. Perang antar benua yang sudah berlangsung selama dua puluh tahun. Perang antara sihir dan sains.

Satu kutub bertempat di Benua Manna, tempat di mana pusat peradaban dunia sebelumnya berada. Benua ini mengalami perubahan paling drastis dalam seratus tahun terakhir. Setelah memicu revolusi industri dan membawa kemajuan teknologi ke dunia, ia pun mengalami revolusi sihir. Lima puluh tahun lalu, insiden pilar hitam, terbukanya ‘kunci’ sihir, koneksi ruh pertama adalah disini. Kemudian secara alami muncul fenomena aneh yang tidak bisa dijelaskan secara saintifik. Dimana-mana. Penambangan jimat dan benda ajaib pun dilakukan masyarakat. Perlahan negara-negara berorientasi sihir bangkit. Menginvasi pusat peradaban. Memusnahkan peradaban. Dua tahun lalu, negara-negara sihir yang sebelumnya terpisah akhirnya membentuk Federasi. Hitam cukup menggambarkan situasi disana. Misterius. Tak diketahui. Setidaknya dari kacamata sang putih.

Kutub yang lain, utamanya di Benua Salwa hampir lolos dari kekacauan tersebut. Hampir… Setidaknya manusia belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Sains dan teknologi, seperti yang kita ketahui, masih berkembang pesat di sini. Mereka senang menyebut diri mereka putih, manusia modern yang berperadaban.

***

Kepulauan Azore. Berada di tengah Samudera Asha memisahkan Benua Manna dan Salwa. Fatya Nur Ilmi berdiri di lantai teratas gedung tertinggi disana. Atap lantai itu melengkung setengah bola. Terbuat dari bahan kaca semi transparan. Dari balik kaca tersebut, Fatya sedang memandang ke salah satu dinding tembus pandang yang juga merupakan layar monitor. Informasi tentang konflik dunia yang tak berujung tampil bertaburan di layar tersebut. Sejarah sihir, sejarah modern, dan narasi peperangan yang membawa mereka hingga hari ini.

Namun, Fatya tidak memperhatikan gambar dan teks sejarah tersebut. Informasi tadi hanyalah distraksi baginya untuk menghabiskan waktu. Ia memandang ke arah dinding, tetapi fokus matanya di cakrawala. Dinding itu tembus pandang, luasnya samudera dapat dilihat seujung mata memandang. Wajah Fatya tampak khawatir. Ia sedang menunggu hal yang jauh lebih penting.

Tak lama, tampaklah kerumunan titik di ujung cakrawala. Kerumunan itu menghitamkan langit yang biru, bak kawanan burung yang sedang migrasi. Kemudian, pada dinding kaca raksasa semi-tansparan di hadapan Fatya muncul gambar baru. Gambar itu menunjukkan pemandangan dengan kamera zoom yang dipasang di salah satu sisi gedung. Memperlihatkan individual dari kawanan burung tersebut. Berbahan besi, warna perak. Dua sampai empat baling-baling terpasang di atas untuk membuatnya terbang. Dua sampai empat laras senapan tergantung di bawah menunjukkan taringnya. Ialah Drone. Garda depan Aliansi.

Dimulai juga kah…  Fatya menggumam dalam hati.

Kemudian wanita itu menekan sebuah tombol di earphone yang sedang ia gunakan dan berkata dengan lantang. “Perhatian seluruh regu. Kembali ke posisi kalian dan bersiap menghadapi garda depan Aliansi. Kita memang kalah jauh dalam hal jumlah. Namun, bukan kemenangan yang kita tuju. Tetapi perdamaian. Entah itu hitam atau putih, jangan biarkan konflik ini meningkat.”

Konflik ini harus dicegah. Harus. Kalau tidak…. Kembali Fatya menggumam dalam hati. Shabrina, kenapa kamu tidak mengerti.

Beberapa saat kemudian, satu jendela tambahan muncul di dinding layar raksasa tersebut. Sebuah video message. Dari seorang pria yang juga tampak cemas. Hal ini bukan pertanda baik.

“Fatya… Gawat… Otorisasi kode dari Tuan Puteri terkonfirmasi. Aliansi mulai meluncurkan lima rudal nuklir antar-benuanya.”

Fatya makin lemas. Oh Shabrina tuan puteriku, apa yang kau pikirkan.

*****************************

Di salah satu pulau terluar di Kepulauan Azore, beberapa senapan darat-ke-udara raksasa terpasang. Ukurannya sebesar truk tronton, berbentuk kotak berlubang-lubang bak sarang lebah. Putih menjulang 45 derajat ke arah langit. Di salah satu kotak tersebut, sesosok perempuan berdiri dengan gagah. Rambutnya panjang terurai. Bajunya panjang berkibar tertiup angin. Katana tergantung di sisi badannya. Ia sedang menatap ke arah lautan yang sudah mulai gelap dipenuhi ratusan drone tempur.

Tiba-tiba, sesosok lain muncul dari udara kosong. Muncul berdiri di sebelah perempuan tadi. Perempuan berambut pendek dengan bando hijau. Ia pun menyapa sang pemegang katana.

“Ayumi, ngapain loe di sini?” Leila bertanya kepada Ayumi. “Bos bilang balik ke posisi kan?”

“Sst…,” Ayumi menggerakkan jari tangannya dalam pola tertentu. Lalu perlahan kakinya terangkat. Ia tidak menginjak truk senapan itu lagi. Mengambang di udara, lalu terbang ke arah pantai.

Kerumunan besi terbang itu mulai mengerubungi pulau-pulau terluar Azore. Mereka hanya terbang perlahan di atas Azore. Murni mencueki beberapa kapal tempur, senapan darat-ke-udara, dan pasukan yang bersiap di pantai-pantai pulau. Bahkan, mereka menghindari Ayumi yang mengambang di antara mereka. Seolah-olah ia hanyalah rintangan alam yang tidak boleh ditabrak.

Ayumi menekan tombol di earphone dan berkata, “Sepertinya mereka diprogram supaya tidak menyerang jika tidak diserang. Yakin kita yg akan memulai konflik?”

Sambil berkacak pinggang, Leila menghela nafas lalu menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, ia berdiri tegak mempersiapkan diri. Dan tiba-tiba ia menghilang dari atas truk-senapan tadi.

Sesaat kemudian, bunyi keras terdengar dari arah kerumunan drone. Beberapa drone hancur bersamaan dengan munculnya batu besar dari atas mereka. Drone lain di sekitarnya seketika berhenti. Menghadapkan kameranya ke arah insiden tersebut. Mereka mendeteksi objek=’batu’ yang jatuh dari langit. Juga seseorang=’wanita’ yang duduk di atas batu tersebut. Sekejap kemudian, batu dan Leila menghilang. Hanya saja, sekejap itu cukup bagi para drone untuk meregistrasi batu dan Leila sebagai musuh. Ketika suara keras terdengar lagi dari sisi yang lain, para drone yang kebetulan sedang menghadap ke Leila langsung melihatnya sebagai musuh dan menembakkan peluru.

Ayumi yang berada di tengah awan drone tersebut menelan ludah. Drone di sekitarnya masih tidak menghiraukan keberadaan Ayumi dan sibuk mencari target yang baru mereka registrasi tadi. Namun, Ayumi pun mencabut sang katana dari sarungnya dan menebas drone terdekat. Giliran drone di sekitar Ayumi yang berhenti bergerak dan memandangi Ayumi, mendaftarkannya sebagai musuh.

“Dessy, Febri, Amir… Serangan penuh.” Ayumi mengontak komandan masing-masing pos laut dan darat. Ia pun melakukan kuda-kuda. Kemudian terbang dengan kecepatan penuh ke arah pusat awan drone. Sesaat kemudian langit, laut, dan darat di daerah tersebut penuh dengan ledakan.

Amir mengoperasikan senapan darat-ke-udara di tepi pantai tadi. Meskipun dua temannya, Ayumi dan Leila sedang berada dalam area tembakan, ia yakin dengan kemampuan mereka. Mereka adalah anggota The Orphic Fairy, empat orang pasukan elit yang terkenal di dunia sihir. Dalam hati Amir tidak tahu mana yang lebih ia syukuri, menyelundupkan berbagai peralatan perang saat ia melarikan diri dari Aliansi atau mendapat dukungan dari Peri Orfis.

Febri sibuk berkoordinasi dengan tiga atau empat kapal laut dan beberapa pesawat tempur lain. Mereka hanya punya kapal laut dan pesawat terbang sedikit, jadi harus dimanfaatkan maksimal. Ia sudah mengaktifkan jamming yang sepertinya tidak terlalu berpengaruh terhadap drone tersebut.  Namun, sementara drone sibuk dengan Ayumi dan Leila ia bisa melakukan komputasi untuk memberi target untuk rudal yang ia punya sehingga penghancuran drone bisa seefisien mungkin.

Di samping Febri, satu Peri Orfis lain sedang memberi laporan ke markas besar. Selene December alias Dessy. Ia sedang menuju ke geladak kapal untuk menyerang drone ketika ia mendapat instruksi dan kabar baru yang sedikit tidak mengenakkan. Selain ribuan burung terbang mematikan tersebut, kini mereka harus menghadang objek yang jauh lebih berbahaya.

“Kak Ayumi. Kak Lei… Ada perubahan rencana. Kak Fatya meminta kalian kembali ke mabes. Serahkan situasi di sini kepada kami.”

Dessy menghubungi Ayumi dan Leila. Lalu, ia pun berkonsentrasi penuh untuk melaksanakan instruksi yang lain lagi. Tangannya bersedekap di depan dada. Ia menggenggam kalung kristal yang dikenakannya. Tak berapa lama, kristal tersebut dan dahi Dessy berkilau mengeluarkan cahaya kebiruan. Kemudian Dessy merentangkan tangan dan membaca sesuatu.

Setelah menerima pesan dari Dessy, Leila lalu mendekati Ayumi dan melakukan teleport ke markas besar. Sebelum menghilang, mereka sempat melihat segaris air laut terangkat ke udara membentuk dinding air tipis. Dinding itu membentang hingga berkilo meter ke kiri dan ke kanan. Drone tidak dapat menembus dinding itu seberapa kerasnya mereka menembak.

Sesaat kemudian, Ayumi dan Leila muncul di gedung pusat komando di hadapan Fatya.

