Jadi apa isi PRJ? Tidak jauh berbeda dari mall gan. Sampah. Hal ini sangat jauh dari yang saya bayangkan. Saya lebih mengharapkan sebuah festival, rentetan acara, atau pagelaran seni, budaya, betawi, atau hal-hal semacamnya. Ternyata, arena PRJ hanyalah tumplekan toko-toko yang entah benar atau tidak memasang tulisan diskon besar-besar. Saya merasa ditipu. Konspirasi. Tapi apa boleh buat, kami pun berkeliling mencuci mata, kalau-kalau ada barang yang sedang butuh dan murah kami beli.
Well, kami lebih kaget lagi ternyata makanan di dalam jauh lebih murah dari makanan diluar. Padahal di dalam adalah makanan bermerk, misalnya dunkin donut atau McD. Beberapa malah memberikan bonus-bonus makanan. Dan ada juga yang memberikan mie instan gratis di sana. Di banding ayam goreng Rp50.000 tadi, hal ini tentu jauh lebih baik. Bukan begitu?
Setelah keliling tak jelas dan menukarkan brosur bonus masuk PRJ dengan beberapa Fruit Tea (tentu tidak dengan cuma cuma [biaya tambahan Rp5000]), kami pun pulang. Keluar lewat gerbang yang salah, kami harus jalan jauh menuju jalur by pass nun jauh di sana. Setengah jam kami jalan dan akhirnya setelah luntang-lantung kami pun memutuskan menyetop taksi. Tujuan akhir adalah stasium gambir yang ada di salah satu sis Monas juga. Tiket pulang ke bandung nanti malam, harapan kami menyudasi hari ini.
Setengah lima sore kami sampai di gambir. Tiket ekonomi sudah habis, jadi terpaksa tiket eksekutif kami boyong. Pukul tujuh tertulis di tiket yang kami pesan itu. Karena logistic kami tinggal di kosan Fikri, kami pun mengejar bus way untuk pulang. Tidak disangka, halte busway yang di dekat stasiun Gambir tadi sesak oleh manusia. Tiket pun tidak bisa dibeli karena bus masih terhalang oleh pawai, katanya. Antrian pun makin panjang. Panas dan lengketnya badan ini, duh.
Sampai pukul lima lewat, kami belum juga mendapatkan tiket busway. Antrian ke loket yang tadinya cukup rapih, kini membludak di depan karena ulah beberapa orang tak terpelajar yang mungkin tidak pernah diajari guru SDnya cara mengantri. Akhirnya cabang antrian berubah dari 2, menjadi infinite. Beberapa ibu-ibu juga sudah mulai naik darahnya. Mereka berteriak-teriak, memaksa petugas untuk menjual tiket. Petugas yang berwajib menjelaskan kenapa tiket ditahan. Busway terhenti entah dimana. Meskipun tiket dijual belum tentu busway datang. Jika hal ini terjadi, yang rugi adalah konsumen karena tiket yang sudah dijual tidak bisa dikembalikan. Ibu yang berteriak pun membalas argument dengan ‘Itu resiko kami’, dan sebagainya. Aku yang sudah setengah nyawa diam saya, terhimpit di depan loket.
Time wise, kami memutuskan untuk menukar tiket kereta dari jam 7 ke jam 9. Yah benar ternyata, kami berangkat dari halte busway Gambir hampir jam 6. Termacet juga di halte pusat busway yang juga dibanjiri manusia hingga tak bisa gerak, dan halte-halte lain yang serupa, kami sampai di mampang prapatan pukul 7 lewat. Hanya sempat shalat magrib dan isya jama, kami langsung berangkat lagi ke stasiun gambir. Hari yang luar biasa, melelahkan.
Naik taksi, segalanya lebih lancar. Dari mampang prapatan ke gambir sangat cepat, syut-syut. Mantap. Setengah jam sebelum kereta berangkat, kami sudah sampai hingga sempat untuk makan malam dulu. Sambil menenangkan diri di taksi, kami diceramahi cara melamar kerja, bahwa koneksi itu penting, bahwa untuk melamar kerja alangkah baik jika kita punya orang dalam, bahwa konspirasi, kolusi, nepotisme di dunia kerja itu ada.
Remuk redam, sekitar pukul 12 malam kami sampai di bandung. Dingin, semilir, menggigil. Pegal. Itu yang kami rasakan. Tentu saja, pada waktu selarut ini tidak ada angkot dari stasiun ke dago. Konsekuensinya, jalan kaki. Dari stasiun, kami pun berjalan sampai akhirnya ketemu angkot di sekitar Dago Planet. Malam yang menenangkan, tidur ku yang paling nyenyak mungkin adalah tidur di malam itu.
26 Juni 2011. Hari yang melelahkan.