Sosial Politik
Comment 1

Yang Bisa Diteladani Dari Ibu Kita Kartini

Beberapa hari lalu hari kartini tiba. Hal ini mengingatkan saya tentang ujian mata kuliah orkom (Organisasi dan Arsitektur Komputer) dua tahun silam. Salah satu pertanyaannya membutuhkan pengetahuan tentang hari kartini. Tanggal berapa diadakannya? Ternyata teman sekelas saya banyak yang nggak tahu. Haha… Kok bisa ya. Ternyata pada nggak gaul nih.

Note: ujian tersebut adalah ujian terburuk yang pernah kami alami. Mendapat nilai di atas angka kalender adalah anugerah luar biasa. Bukan karena tanggal kartini, bukan.

Ternyata  hari kartini nggak banyak diperhatikan orang ya. Tuh anak-anak IF ITB yang katanya [censored] aja banyak yang nggak tahu. Atau saat SMA-nya nggak dirayain ya Hari Kartini, biasanya banyak lomba Kartini Kartono, dll kan.

Saya sendiri sebenarnya bingung, kenapa Kartini. Well, tidak seperti tahun lalu (atau saya saja yg nggak gaul), tahun ini beredar pos yang menanyakan hal serupa? Apa sih jasa kartini. Melawan penjajah aja nggak…

Yup, kartini tidak melakukan apa-apa. Perjuangan? Emansipasi wanita? Omong kosong. Kartini hanyalah seorang istri dan ibu rumah tangga, seorang priyayi yang mungkin kerjaannya cuma di rumah saja. Ups, jangan salah ya. Saya tidak merendahkan istri yang hanya bertugas sebagai IRT. Justru mereka sangat luar biasa malah, pengorbanan mendidik masa depan jauh lebih besar mereka lakukan. Akan tetapi, bukan itu bahasannya. Kembali ke kartini, beliau ini tidak memperjuangkan apa-apa. Titik.

Beliau hanya surat-suratan, kebetulan ada yang mendokumentasikan, beruntung dibaca wartawan pejabat belanda dan dijadikan buku, ternyata best seller, terkenal, … profit! Jadi deh pahlawan.

Yup. Jika ada hal yang patut ditiru dari Kartini, hanya ada satu: menulis. Disini kita lihat kekuatan menulis. Ide itu hanyalah sebuah angan-angan belaka, sebelum dia disebarkan. Tulisan adalah salah satunya. Kartini menuliskan pendapat dan idenya mengenai masalah yang ada pada zaman itu, masalah budaya Indonesia yang kurang memerhatikan pendidikan wanita. Curhat mungkin istilahnya, ke temannya di Belanda. Tentu saja, pendapat dan ide ini bukan hak milik kartini belaka, bukan pula cetusannya. Banyak wanita Indonesia lain yang punya ide sama, keprihatinan yang sama, dan bahkan lebih sukses merealisasikan ide tersebut untuk hal yang lebih baik. Mungkin Kartini lebih beruntung karena dia punya teman di Belanda dan “disukai” pemerintah saat itu. Bukan pembelot soalnya.

Poin saya adalah mari menulis. Secercah apa pun idemu, tuangkan. Publikasikan. Mari kita teladani jejak ibu kita ini. Ibu yang setiap individu Indonesia hapal dengan lagunya ini.

Toh, tidak dapat dipungkiri, kemajuan bangsa, keberlangsungan iptek, dan tersampainya ide & informasi hanya bisa dilakukan dengan tulisan.

Dan terakhir, ibu emansipasi Indonesia akan tetap Kartini. Puteri sejati kita akan tetap Kartini. Nggak akan bisa diubah, sudah jadi sejarah soalnya. Tidak usah galaulah memikirkan kenapa nggak jadi Ibu Kita Cut Nyak Dien atau apa. Toh, pancasila saja tidak akan bisa dikembalikan kondisinya pada saat masih di piagam jakarta. Kartini sudah menjadi simbol. Simbol kepahlawanan wanita. Wanita yang cerdas, cantik, dan pejuang. Putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Karinti sudah jadi simbol yang megah, ya sudah mau bagaimana lagi. Selama tidak buruk, pakai saja simbolnya, walaupun sejarahnya kurang pas.

Sekarang, saatnya menatap ke depan. Mencetak kartini-kartini masa depan. Mencari, Kartini mana lagi yang bisa kita banggakan…  Wanita sejati yang cerdas, cantik, dan pejuang. Yang bisa dengan baik melahirkan dan mendidik anak-anak kita kelak nanti (loh?)

1 Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.