“Ayu, Lei, ” Fatya menyambut, “kondisi darurat.” Ia meneruskan dengan langsung memberikan informasi. “Sekarang rudal nuklir antar benua milik Aliansi sedang aktif. Jika kita tak bertindak akan banyak korban di benua Manna.”

Rudal nuklir? Ayumi dan Leila menelan ludah.

“Tunggu dulu. Aneh nggak sih?” suara datang dari seorang pria yang duduk di ruang itu, Rumi. Ia merupakan asisten dan tangan kanan dari Fatya. “Kenapa Aliansi berani meluncurkan rudal ke teritori musuh lagi. Apa mereka lupa insiden Belarus?”

Pada awal perang hitam-putih, umum bagi negara pemegang nuklir untuk menyerang negara sihir dengan rudal nuklir jarak jauh. Setidaknya hingga insiden Belarus. Pada insiden itu, rudal yang sudah sampai di belahan dunia, tiba-tiba muncul di atas kota ia ditembakkan, dan menghancurkannya.

Space distortion detector. Kali ini suara datang dari video message di dinding. Video itu berasal dari Nabil Yusuf, salah satu anggota Aliansi yang mendukung misi mereka. Yusuf-lah yang memberikan informasi-informasi dari dalam Aliansi kepada mereka.

“Sensor tersebut mendeteksi perubahan kurva tiga dimensi ruang. Dengan kata lain distorsi ruang.” Yusuf melanjutkan, “Semenjak kejadian yang meluluhlantakkan kota Belarus, salah satu negara Aliansi melakukan riset tersebut. Jika ada distorsi ruang yang anomali terdeteksi, rudal nuklir akan meledakkan diri saat itu juga. Hal ini akan mencegah sihir teleportasi model apapun oleh pihak ketiga.”

“Ah.” Leila teringat sesuatu. “Jadi ini biang kerok waktu itu…”

“Maksudmu?” Fatya tidak mengerti.

“Tiga tahun lalu saat lorang –sorry– saat Aliansi menyerang Antharia, kota tempat akademi sihir kami orang, gue jadi salah satu prajurit dadakan Federasi – emm waktu itu belum Federasi ya… Prajurit juga nggak sih… Emm…,” Leila bingung sendiri.

“Yak intinya, waktu itu ada roket datang dari langit. Gue coba teleport deh dia ke tempat lain. Bukannya ilang malah meledak dia. Wahh… Parah lah waktu itu. Kacau gila. Untung ada Dessy dan perisai airnya waktu itu. Hahaha….,” Leila berusaha menjelaskan dengan singkat padat dan tak jelas.

Ayumi hanya melipat tangan dan senyum sinis melihat deskripsi Leila saat mengingat kejadian itu. Ayumi, Leila, Dessy, dan Ulfa – ada disana waktu itu. The Orphic Fairy, komunitas sihir menyebut mereka. Umumnya sihir harus dilakukan dengan katalis, berupa jimat, mantra, magic circle, dll. Tujuh katalis terhebat adalah tujuh ‘kunci’ sihir. Ia berbentuk batu kristal kubus. Tanpa mereka, katalis lain tidak akan berfungsi karena putusnya koneksi dunia dengan ruh sumber sihir. Hilangnya sihir dari muka bumi ribuan tahun silam adalah karena tertutupnya kunci sihir. Munculnya kembali sihir di dunia pun karena aktifnya salah satu kunci kristal kubus tersebut.

Selain menghubungkan dunia dengan sumber sihir, kunci ini juga dapat digunakan untuk membuat sihir. Bahkan di tangan penyihir kapabel, kristal kubus ini bisa menghasilkan kekuatan tidak terkira. Sihir yang bisa menyamai kekuatan makhluk gaib dan para dewa.

Namun, terdapat orang yang dapat melakukan sihir tanpa katalis apapun, salah satunya adalah peri orfis. Mungkin tubuh mereka sendirilah yang menjadi katalis. Sebuah katalis hidup. Komunitas menyebut kekuatan mereka karamah. Mirip tapi berbeda sifat dan sumber dari sihir.

Legenda menyebutkan bahwa tujuh orang suci yang mencabut sihir dari dunia memiliki karamah. Namun setara dengan kekuatan kunci sihir. Kekuatan mereka di luar nalar, bahkan dalam standar dunia sihir. Begitu pula dengan keempat peri orfis. Kekuatan mereka memiliki sifat seperti kekuatan sihir dari kristal kubus, sang ‘kunci’ sihir. Seolah-olah mereka itu adalah ‘kunci‘ dari jenis karamah. Kunci yang menjadi katalis karamah-karamah biasa lain.

Leila dengan teleportasinya. Dessy dengan pertahanan mutlaknya. Ulfa dengan serangan mutlaknya.

Siapapun akan berekspektasi besar kepada mereka. Namun kekuatan invasi Aliansi ke Kota Antharia pada tiga tahun lalu sangatlah besar. Berbagai teknologi baru diuji coba saat itu. Pasukan dunia sihir, termasuk Peri Orfis tidak dapat menghalau Pasukan Aliansi. Ulfa, teman baik mereka maju ke medan perang sendirian. Hingga kini tidak ada kabar darinya.

Pusat kota Antharia diserang dengan nuklir. Leila mencoba menteleportasi peluru kendali itu, tetapi ia malah meledak. Dessy bisa menahan ledakan dengan perisai air yang menyelubungi seluruh kota. Hanya saja tidak bisa terlalu lama, tidak hingga dua dan tiga rudal nuklir menghantam perisai tersebut. Leila pun akhirnya harus menteleport seluruh kota, menuju ratusan kilometer ke belakang garis peperangan. Karena hal itu, Leila tidak sadarkan diri hampir selama dua tahun setelahnya.

Setelah mengingat kejadian itu, Ayumi kembali ke masalah dan bertanya tanpa basa-basi. “Jadi, apa rencana kalian? Seperti yang kalian ketahui, kita tidak bisa memindahkan rudal tersebut dengan teleportasi.”

Yusuf menyela, “Dalam tiga kata: serangan jarak dekat.”

Leila pun bingung, “Maksudnya?”

Sebuah jendela baru muncul di layar dinding: maket tiga dimensi dari rudal. Yusuf kemudian menjelaskan cara kerja rudal beserta komponen dan sensornya. Lei hanya bisa mengernyitkan kening sambil mengelus-elus dagu. Tidak mengerti.

“Intinya… Jika kita merusak rudal di titik ini, ini, atau ini reaksi nuklir dalam rudal tidak akan terbentuk dan dia akan jatuh atau setidaknya tidak meledak. Nah, kami butuh kalian mendekati rudal tersebut kemudian menebasnya dari jarak dekat. Untuk itulah kami butuh kalian Ayumi dan Lei.”

Rumi: “Hey, kamu bercanda kan? Kalian tahu. Kecepatan rudal tersebut Mach 18!”

Leila: “Maag? Rudalnya sakit perut?”

Mereka semua mencueki Leila. Rumi pun menambah pertanyaan. “Memangnya kita punya pesawat secepat itu? Lalu bagaimana cara mengejar mereka?”

“Lebih tepatnya, tidak ada pesawat secepat itu di dunia.” Yusuf menjawab.

Sesaat ruangan hening.

“Jadi begini rencananya. Kita tidak akan mengejar rudal-rudal tersebut. Kita akan menunggu mereka. Leila dan Ayumi, kalian menunggu di zenith kepulauan ini. Begitu mereka memasuki wilayah udara Azore dan mendekati kalian, Leila harus menteleport ke dekat rudal tetapi jangan terlalu dekat supaya detektor distorsi ruang tidak aktif.” Fatya dengan tenang menjelaskan rencana mereka.

“Saat rudal cukup dekat, Ayumi potong deh itu batangan terbang. Gampang kan?” Yusuf menimpali.

Leila menatap Fatya dan kagum dengan penjelasan mereka sambil mengangguk-angguk. Sementara itu, Ayumi dan Rumi mengusap wajah mendengar rencana absurd itu.

Rumi: “Mach 18. Sesaat kita berada di samping si roket, sedetik kemudian dia sudah tujuh kilo menjauh. Rencana yang bagus.”

Fatya: “Ayu… Kudengar kekuatan karamah milikmu dapat menghentikan waktu?”

Kekuatan kunci milik Leila adalah kunci ruang. Milik Ayumi adalah kunci waktu. Namun, sama seperti sihir dan karamah biasa, kehebatan kekuatan kunci mereka sebenarnya memiliki banyak sekali batasan.

Ayumi: “Lebih tepatnya melambatkan. Bukan menghentikan… ”

Rumi: “Jadi?”

Ayumi:Time sphere. Jika aktif, bisa membuat waktu relatif yang dialami segala objek-bermassa berbeda dengan waktuku. Sehingga bagi pemilik karamah, segala objek disekitarnya tampak lebih lambat beberapa kali lipat dari kecepatan asli. Kata kuncinya di sekitar dan beberapa kali lipat.”

Rumi: “Hmm… Dan yang kita hadapi ini adalah objek tercepat di dunia kan. Agar ia tampak berhenti, berarti…,” Rumi pun mengggerak-gerakkan jarinya untuk menghitung, “sepuluh ribu kali?”

Ayumi bertambah cemas dengan optimisme orang-orang di sekitarnya, “Jangan bercanda kalian…”

Fatya: “Hm… Oke Ayumi. Bisa berikan kami estimasi?”

Ayumi: “Tergantung… Jika dibutuhkan, seratus kali perlambatan untuk radius satu kilometer masih memungkinkan. Tapi itu batas kemampuanku.”

Yusuf: “Okay… Mach 18 dilambatkan seratus kali berarti seperti shinkansen. Not bad. Tidak ada masalah kan?”

Ayumi tidak bisa menjawab hal itu. Bukan karena mereka tidak mampu tetapi karena banyak hal-hal yang mereka abaikan dalam rencana. Ayumi juga tahu, kalau mereka menanyakan ke Leila pasti iya menjawab iya tanpa berpikir panjang. Tugasnya lah untuk berpikir panjang.

