First Sense is unforgettable one. Bukan maksud indra pertama loch, tapi sense. Sense. Kesan gitu. Yah inilah perasaan-perasaan pertama yang gua derita prahijrah ke kota gua yang baru. Perasaan yang tibul secara spontan dan netral serta tanpa pemikiran matang dan . Pikiran yang aneh dan sebaiknya dilupakan malah. Ada-ada aja.
Get the ITB
Dredeg bukan! beberapa nanodetik menjelang pengumuman. Semua orang (baca: peserta ujian yang mau liat itu situs) otomatis mengaktifkan prosedur ini. Bimbang memuncak. Muscular mulai melemah. Ada yang sakit perut. Dalam neuron impuls chaos mulai mengkudeta bank data. Males sekaligus tertantang. Pusing. Seakan akan bumi ini berputar dan atmosfer tidak pernah berhenti bergerak gitu (emang). Tiba-tiba ruang waktu mengerut dan masa depan mulai memasung pedangnya ke dada kita. Lebhay. Gak segitunya lah. Kita kan punya kontrol emosi, buktinya bisa ke warnet tanpa kecelakaan. Aku sih dari rumah udah tau, Cuma ambil risiko kecelakaan di jalan adalah hal menantang bukan. Di tambah mengacau warnet bareng kolega, hal yang tak mungkin bisa dilewatkan.
Tau tau lolos? Waw! Wah, lumayan donx. Masuk sesuai doa dan harapan. Senang lah tak terperikan mungkin. Bahagia. Happy. Ceria atau apalah orang menyebutnya. Plus, bingung dan aneh akan langkah selanjutnya. Gak nyangka atau menyesali diri. Campur aduk. Yah suka-suka masing masing mau ngerasain apa.
Tak terkecuali gua, prosedur yang sama juga gua alami. Namun [sebuah konjungsi yang tak tepat penggunaannya disini], rasa bangga itu cepat nian memudar saat memahami apa wahana yang akan ku naiki esok sebagai konsekuensi terkabulnya nazar itu. Ceritanya, kebetulan gua kan masuk ITB nih. Apa itu ITB? Baca di subBlog berjudul Ganesha atau cari di Wikipedia aja deh ya. Trus?
ITB Gilak! Orangnya kan sangar-sangar. Konon banyak orang terkenal, hebat, dan professional dari sono. Bayangkan! Aming pernah kuliah di sana!!! Gak yakin gua bisa bersaing di tempat sedingin itu (dalam arti leksikal dan gramatikal). Kalut nih, bingung! Pilih mana, teman-taman pada mau ke yang satunya. Terus di tempatnya Aming kan banyak orang gila. Kan di sana banyak … Ya sudahlah, keinginan tetap keinginan. Pilihan kita harus jajaki. Masa depan harus diukir dan diri harus dikerasi untuk membuat dunia lunak. Akhirnya, petualangan pun lebih menarik dari sekedar keamanan. You know what I mean.
Get into ITB
Singkat cerita sampailah di gerbang ganesha. Pintu gerbang utama yang terletak di arah mata angin selatan dari kampus ganesha. Kami pun masuk melewati gerbang yang kalau mau masuk nempelin kartu apaan dulu ke Card Reader di samping gerbang, biar mobil sedan kami boleh lewat. Okay, mini tour lingkar selatan kampus ganesha pun dimulai.
Konon, lulusan baru bangga banget pas lihat itu kampus. Wah lah setidaknya. Tapi kok gua gak ya? Dari mobil sepupunya Siddik, daku melihat keluar jendela sepintas. Sempit. Dan agak hampa juga. Bangunan bagian depannya kuno abis, FTSL punya. Dari jaman belanda sudah berdiri katanya. Bangunan yang lain sih lebih modern, tapi catnya gak keren. Ada juga yang sompel, dan kehilangan huruf V. Agak kotor (tapi gak sekotor bangunan pada area lain yang setipe yang pernah gua liat – You know what I mean). Dan lagi eh, di dalam kampus kok ada bank dan toko berderetnya pula.
Soal lingkungan juga agak menarik. Rumput disini gak ada yang boleh diinjak. Padahal separo area rumput (yang keliatan dari mobil waktu itu) gersang habis. Kecuali jika memang gen rumput di kota dataran tinggi ini udah termutasi sampai fenotipnya jadi terkesan colekat (warna.red). Lapangan basket yang lantainya hancur sedikit, lapangan voli mikro, dan taman bunga yang asri. Lingkungan gedung tinggi padat so pasti. O ya, pembaca, meskipun ni kampus punya embel-embel teknologi, jangan harap kayak Vegas ya. Ada plasma TV gede nemplok di tembok gedung ini institute gitu, sampek Indonesia botak juga gak bakal ada.