Sudah mafhum bahwa gerakan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme semakin gencar. Loh, darimana kita tahu? Ya ini kan zaman informasi. Berita banyak dimana-mana tentang penyebutan tiga paham ini. Bisa dilihat pula terjadi banyak pembelaan dan penentangan dengan tiga paham ini. Sebenarnya itulah yang mewarnai berita tersebut. Dalam keorganisasian, mereka bahkan sudah punya badan resmi tersendiri: JIL. Tentu saja kita mafhum mereka sudah dalam posisi menyerang.
Akan tetapi, sebenarnya bagaimana sih taktik tempur mereka? Bagaimana kondisi kita kalah? Apakah dengan menyerah dan masuk menjadi anggota JIL? Apakah dengan mengaku terang-terangan pluralisme itu oasis yang perlu diperlebar? Apakah dengan mendukung UU Feminisme?
Anda tahu ghazwul fikr alias perang pemikiran? Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme itu adalah sebuah paham dengan kata lain pemikiran. Ranah peperangan mereka bukanlah ranah fisik, bukan pula ranah media apalagi ekonomi. Medan tempur ada di dalam kepala anda, pikiran. Mari kita sama-sama merenung, bagaimana kita menyikapi hal-hal yang ada di sekitar kita. Terutama yang berkaitan erat dengan masalah sepilis ini. Apakah kita sudah mulai termakan dengan gagasan-gagasan mereka atau masihkah kita punya ruang gerak untuk bertahan?
Mari kita sama-sama berhati-hati. Jika kita berpikiran dosa dan kejahatan itu urusan masing-masing, jika kita berpikiran terserah orang mau minum minuman keras atau tidak toh minuman keras sudah dihargai mahal, terserah orang mau nonton konser Lady Gaga atau tidak toh harga tiketnya selangit, biarlah orang berzina toh mereka suka sama suka: jangan-jangan kita sudah terasuki pikiran liberal. Semua kita anggap pilihan bebas yang tidak boleh diganggu orang lain. Semua pekerjaan adalah bebas asal tidak mengganggu hak orang lain. Pikiran seperti inilah yang termasuk paham liberal.
Padahal kita sudah diwanti-wanti oleh Rasulullah :
Dari Abu Sa’id AlKhudri Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, jika kamu tidak mampu maka cegahlah dengan lisanmu dan jika kamu tidak mampu juga maka cegahlah dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman. (H.R. Muslim)
Jadi seminimalnya kita adalah mencegah dengan hati – tidak menyetujui kemungkaran tersebut. Itu pun sudah disebut iman terlemah. Jika kita berfikir tidak apalah orang berbuat X toh yang dosa dia, duit-duit dia, bukankah berarti pikiran kita pun tidak mencegah kemungkaran itu? Jika memang pernah terbesit begitu di kepala kita, mari kita bersama-sama beristighfar. Mari kita hidupkan ulang pikiran kita tersebut, kita perbaiki dalam safe mode with command prompt, sambil berharap, semoga saja pikiran itu belum sampai ke hati.
Mari kita sama-sama berhati-hati. Jika kita sudah berpikiran semua orang baik itu masuk surga, tidak mengapa saling mengucap selamat hari raya ke orang yang beda agama, tidak mengapa mendoakan orang yang beda agama, kok gitu banget mengatai orang yang beda agama masuk neraka: jangan-jangan kita mulai terasuki paham pluralisme. Kita menganggap semua agama itu bisa disamakan. Padahal Allah sudah berfirman:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (Q.S. Al Kafirun)
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Kita punya agama masing-masing, kita punya aturan main masing-masing. Tentu saja kita punya keyakinan masing-masing yang tidak perlu dan tidak bisa dicampur aduk. Biarlah aku dan agamaku begini, kamu dan agamamu begitu.
Apanya yang salah menganggap orang lain yang tak seagama masuk neraka? Bukankah salah satu ciri agama adalah menjamin penganutnya keselamatan? Bukankah itu artinya menilai dua penganut agama yang berbeda bisa masuk surga berarti menghinakan agama yang kita anut sendiri? “Buat apa menganut agama tertentu jika bisa masuk surga lewat mana saja”, itulah muka sebenarnya pluralisme. Analoginya sama seperti “Buat apa ikut kuliah kedokteran jika kita bisa jadi dokter lewat jalan lain”, bukan?
Tidak perlu bertemu orang JIL untuk dapat kerasukan sepilis. Terdapat banyak benih liberal di sekitar kita. Tinggal bagaimana kita mengatur jalan pikiran kita sambil menyaring hal-hal yang bisa merusaknya. Tinggal bagaimana kita mengatur reaksi dan sikap terhadap kejadian di sekitar kita sambil mempertimbangkan bagaimana tuntunan agama yang seharusnya.
Ping-balik: Bagaimana Saya Sekarang Mengisi Blog Ini | Blog Kemaren Siang