Ayumi: “Oke, asumsikan Leila berhasil menteleport kami di posisi dan saat yang tepat sehingga kita cukup dekat dengan rudal. Agar kita bisa menebas si rudal, berarti kita harus berada di luar pesawat. Aku yakin kalian pasti berniat mengandalkan karamah pengendalian udaraku untuk mengatasi gesekan udara dan juga gravitasi.

Fatya: “Syukurlah kamu sudah paham.”

Ayumi pun membayangkan betapa repotnya pekerjaan ini. Ia punya beberapa keluhan lain yang harus disampaikan. Namun, Leila pun mendahuluinya.

Leila: “Eh, tunggu dulu. Ini rudalnya ada lima kan ya. Berarti gue harus pindah-pindah jarak super jauh lima kali?”

Fatya: “Betul.”

Leila: “Dalam waktu singkat?? Maksud gue, super-super singkat?”

Fatya: “Detik atau bahkan mili-detik.”

Leila pun ikutan komplain. Bahwa karamah-nya harus memiliki jeda sekian dan sekian lah, dan tidak bisa aktif dalam radius time sphere Ayumi lah, atau ia hanya mampu melakukan teleportasi dalam jarak sekian berapa kali lah, dan lain lain.

Mereka pun berdiskusi dengan sengit tentang detail dari rencana itu. Namun, mereka berpacu dengan waktu. Mach 18 berarti rudal tersebut dapat mengelilingi bumi hanya dalam waktu dua jam. Mengingat Azore dan Benua Salwa hanya berjarak kurang dari sepertiga keliling bumi, mereka hanya punya waktu beberapa puluh menit sebelum rudal tersebut berada di atas mereka.

Dengan simulasi komputer dan perhitungan oleh Yusuf, dalam waktu singkat mereka menyepakati rencana dan berdoa supaya rencana gila tersebut dapat terlaksana. Sebelum Ayumi dan Lei berangkat, Fatya memberikan pedang miliknya ke Ayumi. Dua lebih baik dari satu katanya.

Ayumi juga membisikkan sesuatu di dekat Leila. Jangan terlalu memaksa diri. Ia tahu ini misi yang penting tetapi ia tetap khawatir dengan kondisi Leila. Kekuatan kunci membutuhkan konsentrasi dan stamina yang tinggi. Leila memiliki stamina yang cukup besar. Namun, seperti insiden Antharia tiga tahun silam, Leila terlalu memaksakan karamahnya dan jatuh koma hingga berbulan-bulan.

*****************************

Pesawat tempur F-14. Salah satu pesawat supersonik tercepat di dunia. Kecepatan maksimum Mach 2.2. Sangat mematikan. Mereka beruntung beberapa ada di kapal induk saat mereka melarikan diri dari Aliansi dan memosisikan sebagai pihak ketiga dalam perang hitam putih.

Febri dan kru kapalnya telah menyiapkan F-14 tersebut di geladak kapal. Pesawat itu tadinya akan dipakai untuk melawan drone yang kini sedang ditahan oleh perisai air. Ayumi dan Leila telah memakai seragam terbang lengkap dan duduk di kokpit. Ayumi duduk di bangku pilot dan Leila duduk di bangku support di belakangnya. Jendela pesawat menutup ketika mereka melakukan pengecekan pesawat terakhir.

“Lei?” Ayumi menanyakan kesiapan terakhir kepada Leila. Kedua tangannya sedang menyesuaikan dua katana yang juga ia bawa ke kokpit. Pedang itu cukup mengganggu keleluasan pilot.

“Sesuai rencana.” Leila telah menghafal semua skenario yang telah dipersiapkan oleh Fatya dan Yusuf.

Ayumi pun berkomunikasi dengan menara kontrol untuk keberangkatan. Penjaga jalur lepas landas pun telah bersiap di geladak. Ayumi memberikan kode jempol. Tiba-tiba, Ayumi merasa pemandangannya kabur dan pusing. Tangannya terhenti di gagang kendali pesawat. Ia pucat. Seolah-olah ia baru saja teringat hal yang sangat penting.

Ah. Hanya sampai di sini kah… Sudah kuduga, kekuatan terakhirku tidak bisa membawa terlalu jauh. Oh… Tidak… Jika dibiarkan, kegagalan itu akan terulang lagi.

Ayumi kaku, tenggelam dalam pikirannya. Namun di saat itu Leila dari belakang menepuk pundak Ayumi dan berkata. “Ayu, tenang…. Bedua, kita pasti berhasil.”

Ayumi pun menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri dan mengesampingkan memorinya tadi. Ia mulai berpikir, mencari jalan. Pada akhirnya ia membuka jalur komunikasi dan berbicara kepada Fatya di mabes.

“Fat… Kau bilang takdir takkan berubah kecuali kita mengubahnya kan?” Ayumi melanjutkan dengan nada memohon,  “Fatya, tolong jaga kami.” Kemudian, dengan memantapkan hati Ayumi menjalankan F-14 dan melepas landas dari kapal induk menuju angkasa.

Rudal masih berada beberapa ratus kilometer ketika mereka lepas landas. Sang F-14 melaju dengan kecepatan penuh ke arah Benua Salwa menuju rudal. Kemudian, separuh jalan memutar balik kembali ke Azore. Selain untuk menghindari konflik dengan pasukan utama Aliansi, hal ini dimaksudkan agar saat rudal dan pesawat bertemu di wilayah udara Azore, mereka berada dalam arah yang sama. Meskipun pesawat ini termasuk tercepat di dunia, rudal antar benua incaran mereka jauh lebih cepat. Mereka pasti tersusul.

Langit yang tadinya cerah, kini tampak mendung dan berangin. Sesuai rencana, Ayumi mengendalikan udara di atas wilayah langit Azore agar terbentuk pusaran topan. Hal ini dilakukan dalam jalur F-14 yang sudah diatur. Rendahnya tekanan udara di Azore dan potensi topan akan mengganggu perjalanan rudal. Tidak banyak, tapi cukup untuk memperlambat kecepatan rudal beberapa Mach.

Beberapa menit kemudian radar menunjukkan posisi salah satu dari lima rudal tepat di belakang mereka. Sudah saatnya mereka beraksi. Rencana ini sangat gila dan membutuhkan presisi ruang dan waktu yang sangat tinggi. Semua perhitungan dan skenario sudah dipersiapkan oleh mabes. Namun, eksekusi lapangan bisa jadi berbeda.

Leila kembali menepuk pundak Ayumi. “Hitung sampai tiga?”, Leila lalu seperti berkonsentrasi penuh. Matanya menghadap ke arah luar jendela. Ia lalu menyiapkan gerakan khas di tangan satunya lagi sambil berkata “Tiga!”.

Sesaat kemudian mereka sudah berada di udara bebas. Tanpa lantai untuk dipijak. Atau tali untuk bergantung. Sepuluh kilometer di depan mereka, rudal antar benua sedang berlari dengan kecepatan tinggi. Tidak sampai satu detik kemudian, mereka dan rudal akan bertemu.

Ayumi langsung mengaktifkan berbagai karamah pengendalian udaranya: anti-gesekan udara dan anti-gravitasi. Aktivasi dua sihir tingkat tinggi itu sudah sangat sulit. Melakukan dua karamah tersebut dalam waktu kurang dari satu detik merupakan hal yang sangat luar biasa. Namun, Ayumi harus mengaktifkan yang ketiga, kekuatan kunci yang menjadi inti rencana mereka. Perlambatan waktu.

Satu kilometer sebelum rudal menghampiri mereka, Ayumi melambatkan waktu hingga seratus kali lipat. Rudal yang langsung masuk ke radius time sphere perlahan tampak lebih lambat saat ia menuju Ayumi dan Leila. Bagi mereka, kecepatan rudal hanyalah sekitar 200 km per jam. Masih sangat cepat memang. Mungkin bagi orang biasa, sangat sulit untuk membelah kereta listrik berkecepatan penuh. Syukurnya Ayumi adalah seorang pemain pedang handal. Ia dapat memprediksi jalur peluru dan menebasnya. Hanya saja, kali ini mereka membutuhkan keakuratan yang jauh lebih tinggi agar rudal terpotong tanpa mengaktifkan hulu nuklir.

Dalam waktu yang bersamaan, Leila tidak kebagian tugas. Ia memiliki beberapa persiapan saat Ayumi gagal memotong rudal. Akan tetapi, Leila tahu hal itu tidak mungkin. Ia percaya dengan Ayumi. Leila berkonsentrasi penuh pada posisi teleport selanjutnya. Pada kacamata yang ia kenakan terdapat koordinat yang telah dihitung oleh Yusuf.  Lei pun memandang angkasa di sisi lain. Lalu membayangkan seberapa jauh, seberapa cepat, dan faktor-faktor lain dalam kepalanya agar teleportasi selanjutnya berlangsung dengan tepat. Setelah itu, tinggal menunggu aba-aba dari Ayumi.

Rudal itu berbentuk seperti pilar beton, berukuran dua pelukan orang dewasa. Panjangnya sekitar 30 meter. Ia terbang dengan kecepatan yang mengerikan ke arah mereka. Seratus meter (dua detik) sebelum rudal berada pada posisi mereka, Ayumi bersiap, memegang pegangan katana. Lima puluh meter (satu detik), Ayumi memasang kuda-kuda. Kemudian, sesaat kemudian Ayumi mencabut katana dan menebas peluru raksasa di hadapannya. Satu kali sabetan saja yang ia butuhkan.

Rudal pertama, jatuh. Tebasan itu membelah dua rudal di sepertiga akhir badan 60 derajat ke arah sisi ventral. Dengan demikian, kontrol utama rudal mati, rudal pun terpisah dari roket pendorong. Roket pendorong pun kini tidak menyala penuh seperti sebelumnya karena kehilangan kontrol bahan bakar.

Ayumi pun menonaktifkan perlambatan waktu langsung setelah menyarungkan katananya. Satu aba-aba yang Ayumi dan Leila sepakati. Ayumi memberi menjentikkan jari kedua tangan. Tepat saat itulah pengendalian waktu dimatikan. Lalu tanpa jeda, ia meninju kedua tangan di depan dada dengan salah satu tangan terbuka. Saat kedua tangan Ayumi bertemu itulah, Leila harus melakukan teleportasi. Aba-aba ini dilakukan agar kunci waktu milik Ayumi dan kunci ruang tidak aktif bersamaan. Dua karamah/sihir yang dibangkitkan oleh katalis kunci tidak dapat diaktifkan di satu titik bersamaan. Mereka akan konflik dan saling meniadakan. Akibatnya, pemilik karamah akan kehilangan konsentrasi sesaat dan semua rencana akan batal.

