Hidup diwarnai dengan banyak pilihan. Semua orang harus melaluinya, hampir setiap saat. Namun, menurut saya hanya ada beberapa titik “penting” pilihan yang bisa mengubah jalan hidup 180 derajat. Bisa mengubah lingkaran sosial, kegiatan sehari-hari, kebiasaan, atau mungkin pola pikir. Dua hal itu adalah pendidikan dan pekerjaan.
Dalam dua hal ini, satu pilihan akan merembet hingga ke masa depan kita. Sekolah menentukan siapa teman kita, bagaimana kita bergaul-berpikir, bagaimana kita lanjut ke jenjang lebih tinggi, apa saja skill-set kita. Walaupun sebenarnya pilihan sekolah ini sudah sangat terfilter berdasarkan lokasi. Kebetulan lahir di pedalaman, ya sulit dapat sekolah yang bagus. Sekolah berkelas internasional atau akselerasi atau punya tim olimpiade solid atau akses ke universitas xyz misalnya, hanya ada di lokasi tertentu. Makanya saya memandang orang yang aksel dll tadi itu hanya orang yang beruntung.
Meskipun sudah terbatas pilihannya, tetap saja pilihan adalah pilihan. Pendidikan adalah pilihan, satu sekolah tak sama dengan lain. Kasus tadi juga, bisa saja kan memilih untuk sekolah ke tempat yang jauh, banyak teman saya yang begitu. Pekerjaan juga sama, sebuah pilihan yang besar yang akan merembet hingga akhir hayat.
Kebanyakan orang mungkin mulai memilih saat SMA. Pendidikan SD hingga SMP kebanyakan orang ditentukan oleh orang tua. Di Jepang, SD bahkan juga harus yang terdekat dari rumah. SMP juga, keknya rata-rata lanjut ke sekolah yang ada di kotanya, lagi-lagi balik ke location of advantage tadi deh. Jadilah artikel ini saya mulai dari SMA, karena saat SD dan SMP saya tidak mengingat pernah memilih. Mungkin itu sebabnya saya tidak terlalu ingat momen saat SD/SMP. Eh, nggak ding, itu memang sayanya aja yang nggak punya momen.
Sekolah Menengah Atas
Pilihan dimulai saat SMA. Waktu itu saya memiliki dua pilihan. Tetap di Metro, kota saya tinggal sejak kecil, atau pindah ke Bandar Lampung, ibukota Provinsi. Sulit sekali menentukan pilihan saat itu. Galau. Di Lampung, arguably SMA terbaik saat itu adalah SMAN 2 Bandar Lampung. SMAN 1 Metro, ya.. so-so lah (trying to be modest here). Saya dan ibu sudah sempat pergi ke ibukota untuk mengecek kondisi SMA sana. Galau. Kok gak yakin ya mau “merantau” (pisah dari ortu). Juga sayang sekali meninggalkan teman-teman gahul SMP.
Singkat cerita, saya memilih tetap di Metro dan bersama teman-teman lama. Jika saya waktu itu memilih merantau tentu saya yang sekarang akan sangat-sangat jauh berbeda. Teman. Koneksi. Gaya. Kuliah dimana. Merembet sampai seterusnya. Tidak tahu lebih baik atau lebih buruk.
Kuliah
Selepas SMA, siswa harus memilih akan kuliah dimana. Entah kenapa waktu itu saya ingin masuk ITB. Terpengaruh dari kakak tingkat yang berhasil masuk kesana. Di SMA saya, ITB tidak populer. Universitas semacam ITB ini tidak populer di kebanyakan daerah “terpencil”, atau jauh dari jawa. Mungkin karena acceptance rate dari daerah itu rendah. Yang populer adalah semacam AKPOL, AKMIL, dan berbagai sekolah ikatan dinas lain. STAN yang paling menonjol, idaman anak dan keluarga, setidaknya di SMA saya. Mungkin karena pada departemen keuangan terdengar kata uangnya.
