Rangkaian tulisan ini bercerita tentang cinta dan keadilan. Kisah kehidupan dengan segala intrik kemunafikannya. Ini adalah cerita tentang mimpi, perjuangan, dan pengorbanan. Sebuah petualangan mencari persaudaraan yang hilang, mengejar kedamaian, kesucian, dan lagi-lagi cinta. Petualangan yang mengungkap kebobrokan sosial dan sisi gelap kemanusiaan serta membuka tabir hitam yang ada di benak setiap manusia.
Oke cukup sudah. Just in case you’re wondering, pembukaan di atas sama sekali tidak ada hubungannya dengan seluruh rangkaian artikel ini. Hanya sebagai bumbu pembuka agar menarik saja, mungkin. Tulisan ini menceritakan akhir minggu penulis yang tidak biasa di tanggal 25-26 Juni lalu. Secara kebetulan – atau mungkin tidak – penulis bersama seorang teman menerima tawaran seorang teman yang satu lagi – sebut saja Fikri – untuk mengunjungi event Gelar Jepang yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Japanologi Universitas Indonesia. Acara ini dilaksanakan tiga hari mulai dari hari Jumat, 24 Juni 2011. Akan tetapi, karena masih memiliki tanggungan pekerjaan, penulis baru dapat berangkat ke Jakarta pukul 20.05 Jumat malam waktu Stasiun Hall Bandung.
Dengan keberangkatan yang cukup mendebarkan, karena ternyata angkutan kota menuju stasiun bada isya cukup minim, kami berhasil pula duduk di kursi bisnis kereta sesuai tiket yang dipesan sore tadi sesaat sebelum kereta melakukan ‘pergerakan’. Sebenarnya sesaat sebelum duduk, kursi yang bernomor sama dengan nomor pada tiket kami telah ditempati orang lain. Mengapa bisa begitu, gak ngerti juga saya. Terdapatlah dua bapak-bapak yang setelah kami perlihatkan nomor tertera pada tiket masih memasang muka bingung (atau panik?) tanpa ada intensi untuk beranjak. Mereka akhirnya pindah ke kursi paling kiri belakang setelah dikunjungi teman lainnya yang kira-kira berkata “pindah kursi terpaksa”.
Gerbong bisnis hanya ada dua. Mendapat nomor gerbong satu, bisa dibilang kami berada jauh terdepan dari sebagian besar penumpang lain – meskipun sebenarnya kami duduk satu paling belakang di gerbong satu. Sesuai kelasnya, gerbong ini memiliki hanya kipas angin dan kursi yang kaku sebagai fasilitas. Tidak ada bantal, pijakan kaki, tv, atau speaker pemberitahuan dari masinis seperti yang ada di kelas eksekutif. Well, untuk seorang yang hanya pernah naik kereta ekonomi seumur hidupnya ini, fasilitas bisnis saat pergi, dan eksekutif saat pulang sangatlah memanjakan.
Tiga jam berselang, kereta sampai di tingkat tiga stasiun gambir. Disamping stasiun tampak emas kuning bercahaya di atas sebuah tugu mirip obelisk. Monumen Nasional, tak pernah penulis sangka ternyata stasiun ini ada tepat disebelah area parkirannya. Perasaan waktu kesini dua tahun lalu penulis tak melihatnya. Kami pun berangkat ke mampang prapatan via taksi. Sampai detik ini, kami belum menyadari bahwa dalam dua hari ke depan, betapa bergantungnya kami dengan transportasi ini. Kami hanya sempat menyesali kenapa tidak ada busway bus transjakarta yang beroperasi 24 jam.
Bus transjakarta, lebih dikenal masyarakat dengan nama jalurnya – busway, sebelum perjalanan ini di kepala penulis masihlah berupa kontroversial seperti di awal kehadirannya. Faktanya, masyarakat mulai bergantung pada busway kini. Mungkin bergantung bukanlah kata yang tepat, tetapi menggunakan transportasi ini jauh lebih cepat, nyaman, dan dapat diandalkan dibanding sarana transportasi lain. Belum lagi anda bisa ke titik manapun di Jakarta dengan harga tetap Rp3500 jika titik tersebut dilewati koridor busway. Meskipun di hari kedua, penulis mengalami bahwa kenyamanan yang ditawarkan tidak begitu dapat diandalkan.
Fikri tinggal di apartment kosan seharga sejutaan per bulan, dengan fasilitas menjanjikan bagi penghuni kota Jakarta: AC. Panas lengket memang jadi pengalaman sehari-hari disini. Baik karena anda beraktifitas, atau karena capek bertansportasi ria. Bertempat di dalam perumahan dengan gang mirip gang di daerah cisitu atau plesiran, kosan ini cukup nyaman, dan tampaknya Fikri telah dikenal oleh warga. Sepertinya orang bandung merupakan mahluk yang cukup melegenda disini. Mungkin karena mereka hidup di daerah yang dingin dan sejuk.
Cukup panjang untuk sebuah prolog,tulisan selanjutnya akan lebih membahas tentang kejadian yang ada di event bersangkutan. Akan tetapi seperti biasa, banyak info tak penting dan konyol yang bakal ikut. Kalimat dengan struktur panjang dan rumit. Serta paragraph yang tak ada kohesinya. Hal ini akibat gaya penulis si penulis artikel ini yang sangat amatir dan tidak bisa menentukan kejadian apa yang paling penting untuk diceritakan. Mohon kesabarannya saat membaca.