Rudal kedua. Perhitungan Leila sepertinya sedikit off. Mereka terteleportasi beberapa meter lebih tinggi dari titik yang seharusnya. Jika dibiarkan, rudal akan lewat jauh di bawah mereka. Leila tidak dapat langsung menteleportasi mereka lagi. Antara dua teleportasi harus ada jeda beberapa detik. Itu juga yang menjadi alasan kenapa mereka mengambil target teleportasi sekitar satu kilometer dari perkiraan posisi real time rudal. Selain tentunya untuk menghindari sensor distorsi ruang di rudal aktif.

Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah besar bagi mereka. Ayumi hanya harus mematikan dengan mengurangi sihir anti-gravitasinya sesaat. Dengan demikian, mereka jatuh sedikit dan berada pada bidang horizontal yang sama dengan rudal. Ayumi mencabut pedang dan menusuk rudal dari atas tembus hingga ke bawah. Rudal masih bergerak cepat sehingga katana Ayumi memotong rudal hingga roket di belakang. Hembusan roket panas terasa pada kulit mereka meskipun mereka telah memakai seragam khusus.

Rudal ketiga. Kali ini teleportasi mereka terlalu dekat. Mungkin untuk mengganti kesalahan perhitungan tadi Leila pun justru membayangkan posisi yang terlalu dekat dengan rudal dalam kepalanya. Mereka muncul hanya setengah kilo dari posisi rudal. Mereka beruntung karena hal itu cukup jauh dari rudal sehingga sensor distorsi masih aman.

Namun, Ayumi waktu yang mereka miliki terlalu singkat. Dia tidak akan bisa menebas rudal di hadapannya. Ketika perlambatan waktu aktif, rudal itu sudah kurang dari seratus meter di kanan mereka. Bertindak cepat, Ayumi pun mencabut katananya dan melempar ke arah kirinya, ke depan rudal. Dengan demikian rudal dan katana maju ke arah yang sama. Mereka pun bertemu di titik vital rudal. Tidak meleset jauh, katana tersebut menembus sisi belakang rudal dan menujam unit pengendalinya.

Leila dan Ayumi masih harus menunggu beberapa detik agar dapat melakukan teleportasi kembali. Mereka hanya butuh sesaat untuk memastikan rudal ketiga tadi jatuh dari jalur terbangnya.

Ayumi lalu sekilas melirik ke arah pulau luar Azore. Tampak segaris biru tipis di bawah lautan sana. Garis itu tidak lain adalah perisai air milik Dessy, karamah kunci yang dikatakan sebagai ultimate defense yang tidak bisa ditembus apapun. Namun, Entah itu imajinasinya atau apa dinding air laut yang terangkat ke angkasa itu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan datangnya kilasan cahaya putih yang dari cakrawala menyentuhnya.

Namun, mereka punya urusan yang jauh lebih penting. Masih ada dua rudal tersisa. Kali ini tidak boleh ada kesalahan kembali. Ayumi sudah kehilangan satu katana. Katana itu berbahan baja Bagdad, baja dari zaman kuno yang dipercaya sebagai baja terkeras di dunia. Lebih dari itu, katana tadi sudah dimilikinya sejak masa kecil. Ayumi sangat familiar dengan katana tersebut. Kekuatan sihir Ayumi sudah menyatu dengan katana itu sehingga tingkat ketajamannya jauh melebihi baja Bagdad biasa.

Sebelum misi dimulai, Fatya memberikan satu katana tambahan ke Ayumi. Agak mengherankan memang, tapi untuk jaga-jaga katanya. Suku Hanni, yang merupakan pemimpin dari Aliansi sekarang dan juga merupakan suku Fatya berasal, memiliki dan membuat baja Bagdad sejak zaman dahulu kala. Namun mereka bukan pendekar. Suku Samara, tempat Ayumi berasal merupakan sekutu suku Hanni sejak lama. Merekalah yang memanfaatkan baja Bagdad pada potensi penuhnya. Ayumi yakin bahwa pedang yang dipinjami Fatya ini juga terbuat dari Bagdad. Namun, ia tidak yakin bahwa ketajaman pedang tersebut menyamai katana yang ia miliki dan lempar tadi.

Rudal keempat. Posisi teleportasi tepat sesuai rencana. Ayumi pun mempersiapkan pedang lebih awal. Ia pun berusaha konsentrasi penuh untuk menginjeksi kekuatan genggamannya pada si pedang baru. Rudal mendekat dan Ayumi menebas 60 derajat di sepertiga panjang rudal. Tak disangka pedang hanya masuk beberapa senti. Pedang tersangkut dan terbawa oleh rudal. Ayumi yang memegang pedang dengan sangat kuat juga ikut terbawa. Sontak Leila kaget dan tertinggal beberapa meter. Ayumi lalu memaksakan dirinya dan meningkatkan perlambatan waktu hingga dua ratus kali lipat dengan radius yang jauh lebih kecil.

Leila sadar bahwa pedang Ayumi gagal memotong rudal. Secara refleks, ia menyentuh lengan kiri dengan telapak tangannya. Sebuah lempengan tipis panjang muncul. Beberapa lempeng karbon memang tertempel memanjang di lengan bajunya. Kemampuan karamah biasa Leila adalah mengendalikan karbon dan silikon. Lempeng itu langsung terlepas dari lengan baju dan mengeras ketika disentuh karena perubahan struktur seketika. Ujungnya sekeras berlian dan tajam. Lempengan langsung berputar di atas telapak tangan Leila. Ia pun melemparnya ke arah rudal. Lempeng berlian yang di lempar Leila berkecepatan hingga 100 kmph. Sangat tinggi namun tidak cukup tinggi. Ia tidak dapat mengejar rudal berkecepatan kereta peluru di hadapannya.

Sayangnya, Leila tidak menyadari bahwa konsentrasi Ayumi terganggu saat ia kaget dan refleks mengubah parameter perlambatan waktu. Ayumi hanya meningkatkan perlambatan untuk dirinya dan tidak untuk Leila. Sihir anti-gravitasi yang juga dipasang ke Leila pun buyar. Leila pun perlahan jatuh ke bumi dengan gravitasi seratus kali lebih lambat. Sampai akhirnya keluar di radius Time Sphere dan jatuh dengan percepatan gravitasi standar.

Dengan rudal yang bergerak jauh lebih lambat, Ayumi dapat mencabut pedang yang tersangkut di rudal. Ia pun bersiap menebas rudal untuk yang kedua kalinya, mengangkat pedang. Saat yang sama, Ayumi tersadar bahwa Leila tertinggal di belakang dan jatuh ke bumi. Ia menoleh ke arah Leila. Di antara mereka, sebuah lempengan berkilauan terbang berusaha mengejar.

Namun, ada satu lagi hal aneh yang tampak oleh Ayumi. Di kejauhan sana, perlahan cahaya putih mendekat. Dengan. Sangat. Cepat. Ketika cahaya tersebut cukup dekat, mungkin sekitar satu kilometer, setara dengan radius time sphere Ayumi, tiba-tiba Ayumi merasa aneh. Lemas. Konsentrasi hilang. Sesaat kemudian, Ayumi tersadar. Cahaya tadi, sang rudal, juga perlambatan waktu miliknya menghilang. Ia pun jatuh ke bumi dengan kecepatan penuh. Di bawah, Ayumi melihat Leila bernasib sama.

Leila juga sadar dengan kejadian tadi. Tiba-tiba cahaya tersebut masuk ke radius time sphere Ayumi dan waktu berjalan kembali seperti biasa. Rudal pun pergi dengan kecepatan supersonik-nya dan menghilang di ujung pandang.

Leila menghela napas. Lebih dari dua detik telah berlalu. Ia dapat melakukan teleport. Namun, Ayumi berada jauh darinya. Ia tidak bisa memindahkan mereka bersamaan jika mereka tidak bersentuhan. Mungkin bisa, tetapi butuh kekuatan dan konsentrasi yang lebih besar. Ia pun menengadahkan satu tangannya ke arah Ayumi. Ketika ia yakin bahwa Ayumi telah sadar dan mengetahui apa yang hendak ia lakukan, Leila pun menteleport Ayumi ke posisi rudal terakhir. Kemudian, Leila istirahat dan membiarkan gravitasi menariknya untuk beberapa saat. Lalu beberapa detik kemudian menteleport dirinya sendiri ke sebelah Ayumi.

Rudah kelima masih beberapa kilometer. Leila menteleport mereka berdua tidak pada titik yang dihitung oleh kacamata pintar yang dipakainya. Leila menambah jarak beberapa kilo dari titik itu. Hal ini diperlukan karena Ayumi dan Leila tidak masuk ke area rudal terakhir secara bersamaan. Agar mereka dapat menjalankan misi bersama, waktu beberapa detik yang dipakai Leila untuk istirahat tadi harus dikonversi menjadi jarak tempuh rudal kelima.

“Cahaya apa tadi?” Leila bertanya ke Ayumi via interkom.

“Tidak tahu… Namun yang pasti, ia meniadakan time sphere saya secara paksa. Kemungkinan cahaya tadi adalah hasil kunci. Seseorang dengan katalis kristal atau karamah kunci.” Ayumi menjawab. “Kita juga tidak punya banyak waktu lagi.”

Ayumi pun mengaktifkan lagi time sphere dan bersiap menghadapi rudal terakhir. Leila pun kini dari awal mengeluarkan dua lempengan berlian, satu dari setiap lengan. Keduanya berputar dengan cepat di atas telapak tangan Leila. Ya, Leila dalam hati berpikir. Mereka telah gagal mendeaktivasi satu target, yang terakhir ini tidak boleh gagal lagi.

Rudal memasuki radius tepat saat time sphere aktif. Satu kilometer dari arah mereka, kira-kira mereka memiliki sekitar sepuluh detik hingga senjata pemusnah massal itu menghampiri mereka. Ayumi kembali mengeratkan pegangan pedangnya. Kali ini mengincar sisi samping kanan rudal tanpa membuat sudut antara pedang dan rudal. Dengan demikian, sisi tajam pedang akan murni menghadap ke belakang rudal dan gaya ke depan dari rudal akan membantu. Persis saat Aumi mengincar rudal ketiga dari sisi atas.

