Sekedar mereview kembali, atau merangkum sedikit. Seperti yang anda ketahui semua, gua adalah satu dari ribuan angkatan 1990 (dirujuk dari lahirnya). Kebanyakan dari mereka sekarang sedang mengalami tahun-tahun pertama dari masa kampusan, meskipun terdapat pula tidak sedikit yang abnormal sehingga mengalami loncatan baik ke tahun atas maupun bawah. Yah, angkatan ini gua sebut sebagai angkatan kelinci lab. Pendidikan.
Sadarkah Anda, bahwa kita (angkatan 1990) sering mendapat cobaan terhadap hal-hal yang baru. Yah, memang mencoba hal yang baru tidaklah buruk. Kemajuan bisa didapat dari sebuah inovasi dengan mencoba algoritma baru yang mungkin (atau juga tidak) lebih baik dari algoritma pendahulunya. Imajinasi yang dapat diinisiasikan diharapka dapat membawa inovasi yang akhirnya mengarah kepada kemajuan subjek yang melaksanakannya. Bingung? Ya sudah…
“Kemajuan didapat dari imajinasi, inisiasi, dan inovasi.”
Pendidikan. Masih ingatkah Anda saat SD dahulu sistem UAN diujicobakan kepada kita yang masih imut-imut. Sistem sebelumnya, EBTA dihapuskan dengan alasan tertentu yang kita gak tahu apa (jelas lah, masih kecil gitu). Tiba-tiba kita mendapat kehormatan menjadi yang pertama mencicipi tes tingkat nasional yang baru itu.
Ketika SMP, sistem cawu (caturwulan – 4 bulan per periode pelajaran) pun ditinggalkan. Semester mulai diterapkan di seluruh lapisan pendidikan. Efeknya tidak sedikit. Reduksi buku pelajaran dan efisiensi waktu belajar mungkin yang utama. Cukup baik.
Lulus SMP, sistem baru menanti kita. Penerimaan siswa SMA mengenakan nilai murni UAN (DANUM) mulai ketinggalan jaman. Diperkenalkanlah sistem hibrid, UAN-Utul yang menggunakan persentase tertentu dalam penilaian tiap komponennya.
Setelah masuk SMA kita, cobaan bertubi pun datang. Kehormatan mencicipi KBK – sistem pendidikan aneh yang katanya lebih meleluasakan siswa dalam belajar dan mikir – pun kita dapatkan. Kagak sampe dua taun, sistem ini berubah lagi jadi KTSP – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan – yang lebih tidak jelas dari KBK. Pengelolaan kurikulum diserahkan ke daerah/ sekolah masing-masing yang bertujuan untuk mengepaskan gaya belajar dengan siswa masing-masing di sekolah. Begitu katanya kalau tidak salah.
Puncaknya terjadi di penghujung masa-masa (indah – katanya) SMA. UAN diganti dengan UN (gak begitu jauh berubahnya) yang jumlah mata uji membengkak jadi enam (sempat ada kabar akan jadi tujuh atau bahkan sepuluh). Bukan main. Apa pun jurusan Anda saat SMA, menelan enam mata uji saat UN hukumnya wajib. Hal ini sih, lagi-lagi katanya, sebuah representasi dari protes tahun-tahun sebelumnya yang mengatakan bahwa tidak adil mengetes siswa dengan hanya tiga mata uji utama (bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan matematika) saat akhir masa pembelajaran. Tah, yang mereka perlajari macam-macam, masak cuma dites tiga. Mangkanya hadiah enam mapel bisa dapet deh kita.
Ujian akbar masuk perguruan tinggi negeri pun ikutan ngasih kita sistem yang baru. Akibat adanya konflik antara U* dengan Per******an S*** soal manifestasi dana SPMB akan dikemanakan, muncullah dua kubu ujian masuk PTN yang semula timbul desas-desus blok-blok itu punya seleksi nasional masing-masing, UMPTN dan SPMB yang dahulunya adalah satu nama.
Untunglah, dengan adanya konsolidasi dan negosiasi, akhirnya keputusan mengadakan seleksi nasional secara total pun diturunkan. SNMPTN, seperti yang Anda ketahui sebuah modifikasi nama SPMB, pun diadakan. Meskipun blok yang satunya tetap melaksanakan ujian bersama sendiri yaitu U**.
Percobaan ini tidak berhenti begitu saja. Beberapa universitas pun mengubah tata cara penerimaan maba mereka, seperti tampak pada Unila yang kini memiliki ujian masuk tersendiri dan beberapa universitas lain yang melakukan hal yang sama.
Setelah lolos ke universitas, cobaan belum berakhir. Kami di ITB mendapat sistem-sistem serba baru lainnya (lagi). Misalnya sistem Ospek Terpusat terbaru yang kini di bawah nama INKM (Inisiasi Keluarga Mahasiswa) yang terjadi akibat berubahnya sistem penerimaan di ITB dari langsung ke prodi menjadi mampir ke fakultas dulu. Perubahan ini terjadi secara bertahap dimulai 2 tahun lalu dan sempurna pada tahun kami ini.
Kurikulum ajar TPB baru pun ternyata ada sehingga kami benar-benar menjadi kelinci percobaan disini. Setelah itu, sistem ujian baru pun diterapkan kepada kami. Dulu, ada ujian yang bersifat pilihan berganda pada beberapa mata kuliah, Kidas misalkan. Kini hal ini dihapuskan dan diganti menjadi pertanyaan konseptual yang bersifat uraian singkat. Bahkan penilaian dan skala nilai baru pun diperkenalkan. Skala tidak hanya A, B, C, D, dan E yang bernilai masing 4, 3, 2, 1, dan 0. Kini terdapat skala A, AB, B, BC, C, D, E, dan T. Nilainya bisa anda tebak sendiri. ^^
Secara nasional, perubahan total yang juga kita (angkatan 1990) terima adalah UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Secara tujuan mungkin UU ini terkesan baik, tetapi secara pelaksanaan dan interpretasi tidaklah semudah membayangkan visi-misi. Banyak hal aneh yang tercantum pada pasal-pasal BHP ini, sehingga menjadi kontroversi pendidikan yang paling kontrovesional hingga sekarang.
Yah, beginilah nasib angkatan kita, angkatan 1990 yang selalu mencoba sistem baru dan insya Allah survive di dalamnya. Sekarang pertanyaannya, mengapa kita? Apakah kita ditakdirkan menjadi sebuah massa pembaharu negeri di masa mendatang kelak. Pembaharu sistem dan moral bangsa yang mulai runtuh oleh kapitalisme dan demokrasi. Para pejuang yang sudah terbukti adaptif terhadap fluktuasi sistem di masa pendidikannya yang akan merombak total negeri. Mengingat generasi terjadinya penurunan yang sangat tajam pada generasi (tepat) sesudah kita (hal ini benar menurut hasil diskusi kepada anak-anak dari beberapa SMA berbeda), baik dalam akademis, moral, kesantunan, dan lain-lain, apakah memang benar nasib bangsa mendatang adalah tergantung di pergelangan tangan kita? Kita lihat saja 15 tahun mendatang.
Eh, kita seangkatan ya?
Sama dong.
oh iya-iya…
Mungkin kita senasip seperjuangan…