Zaman dahulu kala, di suatu pojok barat dunia, terdapatlah negeri-negeri yang dihuni oleh para peri. Negeri-negeri ini diatur segala urusannya oleh istana Elifia sebagai kepanjangan tangan dari kerajaan langit. Istana ini memiliki prajurit perang yang sangat hebat dan kekuatan yang besar. Seluruh penghuni negeri tunduk dan menyembah kepada istana ini.
Istana Elifia mendikte kehidupan peri hampir dalam segala hal. Ekonomi harus dalam pengawasan istana, politik tentu saja tunggal milik istana, sosial-budaya hanya bila menguntungkan istana. Tidak ada yang bisa bertentangan dengan hegemoni Elifia dan doktrinnya Elfrian. Tidak boleh ada pendapat yang berbeda dengan para rabi istana Elifia. Perkataan rabi adalah keputusan langit. Berbeda pendapat berarti mati, disiksa dengan dicabut sayapnya atau dicincang. Para pemikir apa lagi. Peri pintar melihat bumi itu bundar, tapi ancaman siksaan menunggu mereka. Manusia? Apalagi, jangan harap bisa selamat di negeri ini.
Setelah ribuan tahun dibelenggu, peri-peri tertindas ini mengumpulkan kekuatan. Revolusi pun terjadi dimana-mana. Raja-raja Elifia ditumbangkan. Konsep baru diterapkan, liberty, fraternity, and egality. Setelah lepas dari belenggu Elifia selama ribuan tahun, para peri pun akhirnya bisa bergerak bebas. Mereka pun bersumpah untuk hidup sebebas-bebasnya.
Ribuan tahun dibelenggu oleh langit membuat mereka trauma. Untuk menjamin kebebasan, mereka berkompromi untuk lepas dari urusan langit dan jika perlu memecahkannya, memeranginya. Batas urusan langit dan bumi dibuat: garis Sekularisme. Kekuasaan istana dan rabi diperkecil sekecil-kecilnya hingga para rabi itu hanya mengurusi masalah remeh-temen dan adat saja. Urusan bumi dilakukan dengan Liberalisme. Untuk membalas dendam tekanan ribuan tahun tersebut, kini mereka berbalik 180 derajat dalam setiap urusan. Bebas dalam semua bidang: ekonomi, politik, budaya, ilmu, perkataan, seks, makanan, pakaian, semuanya. Urusan langit yang sudah diperkecil itu tidak dibiarkan begitu saja. Sudah mereka tidak percaya lagi dengan sebagaian atau semua ajaran Elfrian, beberapa tidak lagi mempercayai adanya langit. Beberapa pun mengoarkan paham bahwa semua jalan menuju langit itu sama, bahwa semua doktrin itu sama benarnya: Pluralisme. Dengan demikian, doktrin kelangitan menjadi lemah dan saling menghancurkan. Sekuat tenaga mereka melenyapkan setiap jejak-jejak langit di muka bumi.
Note: Kejadian pada cerita di atas adalah fakta sejarah. Penggunaan setting, nama, dan istilah hanyalah keisengan penulis belaka.
Seri ringkasan Gamais: ITB Fresh Time – Indonesia Tanpa JIL, 21 Maret 2012, pembicara: Hafidz Ary (EL’98), penggiat Anti-JIL.
Selanjutnya. Sepilis: Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme (Part 2/2)
Ping-balik: Bagaimana Saya Sekarang Mengisi Blog Ini | Blog Kemaren Siang
Ping-balik: Sepilis: Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme (part 2/2) « Blog Kemaren Siang