Leila duluan melempar lempengannya. Kedua lempengan tersebut mengarah ke sisi belakang rudal, mengincar roket pendorong. Hal ini supaya rudal akan tidak dapat terbang atau melambat meskipun Ayumi tidak bisa menghancurkan otak sang rudal.

Sepuluh detik terasa lama. Saat moncong sang rudal tepat di hadapan Ayumi, ia mengelak ke kanan dan berputar. Kedua tangannya erat memegang pedang. Ia menusuk perut samping rudal. Masuk! Pada saat yang bersamaan, dua lempengan Leila pun berhasil menghancurkan mesin pendorong. Roket pun mati.

Namun, hal itu terulang. Terlihat cahaya putih dari jauh. Saat cahaya itu menyentuh time sphere, keduanya saling meniadakan. Ayumi kembali hilang konsentrasinya. Sekejap tak sadar diri. Blank. Seluruh sihirnya pun hilang. Lalu Leila dan Ayumi jatuh, diikuti oleh rudal tanpa mesin pendorong tersebut.


Enam ratus kilometer dari Azore, kapal perang induk Azhar I terbang dengan gagah di atas samudra. Ukurannya raksasa, menyaingi awan putih mungil yang membumbung di dekatnya. Seperti stadium sepak bola melayang di udara. Namun, bentuknya segitiga bak pesawat kertas. Permukaan atasnya cenderung rata, tempat pesawat tempur berlabuh. Permukaan bawahnya lebih dinamis, menebal dari depan ke belakang layaknya grafik eksponensial terbalik. Beberapa alat tempur berat, senapan, silo, dan mesin penggerak menggantung di bawahnya.

Azhar I melayang tak jauh di atas awan, menaungi armada tempur laut yang berlayar tepat di bawahnya. Tujuan pasukan tersebut adalah Benua Manna. Sekitar 600 km di hadapan mereka Kepulauan Azore, markas kelompok yang menyebut diri mereka “penengah”. Kelompok ini merupakan gabungan beberapa orang penting dari Manna dan Salwa dan berusaha menengahi konflik kedua adidaya. Namun, Azhar I dan Aliansi tidak menghiraukan mereka.

Pusat komando kapal induk tersebut terdapat di ujung tengah depan kapal. Ruangan itu luas dan tinggi hall pernikahan. Namun, banyak peralatan dan  panel terpasang di mana-mana. Yang paling umum dijumpai adalah cermin transparan. Hampir ditemukan di setiap sudut jengkal, menunjukkan berbagai informasi. Cermin-cermin itu memiliki lebar sebentang tangan dan tingginya dari lantai hingga langit-langit.

Tuan Puteri dari Kerajaan Hanni dan komandan pasukan tertinggi dari Aliansi, Atfisah Nur Shabrina, sedang mengoordinasikan banyak pasukan dalam invasi tersebut. Beliau dan beberapa pejabat penting dan jenderal utama baru saja memasukkan kode perintah peluncuran rudal nuklir antar benua sebagai tindakan pre-emptive sebelum perang.

“Kamu yakin akan melakukan itu, Sasha?” Suara keluar dari salah satu cermin transparan. Di dalamnya, tampak gambar sesosok wanita. Ia bertubuh mungil, berpakaian putih polos one-piece lengan panjang, berkerudung yang juga putih. Tepi kerudung, tepi lengan baju, dan tepi rok panjang di bawah itu berwarna keemasan. Mawar emas terukir di ujung segi empat kerudung. Wanita itu berjalan di dalam cermin ke satu sisi lalu menghilang, kemudian muncul di cermin di dekatnya.

Sang puteri menoleh ke arah suara. Ia juga berpakaian persis sama dengan wanita dalam cermin tersebut. Hanya, ukiran bulan sabit berwarna emas yang terukir di ujung segi empat kerudungnya. Pakaian tersebut memang pakaian khas wanita suku Hanni, terutama bagi bangsawan. Perbedaannya, ukiran bulan sabit hanya dipakai oleh pemimpin kerajaan: seorang pangeran jika dia pria atau tuan puteri jika dia wanita.

“Tante Anya. Di dunia ini, ada hal yang harus dilakukan meskipun berat.” Sang puteri memanggil wanita cermin itu tante. Ia pun melanjutkan jawabannya. “Lagipula, Sasha ingin melihat reaksi dari Federasi terhadap rudal tersebut. Detektor distorsi ruang, bom nuklir, atau apapun itu, kuyakin mereka memiliki rencana untuk menghadapi Aliansi. Kita harus mengetahui apa itu.”

“Hmm,” Anya sang sosok dalam cermin berhenti di satu cermin dan bersandar di sisinya sambil melipat tangan. “Kamu sepertinya berubah ya Shabrina,” wanita dalam cermin itu seperti tenggelam dalam pikiran.

Ia melanjutkan, “Beberapa tahun lalu, kamu menolak segala urusan istana dan kabur dari ibukota. Gelar Kebangsawanan ‘Nabilah’ paling kamu benci. Namun lihat sekarang. Tiba-tiba jadi Tuan Puteri. Bahkan kamu tiba-tiba datang ke lab dan memohon bantuan ke Ilham, suamiku.”

“Rasanya aneh,” jawab Tuan Puteri Shabrina dengan sinis, “mendengar pernyataan itu dari Nabilah Anya yang juga kabur dari ibukota dan memilih tinggal dengan orang desa dan riset tentang otak di daerah antah berantah.”

“Hehe, benar juga kamu,” si sosok dalam cermin tertawa. “Jadi saya inspirasi kamu untuk kabur kah…” Dalam hati, sosok itu berpikir, sudah lama ia tidak mendengar dirinya disebut Nabilah Anya.

Tuan Puteri Shabrina kemudian memandangi langit-langit ruang kontrol utama tersebut. Ia sedang memastikan jalan yang ia tempuh ini bukan pilihan yang salah. Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya, mengepal.

“Sasha sebenarnya ingin cerita banyak ke tante. Dua tahun lalu ketika aku bertualang, aku bertemu banyak teman dari Manna, Salwa, dan benua lain. Ada si Azhar, mekanik jenius yang merancang benteng terbang ini. Ada si kakak beradik pembenci sihir – Ariya dan Iliya – yang mencari keluarganya. Septia si penyihir wannabe. Ivan maniak senapan. Naya. Adika. Igna. Haris. Icha.”

“Kami berkeliling dunia. Dengan tujuan yang sama. Tanpa tujuan. Banyak misi yang kami jalani. Peperangan antara blok hitam dan putih tiada dalam pikiran kami.”

“Meskipun banyak momen berbahaya pada petualangan kami, itulah masa terindah yang pernah kurasakan. Tanpa ikatan kerajaan. Tanpa politik dan aturan. Merasa bebas lepas. Bahkan… Aku… Aku juga jatuh cinta dengan salah pemimpin grup kami tersebut, Ariya.”

Tuan Puteri Shabrina sedikit menjeda ceritanya. Mengenang masa-masa itu, lalu melanjutkan.

“Namun, ternyata banyak anggota grup kami itu punya misi pribadi. Meskipun dalam pelarian, status Nabilah dan kandidat Tuan Puteri paling potensial yang tertempel di Sasha tidak dapat dibantah. Suku dan fraksi lain menyusupkan anggotanya untuk mencari informasi dan mengincarku.”

“Satu per satu, misi pribadi mereka terkuak dan konflik internal terjadi. Aku pun memutuskan untuk kembali ke ibukota Hanni. Satu, agar kelompok yang telah kami bangun tersebut tidak hancur karena diriku. Dua, karena ayah menjelang ajal.”

“Namun, ketika keluar dari kelompok, Sasha mendengar kabar duka. Dalam satu misi di benua Manna, kelompokku tadi dijebak. Ada penghianat dari dalam. Dan konspirasi dari luar. Akibatnya, Azhar dan Iliya meninggal. Ariya sendiri yang selamat. Ia berakhir dengan ditinggal keluarga, dikhianati sahabat, dan dicampakkan kekasihnya. Hatinya menghitam dengan keinginan balas dendam. Kunci kegelapan muncul padanya.”

“Sisanya adalah sejarah. Ariya menjalani jalan kegelapan. Sendirian. Menekuni seni sihir. Lalu membentuk Federasi. Untuk mengimbanginya, aku mewarisi kunci cahaya dan menerima titah menjadi Tuan Puteri. Kemudian bertekad untuk memimpin Aliansi negara modern.”

Shabrina bercerita dengan nada bergetar. Namun, tangannya tetap menggenggam erat. Agar perasaan tegar merasuki jiwanya. Situasi ruang saat itu begitu suram dengan cerita itu. Anya agak menyesal mendengarkannya.

Sang wanita dalam cermin, berusaha mencerahkan suasana. Ia pun berkomentar dengan nada menggoda, “Cinta… Deritanya tiada akhir.”

Tuan Puteri Shabrina tersentak dengan kalimat kutipan Pangilma Ti Pat Kai tersebut. “Tante Anya! Sasha ini cerita serius…”

“Hei hei… Sudah berapa kali saya bilang jangan panggil Anya,” si sosok dalam cermin berusaha mengalihkan pembicaraan.

Sosok dalam cermin: “Wanita bernama ‘Atfisah Nur Anya’ telah tiada. Dan saya bukan reinkarnasinya. Sekarang saya Nuri. Suamiku juga manggilnya begitu. Di bawah cermin ini juga tertulis begitu.” Sosok dalam cermin itu menunjuk ke tulisan pada penyangga cermin di bawah.

Tuan Puteri Shabrina: “Duh, soal itu lagi. Bagi Sasha, wujud apapun tante tetaplah tante Anya. Nuri kan asalnya teorinya tante Anya juga. Ekstrak pikiran Nur Anya, secara kiasan dan harfiah.”

“Jangan lupa tante dan suamimu yang keras kepala itu harusnya berterima kasih ke Sasha. Riset kalian sukses setelah Sasha datang dan membantu bukan?”

Sosok dalam cermin: “Saya –” Sosok dalam cermin itu memperbaiki diksinya. “Atfisah Nur Anya pasti kecewa kalau tahu risetnya sukses karena dibantu sihir. Bukan murni hasil sains.”