Waktu itu, ada perseteruan kecil antara universitas-universitas. SPMB diubah nama jadi SNMPTN. Ada yang “membelot” dan membuat ujian tandingan duluan, alias UMB dikepalai oleh UI. Saya mendaftar ke hampir semua kesempatan. Tujuan utama saya ya ITB, tapi untuk latihan saya juga mendaftar UMB. Waktu itu ke Teknik Elekto UI (atau informatika ya, saya lupa heehe). Bayar 100.000 tapi ya pantas untuk latihan nyata. Sebelumnya banyak try-out sebenarnya, tapi itu kan ga nyata. UMB, nah ini nyata… Terima kasih konflik antar universitas. ^^
Oh iya, saya juga daftar STAN, soalnya teman-teman pada daftar sih. Ya ikut lah ya. Lagipula, saya juga nggak pede dengan kemampuan jadi harus siapkan cadangan berlapis ganda.
Meskipun sebelum ujian kurang lebih saya sudah membuat pilihan, galau masih tentu ada. Galau milih jurusan misalnya. Galau dengan kemampuan. Dan lain-lain. Lulus UMB, galau, ambil nggak ya… Kan lumayan, UI gitu… Hmm,, Namun, setelah lama dipertimbangkan lagi, kan awalnya niat cuma latihan, jadinya mari optimis tujuan utama. Pada akhirnya, pengumuman SNMPTN tiba dan tiga hari kemudian saya sudah di Bandung dan berhasil menulis artikel ini sekarang. Mungkin jika pilihan saya lain, artikel ini bisa berbeda.
Lanjut Kuliah?
Selepas kuliah, beberapa pilihan terhampar. Kerja. Lanjut kuliah. Freelance. Atau start-up. Pilihan yang sulit, sangat sulit. Galau. Akhirnya semua diembat. Itung-itung ngabisin waktu, memundurkan kewajiban memilih. Dibilang “semua” sebenarnya gak juga sih, nggak sempat kerja soalnya, nggak melamar siapa-siapa. (Cuma satu dan gagal! Iya… Kamu♥…)
Saya punya keinginan untuk ke Jepang dari lama, ingin melihat dunia yang di drama/anime itu dengan mata kepala sendiri. Salah satu caranya dalah melanjutkan master di Jepang. Sambil mengolor waktu dengan freelance tadi, saya pun mencari beasiswa kesana. Semua saya daftar. Ada tiga kesempatan waktu itu, ya saya coba daftar semua. Namanya juga kesempatan, persis pas kayak mau kuliah dulu, coba semuanya!
Kayaknya saya sudah cerita agak banyak tentang beasiswa ini ya? Silakan dibaca di Mezase! Japan. Singkat cerita, dari tiga beasiswa, saya gagal di salah duanya. Namun akhirnya saya juga berhasil lolos di salah duanya. Hmm… Dua pilihan. Lagi-lagi berhadapan dengan pilihan besar. Satu dan lain bisa mengubah jalur masa depan. Galau lagi deh. Mungkin tiga tahun sekali siklus kegalauan manusia ya?
Sesuai artikel Mezase! Japan tadi saya pun memilih salah satunya dan berhasil menulis artikel ini.
Ups… Wrong Genre…
Pekerjaan (Job Hunting di Jepang)
Sekarang saya berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi sebagai major pilihan hidup terakhir: pekerjaan. Yang tadinya saya tunda dengan freelance dan lanjut kuliah. Akhirnya datang. Karena dapat beasiswa yang harus cari kerja di Jepang, saya pun melaksanakan job hunting disini.
Budaya Jepang menuntut bahwa ketika masuk kerja ke suatu perusahaan, kita akan mengabdi disana hingga mati. Pindah/ganti pekerjaan itu sangat tidak lazim disini. Tentu saja, bagi orang asing (baca: non Jepang, termasuk saya) hal ini agak absurd. Tidak ada dalam benak kita saat memilih pekerjaan bahwa ini adalah pilihan hidup paling akhir. Ada separuh hati yang berkata bahwa peluang lain yg lebih besar nanti akan datang. Ini hanyalah sementara? Iya gak sih?
Walaupun pada kenyataannya di Indonesia sendiri ketika masuk kantor sebagai pegawai tetap, jarang yang pindah haluan ke perusahaan lain. Iya kan? Atau perasaan saya aja? Terutama untuk PNS dan pegawai BUMN, sangat diidolakan di Indonesia. Saya sendiri sebenarnya tidak suka dengan PNS, salah satu alasan kenapa saya nggak milih STAN padahal banyak keluarga menyuruh kesana.