“Itu bukan sihir tante… Namanya ‘karamah’. Beda…,” Shabrina membela diri, “lagipula kalau Sasha tidak membuat percikan dengan karamah cahaya, kesadaran buatan seperti impian Lab N.U.R.I tidak akan terwujud.”

N.U.R.I atau Neurosignal Unifier and Repertoir Institute adalah lab independen tentang otak dan kesadaran. Risetnya adalah memahami cara kerja indra dan otak demi menciptakan mesin true virtual reality. Namun kemudian Atfiah Nur Anya, salah satu pendiri lab tersebut sakit keras. Ilham, pemimpin lab sekaligus suami Anya, menggeser riset menjadi artificial conscience. Ia berambisi menciptakan pikiran, kesadaran, dan secara efektif jiwa istrinya kekal di dunia.

Ambisi mustahil itu bertahun-tahun dikejar lab NURI. Kemajuan luar biasa berhasil mereka capai dengan mesin Neurosignal Unifier and Repertoir dan hasil pindai otak Anya. Namun, Ilham menjadi semakin delusional. Ia hanya memakai alat tersebut untuk menemui Anya dalam mimpi.

Hingga suatu saat, Tuan Puteri Shabrina meminta lab tersebut membantu dalam peperangan yang akan datang. Karena Ilham tidak ingin bekerja-sama, Shabrina pun datang. Dengan kekuatan kunci cahayanya, Shabrina memberikan katalis awal untuk memunculkan kesadaran buatan yang mereka cari.

Tuan Puteri Shabrina: “Sebagai gantinya, tante Anya sedikit bantu aku dalam perang ini.”

Sosok dalam cermin: “Sedikit, huh? 80% operasional pesawat ini dan seluruh pasukan kalian saya pegang. Dibanding bantu lebih pantas dibilang rodi, sayang…”

Tuan Puteri Shabrina: “Kasarnya sih begitu, haha… Risiko-lah hidup dalam dunia maya. Namanya juga A.I., kecerdasan buatan.”

Sosok dalam cermin: “Tidak-tidak. Artificial conciusness alias A.C. Beda itu dengan A.I, yak… Wong, katamu karamah dan sihir juga beda kan.”

Tuan Puteri Shabrina: “Iye-iye. Pokoknya tante Anya–”

Sosok dalam cermin: “Hei, hei. Sekali lagi ya, ‘Nuri’… Bukan Anya.”

Tuan Puteri Shabrina: “–oke deh, …tante Nuri. Tante bantu Sasha menyelamatkan Ariya. Om Ilham tidak akan bisa menyelamatkan tante Anya tanpa aku. Aku juga takkan bisa melaksanakan misi ini tanpa bantuan kalian. Jadi kita impas.”

Mereka saling balas-membalas di antara serius bercanda. Mata mereka berarir antara haru dan tawa. Padahal mereka akan menjalani peperangan besar. Namun, mereka saling meyakinkan atas jalan yang mereka tempuh. Kehancuran Federasi bukan tujuan Shabrina. Namun, jika itu yang dibutuhkan untuk mengembalikan sahabat dan kekasihnya Ariya, apapun akan dilakukannya.

“Sasha, sebentar,” sosok dalam cermin yang mengendalikan hampir seluruh teknologi informasi milik Aliansi itu menerima laporan darurat dari intel di garda depan. “Pasukan drone-mu sepertinya keluar dari jalur program. Mereka teraktivasi oleh serangan. Posisi di kepulauan Azore.”

“Ahh… Satu lagi pelarian yang mendapat inspirasi dari kita berdua.”

“Yap. Fatya Nur Ilmi. Atau dahulunya Nabilah Ilmi. Ia kini lebih sering dipanggil dengan nama klannya, ‘Fatya’ kalau tidak salah.”

Suku Hanni memiliki banyak klan. Atfisah dan Anya adalah salah satu di antara klan utamanya. Hanya klan utama berhak menyandang gelar kemuliaan, Nabil untuk laki-laki dan Nabilah untuk perempuan. Gelar ini merupakan tanda bahwa mereka keturunan dari Guru Hanni, salah satu dari orang suci yang menutup kunci sihir dunia ribuan tahun silam. Gelar ini hanya diberikan untuk anak laki-laki atau perempuan pertama dari ketua klan. Pemimpin Kerajaan Hanni, yaitu Pangeran jika laki-laki dan Tuan Puteri dia perempuan, hanya dapat dipilih dari orang dengan gelar tersebut.

Tuan Puteri Shabrina tampak merasa tidak enak. Wajahnya berkonflik. “Mereka ini adalah sisa-sisa dari tim aku dahulu. Aku sebenarnya tidak ingin melawan mereka. Mereka bukan musuh Aliansi.”

Sosok dalam cermin kembali memberi laporan, “Oke… Berikut rekaman garis depan dari drone.” Gambar perisai biru dan ratusan bangkai drone mengambang di samudra muncul di salah satu cermin. “Dan… Sekarang saya tidak bisa melacak satu rudal antar benua. Log yang ia kirimkan sebelum hancur aneh. Timestamp tidak sesuai dengan waktu seharusnya.”

“Tante, berapa jauh posisi Azhar ke Azore?”

“Sekitar 600 kilometer.”

“Hm. Baiklah.” Tuan puteri memberikan instruksi kepada sosok dalam cermin itu. “Tante Nuri, tolong naikkah posisi kapal induk ke 80000 kaki. Segera.”

Kemudian, Tuan Puteri melanjurkan permohonannya, “Tolong geladak kapal dibuka. Sasha keluar.”

“Mau apa kamu?” sosok dalam cermin itu bertanya. Namun, sang Tuan Puteri hanya memberikan kode dengan tangan dan senyuman. Kemudian pergi ke elevator menuju geladak kapal di luar.

Tuan Puteri Shabrina bergegas menuju ke ujung depan atas geladak kapal induk. Geladak tersebut berada di ruang terbuka. Mereka berada pada ketinggian 80000 kaki alias 24 kilometer. Pada ketinggian itu, langit hitam sudah mulai tampak. Oksigen pun tipis. Namun, Shabrina tanpa memakai alat bantu apapun bergegas menuju ujung depan atas geladak. Hanya satu kacamata ia keluarkan dari kantungnya.

Tuan Puteri Shabrina berdiri di depan geladak kapal memandang ke samudra hingga ujung cakrawala. Angin kencang berhembus dari depan meskipun kapal induk itu tidak bergerak. Ia pun mendengarkan laporan dari Nuri bahwa satu lagi rudal sudah hancur. Gejala yang sama terjadi, timestamp pada logging rudal tersebut aneh. Tidak sesuai realtime standar dunia.

Ini pasti ulah Peri Orfis, Ayumi dan Leila. Shabrina menggumam dalam hati. Pengendalian waktu, itu artinya cuma satu: kunci. Dan hanya mereka yang bisa melakukannya

Nuri kemudian melaporkan hal lain yang diinstruksikan oleh Tuan Puteri Shabrina. Dengan menaikkan posisi terbang kapal, kini Kepulauan Azore kini sudah masuk dalam jarak pandang. Di ujung cakrawala, 600 kilometer. Titik hijau muncul di kacamata yang dipakai oleh Shabrina.

Shabrina kemudian memejamkan mata dan menenangkan hati. Ia mengangkat tangan kirinya. Empat jarinya menunjuk kepada ujung cakrawala tempat Kepulauan Azore berada. Di salah satu jari, terpasang cincin emas dengan batu kristal berwarna putih. Cincin itu tiba-tiba bercahaya.

Bersamaan dengan itu, di belakang Shabrina muncul sembilan garis vertikal berderet mengambang. Bentuknya seperti anak panah bercahaya. Shabrina pun membuka matanya dan berkonsentrasi. Anak panah tersebut makin bercahaya. Tuan Puteri Shabrina mengaktifkan karamahnya. Ia juga memiliki katalis kunci berupa kristal cahaya.

Tangan kanannya kemudian melakukan gerakan seperti menarik panah dari busurnya. Salah satu garis vertikal berpendar di belakangnya menghilang. Sebagai gantinya, satu garis cahaya muncul dari cincin di jari telunjuk tangan kiri ke tangan kanannya. Setelah yakin dengan bidikannya, ia pun melepas panah cahaya tersebut.

Panah tersebut melesat hampir secepat cahaya. Sesaat kemudian ia telah bergerak ratusan kilometer sampai di kepulauan Azore. Menyentuh perisai air yang menghalangi drone. Dan saling meniadakan.

Kunci adalah sihir suci, sihir terhebat. Tidak ada satu sihir kunci yang lebih hebat dari yang lain. Mereka setara. Tuan Puteri Shabrina menggumam saat ia kehilangan kesadaran. Apa yang terjadi dua sihir terhebat bertemu? Penglihatannya agak kabur. Mereka tidak bisa bekerja sama ataupun berlawanan. Kepala Shabrina berat. Ya. Mereka akan saling menghilangkan. Tidak kompatible. Pikirannya tiba-tiba kosong.

Dalam filsuf, terdapat pertanyaan. Apa yang terjadi ketika unstoppable force bertemu dengan immovable objectApapun yang terjadi akan mengakibatkan kontradiksi! Hal ini juga berlaku saat dua kekuatan kunci yang memiliki kekuatan dewa bertemu. Kekuatan serangan mutlak berhadapan dengan pertahanan mutlak? Cahaya, dengan kecepatan tetap dalam segala kerangka, melewati waktu terhenti? Untuk menghindari kontradiksi-kontradiksi, kapan saja dua kekuatan kunci bertemu, mereka akan non-aktif secara otomatis. Dua kekuatan kunci haram bertarung.

Dengan kata lain, hanya kunci yang bisa membatalkan kunci. Shabrina paham hal itu. Juga tentang efek bagi pemilik kunci saat hal itu terjadi. Mereka akan hilang konsentrasi sesaat ketika kekuatan kunci mereka dinon-aktifkan secara paksa.

Kesadaran Shabrina blank. Namun, ia masih memiliki pekerjaan lain. Ia harus bisa melawan perasaan tersebut dan kembali berkonsentrasi.

Tanpa jeda, Shabrina kembali menarik anak panah. Satu lagi garis vertikal bercahaya di belakangnya menghilang, menyisakan tujuh buah garis. Shabrina kini mengarahkan tangan kirinya agak ke atas. Targetnya berada di angkasa. Posisi dua rudal yang masih tersisa.

Ketika Nuri memberikan laporan bahwa logging dari rudal tersebut aneh, Shabrina melepas panah cahayanya. Tak sampai satu milidetik kemudian, panah cahaya tersebut menyeberangi samudera dan menyentuh radius luar time sphere milik Ayumi. Shabrina kembali merasakan blank sesaat seperti akan pingsan.

Namun ia tetap bergeming. Dengan menghela napas sebentar ia mengerahkan seluruh sisa kekuatan yang ada. Batas panah cahaya yang dia miliki adalah sembilan buah. Panah tersebut dapat kembali penuh seiring waktu. Namun, untuk melepas satu stamina tinggi sangat diperlukan. Bisa dibilang, satu panah ke panah berikutnya memerlukan konsentrasi dan waktu jeda yang eksponensial.

Shabrina hanya pernah melepas tiga buah panah dalam waktu kurang dari satu menit. Di atas itu, ia memerlukan jeda dan kekuatan yang lebih tinggi lagi. Kesempatan terakhirnya di menit itu, ia gunakan untuk membidik rudal terakhir. Ia yakin, pasti Ayumi dan Leila juga belum menyerah dan akan menarget seluruh rudal. Shabrina pun menunggu mereka melakukan langkah pertama.

Sekejap setelah Ayumi dan Leila mengaktifkan time sphere dan menebas rudal kelima, Tuan Puteri Shabrina pun melepaskan panah cahayanya. Dengan oksigen yang tipis dan stamina tinggi yang diperlukan untuk melepas tiga kali kunci panah cahaya tersebut, Tuan Puteri Shabrina pun terjatuh pingsan.


Ayumi menghadang rudal terakhir tepat di depan jalurnya. Saat pensil raksasa itu di hadapannya, Ayumi mengelak, berputar dan mencabut pedang. Pedang dipegangnya erat dengan kedua tangan, tegak lurus dengan tubuh di depan dadanya. Lalu menancapkan ke sisi samping rudal tersebut. Kali ini pedang itu menembus si kulit besi. Kemudian dengan gaya dorong ke depan sang rudal, pedang itu akan membelah besi terbang itu ke arah belakang.

Tepat ketika itu, ekor rudal hancur terkena lempeng yang dilempar Leila. Mesin pendorong meledak dan menggoyang rudal dari jalurnya. Rudal terjungkal. Gesekan udara mengenai sisi atas rudal. Mengurangi kecepatan dengan drastis.

Namun pada saat yang sama, panah cahaya milik Tuan Puteri Shabrina mengenai time sphere mereka. Dua kunci tidak dapat bersatu. Keduanya pun menghilang. Tapi itulah yang dituju oleh Shabrina. Ia ingin menggagalkan rencana Ayumi, Leila, dan Fatya untuk mematikan rudal tersebut.

Kunci bertemu. Ayumi kehilangan kesadarannya. Karamah waktu dan sihir anti-gravitasinya menghilang.

Posisi Ayumi terlalu dekat dengan rudal. Ia pun terbawa oleh pedang yang ditancapkannya ke rudal dan hampir terhempas ke badan rudal. Tubuhnya melayang dekat sekali dengan rudal. Leila melayang tepat di belakang Ayumi, berada agak jauh dari rudal. Ia aman. Namun, tanpa karamah dari Ayumi ia pun mulai ditarik gravitasi. Kecepatan horizontal Leila sedikit lebih rendah dari rudal dan Ayumi. Perlahan Leila menjauh.

Ketiga objek itu jatuh menuju samudera. Ditarik gravitasi. Sudut jatuhnya rendah karena mereka masih memiliki kecepatan horizontal. Jalur jatuh mereka hampir mendatar. Mereka memiliki kurang dari satu menit sebelum menyentuh permukaan laut.

Leila berusaha mengedalikan tubuhnya, meskipun sulit. Ia memandangi Ayumi di depan. Posisinya berbahaya, sangat dekat dengan rudal. Leila juga sudah mulai sulit bernapas. Tanpa bantuan karamah Ayumi untuk meregulasi udara di sekitaranya, sulit untuk bernapas dalam ketinggian dan kecepatan mereka.

Leila memandang ke arah Ayumi dan rudal. Berkonsentrasi. Menarget ruang jauh di depan mereka. Leila ingin berpindah tempat ke posisi depan Ayumi dan rudal, sehingga ia dapat menyelamatkan Ayumi. Namun, dalam kecepatan tinggi dan tanpa bantuan komputer, hal ini sangatlah sulit. Namun, dengan sisa napas terakhirnya, Leila tetap memasang konsentrasi tinggi. Kemudian, ia teleport.

Leila muncul di hadapan rudal. Namun jarak terlalu dekat. Tak seberapa saat, rudal akan menabrak Leila. Ia refleks menahan diri dengan tangan kanan. Semua lempeng yang ada langsung mengeras di lengan. Leila menahan rudal dengan lengannya. Badan rudal dan tangannya bergesek. Namun, gesekan itu sangat keras. Lempengan itu, dan mungkin lengannya, hancur. Ia pun terhempas ke belakang saat rudal melewatinya.

Namun, hal yang ia tuju tercapai. Ia mendekat ke Ayumi dan menariknya. Setelah agak jauh dari rudal, ia menteleport Ayumi. Namun, kekuatannya sudah hampir habis. Ia tidak dapat menggunakan teleport terlalu jauh. Ayumi hanya berpindah beberapa meter dari sana. Gesekan udara, tanpa napas, dan terluka, Leila pun kehilangan kesadran. Tubuhnya terombang-ambing. Terjungkal kaki di atas dan kepala di bawah.

“Ah, berakhir sudah,” Lei pasrah. Membubung tinggi di angkasa, gravitasi tak lagi memberi ampun. Terjatuh bebas. Kini mereka menghempas awan. Sudah hampir mencapai lapiran awan terakhir. Waktu seakan melambat bagi mereka. Lemas, tiada tenaga tersisa.

Dari jauh, mereka berdua seperti titik. Tampak bergerak cepat keluar dari awan terendah menuju permukaan samudra. Satu garis berada di antara dua titik tersebut. Garis itu putih mencakar biru sang langit. Timbul akibat kondensasi udara dari lintasan rudal antar benua. Ia menggantung di ujung jejak itu. Sebuah bolpoin raksasa. Panjang dua puluh meter. Berbahan besi sebesar pelukan dua orang dewasa. Logo nuklir terukir di badannya. Roket pendorongnya berasap menimbulkan garis putih di angkasa.

Entah karena dua kali teleport yang dilakukan dalam jarak sangat dekat oleh Ayumi. Atau mungkin karena diaktifkan oleh kontrol utama milik Aliansi. Dengan kata lain Nuri memutuskan untuk meremot rudal tersebut. Indikator darurat di badan rudal mulai berkelip. Lalu berkelip lebih kencang. Cahaya menyilaukan keluar. Lalu diikuti oleh api secara beringas. Seperti semburan naga, bergerak ke segala arah, bercabang selayaknya dahan pohon, perlahan tapi pasti, akan melahap mereka.

Sesaat itu terlintas masa hidup di hadapan Lei. Tentang misi-misi mereka. Tentang hal gila yang terjadi di dunia. Tentang akademi. Dan utamanya tentang sahabat terdekatnya. “Sepertinya loe benar Fa,” gumam Lei mengenang sahabatnya Ulfa. ”Manusia gak selamanya punya kesempatan untuk berakhir dan bersemayam di bumi. Ada yang ditenggelamkan di air. Ada yang dibuang abunya di udara.” Ulfa yang memiliki kunci api sering berargumen dengan Leila tentang itu. ”Sekarang gue sedang menuju akhir itu Fa. Karmakah ini? Ah, tidak. Benar yang loe bilang. Akhir di kobaran api gak mesti akhir yang buruk. Loe belum pernah kan? Biar gue yang ngerasain. Nanti gue cerita saat kita bertemu…”

Ayumi mulai tersadarkan diri dari blank sesaat akibat bertemunya dua kunci. Ia melayang sedikit lebih jauh dari Leila. Meskipun gravitasi juga mengundangnya ke pangkuan sang bumi, posisinya lebih manusiawi. Tubuhnya terkendali. Ia memandang ke situasi di sekitarnya. Rudal yang mengedip. Dan Leila.

“Terulang lagi. Sudah tiga kali aku gagal,” Ayumi menggumam dalam hati.

Ayumi tidak yakin dapat melakukannya lagi. Namun ia berusaha mengangkat tangan kanannya ke arah Leila dan rudal. Dengan sekuat tenaga. Ia tak punya pilihan lain.

“Maaf Lei.”

Dengan mengucapkan itu, Ayumi menutup matanya dan menggenggam kedua tangan di depan dadanya. Darah keluar dari bibirnya, menetes ke pipi, dan terbang tertiup angin. Ia tetap akan mengaktifkan potensi tertinggi dari kunci waktu. Kembali ke masa lalu.

Ya. Sebegitu besarnya kekuatan kunci. Digunakan dengan potensi penuh, Leila dapat menteleport seluruh kota berapa ratus kilometer. Dan Ayumi dapat melambatkan waktu hingga arahnya terbalik. Efektif kembali ke masa lalu. Ia kembali berkonsentrasi penuh. Titik cahaya kekuningan muncul di depan keningnya. Kemudian, cahaya itu berpendar sangat besar, membentuk pilar cahaya berwarna kuning yang menyelubungi tubuh Ayumi.

Namun ia tahu, kekuatan yang ia miliki tidak cukup untuk mengembalikan waktu seperti sebelumnya. Tiga kali adalah batasnya. Dari awal pun, hal itu sudah tidak mungkin. Tiga kali itu merupakan mukjizat luar biasa. Kali pertama Ayumi berhasil kembali ke satu jam sebelumnya, berusaha meyakinan Fatya untuk mencari jalan lain. Terakhir Ayumi hanya berhasil 10 menit, ketika ia dan Leila sedang bersiap di dalam F-14.