Kenapa nggak suka? Kenapa ya, susah dijelaskan. Image di kepala saya, pekerjaan itu nggak baik, ngabisin apbd negara asyik aja. Namun, setelah di Jepang dan bergaul dengan banyak dosen dan calon dosen, saya tahu kalau dosen itu termasuk PNS juga. Dan lebih baik berpns dibanding dosen non. Banyak juga sih yang mengakui kalau pns itu bukan pekerjaan yang perfek, dan banyak plot-hole nya, tapi… Sebenarnya ya gak semuanya buruk juga. Sekarang, setidaknya pandangan saya terhadap pekerjaan ini membaik, yaa setidaknya keinginan jadi dosen pns sedikit tumbuh…
Back to laptop rpg game. Nah, sekarang saya sedang menghadapi shukatsu alias job hunting activity. Di Jepang, kegiatan mencari kerja tidak jauh berbeda seperti mencari universitas. Ada periode mencari kerja yang tetap dan tertentu tiap tahun. Pada periode ini, semua perusahaan di Jepang melakukan rekrutmen. Yup, pada waktu yang bersamaan!
Memang tiap perusahaan punya jadwal dan tahapan yang berbeda-beda. Ada yang tes berlapis-lapis (umum) ada yang sekali wawancara (kurang umum). Ada yang duluan (perusahaan kecil-menengah), ada yang belakangan (perusahaan gede). Tetapi semua itu berada dalam rentang periode shukatsu tadi. Jadinya ya main strategi penjadwalan kayak SNMPTN vs UM.
Informasi tentang perusahaan terkategorisasi rapi di satu (atau dua) web-database. Job hunting navigator, mereka menyebut website yang memberikan layanan tersebut. Navigator yang paling terkenal adalah rikunabi dan mynavi. Kebanyakan perusahaan mewajibkan pelamar mendaftar via salah satu dari dua website tadi. Sebagian malah memanajemen komunikasi, jadwal, dan seluruh tahapan seleksi di web ini. Siswa tinggal mendaftar di website tersebut dan bisa mencari lowongan dari perusahaan sesuai kriteria macam-macam. Hasil yang muncul bisa ribuan. Bingung-bingung tuh milihnya.
Detail ttg shukatsu mungkin saya akan cerita lagi lain kali. Singkat cerita, saya mengikuti apa aja seminar perusahaan yang ada dan submit form aplikasi di saat mereka minta. Semua, tanpa pandang bulu, yang saya dapat informasinya. Ya agak disaring dikit lah, kira-kira yang agak punya bidang IT, atau punya kesempatan ke luar negeri/Indonesia, atau punya kantor di Aichi.
Bulan lalu, dari 6 atau lebih perusahaan yang saya hadiri wawancaranya, dua perusahaan memikat hati. Satu karena dua perusahaan ini yang paling cepat jadwalnya (udah capek shukatsu dari Maret-Mei). Juga karena salah satu perusahaan mencari orang Indonesia untuk jadi sales/manajer di cabang yang mungkin akan dibuka di Indonesia tiga tahun mendatang. Jauh dari jurusan. Yang satu lagi adalah start-up yang cukup keren di bidang otomotif/IT dari para mantan orang Toyota/Bosch/Nissan. Kayaknya sukses dan seru gawenya, agak ngepas dengan jurusan pula.
Galau. Mei akhir si perusahan kedua melaksanakan wawancara berkali-kali dengan jarak singkat. Hingga selesai final interview. Yang perusahaan pertama juga sudah first interview duluan, tapi lama hasilnya. Galaunya saat ditanyakan oleh kedua perusahaan, kalau diluluskan beneran mau kesini nggak? Pertanyaan sulit nih, yang saya jawab apa adanya: masih galau. Galau antara meng-IT dan di Jepang atau pulang meng-sales. Hmmf…
Masuk Juni, pengumuman perusahaan pertama muncul dan ternyata tidak lolos kawan-kawan. Pengumuman perusahaan kedua muncul dan lolos. Dapat naite! Naite: janji tak resmi kalau boleh jadi pegawai disana. Jadi, tinggal satu pilihan kan?