Ayumi memaksa mengaktifkan kunci pengendalian waktu tersebut. Waktu terhenti, lalu bergerak ke belakang. Selama beberapa milidetik. Hanya beberapa milidetik. Sebegitulah sisa kekuatan Ayumi. Waktu terhenti dan perlahan bergerak kembali. Perlahan. Perlahan. Rudal yang ketika itu meledakkan hulu nuklirnya, tampak bergerak slow motion ke arah Ayumi dan Leila.

Leila pada saat itu tidak tahu bahwa time sphere sedang aktif. Ia tidak mungkin tahu karena ia berada dalam kerangka perlambatan waktu tersebut. Baginya, kecepatan rudal masih sama. Ia pun sedang sibuk mereview kembali kehidupannya selama ini. Dan timnya, Peri Orfis. December alias Dessy. Ayumi alias Ayu. Urv Vankovic alias Ulfa.

Gue kangen kalian, Fa…”

Sampai ia teringat suatu pemandangan. Ketika mereka menghadapi invasi Aliansi di kota Antharia. Ribuan kapal laut memenuhi teluk. Ulfa berdiri di tepi pantai, berucap kepada Leila. Titip Ayu dan Dessy ya Lei. Kemudian ia pergi menyerang seluruh angkatan laut tersebut. Sendirian.

Leila tersadar. Ini bukan akhir. Tidak boleh berakhir seperti ini. Jika dibiarkan, jika pasrah, bukan hanya Leila, Ayumi akan terkena ledakan nuklir tersebut. Ia akan melanggar janjinya kepada Ulfa.

Dengan seluruh sisa kekuatan, Leila memejam mata. Ia mendapat ide. Jika rudal itu tidak bisa diteleportasi karena alat detektor ruang, kita tinggal menteleportasi setelah alat detektor itu hancur. Setelah nuklir meledak. Ia berkonsentrasi untuk menteleportasi seluruh ledakan nuklir tersebut.

Kemana? Ia tidak mungkin memindahkan ledakan itu ke wilayah bumi Aliansi ataupun Federasi. Terlalu banyak korban. Lagipula, ia tidak bisa menteleportasi begitu jauh, kekuatannya tinggal sedikit. Leila harus berpikir cepat. Sebelum ia berbenturan dengan ke permukaan samudera. Ya! Itu dia, pikir Leila. Bawah air. Ledakan nuklir di bawah air atau bawah tanah akan mengurangi efek ledakan dan radiasi di permukaan. Atau itu yang pernah Leila tonton di tivi.

Namun, Leila juga paham bahwa ledakan nuklir menyebar dengan kecepatan sangat-sangat tinggi. Dan mereka berada pada point blank. Tidak sampai milidetik ledakan nuklir untuk mencapai titik dimana ia berada. Ia takkan punya waktu yang cukup sebelum itu. Gampang, pikir Leila. Ia kemudian tersenyum. Sekarang giliran elo, Yu… titip Dessy. Leila memahami konsekuensei dari rencananya.

Dalam pikiran Leila, ia hanya perlu merasakan panas ledakan sang nuklir. Ia tahu jarak kira-kira dirinya ke rudal. Ketika ia merasakan panas, itu berarti rudal dan detektor distorsi ruang sudah meledak. Pada saat itulah ia akan menteleport seluruh ruang dengan radius dari rudal ke posisi dirinya. Seluruh ledakan nuklir, termasuk dirinya, akan berpindah ke bawah tanah. Itu berarti akhir dari dirinya. Namun, jika harus memilih, hanya dirinya yang berkorban lebih baik dibanding Ayumi ikut terbawa.

Leila pun berkonsentrasi penuh. Cahaya kehijauan muncul di keningnya. Tanda kekuatan kunci sedang dipanggil. Kemudian, cahaya itu berpendar hingga muncul pilar cahaya menyelubungi dirinya. Tanda bahwa kekuatan kunci digunakan dengan potensi yang makin besar.

Dari jauh, Ayumi dan Leila yang tadinya berupa seperti titik, kini seperti dua pilar cahaya yang tinggi. Bergerak cepat diiringi jalur awan putih lintasan rudal.

Hanya saja, itu berarti dua karamah akan aktif bersamaan. Ayumi dan Leila saling tidak tahu niat masing-masing dalam situasi genting tersebut.

“Ehm… Tes… Halo…”

Tiba-tiba terdengar suara aneh di dalam kepala Leila.

“Kalian bisa dengar aku?”

Suara itu familiar. Seperti suara yang ia panggil bos akhir-akhir ini.

“Ayumi, sesuai janjiku, aku selalu menjaga kalian,” suara itu dari Fatya. “Aku merasa aneh saat Ayumi berkata begitu ketika kalian bersiap di F-14. Tidak natural. Karena itu, aku melihat kondisi melalui mata dan pikiran kalian. Aku tahu semua yang terjadi.”

“Ayumi kau tidak gagal. Pesanmu yang terakhir telah berhasil mengubah masa depan. Namun kita tak punya banyak waktu untuk ngobrol.”

“Sekarang bisa buat Leila dalam kerangka time sphere?” Ayumi tahu bahwa Ayumi tidak dapat merasakan time sphere-nya. Namun, perlambatan waktunya yang terakhir ini hanyalah efek samping dari usaha pemutaran waktunya. Ia tidak tahu kenapa Fatya meminta memasukkan Leila. 

Ketika Ayumi membuat kerangka waktunya dan Leila sama, Leila tiba-tiba dapat melihat rudal di hadapannya meledak. Perlahan. Ledakan itu bergerak perlahan mendatanginya.

“Leila. Sekarang kamu bisa memastikan kapan nuklir meledak dan sebesar apa, bukan? Kamu tidak perlu mengorbankan diri.

Leila dan Ayumi kemudian mengerti apa yang ingin dilakukan Fatya. Dengan perlambatan waktu, Leila dapat menteleportasi ledakan nuklir setelah nuklir meledak. Namun, mereka langsung berpikiran sama. Itu artinya dua kekuatan kunci digunakan bersamaan. Bertemu. Akan tetapi, dua kunci tidak bisa bertarung ataupun bekerja sama. Tidak bisa bertemu.

Fatya membaca pikiran itu. “Dari ketujuh kunci, kunci ketujuh jarang sekali disebut. Kunci jiwa. Jarang yang tahu fungsinya. Kebetulan, aku memiliki karamah kunci jiwa tersebut.

“Kristal kubus dan kekuatan kunci memang memiliki karakteristik untuk tidak bisa bertemu. Namun, apa guna mereka jika tidak bisa digunakan untuk satu tujuan yang sama. Yup, disitulah tugas kunci jiwa yang menjembatani mereka.

Sesaat kemudian, kedua pilar cahaya kuning yang menyelubungi Ayumi dan pilar cahaya hijau yang menyelubungi Leila berubah warna menjadi ungu.

“Percaya padaku…,Fatya mengakhiri telepatinya.

Leila dan Ayumi menghela napas. Mereka ragu. Namun, tidak ada yang lebih mereka percaya saat itu dibanding pemimpin kekuatan ketiga dunia, bos mereka, yang dengan naifnya ingin menghentikan konflik dunia dan perang hitam putih. Fatya Nur Ilmi. Wanita yang berhasil menyatukan orang-orang dari Federasi dan Aliansi.

Beberapa puluh senti lagi ledakan nuklir akan mencapai kulit Leila. Muntahan darah dari mulut Ayumi pun mulai bertambah banyak. Leila memantabkan diri. Membuka matanya. Berkonsentrasi penuh dengan bola api mengembang di hadapannya. Mengukur besar ruang, besar bola api yang akan diteleportasi. Juga membayangkan lokasi tujuan telepotasi. Beberapa kilometer di bawah dasar laut.

Sekejap kemudian, bola api itu menghilang. Tanpa bekas.

Fatya sedang berada di lantai teratas gedung tertinggi di salah satu pulau dalam kepulauan Azore. Cahaya berwarna keunguan memudar dari keningnya. Badannya lemas, kakinya berlutut di lantai. Namun, ia bangkit kembali. Kini ia dapat fokus menghadapi pasukan drone, garda depan aliansi yang kini mengelilingi Azore. Tak berapa lama ia merasakan getaran dari gedung. Gempa bumi, efek dari ledakan nuklir tadi di bawah tanah. Di dinding layar transparan, muncul banyak warning tentang hempasan air dan potensi tsunami.

Ayumi dan Leila menghantam permukaan laut dengan keras. Syukurnya, perlindungan time sphere Ayumi berhasil meredam hantaman mereka. Satu menit yang terakhir mungkin satu menit yang terburuk dalam hidup mereka. Dan kini mereka pun mengambang, terombang-ambing di samudera. Namun, mereka tampak lega. Bergandengan tangan, menatap langit, senyuman terukir di wajah mereka.

In The Zenith. Fin.
24 Juni 2015


Akhir kata dari penulis.

Seluruh karakter dalam cerita adalah fiksi. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya kebetulan belaka. Keseluruhan aspek cerita hanya dibuat-buat dan tidak untuk merefleksikan inspirasi nama, tempat, dan kejadian tersebut kalaupun memang ada kesamaan.

Hampir semua cerpen yang ada di blog ini terlintas dalam pikiran penulis saat penulis mendengar sebuah lagu. Mendengar lagu itu untuk pertama kali dan tiba-tiba ada kejadian terbayang atau ide cerita terlintas. Inspirasi lagu untuk cerpen ini adalah Namae no nai Kaibutsu oleh EGOIST.

Cerpen ini merupakan bagian dari cerita besar yang sampai sekarang masih ada dalam kepala penulis. Banyak sekali konsep yang dikenalkan di cerpen ini sekaligus. Semuanya ditebalkan saat pertama kali disebut. Sihir. Katalis. Karamah. Kunci. Nuri. Hanni. Bagdad. Bleh-bleh-bleh… Cerita latar karakter, insiden Belarus, penengah, whatever…  Mohon maaf. Namanya baru belajar menulis. Ini juga kali pertama penulis mewujudkan satu bagian dari cerita besar tersebut. Jadi semua konsep keluar deh disini.

Segala saran editorial, kritik, dan hujatan sangat ditunggu.

Cerpen Terkait.

N.U.R.I – Kisah saat Ilham tenggelam dalam delusi mimpinya bersama istri tercinta dengan alat simulasi pikiran yang ia ciptakan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.