Nggak juga, pilihan tentu selalu ada. Galaunya pindah menjadi: lanjut atau cukup sampai disini. Terus masih ada beberapa perusahaan lebih besar yang belum memberikan pengumuman. Ada juga perusahaan ketiga, medium-big berposisi dekat kampus (nggak perlu pindah!) dan berpeluang pindah kerja ke Indonesia baru melaksanakan first interview dan saya lanjut ke final. Hm… Galau.
Sayang, periode masing-masing perusahaan gak pas. Satu harus ada jawaban kapan, satu baru wawancara kapan, satu pengumuman kapan. Jadi galau. Lanjut job hunting (perusahaan kedua stop, coba perusahaan ketiga, atau ambil peluang lain dg belum tentu keterima) or Ambil yang sudah pasti. Males juga sih lanjut shukatsu, capek, waktu terbuang dan muak dengar celotek berbahasa Jepang yang intinya menjelaskan hal yang sama hanya dg nama perusahaan berbeda. Perusahaan kedua ini not bad juga, nggak ada yang kenal namanya tapi ya bagus untuk tempat belajar. Kayaknya. Hmf. Apa cari yang lain ya, yang lebih ‘menjanjikan’, for whatever that means.
Pilihan yang kek-kek gini ni emang sulit, hmf.
Galau. Galau. Galau.
Nah yang sekarang, gimana mengatasinya ya? Saat mau masuk kuliah, pilihan saya adalah lanjut ujian demi menggapai universitas yang diinginkan. Saat ambil beasiswa, pilihan saya adalah lebih cepat lebih baik. Yang penting pasti. Sekarang? Take or throw? Argh..
Anda pasti langsung berpikir untuk memberi nasihat: Passionmu dimana. Kamu pengen kerja yang gimana. Nanti gede mau jadi apa. Tujuan hidupmu apa. Fyuh, nasihat yang bagus tapi menurut saya itu hanya menambah masalah. Kita nggak tahu masa depan, dan menjawab pertanyaan di atas tadi jadi menyempitkan peluang. Kalau passion, saya sih emoh kerja pengen di rumah aja nulis blog dan nonton. Pengen kerja gimana, apa aja yang penting seru. Gede mau jadi apa, jadi orang. Nggak menjawab kan? Ya mungkin kalau ada jawaban kongkret dan klir ttg pertanyaan2 tadi, kegalauan akan berkurang. Tapi, who knows the future??
Ada lagi pertimbangan lain keluar: Perusahaan gede aja, bonafit, ekonomi Jepang lagi anjlok loh, HITACHI aja minus terus berapa tahun ini. Perusahaan kecil aja, cari pengalaman, orangnya dikit jadi promosi gampang kan, toh ntar bisa pindah dan cari yang lain. Pulang ke Indonesia aja, berbakti kepada negara!!
Nggak tahu deh. Three days to reply, kayaknya 75% hati cenderung pasrah akan membalas, hmm…
Galau itu tiga tahun sekali. Dan itu wajar.
Penutup
Satu hal yang saya pelajari dalam hal milih-memilih ini adalah: jangan didikte orang lain. Buat pilihanmu sendiri.
Satu senior saya pernah menyesal dengan jurusan yang dia pelajari. Ia memilih untuk DO dari ITB setelah tahun kedua, hanya karena dia sakit dan harus opname 2 bulan. Setelah itu, passionnya hilang. Tidak mau lanjut kuliah. Bahkan setelah dibujuk sekeluarga dan teman dekat. Entah paranoid dengan ketinggalan pelajaran atau muak dengan kuliah atau gimana. Dia akhirnya menyalahkan pilihannya pada masa lalu. Katanya milih jurusan ini dahulu itu dipengaruhi oleh pendapat temannya bahwa Farmasi lebih baik/potensial dari Tekim. Akhirnya setelah berbulan dan bertahun nggak kuliah, beliau pun di-DO oleh waktu. Kesempatan besar di ITB terbuang, berapa tahun terbuang, karena menyesal tidak memilih sendiri.
For me, I don’t regret every single thing of my past self’s decision.
Or so I hope.
Oh iya, ada lagi pilihan sulit selain di atas, yg bisa mengubah seluruh aspek hidup sampai akhir: pendamping. Apakah akan kembali terulang kegalauan memilih seperti titik titik penting sebelumnya? Situasi take or throw alias lanjut or cukup sampai disini terulang lagi? Wh♥ kn♥ws?